Bab. 2 - Asisten Baru

1889 Kata
Ada permulaan pasti akan ada banyak kejadian Entah menyenangkan atau menyebalkan Perjalanan hidup selalu punya arahnya sendiri...  ***  Suara gedoran pintu terdengar keras di kamar Nadia. "Bangun, Nad! Kamu tidur apa pingsan sih!" Teriakan suara Sekar mendengung nyaring di telinga Nadia. Seperti biasa, gadis berbibir s*****l itu pura-pura tak mendengar. Justru dengan sengaja menaikkan selimut, hingga menutup seluruh tubuh dan wajahnya. Badannya menggeliat pelan, mengeratkan pelukan pada boneka Winie The Pooh kuning kesayangannya. Wajar saja Nadia dililit kantuk begitu berat. Semalaman ia terjaga, asik menyelesaikan tontonan drama Korea di laptop. Di tambah, ini adalah akhir pekan. Rencananya sangat sederhana untuk menghabiskan liburan satu hari penuh. Ya, dia hanya ingin tidur sampai lelahnya hilang. Sayangnya, rencana mungkin tinggal rencana. Mendengar kicauan temannya, pasti ada sesuatu yang genting. Sekar tidak pernah mengganggu, apalagi tega membangunkan aktifitas lelap sang sahabat sebelumnya. Kecuali memang sangat amat diperlukan. "Nadia! Bangun cepetan! Emergency nih!" pekiknya lagi. Tak ada sahutan sama sekali. Mau tak mau ia pun menerobos paksa tanpa menunggu temannya membukakan pintu. Untungnya keteledoran Nadia susah sirna, selalu sering lupa mengunci pintu. "Astaghfirullah... Nad! Ini udah jam berapa?! Masih kemulan aja kamu!" keluhnya sembari menyingkap selimut tebal Nadia. Gadis berkulit eksotis alias sawo matang itu mendengkus kesal. Ia menggeleng tak percaya. Temannya bergeming, sedikit menggeliat. Susah payah mengangkat badan yang masih terasa pegal. "Apaan sih, Kar?! Berisik banget kayak emak-emak bangunin anaknya mau sekolah! Aku lagi nggak pengen jalan-jalan. Kan udah kubilang, hari ini jadwalku full  time buat sleaping beauty. Oke?"  Nadia menguap masih bersandar bantal. "Hadeh, kamu begadangin Lee Minho mulu sih! Kakek nungguin di ruang makan tahu! Kamu  nggak mau kan, kita ngabisin weekend dengan ceramahan panjang? Kalau masih sayang sama kupingmu itu, mending buruan bangun!" gerutu Sekar berkacak pinggang. Kalimatnya bagai genderang perang bagi Nadia. Lihat saja polah gadis itu, ekspresinya tegang bercampur frustrasi. Tanpa menimpali cecaran Sekar, akhirnya Nadia terpaksa  bangun menuju kamar mandi. Ia hanya sempat membasuh muka dan menyikat gigi. Bahkan rambut acak-acakannya pun hanya ia gulung ke atas tanpa disisir. Gadis itu berlarian menyusul Sekar yang sudah lebih dulu menghampiri sang kakek. Ia tak ingin membuat pria berumur enam puluh tujuh tahun itu kesal. Dampaknya bisa jadi omelan sepanjang sungai Nil.  Entah sejauh mana ujungnya. Bukan tanpa sebab, Nadia memang tukang pembuat masalah. Dalam sebulan, ia bisa dapat teguran sebanyak empat kali dari kampus. Bila bukan karena bolos entah ke mana, ya pasti karena pertikaian dengan teman. Kebanyakan korbannya adalah pria. Ia senang meninju atau memelintir tangan lawan jenisnya sampai memohon ampun. Itu dikarenakan, gadis cantik ini tak suka melihat ada pria berusaha merayu atau menggodanya. Hobinya mencampuri urusan orang lain. Urusan perselisihan antara kaum hawa dan kaum adam. Ia benci para pria menyebut seorang gadis lemah. Ia juga benci ketika mereka melukai para gadis. Jiwa keadilan dalam dirinya pasti akan meronta-ronta pinta dipuaskan. Salah satu tokoh panutannya adalah R.A Kartini. Katanya emansipasi wanita