1. Pertemuan Dengan Dave

1617 Kata
"Wow ..." Itulah kata pertama yang meluncur dari mulutku ketika melihat ruang pribadi Dave. Seumur hidupku aku nggak pernah bermimpi bisa melihat ini semua. Mataku terus menjelajahi setiap sudut ruangan. Seolah tak ingin berhenti kagum akan apa yang terpampang di hadapanku kini. Kulihat Dave tersenyum ketika menatapku yang tak berhenti menatap penuh kekaguman akan apa yang dimiliki pemuda itu. Yah, meski usianya lebih tua dariku, tapi tetap saja Dave juga pemuda karena belum menikah. Hehe .... "Aku bener-bener speechless, Dave." Beneran, deh nggak tahu mesti ngomong apa. Ruangan Dave ini bisa dikatakan berkali-kali lebih besar dari rumah orang tuaku. Dan yang lebih membuat amazing adalah .... Dave memiliki beberapa robot berukuran lebih besar dari manusia. Entah robot itu hanya pajangan atau bisa bergerak. "Ka-kamu yang buat ini semua ...?" Tahukah bahwa saat ini mataku berkaca-kaca. Bukan karena mau nangis, tapi karena bener-bener bahagia bisa ngelihat benda kayak gini langsung. Mataku masih belum mempercayai apa yang baru saja dilihatnya. Berkali-kali aku mengucek kedua mataku ini, siapa tahu yang kulihat hanyalah fatamorgana saja. Belum kelar rasa terpanaku akan apa yang ada di hadapanku, "Woahhh ...." Aku tiba-tiba dikagetkan dengan tangan robot itu yang bisa bergerak. "Apa itu barusan?!" Aku benar-benar kaget hingga nyaris berteriak. Siapa tahu yang menggerakkan adalah jin yang ada di situ. Aku bergidik ngeri jika beneran setan yang menggerakkan. "Tenang aja, Jun. Jangan takut! Lihat ini." Seperti tahu jalan pikiranku, segera Dave menunjukkan sesuatu yang menepis rasa ketakutanku barusan. "Apa ini?" Aku melihat ke arah robot itu. Benar-benar tidak masuk logikaku selama ini, robot itu mengikuti pergerakan Dave. Saat tangannya terangkat, begitu pula tangan robot itu. Aku kembali mengucek kedua bola mataku, siapa tahu itu hanyalah sebuah ilusi. Nyatanya, itu benar-benar kenyataan. Saat aku kembali membolakan kedua mataku, robot itu masih saja bergerak. "Ini nyata, Jun!" Dave kembali meyakinkanku bahwa apa yang kulihat ini benar-benar terjadi. Meski sedikit takut kucoba memegang salah satu robot itu. Aku bisa memegangnya, berarti ini nyata. Belum puas hanya memegang satu robot, aku pun beralih pada robot-robot lain yang ada di dalam ruangan itu. Bertemu dengan Dave merupakan suatu anugerah tersendiri buatku. Aku bisa melihat sesuatu yang belum pernah kuliha sebelumnya. "Apa sudah ada yang melihat ini sebelum aku?" Jujur aku penasaran dengan hal itu. Apakah Dave pernah mengajak orang lain selain aku? Tapi kenapa tidak ada yang heboh masalah ini. Bukankah ini hal besar yang bisa menggemparkan seluruh dunia? Dave menggeleng pelan, wajahnya berubah sendu. Dengan melihat itu aku tahu jawabannya apa. "Tidak ada yang mau berteman denganku selain kamu, Jun." Kini dia menunduk. Aku mengernyitkan dahi, kenapa tidak ada yang mau berteman dengannya? "Kenapa? Aku asyik-asyik saja berteman denganmu." Aku memang mengenalnya lewat sebuah grup online, tapi mengenalnya benar-benar bisa membuatku merasakan punya teman. Aku sendiri merupakan orang yang dikucilkan di sekolahan. Karena aku tidak dari kalangan mereka. Aku hanya siswa biasa dari keluarga miskin yang kebetulan bisa bersekolah di sana.. "Orang lain beda, Jun. Baru kamu yang benar-benar mau berteman denganku. Saat tahu kalau aku cacat, teman-teman yang semula asyik, tiba-tiba menghindar. Mungkin mereka tak mau direpotkan oleh orang cacat sepertiku ...," lirihnya. Aku bingung bagaimana cara menghiburnya. Aku sendiri termasuk juga yang butuh dihibur. Kudekati Dave, lalu kutepuk-tepuk bahunya. Aku sengaja menengadah, agar cairan bening ini tak menetes keluar. Aku