Di pinggir jalan, para anak buah Mona sudah menunggu bos mereka yang menghilang entah kemana. Hanya ada mobilnya saja, orangnya tak ada di tempat.
Pria yang menyamar untuk mencelakai Harmoni berada di sekitar tempat itu tengah mengintai mangsanya yang kabur tanpa jejak. "Kemana wanita itu? apa dia mahluk halus yang bisa berpindah tempat dan bisa selamat dari jurang kematian," gumamnya dengan suara pelan.
Pria itu memakai topi, agar wajahnya tak dikenali. Pria tersebut duduk di sebuah kursi pinggir jalan di bawah pohon dengan air mineral di tangannya.
"Kalian terus pantau daerah ini! aku akan menghubungi yang lain untuk memastikan keadaan Nona Harmoni!"
Mona sibuk dengan ponselnya. Ia sibuk menghubungi para anak buahnya yang ia sebar di seluruh kota untuk mencari keberadaan Bosnya.
"Bagaimana? apa Nona sudah ditemukan?" tanya Mona pada salah satu anak buahnya yang berada di seberang telepon.
"Belum, Bos! sepertinya Nona dibawa oleh seseorang!"
"Kau jangan mengada-ada! siapa yang berani membawa Nona selain musuh keluarga Sudarmanto!"
"Saya juga tidak tahu, tapi yang saya tahu, para musuh keluarga Nona tak melakukan pergerakan apapun saat ini."
"Jika dalam satu jam lagi tak ada perkembangan, maka akhiri semua pencariannya dan kau harus pastikan tak ada celah dalam proses penelusuran pencarian Nona!"
Mona menutup panggilan tersebut. "Kemana Anda, Nona! jangan sampai sesuatu hal buruk terjadi pada Anda!"
Si pengintai alias biang kerok dari masalah ini tersenyum karena ia tahu, jika Harmoni targetnya hilang tak dapat ditemukan.
"Jika para anak buah Mona saja tak bisa menemukan Nona Harmoni, berarti perempuan itu sudah hilang entah kemana," gumam pelaku tersebut.
Pelaku itu masih menatap heran ke arah mobil Harmoni yang ia lihat tadi sudah menabrak pembatas tikungan.
"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, jika bagian depan mobil itu sudah ringsek, tapi kenapa sekarang bisa mulus seakan tak menabrak apapun?" tanya pelaku itu keheranan.
Pelaku itu masih berdiam diri duduk di kursinya sembari menunggu Mona dan anak buahnya pergi.
Di rumah Dewa, Harmoni melangkah ke arah jendela kamar Dewa yang memperlihatkan pemandangan gunung yang begitu hijau dan indah.
Harmoni mendekati sofa dimana Dewa duduk.
Perempuan itu tak sadar, jika ia mendekati macan yang sedang tidur.
Yang ada dalam pikiran Harmoni saat ini adalah ia ingin melihat keindahan dan sejuknya terpaan angin pegunungan.
Dewa masih menatap datar ke arah Harmoni yang berjalan semakin dekat ke arahnya, sementara tatapan mata CEO cantik itu masih tertuju pada pepohonan yang tumbuh kokoh dan subur di pegunungan tersebut.
Kini lutut Harmoni sudah menyentuh bagian bibir sofa yang diduduki oleh Dewa. Gadis cantik itu menatap ke arah Dewa yang menatapnya datar. "Boleh naik ke sofa ini?" tanya Harmoni meminta izin pada Dewa.
"Untuk apa? kau bukan anak kecil, 'kan?" nada bicara Dewa masih dingin.
"Aku hanya ingin membuka jendela kamar ini, sebentar saja ya?" Harmoni memohon.
"Imbalan apa yang akan aku dapatkan, jika aku mau menuruti permintaanmu?" tanya Dewa sekenanya.
Harmoni menatap mata Dewa tajam. "Kau boleh meminta apapun padaku asalkan aku boleh melihat pohon di gunung itu dengan jelas," sahut Harmoni yang tak memikirkan masalah apa yang akan timbul karena ucapannya itu, ia fokus pada keindahan gunung yang di sertai turunnya sinar matahari secara perlahan.
"Apapun?" tanya Dewa balik ingin memastikan.
"Apa saja terserah kau," sahut Harmoni sudah bersiap-siap hendak membuka jendela kamar Dewa.
Senyum simpul Dewa terbit. "Silahkan!"