itu penting. Lelaki tidak bisa sesukanya menginjak dan mengintimidasi perempuan. Suasana ruang makan cukup hening. Nadia duduk setelah menarik kursinya. Diraihnya sepotong roti panggang dan melumasinya dengan selai cokelat kacang. Ia melirik Sekar sekilas. Temannya duduk di sebelah dengan wajah penuh kewaspadaan. Apapun maknanya, ia tak acuh saja. Perutnya tengah menjerit kelaparan sekarang. Nadia harus menyiapkan energi, sebelum kakek memulai ritual panjang. Apalagi kalau bukan omelan beruntun. Tidak kalah bising dari suara buldoser menyala. Jaka baru saja menyelesaikan panggilan telepon. Langkahnya tetap terlihat berwibawa meski ditopang tongkat kayu  berukiran naga pada pegangannya. Dua orang mengikutinnya dari belakang. Pria tegap berwajah androgini dengan setelan jas rapi. Satu lagi tampak nyentrik walau hanya memakai celana jeans dipadu kemeja biru navi. Lengannya sengaja dilingkis sampai siku. Ditelitinya sosok seorang pria yang agak asing di ingatannya. Ia sudah kenal betul dengan Nando, asisten pribadi kakek. Namun, seorang lagi ia baru melihatnya hari ini. Napsu makan Nadia lenyap begitu mendapati wajah datar tanpa senyum dari Hariyadi. Perasaannya semakin tidak enak. Ia meletakkan kembali roti ke piring. Sebentar meneguk air putih sebisa mungkin. Minimal tenggorokannya harus dijauhkan dari kekeringan. "Selamat pagi, Kek?" sapa Sekar tersenyum ramah. Nadia berdecak, mencibir polah sok manis temannya. Seorang pelayan menarik kursi untuk Hariyadi, kemudian mempersilakannya duduk. "Apa kamu tahu, kenapa Kakek memanggilmu?" ucap Hariyadi menatap keras wajah panik cucunya. Nadia hanya menggeleng singkat. "Mulai hari ini dan seterusnya, Akbar akan menjagamu dan mengawasimu." Singkat, padat, dan kurang jelas terdengar. Kalimat kakeknya menggantung di benak Nadia. Bahkan sampai pria berkumis lebat itu memperkenalkan Akbar, menjelaskan sedikit banyak tentang latar belakang sang pria. Nadia tetap tak mengerti. "Kamu paham, Nadia?" Hanya kediaman menyekat lidah Nadia. Sekar menyenggol lengannya dengan siku, mengisyaratkan agar temannya bangun dari lamunan. Mimik terkesiap terpancar jelas, dengan ragu Nadia cuma bisa terbengong. Baiklah, ia sebenarnya tak memahami maksud ucapan sang kakek. "Mulai hari ini kalian akan dilatih dan didampingi oleh Akbar. Selagi menunggu wisuda, kalian belajar lah dari dia." "Belajar apa, Kek?" tanya Sekar to the point. "Bisnis, kedisiplinan, dan tanggung jawab." "Kakek bercanda kan? Dilatih? Didampingi? Belajar bisnis? Yang benar aja, kami bukan anak kecil lagi! Aku nggak mau. Cita-cita jadi polwan kok disuruh bisnis sih!" protes Nadia. Lihat saja bibirnya yang membentuk kerucut. Ia bersungut dan mendengkus sebal. Tak suka diikuti, tak suka diatur, dan tak suka dipaksa. Jiwanya terdidik secara otodidak untuk membangkang dan bertindak sesuka hati. Akbar menahan senyum menyaksikan tindak tanduk gadis itu. Kali ini firasatnya mungkin benar. Ada yang spesial dalam diri Nadia. "Kali ini kamu harus nurut." "Pokoknya nggak!" Terlahir yatim piatu, membuat Nadia cukup kurang arahan. Hariyadi selalu sibuk dengan pekerjaan di bidang ekspedisi se Kalimantan Timur. Kadang ia harus bolak-balik Samarinda-Balikpapan-Berau-Bulungan, untuk mengecek tiap cabang di masing-masing kota. Jarang bisa berada di rumah, sekadar mengawasi cucu sematawayangnya. Bukan ia tak mau. Tapi siapa lagi yang bisa ia percaya untuk