Di atas pelaminan dengan nuansa putih bertabur aneka bunga ini aku berdiri dengan senyum yang sedikit terpaksa. Mengingat statusku kini yang sudah berubah menjadi seorang istri, senyumku lantas sirna ketika pikiranku nyalang ke angkasa. Beberapa hari menuju pernikahan, aku masih bisa tersenyum lebar, sedikit malu-malu mendengar ucapan selamat dari kerabat dekat sampai tiba pada menjelang akad nikah. Namun, seusai kata sah kudengar dari kedua saksi membuat senyumku perlahan memudar, apalagi ketika proses berganti pakaian resepsi. Seorang teman menggodaku tentang malam nanti yang akan kulalui bersama suamiku.
Aku melirik ke arah Erwin, lelaki dengan tubuh kecokelatan itu tersenyum lebar menyalami para tamu yang bergantian menaiki pelaminan kami. Terlihat wajahnya sangat bahagia di hari pernikahan ini. Masa-masa sulit telah kami lalui bersama sejak empat tahun berpacaran dan kini kebahagiaan melingkupi kami sebagai pengantin baru. Aku mengembuskan napas pelan, sedari tadi berdiri dengan sepatu heels tujuh sentimeter membuat kakiku terasa sakit dan pegal. Para undangan yang tidak sedikit membuat kami hanya duduk sebentar ketika senggang.
“Kamu baik-baik saja, Sayang?” tanya Erwin yang ternyata mendengar embusan napasku.
Aku tersenyum tipis sambil menatap wajahnya. “Kakiku pegal, Mas,” jawabku dengan bola mata yang menunjuk ke arah bawah.
“Ya sudah, ayo kita duduk dulu, para tamu belum berdatangan lagi. Istirahat sebentar ya,” ucapnya sambil menuntunku duduk di kursi pengantin. Senyumnya tidak pernah sirna dari pandanganku.
Erwin, lelaki yang terpaut dua tahun lebih muda dariku itu adalah lelaki yang tampan. Kulitnya yang eksotis, badan tinggi tegap dengan tubuh proporsional, wajah yang bersih tanpa rambut halus di sekitar mulut dan dagunya adalah lelaki yang berhasil mencuri hatiku. Sejak pertama kali aku bertemu dengannya, lelaki itu telah membuatku terpesona dan pada akhirnya aku mendapatkan cintanya. Aku sangat bersyukur bahwa dia adalah cinta pertama dan terakhir dalam hidupku.
Cinta pertamaku bukanlah seorang ayah, sebab ketika aku dilahirkan ke dunia ini, ibuku telah berpisah dengan ayah. Aku tidak tahu apa alasan mereka berpisah sampai aku dewasa pun ayah kandungku tidak pernah menemuiku. Namun, di hari pernikahanku, lelaki yang menjadi ayahku itu hadir menyaksikan putrinya menikah dengan seorang pria baik. Entah bagaimana bisa ayah kandungku tahu jika aku akan menikah. Hari ini pun menjadi saksi pertemuan pertamaku dengannya.
Wajah yang sudah berkeriput termakan usia itu sedang menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa kupahami. Sejak aku menyalaminya ketika akad, dia tidak mengucapkan sepatah kata apapun kepadaku, hanya menatapku aneh. Aku menghela napas kecewa. Seharusnya lelaki tua itu memelukku dan mengucapkan selamat kepadaku setelah sekian lama tidak bersama. Ah, sudahlah, aku tidak mau memikirkan ayah kandungku yang belum tentu memikirkanku juga.
Resepsi pernikahan selesai pukul dua siang, para undangan pun tinggal beberapa orang saja yang berdatangan. Di kampungku, acara pernikahan memang cepat selesai. Hanya satu hari saja untuk penerimaan tamu, namun pada hari sebelum akad pun biasanya ada warga kampung yang datang lebih dulu untuk menyumbang.
Pernikahanku dilaksanakan dengan biasa saja, tidak ada hiburan apapun karena aku dan Erwin memang ingin pernikahan yang biasa saja mengikuti tabungan yang kami miliki. Para tamu undangan pun hanya warga kampung serta beberapa kerabat, teman, serta kenalan keluarga besar kami saja. Lagi pula setelah pernikahan, kami justru akan membutuhkan banyak biaya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kami oleh karena itu kami mengadakan pesta pernikahan yang sederhana.
Kini aku dan Erwin sudah berganti pakaian dengan pakaian terbaik kami, kebaya sarimbit sederhana yang kubeli di sebuah toko sebelum melangsungkan pernikahan. Pelaminan kami pun sudah mulai dibongkar oleh pemilik rias pengantin. Aku duduk berdampingan bersama suamiku di area prasmanan untuk makan siang bersama. Kami makan dengan lahap sebab pagi tadi hanya sarapan sedikit saja. Aku memang tidak terbiasa sarapan pagi, apalagi jika harus makan pukul lima pagi sambil diberikan riasan wajah. Sungguh tidak menyenangkan!
Kediaman keluargaku perlahan mulai sepi, para tetangga yang ikut membantu dalam pernikahan ini satu per satu mulai pulang ke rumah masing-masing, menyisakan beberapa orang saja yang sedang berkutat di dapur dan mencuci semua peralatan masak. Aku menggiring Erwin masuk ke dalam kamar. Membersihkan wajahku dari riasan yang tebal sebelum memutuskan mandi sore.
Suamiku pun terlihat merebahkan tubuhnya di atas ranjang ketika aku duduk menghadap cermin sibuk dengan kegiatanku sendiri. Lamat aku mendengar ucapannya yang menatap langit-langit kamar.
“Kalau menikah akan selelah ini, lebih baik melangsungkan akad saja,” ucapnya sambil mengembuskan napas lelah.
Aku meliriknya dari cermin sebelum menimpali perkataannya. “Kamu tahu sendiri kalau keluarga kita tidak mau hanya akad saja. Jadi, mau tidak mau kita mengadakan resepsi juga dan berujung badan pegal semua.”
Erwin bergerak, dia memiringkan tubuhnya menghadapku yang sedang duduk di depan meja rias. Matanya menatap setiap gerakanku, membuatku tidak nyaman jika diperhatikan demikian. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, hanya bola mata yang sesekali bergerak-gerak.
“Aku mau mandi dulu ya, badanku sudah kotor banget. Seharian ini berkeringat, kipas anginnya pun serasa tidak berfungsi sama sekali.”
Lelaki itu beranjak bangun, dia duduk di pinggiran ranjang sambil melepas kemejanya dan menanggalkannya di atas ranjang. Dengan santainya dia berjalan keluar kamar hanya dengan mengenakan celana panjang berwarna hitam dan mengalungkan handuk di lehernya.
Aku melongo dibuatnya. Tidak habis pikir bahwa lelaki itu tidak malu berjalan seperti itu dengan mengumbar tubuhnya di rumah keluarganya yang ada banyak orang. Aku tidak bisa membayangkan jika kedua saudara perempuan serta ibuku melihatnya demikian. Tetapi tidak apa, melihatnya demikian aku yakin bahwa Erwin telah nyaman berada dalam keluargaku.
Selang beberapa menit kemudian, lelaki itu sudah selesai mandi. Aku terperanjat kaget melihat Erwin masuk ke dalam kamar hanya berbalutkan handuk yang melilit pinggangnya. Aku hampir saja berteriak melihat pemandangan menakjubkan di depanku ini.
Badan Erwin sangatlah bagus dan proporsional, perut yang rata serta bahu yang berotot. d**a bidang telanjangnya tampak nyaman sebagai tempat bersandar. Aku segera menggelengkan kepalaku cepat, menghentikan pemikiran aneh yang terlintas di sana. Seketika aku jadi bergidik ngeri membayangkan malam pertama kami yang membuatku semakin takut berada di dekatnya.
Aku tidak mau melihatnya kecewa di malam pertama kami. Dan aku juga tidak ingin kehilangan dirinya.
“Kamu kenapa?” tanyanya yang melihatku berdiam diri di tempat. “Kamu melamun, eh?” Erwin berjalan mendekat, sebelah alisnya terangkat, bibirnya menyunggingkan senyum menggoda. “Jangan kaget melihatku begini, ini bahkan belum telanjang sempurna, Sayang. Kamu mau memelukku?”
“Tidak!” sergahku cepat. Wajahku memanas dibuatnya. “Awas, aku mau ke kamar mandi!”
“Baiklah, Sayang. Kutunggu kamu di sini, jangan lupa dicukur ya,” ucapnya sambil mengerling nakal.
Aku tidak memedulikannya dan berjalan cepat keluar kamar. Badanku terasa panas sekali dibuatnya.
***
Pukul tujuh, kami sekeluarga makan malam bersama. Ini adalah kali pertama Erwin duduk bersama di meja makan sebagai seorang menantu di rumah keluargaku. Sebelumnya lelaki itu pernah ikut makan malam bersama ketika meminta izin kepada ibu dan ayah tiriku bahwa dia ingin menikahiku. Wajahku kembali memanas, semburat merah muncul di kedua pipiku. Jika mengingat masa sebelum menikah, ada banyak kejadian yang membuat hatiku menghangat dan tersipu malu seperti ini.
Aku duduk berdampingan bersama Erwin, berhadapan dengan ibu serta kedua saudaraku, sedangkan ayah tiriku duduk di sisi kami. Hari ini adalah hari bahagia keluarga kami dan sebagai penyambutan kedatangan Erwin di rumah kami. Oleh sebab itu, Ibu pun telah menghidangkan beraneka menu masakan serta hidangan penutup yang menggugah selera.
Aku mengambilkan nasi, sayur, dan lauk pauk untuk suamiku, meletakkannya di hadapannya agar segera menyantapnya. Aku senang jika Erwin makan dengan lahap dan tidak merasa sungkan.
“Makanlah yang banyak, Win, agar punya banyak stamina malam ini,” goda Ayah tiriku membuatku terbatuk mendengarnya.
Aku segera meraih segelas air dan meneguknya perlahan. Kulihat Erwin mengiyakan perkataan Ayah dengan senyum senang di wajahnya.
“Kamu kenapa sampai tersedak begitu, Rin? Hal seperti ini wajar untukmu dan Erwin. Toh, kalian sudah sah untuk melakukannya,” ujar Ibu kemudian.
Aku hanya mengiyakan. Masih terlalu dini untukku mendengarkan percakapan mengenai hubungan suami-istri. Lantas aku segera menghabiskan makan malamku agar bisa membersihkannya dan beristirahat.
Aku masuk ke dalam kamar setelah selesai mencuci piring bersama ibu. Ayah dan Erwin sempat berbincang sebentar setelah makan namun segera masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Kedua saudara perempuanku pun telah masuk ke dalam kamarnya setelah selesai makan. Begitu aku membuka pintu kamar, kulihat suamiku tengah duduk bersandar di atas ranjang sambil bermain gawai. Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya, melirik kegiatan yang sedang dilakukan oleh Erwin.
“Sudah selesai?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari gawainya.
Aku mengangguk lalu merebahkan diri perlahan dan menarik selimut menutupi tubuh sebatas d**a.
“Kamu mau tidur sekarang?” tanyanya lagi.
Gawainya sudah diletakkan pada nakas di sampingnya. Pandangan kami beradu, kedua matanya menatapku dengan lembut. Dia membelai wajahku pelan, mengusap pipiku dengan sayang. Sampai kurasakan bibirnya mendarat di keningku, mengecupnya sekilas. Pandangan kami tidak lepas sedikitpun, kini bibir itu turun mengecup bibirku sekilas dengan lembut.
Aku tidak menolaknya meski itu adalah ciuman pertamaku dengannya. Erwin kembali menciumku, kali ini dengan ritme yang sedikit menggebu. Mengecap seluruh isi mulutku hingga kami kehabisan napas. Aku terengah dibuatnya, tanganku pun telah bergelayut manja di lehernya.
Erwin terlihat menungguku, namun ketika aku tidak bereaksi apapun, lelaki itu lantas kembali mencium bibir serta leherku bergantian. Tubuhku menegang merasakan getaran baru yang menjalar di seluruh tubuhku. Ada rasa geli dan menyenangkan ketika Erwin menyesap leherku, memberi banyak kecupan serta gigitan kecil di sana.
Terbuai dalam permainannya, satu desahan kecil lolos dari bibirku kala Erwin menyesap leherku kuat hingga meninggalkan bekas kemerahan dan rasa sedikit perih di sana. Lelaki itu menatapku dengan mata yang sudah memerah. Gairahnya sudah memuncak dan ingin segera tersalurkan. Namun, aku melepaskan lenganku dari lehernya, mendorong tubuhnya pelan menjauh dariku.
Erwin mengernyit melihat perubahan sikapku yang berbeda. Dia menatapku penuh tanya. “Kenapa?”
“Aku lelah, Mas, malam ini aku ingin beristirahat.”
“Bagaimana bisa? Kamu menikmatinya, Sayang.” Dia protes mendengar alasanku. Tanpa menunggu jawaban dariku, Erwin segera mengecap seluruh wajah dan leherku kembali. Membuatku mendesah dibuatnya.
Tangannya tidak diam, dia meraba seluruh tubuhku, d**a, paha, serta selangkanganku. Membuatku bergerak resah di bawah tindihannya dan merasakan gelenyar aneh yang nikmat. Jemarinya dengan lihai melepas kancing piyama tidurku dengan cepat, membuat tubuh bagaian atasku terekspos.
Aku segera menutup kedua payudaraku dengan telapak tangan. Namun, Erwin sudah melihat kedua buah dadaku yang tidak terbungkus bra. Dia menyingkirkan tanganku dari sana dan berganti menelungkup dadaku dengan tangannya. Wajahnya semakin memerah dan tatapannya tidak lepas dari kedua dadaku. Dia menekannya perlahan, menelusuri setiap inci bentuk dadaku dengan telunjuknya, menekan p****g kecokelatan milikku yang sudah menegang.
Aku mendesah hebat kala payudaraku dimasukkannya ke dalam mulutnya yang panas. Dia menyesap dan menyusu seperti bayi hang kehausan. Aku hanya bisa pasrah dibuatnya. Kuremas rambutnya yang hitam dan lebat sambil meloloskan desahan yang membuatnya semakin b*******h.
“Aku menginginkanmu, Sayang. Izinkan aku untuk menyentuhmu, ya?” ucapnya memohon. Raut wajahnya berubah memelas. Tangannya masih meremas payudaraku pelan.
Aku menggeleng menahan kenikmatan yang ia lakukan. Aku tidak bisa melakukannya.
Erwin lantas melepaskan tangannya dari dadaku. Dia beranjak bangun dengan wajah yang kecewa. Dia menarik selimut untuk menutupi tubuhku sebelum keluar kamar.
“Mas, kamu mau ke mana?”
.
.
.
.
To be continued.