Mobil berwarna hitam dengan cepatnya melesat di tengah aspal.
Si pengemudi tersenyum sendiri sepanjang perjalanan karena hari ini seluruh waktunya akan ia berikan kepada gadis yang kini membuat hatinya seperti terdapat ribuan kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya begitu menggelitik.
"Aku akan membuat harimu menyenangkan, Harmoni!" gumam Dewa dengan senyum yang semakin terlihat dan pastinya wajah Dewa sudah merah malu-malu kucing.
Setelah beberapa jam menempuh perjalanan menuju arah rumah gadisnya, Dewa akhir sampai di halaman rumah Harmoni dan para satpam mengangukkan kepalanya pada pria tersebut karena semua penghuni rumah itu tahu, jika majikannya ada hubungan khusus dengan pria bermata biru tersebut.
Dewa keluar dengan gagahnya dari dalam mobil yang ia kendarai.
Tanpa perlu dipanggil, si pemilik rumah dengan langkah kaki yang mirip dengan berlari langsung menuruni anak tangga, kebetulan ia saat ini menggunakan sepatu biasa agar tak mengganggu jalan kencannya hari ini.
Harmoni yang tersenyum kala ia sudah berada di depan pintu rumahnya.
Betapa terkejutnya gadis itu saat melihat pria yang biasanya berpakaian formal, kini Dewa sudah mengenakan pakaian santai ala-ala anak muda yang siap berkencan dengan kekasihnya.
"Apa kita sudah bisa berangkat sekarang?" tanya Dewa pada gadisnya.
Harmoni masih diam menatap Dewa dari atas sampai bawah.
Penampilan pria itu sungguh membuat Harmoni pangling karena Dewa terlihat sangat tampan dan mempesona.
"Kenapa kau melihatku seperti itu, Sayang? apa aku sangat tampan?" tanya Dewa menggoda Harmoni sembari mengerlingkan sebelah matanya pada sang gadis.
Harmoni memicingkan matanya pada Dewa dengan bahu yang ia sandarkan pada daun pintu rumahnya.
"Apa kau bisa berganti baju?" pinta Harmoni pada Dewa.
"Kenapa? tak cocok, ya?" tanya Dewa pada Harmoni.
Gadis itu berjalan dengan raut wajah kesal bukan main.
Saat berada di hadapan Dewa, kedua tangan Harmoni sudah berkacak pinggang dengan wajah yang sedikit mendongak ke atas menampilkan sebuah tatapan sengit pada pria bermata biru tersebut.
"Wajah ini, tubuh ini, dan semua yang ada pada dirimu, apa kau sungguh ingin memamerkan semuanya pada perempuan lain? hah, apa kau lupa, siapa perempuan yang saat ini bersifat mutlak memiliki dirimu? atau jangan-jangan kau sudah lupa ... Sayang!" Harmoni menyentuh pipi Dewa dengan gerakan lembut dan bibir gadis itu tersenyum simpul pada Dewa.
Dewa sekuat tenaga menahan tawanya karena baru kali ini Harmoni memanggilnya dengan sebutan sayang dan parahnya, gadis itu mengisyaratkan akan sebuah kecemburuan padanya namun, hal tersebut sangat membuat Dewa senang, pasalnya hal itu mengisyaratkan, jika Harmoni masih memiliki rasa simpati padanya, meskipun bukan lontaran sebuah ungkapan cinta.
Dewa menyentuh punggung tangan Harmoni dan tersenyum lembut padanya.
"Aku tahu siapa perempuan yang berhak atas diriku saat ini dan aku juga tahu, siapa pemilik semua yang ada pada diriku saat ini dan aku juga sangat tahu, siapa perempuan yang bisa memperhatikan semua yang ada pada diriku dari ujung rambut hingga kaki dan perempuan itu adalah ...."
Dewa sengaja menggantung ucapannya karena ia ingin tahu bagaimana reaksi Harmoni.
"Siapa?" tanya Harmoni menatap kedua manik mata Dewa tajam.
Dewa bukannya marah, pria yang terkenal dingin itu kali ini benar-benar takluk pada Harmoni.
Dewa malah tersenyum pada Harmoni dengan tangan kanan yang merengkuh pinggang kekasihnya, sementara tangan kanannya berada di pipi Harmoni.
"Kenapa kau masih bertanya lagi, kau sudah sangat tahu siapa orangnya," jelas Dewa pada Harmoni.
"Siapa? calon permaisurimu itu?" tebak Harmoni dengan wajah yang sudah berubah kesal.
Dewa langsung menarik Harmoni ke dalam pelukannya sembari berkata, "Bukan! perempuan itu adalah dirimu."
"Bohong!"
"Sungguh!"
"Bohong!" sangkal Harmoni atas pengakuan dari mulut Dewa.
"Sungguh, Sayang! apa kau masih perlu bukti? apa kau ingin aku menciummu di sini, agar mau percaya semua ucapanku?" tawar Dewa membuat Harmoni mencubit perut Dewa cukup keras.
"Aduh, sakit!" Dewa mengadu kesakitan saat sang gadis mencubitnya cukup keras.
"Salah siapa kau berani berulah," celoteh Harmoni pada Dewa.
"Hahaha! jangan marah seperti itu, tak baik untukmu dan rambutmu itu," tutur Dewa sengaja ingin menggoda Harmoni.
"Biarkan saja! lagipula kau tak akan melihat rambutku berubah menjadi putih," kesal Harmoni yang tanpa sadar mengulik sebuah kenyataan pahit di antara keduanya, jika mereka berdua tak bisa bersatu.
"Kau benar! aku memang tak bisa melihat perubahan rambutmu menjadi putih, tapi setidaknya kau harus menjaganya tetap sehat dan terawat, meskipun aku tak bisa menyaksikan perubahan itu," pesan Dewa membuat Harmoni diam tak mengeluarkan respon apapun.
Harmoni diam di dalam pelukan Dewa sembari mendengarkan detak jantung pria itu.
"Kenapa kau memelukku seperti ini? ini masih pagi," cicit Harmoni ingin mengalihkan pembicaraan, agar suasana menjadi cair.
"Kapan lagi aku bisa memelukmu seperti ini sampai aku puas, bukankah waktu yang aku miliki semakin sedikit?" tanya Dewa pada Harmoni dan gadis itu menengadahkan wajahnya menatap ke arah Dewa.
Tak ada ucapan apapun, hanya ada tatapan yang mengisyaratkan akan sebuah larangan, agar pria itu tak pergi meninggalkan dirinya.
Dewa tahu tatapan mata apa itu, ia semakin tak ingin meninggalkan Harmoni, jika gadis tersebut masih menatapnya dengan tatapan seperti itu.
"Aku akan selalu bersamamu karena kristal milikku masih ada padamu jadi, jangan pernah berpikir aku meninggalkanmu," ujar Dewa mengecup kening Harmoni dan gadis itu memejamkan matanya menikmati kecupan hangat Dewa, meskipun rasa dingin yang merambat pada permukaan keningnya namun, rasa hangat menyeruak masuk ke dalam hatinya.
"Apa kita bisa berangkat sekarang?" tanya Dewa setelah pria itu melepaskan kecupan pada kening Harmoni.
Harmoni langsung menjauhkan dirinya dari Dewa dan mengangukkan kepalanya.
Dewa tersenyum sembari berkata, "Kau terlihat cantik dengan setelan baju itu, apalagi rambutmu, membuatmu semakin terlihat lucu," puji Dewa langsung masuk ke dalam mobilnya.
Wajah Harmoni seketika langsung memerah karena pujian yang Dewa berikan padanya.
"Dasar pria yang suka menggoda!" gumam Harmoni berjalan ke arah pintu masuk mobil Dewa.
Sementara di sebuah rumah yang di penuhi dengan burung gagak hitam, beberapa orang sudah berada di dalam rumah itu dengan sosok mahkluk yang menyerupai manusia sangat tampan namun, di dahi pria tersebut terdapat sebuah lambang api yang menandakan, jika ia pimpinan dari kaum iblis planet Amoora.
"Apa rencana kita akan tetapi di lakukan?" tanya pria yang sudah berusia ratusan tahu lamanya.
"Tentu saja, Ayah! aku tak ingin rencana besar ini gagal," sahut pria tersebut yang tak lain adalah Damian.
"Apa kau sudah siapkan semua anak buahmu?" tanya Dalgon pada raja iblis yang masih terlihat sangat tampan tersebut.
"Tentu saja, Dalgon! jika ada perintah dari dirimu, semua anak buahku sudah siap bertempur kapan saja karena kami selalu berada di pihakmu."
"Bagus! setidaknya aku memiliki kaum yang sangat tangguh untuk bertempur dengan adikku yang sangat baik itu, tapi aku ingin dia mati di tanganku," ujar Dalgon mengepalkan tangannya kuat-kuat seakan-akan ia tengah menggenggam nyawa sang adik yang tak lain adalah king Darren, ayah dari Dewa.
"Apa semua anak buahmu sudah memantau Dewa?" tanya Dalgon pada Damian.
"Sudah, Ayah! dia saat ini sepertinya sedang berkencan dengan Harmoni, tapi semua percuma dan ayah tak perlu cemas, aku yakin, jika Dewa tetap tak akan menikah dengan gadis itu karena kedua orangtuanya sudah mempersiapkan proses pemilihan permaisuri di istana," jelas Damian pada sang ayah.
"Jangan terlalu percaya diri dulu! kepercayaan dirimu yang menggebu seperti itu, kelak yang akan membuatmu hancur karena kau tak memikirkan kemungkinan terburuk apa yang akan terjadi," tutur Dalgon pada sang putra.
"Maaf, Ayah!"
"Tak apa, yang penting rencana kita untuk membuat gadis itu dan kristalnya lenyap sudah bisa kita laksanakan setelah Dewa benar-benar enyak dari muka bumi ini dan gadis cantik itu akan berada dalam genggaman tangan kita," ucap Dalgon tersenyum licik.
"Kau jangan meremehkan calon raja baru itu, Dalgon! dia sudah bisa menghalangi anak buahku untuk menganggu gadis pemilik kristal biru tersebut," sambung raja iblis berparas tampan tersebut.
"Pasti dia menggunakan kekuatan yang diwariskan oleh ayah pada Darren dan adikku yang sangat baik itu sudah mewariskannya pada putranya," geram Dalgon mengeluarkan api dari telapak tangannya dan mengarahkan api itu ke sudut manapun sesuai dengan keinginan hatinya.
Raja iblis tersebut hanya bisa tersenyum simpul karena ia tahu, jika partnernya saat ini adalah orang buangan di planet Amoora jadi, sang raja iblis tak mau berharap terlalu jauh pada Dalgon.
"Jika sekiranya nanti kaumku banyak yang gugur, aku akan meninggalkanmu dan membiarkan dirimu bertempur sendirian karena aku tak ingin kaumku punah, aku yakin! Raja Darren pasti sudah meminta bantuan pada raja yang lebih kuat lainnya dan hal itu membahayakan bagi kaumku," pikir raja iblis tersebut sembari terus tersenyum simpul menatap ke arah Damian dan Dalgon secara bergantian.
Di dalam ruangannya, Mona masih sibuk dengan beberapa berkas yang harus ia kerjakan dan harus selesai hari ini karena Harmoni tak masuk kerja.
"Nona semenjak kenal dengan Tuan Dewa, dia lebih sering menghabiskan waktu di luar," gumam Mona dengan tangan yang masih sibuk berada di atas keyboard laptop miliknya untuk mengetik sesuatu di sana.
"Tapi tak apalah! setidaknya, Nona tak terlalu fokus bekerja seperti dulu, sampai dia tak memiliki kekasih atau teman dekat pria, meskipun hanya a sekedar kencan buta saja," gumam Mona yang berbicara sendiri di dalam ruangannya sembari terus memperhatikan layar laptopnya dan beralih ke arah laporan keuangan yang harus ia periksa.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu ruang Mona terdengar.
"Masuk!"
Ceklek
Suara pintu ruangan itu terbuka dan Mona otomatis melihat ke arah pintu ruangannya.
"Kenapa sidah di sini? bukankah masih nanti siang kita ada janji bertemu?" tanya Mona menatap ke arah pria yang datang yang tak lain adalah Hicob.
"Setidaknya aku ada waktu untuk membantu pekerjaanmu, 'kan?" ujar Hicob pada Mona.
"Terserah kau saja!" pasrah Mona yang tak mau banyak berdebat dengan pria yang bukan asli berasal dari planetnya.
Hicob hanya bisa tersenyum karena Mona sepertinya cukup mengerti dengan apa yang harus ia lakukan.
Hicob peka, jika gadis berambut pendek yang saat ini tengah sibuk berkutat dengan laptop dan laporannya tak mau banyak membantah ucapannya.
"Apa rumah yang akan kita datangi letaknya sangat jauh?" tanya Hicob pada Mona.
"Tak terlalu jauh, cukup melintasi kota saja," sahut Mona menjelaskan pesertanya dari Hicob.
Mulut Hicob hanya bisa menganga mendengar jawaban dari mulut Mona.
"Itu jauh, bukan dekat, jarak dekat itu dari sini ke kantorku, bukan melintas kota," protes Hicob yang tak habis pikir dengan jalan pikiran Mona.
"Oh, begitu ya?"
Respon Dewa benar-benar membuat isi kepala Hicob ingin sekali meladak karena gadis yang saat ini sibuk dengan pekerjaannya begitu cuek dan dingin saat ia bekerja, tak bekerja pun dia memang sudah cueknya minta ampun.
"Kenapa pacarnya yang berada di dalam foto itu betah dengan gadis cuek bebek seperti dia? apa pria itu tak kejang-kejang setiap saat, jika sikap Mona cueknya minta di rukiyah seperti ini," celoteh Hicob dalam hatinya.
Hicob memilih duduk di sofa ruangan Mona, ia tak ingin banyak bertanya pada gadis tersebut karena jawabannya pasti ingin membuatnya jungkir balik dari saking cueknya.