mengurus perusahaan HH Express Cargo atau terkenal dengan sebutan HHEC di daerahnya. Putra tunggal Hariyadi sudah lama tiada. Sedangkan, menantunya meninggal sesaat setelah melahirkan Nadia. Satu-satunya harapan meneruskan bisnis keluarga adalah cucunya. Sekarang usia Hariyadi sudah tidak bisa dibilang muda lagi. Kesehatannya juga mulai melemah. Mau tak mau, ia harus membimbing Nadia agar lebih patuh. Sudah terlalu banyak huru-hara yang ditimbulkan gadis itu sampai dirinya kehabisan emosi. Sebentar lagi Nadia diwisuda. Itu artinya ia harus bersiap dengan segala seluk beluk bisnis keluarga. Tak akan lagi ada waktu bersuka ria jalan-jalan ke luar pulau, atau sekedar berbelanja tas bermerek di pusat perbelanjaan. Ia harus rela melepaskan kebebasannya berkelana menembus cakrawala serta batas dunia. Demi mendalami mata pencaharian keluarga yang lama dirintis. "Aku menolak dengan tegas! Aku bisa menjaga diriku sendiri! Kakek nggak usah  mencemaskan karirku. Aku kan udah bilang, selesai kuliah hukum mau langsung daftar polwan."  Nadia masih bersikukuh. "Ini bukan pertanyaan, tapi perintah." "Kakek kenapa sih kok jadi posesif gini?!" kesalnya. "Tidak ada alasan apapun. Kamu tetap akan diawasi dan dimentori oleh Akbar. Sekali lagi kamu membuat masalah, Kakek akan mengurungmu di rumah selamanya!" Ancaman Hariyadi bukan sekadar gertakan biasa. Nadia tahu pasti bagaimana watak kakeknya yang tanpa ampun itu. Sebelumnya ia hanya akan bicara panjang mengomeli cucunya. Tapi kali ini, rupa-rupanya perasaan maklumnya sudah di ambang batas. Pria itu beranjak dari ruang makan. Sekilas ia melirik sosok Akbar sambil melempar senyum mencurigakan. Seakan dua mata kelam itu tengah mengatakan, tolong jaga cucuku dengan baik. Sebentar matanya berkedip mengerling, mengisyaratkan supaya Akbar tabah menjalani cobaan. Anggap saja demikian. ===== Setumpuk majalah terlempar ke lantai marmer. Agaknya, amarah Nadia kembali menyerang dirinya. Ia meneguk segelas air dingin sampai tak bersisa. Menghempaskan diri ke sofa empuk. Sekar menonton sembari menyandar pintu. "Aku rasa keputusan kakek ada baiknya kok, Nad. Kita harus ambil sisi positifnya juga lah." "Sisi positif? Menurutmu ini ide bagus? Astaghfirullah ... di kampus aku udah kesal jadi bahan perhatian. Sekarang baru aja lulus, aku harus diperlakukan kayak gini. Apa kamu pikir si mentor nggak jelas itu bakal membiarkan kita senang-senang?" gerutu Nadia dengan bibir yang sebentar-sebentar cemberut. "Kamu berlebihan, Nad. Mungkin kamu lupa tentang kejadian beberapa bulan lalu. Tapi, kakek pasti masih sangat khawatir. Bagaimanapun juga, kamu satu-satunya harapan beliau." "Ya. Aku berharap nggak lahir di keluarga ini!" Nadia memaki. Satu tangannya meremas-remas bantal persegi di pangkuannya. Sekar beranjak dari tempatnya bertengger, ikut duduk di samping temannya. "Seharusnya kamu bersyukur tahu. Kamu nggak tahu rasanya nggak punya keluarga satu pun. Juga nggak punya tempat tinggal pasti. Ada kakek yang kamu punya." Ucapan Sekar membungkam bibir seksi Nadia. Ada penyesalan di mata gadis berkaus putih mendengar penuturan karibnya. Sejenak ia mungkin lupa. Bahwa Sekar adalah salah satu contoh nyata dari uraiannya barusan. Orang tua Sekar adalah rekan bisnis sekaligus teman baik mendiang ayah Nadia. Keduanya mengalami kecelakaan di salah satu area konstruksi yang sedang dibangun. Terjadi kebakaran dan banyak korban tak selamat, termasuk orang tua Sekar. Rumah mereka juga terpaksa disita, karena cicilan yang belum lunas. Semenjak saat itu, Hariyadi membawa Sekar ke rumah. Selain rasa kasihan, ia berharap Nadia tak kesepian di rumah besarnya tanpa teman dan saudara. "Maaf, Kar... " "Ngapain minta maaf segala. Kamu mungkin terlalu kesal, jadi bicaramu melantur." "Ya. Begitulah. Aku bosan banget dengan semua ini. Kenapa rasanya banyak  kehilangan yang aku alami ya? Ibu, ayah dan nenek udah nggak ada. Kakek juga jarang banget ada waktu buatku. Untung ada kamu, Kar. Setidaknya, aku nggak terlalu merasa sendirian." "Aduh Nad, wajah sedih kayak gitu kurang cocok buatmu," sindir Sekar berusaha menghibur Nadia. Suara ketukan pintu  menghentikan obrolan mereka. Akbar masuk setelah mengucapkan permisi. Pakaiannya sudah berganti lebih kasual. Kaus putih berlogo Adidas, dan celana olahraga hitam bergaris putih merah. Sepatu kets putih berpadu serasi menutup kakinya. "Ada apa?" Nadia memicing tak suka. "Lima menit lagi kita mulai jadwal latihan." "Latihan apa maksudmu? Yang benar aja? Ini hari minggu!" Nadia tak terima. Ia masa bodoh dan bertopang dagu. Hanya senyum simpul mengembang di wajah mempesona Akbar. Ada sesuatu menggelitik dadanya. Wajah judes Nadia justru tampak menggoda dan mengagumkan. Rasanya tugas rahasianya di Samarinda akan semakin menarik baginya. "Kita mau olahraga ya, Mas?" tanya Sekar. "Mas? Apa kalian udah sedekat itu? Sampai kamu memanggilnya Mas? Kepalamu habis kejedot apa, Kar?" cibir Nadia heran. Ia merasa terkejut dengan sapaan Sekar pada Akbar yang baru ditemui pagi ini. Pikirannya curiga dan yakin ada sesuatu yang telah ia lewatkan. Sedangkan Sekar hanya mengangkat bahu tak peduli. Ia berdiri  hendak ke kamar mengganti pakaian. "Silakan bersiap-siap, Nona besar." "Ih geli banget dengernya! Panggil nama aja! Kalau nggak mau dipecat ya!" "Baik, saya anggap itu sebagai bagian dari pekerjaan, Nona Nadia. Ehm ... maksud saya ... Nadia..." Nadia berdecak sinis. Geram sekali melihat sikap sok sopan pria tinggi itu. Banyak orang sampai berpikir kalau dirinya tak suka pria, gara-gara sikap juteknya pada kaum adam. Padahal dirinya hanya berusaha menjaga hati dari yang namanya luka atau sejenisnya. Pernah dicampakkan tanpa kabar mengajarkannya lebih keras menghadapi hidup. Teurutama untuk masalah asmara. "Ngapain sih harus olahraga segala?! Mendingan tidur. Aku masih ngantuk berat tahu!" "Jadi, kamu nggak mau?" "Iya males." "Oke. Artinya, besok kamu nggak akan melihat dunia luar lagi. Permisi." Akbar melenggang santai meninggalkan kamar. Sementara Nadia terlonjak mengingat ancaman kakeknya. Ia mengacak rambut dan buru-buru bersiap-siap. Kalah telak. "Nyebelin banget sih! Mukanya ngeselin! Sok nggak maksa tapi maksa juga! Belum pernah ngerasain bogem Nadia Sitha Hutama itu orang!" umpatnya mengepal tangan ke udara. Ia melempar piama tidurnya sembarangan. Hanya menyisakan pakaian dalam membungkus tubuh mulusnya. Seseorang menangkap baju yang melayang dengan sigap. Gadis itu menoleh. Matanya membola dengan kilatan emosi. "Kamu!" pekiknya. Kemudian langsung melompat cepat ke dalam selimut di atas tempat tidur. Oh tidak, batinnya mengumpat tiada henti. Berani sekali asisten barunya menonton dirinya buka baju. Pria itu hanya tersenyum sambil geleng kepala.  ==♡ LoveGuard ♡==
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN