"Adina Zahra?" Tanya perempuan bergaun pink selutut yang menghampiriku yang sedang duduk di kelas bareng Yuna. Wajahnya familiar, tapi aku gak kenal.
"Iya, Mbak. Ada apa ya?" Tumben sih, ada yang nyari aku.
"Ini, aku dapet pesen dari Pak Setyo. Kata beliau suruh nemuin di kantor dosen." Pak Setyo, beliau kan yang ngurus beasiswa. Apa ada masalah? Pak Setyo ini dekan di Fakultas Pendidikan, beliau juga yang bertanggung jawab atas beasiswa di Fakultas Pendidikan.
Yah, ini beasiswa lokal dari pemilik kampus. Dan aku menjadi salah satu mahasiswa yang beruntung mendapatkannya dari lima puluh mahasiswa yang terpilih setiap angkatannya.
"Iya, Mbak. Makasih ya, infonya."
"Yaps, aku duluan ya." Mbak-mbak tadi berlalu dari hadapanku dan Yuna. Tapi ucapannya masih terngiang di kepala.
"Kamu ada masalah, Din?" Selidik Yuna yang duduk di sebelah kanan ku.
Aku menggeleng, "kayaknya gak sih. Seingetku aku gak pernah aneh-aneh." Aku berpikir keras, mungkin saja aku melakukan pelanggaran hingga berpengaruh pada beasiswaku. Bagaimanapun, mahasiswa penerima beasiswa adalah mahasiswa yang terpilih. Jadi, sebisa mungkin menghindari kesalahan yang berakibat fatal pada beasiswanya. Dengar-dengar sih, kalau di panggil langsung oleh ketuanya, pasti ada hal serius. Dan kebanyakan bukan hal yang baik untuk kelangsungan beasiswa.
Pikiranku buyar, bercabang ke mana-mana. UAS hari ke empat ini tampak lebih susah dari tiga hari kemarin. Kenapa? Ya karena ucapan orang gila kemarin siang. Bisa-bisanya, minta tanggung jawab berupa pernikahan.
"Tapi kok aneh, sih? Pak Setyo kan udah di akhir keputusan, kamu di panggil sama Bu Indah kan belum." Yuna tidak bisa menyembunyikan raut penasarannya. Dia nampak berpikir keras, mungkin sedang mengingat apa kesalahanku. Karena selama di kampus aku dan Yuna gak bisa lepas. Jadi kami tahu masing-masing dari kami. Sekedar informasi, Bu Indah ini seksi wira-wiri. Beliau yang mengurus segala jenis berkas tentang beasiswa, dan juga bertugas menegur mahasiswa yang bandel (mahasiswa beasiswa, ya).
Aku mengangkat bahu lesu, "entahlah. Aku ke Pak Setyo dulu ya, biar cepet kelar." Pamitku pada Yuna yang dibalas anggukan, lebih cepat lebih baik lah.
"Assalamualaikum," salamku di depan pintu masuk kantor dosen, aku tadi dari ruang Pak Setyo beliau tidak ada.
"Wa'alaikumussalam, masuk Nak." Jawab dosen perempuan yang aku tahu beliau adalah dosen Fakultas Pendidikan Ekonomi.
"Iya, Bu. Saya mau ketemu sama Pak Setyo." Ujarku sesopan mungkin.
"Ooo, iya. Tadi katanya suruh ke ruang konseling, Pak Setyo nunggu di sana." Kata beliau dengan ramah.
"Iya, Bu. Terima kasih, assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Aku berbalik menuju ruang konseling yang berada pada bagian paling ujung gedung khusus dosen dan atasannya ini. Sambil memikirkan apa sebab Pak Setyo manggil aku.
Tok. Tok.
"Assalamualaikum," salamku di depan pintu bertuliskan Ruang Konseling ini. Ruangan ini milik Bu Raika, dosen konseling khusus untuk mahasiswa berkonsultasi. Kenapa Pak Setyo di sini?
"Wa'alaikumussalam, masuk." Samar aku dengar Pak Setyo menyuruhku masuk. Perlahan aku membuka pintu bercat coklat ini.
Di sana, duduk Pak Setyo–pria yang sudah memasuki usia lima puluh tahun, dengan raut wajah yang–em cemas? Entahlah, apa ini menyangkut di panggilnya aku kemari?
"Duduk, Din."
"Terima kasih, Pak." Aku duduk dengan tegang di depan Pak Setyo. Aku gugup dan takut, pikiran-pikiran buruk pun berselancar bebas di otakku yang masih buntu. Helaan napas berat Pak Setyo menjadi latar belakang kekacauan pikiranku.
"Sebelumnya saya ingin tanya sama kamu, tolong jawab dengan jujur." Pinta Pak Setyo dengan raut serius.