sangat tahu bagaimana perasaan Dave saat ini. "Udahlah, Bro. Kamu nggak usah sedih. Mulai hari ini aku bakal jadi sahabat buat kamu." "Thank's, ya, Jun." Kami saling berpandangan. Bagiamanapun memiliki seorang teman tidak ada ruginya. Apalagi teman seperti Dave. Meski mungkin dia tidak sempurna setidaknya dia memiliki sesuatu yang bisa dia banggakan. "Oh, iya, Dave. Aku masih penasaran, bagaimana cara kamu menggerakkan robot itu?" Bagaimanapun itu pertama kali kulihat. Dan aku sangat penasaran dengan itu. "Dengan pikiran." Aku mengernyitkan dahiku. Dengan pikiran? Apa ada hal seperti itu? Memang Dave memiliki kemampuan telekinesis? "Bisa dibilang seperti yang kamu pikirkan." Apa sekarang dia juga memiliki kemampuan membaca pikiran? Aku masih tak mengatakan sepatah kata pun. "Ha ... ha ... ha .... Inginnya sih bisa baca pikiran juga, tapi aku tidak bisa." Lha, ini bisa. Ada yang berbeda dengan Dave. "Aku masih tidak mengerti, Dave. Kamu bisa menggerakkan sesuatu?" Dave mengangguk mantap. "Tapi hanya yang terbuat dengan logam. Selain itu tidak bisa." Dia tampak sangat antusias menceritakannya. Sepertinya dia sudah melupakan kesedihannya tadi. "Nanggung amat, sih," celetukku. Iya 'kan nanggung. Kenapa cuma yang berbahan logam? Dave hanya mengedikkan bahunya, " Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa mencobanya." "Mencoba?" Maksudnya menggerakkan robot itu? "Setiap aku fokus pada salah satu dari robot-robot itu, pikiranku seakan bersatu dengan mereka. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa." Aku melakukan yang diperintahkannya. Kufokuskan pikiranku pada salah satu dari mereka. Mataku memicing menatap mata salah satu robot itu, berharap pikiran kami menyatu. Dan ...! Ternyata aku bukan dia. Robot itu tidak bergerak sama sekali. "Kamu mau ngerjain aku, Dave?" Tentu saja aku tidak akan bisa melakukannya. "Ha ... ha ... ha ...." Hanya tawa yang kudengar setelahnya. Dasar Dave ternyata bisa bercanda juga. Sebulan tepat kami saling mengenal dan hari ini kami baru berjumpa dalam kenyataan. Tak perlu seorang gadis untuk membuat hati menjadi melow, bertemu dengan teman yang sepemikiran bagiku sama saja. Berkat Dave aku bisa melihat benda-benda ini dengan mata kepalaku sendiri. Sejak.awal kenal dengannya, entah kenapa obrolan kami begitu nyambung, hingga akhirnya kami janji bertemu. "Oh, iya, Jun. Aku beberapa hari ini menemukan sesuatu yang aneh." Aku memicingkan mataku. Meski secara resmi ini pertemuan pertama kali, tapi kami sudah lebih dulu dekat di dunia maya. Dan itu menjadikan pertemuan pertama kami kali ini sudah terasa akrab. Dave sering bercerita tentang obsesi dan fantasinya selama ini. Bahkan beberapa mimpi aneh yang sering menghantuinya. Mimpi tentang dunia yang sangat berbeda dengan dunia ini. "Aneh? Tentang apa?" Tentu saja aku sangat penasaran dengan apa yang ditemukannya. Meski melihat isi ruangannya saat ini adalah hal yang benar-benar aneh bagiku. Apakah ada yang lebih aneh lagi? "Sini!" Dia segera menekan tombol di kursi rodanya yang dengan otomatis mengantarkannya pada tempat tujuannya. Dengan perasaan gugup, aku mengikuti di belakangnya. Entah kenapa aku merasa bahwa ini akan berpengaruh besar dalam kehidupanku. Kulihat Dave membuka sebuah liontin dan menekan sesuatu di dalamnya. Aku melongo, tak bisa kupercaya. Di antara dua tiang, muncul sebuah pusaran yang semakin lama semakin membesar. "Apa ini, Dave?" Sungguh baru pertama kali aku melihat hal seperti ini di kehidupan nyata. Kalau di film-film sih sering. Jika dalam adegan sebuah film, ini adalah portal waktu, atau portal antar dimensi. Tapi, aku tak yakin ini apa. Dave hanya menggeleng, "Entahlah ...," lirihnya. Aku menaikkan sebelah alisku, bahkan