Harmoni dengan semangat 45 naik ke atas sofa yang diduduki oleh Dewa.
Saat jendela itu sudah sepenuhnya berbuka lebar, angin langsung mengenai permukaan kulit wajah Harmoni.
Tangan gadis itu terulur untuk merasakan halus dan lembutnya angin menyentuh bagian-bagian kulitnya yang terlihat.
Rambut Harmoni melambai terkena hembusan angin dan leher jenjang serta kulit mulusnya terpampang nyata di depan mata Dewa.
Mata itu seakan-akan tak ingin berpindah pandangan.
Entah insting darimana yang membuat Dewa ikut naik ke atas sofa dan berdiri tepat dibelakang Harmoni.
Bibir Dewa spontan menempel pada leher jenjang Harmoni dan rasa dingin langsung menyengat bagian kulit leher Harmoni.
Gadis itu langsung berbalik berhadapan dengan Dewa. "Apa yang kau lakukan? jangan bilang kau ingin menggigitku seperti di film vampir yang pernah aku tonton," ujar Harmoni sedikit ketakutan.
Mata biru Dewa berubah menjadi warna senja. Harmoni menatap lekat lensa mata pria itu. "Kenapa manik matamu berubah warna?" tanya Harmoni dengan tangan yang berpegang pada gorden jendela tersebut karena ia takut terjatuh.
Kamar Dewa berada di lantai paling atas rumahnya.
Dewa masih diam membalas tatapan mata Harmoni.
"Kenapa dia yang bisa membuatku seperti ini? aku sebelumnya tak pernah merasakan hal ini dan warna mataku bisa berubah," tanya Dewa dalam diam.
"Aku ingin darah," tutur Dewa yang sebenarnya hanya bualannya saja untuk menakuti Harmoni.
CEO cantik itu menelan ludahnya kasar karena ia takut Dewa akan melakukan hal itu. Ia tahu, jika Dewa bukan manusia biasa yang bisa ia hajar habis-habisan.
"Kau jangan bercanda!"
Dewa mendekatkan tubuhnya ke arah Harmoni. "Wangi darahmu sangat enak dan aku merasa sangat haus serta lapar," tutur Dewa mendekatkan bibirnya pada ceruk leher Harmoni.
Dewa tersenyum saat wajahnya bersembunyi di balik ceruk leher gadis itu.
"Ka-kau jangan bercanda! aku akan menghajarmu, Pria Alien?"
"Hajar saja, jika kau bisa! aku akan menghisap darahmu sampai kering," ancam Dewa yang hanya sekedar godaan saja.
Harmoni memundurkan tubuhnya sampai tubuh ramping itu tak seimbang dan tubuh Harmoni terjungkal ke belakang terjun bebas ke bawah.
"Aaaaaaaaaaaaaa!"
Tubuh Dewa masih condong ke depan. "Gadis yang sangat menyusahkan!"
Secepat kilat Dewa melompat dan berteleportasi sudah memeluk pinggang Harmoni.
Waktu mulai melambat. Mata Harmoni masih terpejam karena rasa takut yang menderanya.
"Buka matamu, Nona!"
Dengan cepat mata Harmoni terbuka dan ia bisa melihat dirinya jatuh dengan kecepatan sangat lambat.
"Ini ... ini kekuatanmu?" tanya Harmoni sedikit tertegun.
"Jika kau tak berpegangan padaku, kau akan jatuh ke bawah sampai tubuhmu hancur," ujar Dewa memberikan peringatan.
Harmoni memeluk Dewa. Melingkarkan tangannya pada leher sang malaikat.
Senyum Dewa terbit bagai cahaya rembulan yang menerangi gelapnya malam.
"Aku tidak mau mati, aku masih ingin hidup!"
"Kau harus lebih erat lagi berpegang padaku karena aku akan melompat ke atas dengan kecepatan penuh," jelas Dewa dan Harmoni menganggukkan kepalanya sembari mengeratkan pelukannya pada leher Dewa.
Terdengar suara jendela kamar Dewa tertutup. Perlahan mata Harmoni terbuka dan wajahnya kini berada sangat dekat dengan wajah Dewa.
"Pangeran!"
Suara seorang pria menghancurkan momen manis itu.
Harmoni dan Dewa bersamaan menoleh ke arah sumber suara masih dengan posisi sangat dekat.
Dewa dan Harmoni menoleh ke arah sumber suara dan seorang pria tampan, tapi tak setampan Dewa, lebih tepatnya separuh dari Dewa. Pria itu tengah melihat ke arah kedua manusia beda jenis tersebut dengan tatapan tak percaya.
Dewa dengan sigapnya sudah berada di sofa tempat ia duduk tadi.
Harmoni masih tetap dengan posisi seperti tadi seperti tengah memeluk tubuh Dewa namun, tak ada pria itu di dalam pelukannya.
"Anda siapa, Nona?" tanya Hicob yang merupakan tangan kanan Dewa, lebih tepatnya seperti orang kepercayaan Dewa di planet Amoora.
Harmoni segera menormalkan posisi tubuhnya karena ia mencoba meraba sesuatu namun, tubuh Dewa sudah hilang entah kemana.
"Namaku Harmoni! pemilik perusahaan HCK Corp."
Hicob beralih menatap ke arah Dewa dan pria bermata safir itu hanya menatap orang kepercayaannya dengan raut wajah datar.
Hicob menjentikkan tangannya bermaksud membuat Harmoni tertidur sebentar saja namun, yang ada gadis itu masih membuka matanya melihat ke arah Hicob dengan raut wajah penasaran.
"Kau sedang apa? tak ada nyamuk atau serangga terbang lainnya," celetuk Harmoni yang aneh melihat tingkah pria dihadapannya ini.
Hicob memejamkan matanya ingin berbicara lewat telepati dengan Dewa.
"Kenapa wanita ini sangat aneh, Yang Mulia!"
Dewa ingin tersenyum namun, ia mencoba menahannya.
"Kau lihat kalung yang melingkar di lehernya dan kau harus mencari tahu kenapa kalung itu tak dapat aku lepaskan."
Hicob membuka matanya melihat ke arah Harmoni yang menatap ke arahnya.
Sorot mata Hicob tertuju pada bandul kalung yang menggantung di leher Harmoni.
"Itu kristal milik, Anda! kenapa bisa berada pada gadis ini?"
Hicob masih tak tahu akan kemampuan Harmoni yang bisa bela diri sehingga tanpa persiapan orang kepercayaan dari Dewa itu bergerak dengan kecepatan mustahilnya untuk menggapai kristal yang berada di leher Harmoni.
Saat tangan Hicob hampir saja menyentuh bandul kalung itu, tangan Harmoni dengan cepat menangkis tangan Hicob sampai tangan itu terlempar ke samping namun, tak terlalu kuat karena kekuatan Hicob lebih besar dari Harmoni.
Hicob terkejut dengan kekuatan yang dimiliki oleh Harmoni. "Wow!" satu kata itu yang muncul dari mulut seorang Hicob tangan kanan calon sang raja planet Amoora.
Harmoni menatap ke arah Hicob tajam. "Jangan sembarang menyentuh bagian tubuh wanita, Tuan!"
Dewa hanya memperhatikan keduanya dari kejauhan tanpa ingin ikut campur lebih jauh.
"Darimana Anda mendapatkan bandul kalung itu, Nona?" tanya Hicob penasaran.
Harmoni melangkahkan kakinya mundur dua langkah ke belakang agar jaraknya dan Hicob tak terlalu dekat.
"Kau bisa tanyakan pada Pangeranmu itu," sahut Harmoni pada Hicob.
"Itu milik, Tuanku," tutur Hicob lagi.
"Tapi kristal ini sekarang bersamaku jadi, kristal ini milikku, Tuan!" tatapan mata Harmoni menyorot tajam pada Hicob.
Hicob melihat ke arah Dewa dan pria itu menganggukkan kepalanya.
Hicob tiba-tiba saja menghilang di hadapan Harmoni.
Gadis cantik itu sedikit terkejut namun, ia kembali mengingat sesuatu, jika Dewa bukan manusia biasa seperti dirinya, pasti antek-anteknya juga sama saja.
Tiba-tiba saja CEO cantik itu ingat dengan Mona.
Harmoni memutar tubuhnya menghadap ke arah Dewa. "Apa kau memiliki ponsel?" tanya Harmoni pada Dewa.
Pria itu hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Harmoni padanya.
"Boleh aku meminjamnya? aku ingin menghubungi seseorang," tutur Harmoni.
Tangan Harmoni terulur ke depan hendak meminjam ponsel Dewa namun, lagi-lagi keajaiban terjadi. Ponsel milik Dewa sudah berada di tangan Harmoni.
Kali ini gadis itu tak merasa terkejut karena ia sudah sedikit lebih beradaptasi dengan keajaiban yang terjadi karena saat ini dirinya bukan sedang bersama dengan seorang manusia biasa, melainkan bersama dengan manusia super.
Harmoni mulai menekan nomor ponsel Mona.
"Halo!"
"Ini aku, Mona!"
"Nona! apa Anda baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja dan kau tak perlu cemas karena saat ini aku berada di tempat yang aman!"
"Kirimkan lokasi Anda saat ini, Nona! saya dan anak buah yang lain akan menjemput Anda sekarang juga!"
"Ba ...."
Dewa sudah berada di hadapan Harmoni dengan tangan yang sudah menutupi bibir indah CEO cantik itu.
Mata Harmoni beradu dengan mata Dewa. Pria itu mendekatkan bibirnya pada telinga Harmoni. "Aku tak ingin seorangpun tahu letak rumahku karena aku benci dengan keramaian yang berhubungan dengan hal yang tak penting," bisik Dewa pada Harmoni.
Wajah Dewa sedikit mundur, agar ia dapat menatap wajah Harmoni.
CEO cantik itu mengerti akan maksud Dewa dan ia menganggukkan kepalanya.
Perlahan tangan Dewa mulai turun dari bibir CEO cantik tersebut.
"Kau tak perlu kemari karena aku bersama dengan orang yang baik dan pastinya orang ini tak berniat buruk padaku jadi, kau tunggu aku di rumah saja!"
"Apa Anda yakin, Nona?"
Harmoni melihat ke arah Dewa yang ternyata tengah membalas tatapannya.
"Aku yakin!"
"Baiklah, Nona! kami akan menunggu Anda pulang dalam keadaan selamat."
"Jangan lupa! siagakan semua penjaga karena kita tak tahu rencana apa lagi yang akan dibuat oleh para orang tak bermoral itu."
"Baik, Nona!"
Harmoni menutup panggilannya lebih dulu karena ia tak ingin Mona bertanya hal lebih jauh lagi.
Harmoni memberikan ponsel Dewa pada pemiliknya. "Terima kasih karena kau sudah dua kali membantuku," ujar Harmoni pada Dewa.
Dewa menerima ponsel dari tangan Harmoni. "Kau tak bisa pulang sekarang!"
Wajah Harmoni langsung berubah datar sedatar papan cucian. "Apa maksudmu?" tanya Harmoni yang mulai terpancing emosi.
"Aku harus memastikan sesuatu hal mengenai kristal biru itu," jelas Dewa menatap ke arah kristal biru yang tergantung indah di leher Harmoni.
Harmoni menyentuh bandul kalungnya. "Kenapa benda ini tak mau lepas dariku? apa dia mungkin sudah nyaman bersamaku?" tanya Harmoni pada dirinya sendiri sembari melihat ke arah bandul kalungnya.
"Mana mungkin dia tak nyaman, jika bersamaku, aku pemilik aslinya, Nona! kau hanya orang kedua baginya," celetuk Dewa mendekat ke arah Harmoni. "Apa kau ingin bukti?" tanya Dewa pada Harmoni.
Gadis cantik dengan rambut yang tergerai sedikit acak-acakan karena insiden jatuhnya dari ketinggian tadi menatap lekat manik mata Dewa. "Aku tak perlu bukti karena benda ini sudah tak mau kembali pada pemiliknya saja itu sudah sangat membuktikan, jika ...."
Dewa tanpa aba-aba ikut menyentuh bandul kalung kristal biru itu tepat di atas tangan Harmoni yang juga masih menggenggam erat bandul kalungnya.
Secara bersamaan cahaya putih yang sangat dahsyat muncul dari kristal berwarna safir tersebut.
Harmoni memejamkan matanya karena silau yang disebabkan oleh kristal tersebut namun, berbeda dengan Dewa, pria itu melihat ke arah sumber cahaya yang memantulkan sebuah ilustrasi melayang di udara.
Sebuah peperangan besar yang akan terjadi dan Harmoni juga berada di dalam peperangan itu bersama dengan dirinya.
Tangan keduanya menyatu saling memberikan kekuatan satu sama lain.
Dewa melihat ke arah Harmoni yang masih memejamkan matanya.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Dewa dalam hati.
Cahaya yang berasal dari bandul kalung Harmoni menghilang setelah Dewa melihat sebuah gambaran yang Dewa yakini itu adalah gambaran masa depannya kelak, entah berapa tahun lagi hal itu akan terjadi.
Dewa menatap ke arah Harmoni yang kini mata gadis itu perlahan mulai terbuka karena ia sudah tak merasakan adanya cahaya terang yang bisa membuat matanya terasa silau.
Saat mata Harmoni sudah sepenuhnya terbuka, objek pertama yang ia lihat adalah seorang pria berlensa mata berwarna safir tengah menatap ke arahnya.
Tangan keduanya masih berpegang karena bandul kristal itulah yang menjadi penghubung kulit mereka berdua harus bersentuhan.
"Tangan pria ini dingin sekali! apa dia tak memiliki urat nadi sampai tak ada rasa hangat yang menjalari sedikit permukaan kulitnya?" pikirnya dalam hati.
Dewa mencoba menghilangkan gambaran dirinya dan Harmoni yang muncul berkali-kali dalam otaknya namun, hati dan pikirannya tak mau mengikuti perintahnya.
"Sebenarnya siapa perempuan ini? kenapa aku terlihat sangat akrab dengannya saat gambaran yang keluar dari kristal itu muncul," pikir Dewa dalam diam.
"Apa aku boleh melihat masa lalumu?" tanya Dewa meminta izin pada Harmoni.
Gadis itu bingung antara harus mengizinkan Dewa atau tidak melihat masa lalunya.
"Masa lalu seseorang adalah sebuah privasi tersendiri, tapi bukankah dia tak bisa melihat masa laluku tadi?" tanya Harmoni yang masih kebingungan dalam hatinya.
"Bukankah kau tak bisa melihat masa laluku?" tanya balik Harmoni pada Dewa agar pria itu mengurungkan niatnya.
"Aku hanya penasaran pada masa lalumu," sahut Dewa dengan jujur.
Harmoni tahu, jika Dewa tak berniat jahat padanya, jika pria ini berniat jahat pada Harmoni, maka Dewa tak mungkin menolongnya waktu itu.
"Baiklah! jika hal itu bisa membantumu dalam proses melepaskan bandul kalung ini," tutur Harmoni mengizinkan Dewa untuk melihat masa lalunya.
"Kau harus mempersiapkan dirimu karena aku akan melakukan sekuatku untuk bisa menembus kenangan masa lalumu," ingat Dewa pada Harmoni.
Gadis itu menganggukkan kepalanya mengerti.
Tangan Harmoni dan Dewa masih sama-sama menyentuh kristal berwarna safir tersebut.
Dewa perlahan mendekatkan keningnya untuk menyatukan kening itu dengan milik Harmoni karena hanya dengan cara itu ia bisa melihat masa lalu gadis di hadapannya.
Kening keduanya sudah saling menempel satu sama lain dan arah tatapan mata Harmoni juga tertuju pada lensa mata berwarna safir milik Dewa.
"Pejamkan matamu," pinta Dewa dan perlahan mata CEO cantik itu terpejam sempurna.
Dewa ikut memejamkan matanya sembari mencoba masuk ke alam bawah sadar Harmoni, agar ia bisa melihat masa lalu atau mungkin masa depan gadis itu.
Dewa masih mengerahkan seperempat kekuatannya dan Harmoni masih sanggup menahan kekuatan dari dalam diri Dewa.
Karena tak ada penemuan apapun, akhirnya Dewa mengerahkan setengah bagian kekuatannya, agar ia bisa melihat masa lalu Harmoni namun, lagi-lagi zonk.
"Aku sekarang sedang berurusan dengan gadis macam apa sebenarnya? kenapa aku tak bisa melihat masa lalunya, bahkan aku hendak mengambil kristal milikku saja tak bisa."
Karena tak ada respon penolakan atau rasa sakit dari Harmoni, akhirnya Dewa memutuskan untuk mengerahkan semua tenaga yang ia punya.
Saat perlahan tenaga dalam Dewa mulai tersalur menerobos alam bawah sadar Harmoni, tubuh Harmoni terlihat tak enak diam menahan sesuatu.
Gadis itu merasakan sakit, perih, dan panas menjalari tubuhnya sampai ia dengan tak sadar mengalungkan tangannya pada leher Dewa yang terasa dingin karena suhu tubuh pria itu memang tak normal seperti manusia pada umumnya.
Dewa terus menyalurkan sedikit demi sedikit tenaganya sampai tangan pria itu mencengkram erat pinggang ramping Harmoni namun, beberapa detik kemudian memeluk pinggang itu erat dengan mata terpejam mencoba masuk melihat masa lalu Harmoni.
Kenyataan pahit kembali menyerbu Dewa yang tak bisa melihat masa lalu Harmoni.
Dengan tenaga yang sudah tinggal sedikit, pria bermata safir itu mengeluarkan sisa-sisa tenaganya dan Harmoni memeluk erat tubuh Dewa mencari sumber hawa dingin dari tubuh pria super itu.
Karena sudah tak kuat menahan rasa panas dan sakit dari kekuatan Dewa, akhirnya tubuh Harmoni terkulai lemas dan pada saat bersamaan Dewa menghentikan niatnya.
Pria itu dengan cepat menangkap tubuh Harmoni yang akan terjatuh ke lantai kamarnya namun, beruntungnya Dewa tepat waktu.
Kini Harmoni sudah berada dalam gendongan Dewa. Pria itu melihat wajah Harmoni yang tak sadarkan diri.
"Siapa kau sebenarnya? baru kali ini ada seseorang yang bisa menahan kekuatanku sampai hampir mencapai batas akhir dan orang itu adalah dirimu! seorang manusia biasa yang tak memiliki kekuatan apapun," gumam Dewa masih menatap wajah Harmoni.
Tubuh Dewa perlahan terbang ke atas melayang menuju arah ranjangnya.
Dewa sengaja tak membuat suhu tempat tidurnya lebih hangat karena Harmoni saat ini membutuhkan suhu dingin untuk menetralisir rasa panas dan perih pada tubuhnya, bahkan Dewa menaikkan temperatur tempat tidurnya menjadi lebih dingin dari biasanya.
Dewa meletakkan tubuh Harmoni perlahan di atas ranjangnya.
Pria itu masih melihat wajah tentram Harmoni. "Apa mungkin kau memiliki kekuatan yang tak kuketahui? atau kau juga tak mengetahui kekuatan itu?" tanya Dewa.
Tiba-tiba hembusan angin sesaat menyadarkan Dewa, jika Hicob sudah berada di kamarnya.
Dengan cepat tubuh Dewa mengahadap ke arah Hicob. "Bagaimana?" tanya Dewa pada orang kepercayaannya.
Hicob menunjukkan sebuah kitab yang Dewa yakini, jika itu adalah kitab leluhurnya yang berhubungan dengan kristal miliknya yang kini berada pada seorang gadis manusia.
"Apa kau sudah mempelajarinya?" tanya Dewa pada Hicob.
"Sudah, Yang Mulia!"
"Apa ada alasan mengapa kristal milikku tak mau kembali pada pemilik aslinya?" tanya Dewa duduk ditepi ranjangnya.
Hicob melirik ke arah Harmoni sekilas sebelum pria itu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh tuannya.
"Anda harus menyelesaikan masalah hidup pemilik kedua dari kristal ini," jawab Hicob pada Dewa.
"Masalah hidup?" tanya Dewa tak mengerti dengan maksud penjelasan tangan kanannya.
"Nona Harmoni adalah sasaran empuk dari para kalangan napi yang kalah atas kasusnya berhadapan dengan pengacara kondang keluarga Sudarmanto yang tak lain adalah ayah dari Nona Harmoni sendiri! Nona Harmoni tak ingin menjadi seorang pengacara seperti anggota keluarga lainnya, ia lebih memilih menjadi apa yang ia inginkan, yaitu seorang wanita pemilik perusahaan yang bisa dibilang berpengaruh di negeri ini namun, ia harus rela keluar dari keluarganya dan tinggal bersama Asistennya di sebuah rumah yang berbeda dan semua jaminan keamanan dari keluarga Sudarmanto sudah di lepas oleh keluarga itu dan saat ini Nona Harmoni bertahan hidup dengan caranya sendiri sambil berlatih bela diri agar saat keadaan darurat dia bisa melawan musuh ayahnya yang menargetkan dirinya sebagai alat balas dendam pada sang ayah, jadi polemik hidup Nona Harmoni adalah para penjahat yang berkeliaran di luar sana dan pastinya mengincar nyawa, Nona Harmoni!"
Dewa melihat ke arah Harmoni yang masih tak sadarkan diri di atas tempat tidurnya.
"Hidup yang rumit!"