Apa? Pasti kalau aku tidak salah aku akan menjawab dengan jujur. Aku hanya mengguk.
"Hah, sebenarnya apa hubungan kamu dengan Pak Samuel Adidaya?" Nada Pak Setyo berubah menjadi menyelidik.
Aku mengernyitkan dahi bingung, Samuel Adidaya? Siapa itu? Aku baru sekali ini mendnegar namanya.
"Tidak ada, Pak. Bahkan saya baru sekali ini mendengar nama itu."
"Kamu benar tidak kenal dan tidak memiliki hubungan dengannya?" Kali ini Pak Setyo menambahi nada menyelidiknya dengan tatapan tajam. Baru sekali ini aku lihat Pak Setyo dengan raut wajah yang begitu dingin. Ada apa, sih? Samuel itu juga apa hubungannya dengan ku?
"Benar, Pak. Saya bahkan tidak memiliki teman atau kerabat bernama Samuel." Jelasku lagi, bagaimana bisa aku punya hubungan dengan seseorang yang tidak aku kenal. Apalagi hubungan jenis apa ini yang dimaksud?
"Hah, entah kamu pura-pura tidak memiliki hubungan atau memang tidak memiliki hubungan dengannya. Tapi, beliau minta ke saya untuk mencabut beasiswa yang kamu dapat." Jelasnya kini memandangku dengan raut bersalah dan menyesal.
Aku tidak dapat berpikir jernih, jantungku seperti dipaksa berhenti. Apa maksud Pak Setyo? Aku rasa aku tidak pernah tahu tentang Samuel. Dan apa hak Samuel dengan memutus beasiswanya?.
Allah, kalau beasiswanya dicabut apa yang harus aku lakukan. Aku tidak ingin mengecewakan Bunda, apalagi masalah apa yang sudah aku perbuat. Aku tidak ingin membebani Bunda dengan biaya kuliahku yang lumayan, gaji Bunda sebagai guru beliau tabungkan untuk berangkat haji.
"Ma-maksud Bapak, bagaimana ya? A-apa saya punya salah?" Tanyaku pilu, beasiswa ini aku dapatkan penuh perjuangan.
Pak Setyo mengurut keningnya pelan, "kamu mahasiswi rajin Dina. Bahkan selama kamu kuliah di sini, tidak ada dosen yang mengeluh tentang kamu juga nilai kamu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan."
"Lalu kenapa, Pak?" Aku gusar, penjelasan Pak Setyo tidak bisa kumengerti. Aku bingung.
"Itu masalahnya, dari yang saya lihat. Kamu sepertinya memang tidak kenal apalagi memiliki hubungan dengan Pak Samuel. Tapi kemarin tiba-tiba saja beliau menelpon saya untuk mencabut beasiswa kamu. Apa kamu benar-benar tidak kenal?"
Apa-apaan ini? Bentar, "Pak Samuel itu, seperti apa Pak?"
Pak Setyo mengangkat alisnya pertanda bingung, "em–maksud saya wajahnya."
Pak Setyo mengambil hpnya di saku, membuka aplikasi dan mencari-cari sesuatu. Hingga, "ini. Beliau adalah pemilik kampus ini."
Astaghfirullah! "I-itu Pak Sa-samuel Pak?" Tanyaku gugup dan penuh harap, semoga bukan.
"Iya. Beliau ini anak pemilik kampus ini. Tapi, tiga tahun lalu beliau menggantikan Ayahnya. Apa kamu ingat sesuatu?" Mungkin Pak Setyo menyadari perubahan raut wajahku.
Aku mengguk ragu, "sa-saya pernah menabraknya Minggu lalu."
"Maksud kamu?"
"Ya, saya tidak sengaja menyerempet Pak Samuel di jalan. Tapi saya sudah bertanggung jawab," buru-buru aku menjelaskan sebelum Pak Setyo salah paham.
"Astaga, Dina. Apakah kamu sudah minta maaf dengan benar? Saya rasa beliau ingin kamu datang dan meminta maaf, dan mungkin beliau akan menarik kembali perintahnya."
Datang? Minta maaf?
"Ta–"
"Jangan keras kepala, Dina. Ini demi kelangsungan kuliah kamu di sini, mungkin saja sekarang hanya beasiswa kamu yang dicabut. Tidak tahu hari berikutnya, kamu bisa saja di keluarkan tanpa alasan jelas. Apalagi Pak Samuel adalah pengusaha sukses, dia bisa melakukan apa saja."
Allah, pening kepalaku?
"Em, iya Pak. Nanti saya coba," sudahlah aku akan bertemu dengannya. Mungkin ini memang jalan satu-satunya.
"Baiklah, semoga berhasil. Maafkan Bapak, tidak bisa berbuat lebih," sesal Pak Setyo.
Aku tersenyum, ini bukan salah Pak Setyo. Beliau sangat berjasa dalam beasiswaku, beliau juga sudah berusaha mempertahankan beasiswa ku. Jadi, sekarang akulah yang akan berjuang. "Tidak apa, Pak. Terima kasih sudah membantu saya. Kalau begitu saya permisi, assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam, semoga berhasil."
"Terima kasih, Pak."
To: Devil
Maaf, bisa kita bertemu? Ada hal penting yang ingin saya bicarakan.
Ting!
From: Devil
Sore ini, 15.00!
Restoran Eilf
Balasan apa itu? Irit dan pelit! Basa-basi sedikit saja tidak ada. Pasti dia sudah menebak bahwa aku akan menemuinya lagi, apa ini juga bagian dari rencananya? Mengingat dia pemilik kampus yang menjadi tempatku menimba ilmu. Entahlah, yang harus ku lakukan sekarang adalah merefresh otak. Semangkok bakso ekstra pedas mungkin cocok. Oke, aku akan mengajak Yuna ke kantin.
To: Devil
Oke
Argh! Kenapa harus dia?!
***
Seperti de Javu aku berada di ruangan yang sama, dengan kursi yang sama pula dan tentu akan bertemu dengan orang yang sama pula. Padahal baru dua hari yang lalu aku di sini, hanya keadaan yang membedakan. Jika waktu itu aku sangat takut, sekarang aku lebih berani. Yah, meskipun rasa takut itu masih tertinggal. Apalagi orang yang akan aku hadapi adalah orang kaya, yang bisa melakukan apa saja dengan uangnya!
Hah, mintanya jam tiga. Lah ini sudah jam setengah empat, mana sudah masuk waktu ashar. Apa aku sholat dulu aja, ya?
"Mau kemana, kamu?"
Baru saja aku mengangkat sebagian pantatku dari kursi, suara berat dari arah belakang mengejutkanku.
"Eh? Saya mau sholat, dulu."
"Duduk! Selesaikan dulu!" Huuu, udah telat! Songong lagi!
Aku pun duduk kembali dengan wajah kesal dan dia tidak menunjukkan ekspresi sedikit pun. Seperti kemarin, pelayan wanita datang dengan gayanya yang centil. Dia biasa saja, digenitin seperti itu, laki-laki memang!
Aku memperhatikan jalanan padat dari jendela kaca tepat di sisi kiriku. Hiruk-pikuk kendaraan berusaha mengurai kemacetan, ini pemandangan biasa di kotaku. Oh iya, aku lupa sesuatu. Ruang privat ini terletak di lantai dua, dimana ada tiga lantai di restoran ini.
Makanan sampai, dengan menu berbeda. Daging sapi yang–entah di apakan. Aku tidak tahu namanya. Yang ku tahu selama ini daging sapi dijadikan rendang dan bakso, hemm nikmat, hihi.
Tapi aku masih kenyang, "aku tidak lapar." Laporku.
Ia pun menatapku tajam, "makan! Itu bergizi untuk tubuhmu yang kurus dan pendek!"
Aku ternganga seketika, apa tadi? Aku tidak salah dengarkan? Kurus dan pendek? Selama ini tidak ada yang sefrontal itu mengomentari tubuhku. Dan dia? Argh! Baiklah, aku mengaku. Berat badanku hanya 38 kilo, mentok-mentok 40 kilo. Apa itu termasuk jajaran kurus? Sedangkan tinggiku, tidak lebih dari satu setengah meter. Lebih tepatnya hanya 148 cm, tidak bertambah seiring waktu berjalan. Apa itu pendek?
Aku cemberut, kesal. "Saya tidak seburuk itu." Sungutku.
Dan hanya di balas sebuah deheman saja. "Makan! Atau saya tinggal dan kamu yang bayar!"
Ancaman! Mana kuat aku bayar tagihan makanan yang dia pesan. Lebih baik makan saja, itung-itung perbaikan gizi, seperti yang dia bilang. Untuk beberapa menit, tidak ada yang bersuara. Hanya sesekali terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring.
Ah, aku sampek lupa kalau aku ngajak dia ketemu mau marah. Ini yang ada aku dibikin enak dan kenyang, lenyap sudah keberanian ku untuk marah.
"Jadi, kamu berubah pikiran?"
Aku menekuk alis heran, "maksud anda?"
"Menikah, apa kamu setuju. Dan menemui saya," sombong sekali nada suaranya. Aku mau marah lagi!
"Tidak. Saya kesini untuk mengkonfirmasi masalah beasiswa saya di kampus. Jadi, apa maksud anda melakukan itu semua? Bukankah saya sudah bertanggung jawab dengan yang saya perbuat. Jadi, apa lagi?" Panjang lebar aku ocehkan dengan geram yang berubun-ubun.
"Tidak!" Satu kata yang keluar, dan datar. Lagi apa maksudnya?