Deve sendiri pun tak tahu. "Ta-tapi, bagaimana ini bisa ada?" Jiwa halu-ku akan pahlawan super tiba-tiba muncul lagi. Bisa saja apa yang jadi bayangan kami berdua bisa jadi sebuah kenyataan. "Beberapa waktu lalu lingkaran ini masih kecil, hanya sebesar bola voly, tapi ...." Aku semakin penasaran dengan apa yang akan dikatakannya, "sejak tadi pagi bisa sebesar ini." Lingkaran di hadapanku ini berdiameter sekitar satu setengah meter, satu rentangan tanganku. Lingkaran itu begitu tenang, tak seperti saat kulihat di film, yang memporak-porandakan benda-benda kecil di sekitarnya. Jiwa ingin tahuku sebenarnya ingin memasukinya, rasa takut juga menghampiriku. Takut jika tidak seperti yang dibayangkan. Atau jangan-jangan ini pintu masuk ke mulut dinosaurus. Bisa langsung dihap kayak nyamuk. "Liontin itu ...?" Tadi sempat kulihat Dave menekan sesuatu di dalam liontin itu, yang kuyakin ini semua ada hubungannya dengan semua keanehan ini. "Ini ... sebenarnya ...." Dave mulai menceritakan tentang benda yang sudah dia miliki semenjak dia kecil. Dan benda itu selalu dia bawa, tidak pernah ditinggalkannya. Kata orang tuanya, 'ini adalah takdirmu'. Namun, sampai saat ini takdir apa yang dimaksud, Dave belum sepenuhnya mengerti. Mungkin memang takdir Dave yang sebenarnya ada di balik pusaran itu. Tapi, dia terlalu takut untuk menyeberang  karena keterbatasan fisiknya. Sebuah liontin berbentuk bulat dengan sebuah simbol di atasnya. Simbol itu, sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi, di mana? Cincin! Aku ingat, aku juga punya yang seperti itu. Aku mencarinya ke dalam tasku. Seingatku, aku juga selalu membawanya. Pesan Babe Sabeni, jangan pernah ditinggal di mana pun. Dan selalu bawa kemana pun. Aku selalu memegang teguh pesannya. Kukeluarkan cincin itu dan kucoba cocokkan dengan liontin milik Dave. Kami saling berpandangan, sepertinya cincinku sebuah kunci untuk membuka semua tabir misteri ini. Di bagian belakang liontin itu, ada sebuah cekungan yang bentuknya sangat pas dengan cincin kepunyaanku. "Apa ini ada hubungannya, Dave?" Sungguh, tubuhku bergetar saat itu. Apa maksud semua ini? Kenapa di pertemuan pertama kami harus berhadapan dengan teka-teki seperti ini. "Entahlah, Jun." Dave menggeleng pasrah. Apakah ini saatnya kami mencari tahu tentang apa yang ada di balik pusaran itu? "Apa yang akan terjadi jika kita menyatukan keduanya?" tanyaku penasaran. Lagi-lagi Dave hanya menggeleng. "Apa takdir kita saling terhubung?" Aku masih menatap cincin di tanganku dan liontin di tangan Dave bergantian. "Bagiamana jika kita mencobanya?" Saran yang terdengar gila memang. Aku sendiri tidak yakin tentang apa yang ada di balik sana. Kulirik Dave masih bergeming. Tidak menanggapi ucapanku. "Dave!" "Dave!" "DAVE!" Setelah tiga kali panggilan akhirnya dia menoleh ke arahku. Dia menggeleng pasrah menatap ke kakinya. Sepertinya aku tahu kekhawatirannya. Aku sendiri mungkin juga akan berpikir seribu kali untuk memasukinya, dengan kondisi fisik yang seperti itu. "Baiklah ... aku ingin tahu, takdir apa yang kumiliki," katanya mantap. Pria seperti Dave, maaf ini tidak bermaksud mendiskreditkan penderita difabel, memiliki keyakinan yang kuat. Kini malah aku yang merasa tidak benar-benar ingin melakukannya. Jika aku tidak kembali bagaimana dengan Babe Sabeni dan Emak Zubaedah. "Juna, kamu takut? Siapa tahu ini takdir kita berdua. Nanti kalau dirasanya di sana tidak aman, kita bisa kembali." Dave berusaha meyakinkanku. Benar juga, aku memiliki benda ini pasti juga ada artinya. Ada asal muasalnya. "Baiklah, Dave. Sekiranya berbahaya, kita mesti balik." Jiwa mudaku akhirnya memutuskan untuk mengetahui lebih jauh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN