Part 4

1960 Kata
Brrooom broomm "Kenapa mobil ini jalannya lama sekali?!" Agri terlihat kesal. Sret Broom broom "Ahmpph!" Jihan yang duduk bersama dengan ayah mertuanya itu menutup mulut agar tidak muntah, Agri menyuruh supir untuk melajukan mobil yang dia naiki. "Ya ampun! Ya ampun!" Jihan menutup mata karena takut. Ketika Jihan melihat ke arah luar, terlihat beberapa mobil yang juga melajukan mobilnya, mata Jihan bertemu dengan salah seorang yang mengemudi mobil. "Mas Farel!" Broom broom Namun Farel tidak memperhatikan mobil lain, dia hanya memperhatikan jalan. Setengah menit kemudian belasan mobil mewah berjejeran masuk di sebuah gerbang perumahan mewah. Bip BIP Banyak mobil yang tak sabar mengantri. Ketika mobil yang di naiki oleh Agri memasuki gerbang rumahnya, tanpa bantuan dari para bodyguard, Agri keluar tergesa-gesa dari dalam mobil menuju ke sebuah gerobak yang terparkir di depan pintu rumahnya. Wush Tak Tak Tak Sret Hap "Lia!" Suara Agri bergetar ketika dia mengucapkan nama istrinya. Agri memeluk tubuh Lia yang duduk di dalam gerobak itu. "Oh suamiku...kau disini akhirnya...aku mencarimu..." ujar Lia. Tes Tes Tes Air mata Agri menetes tak karuan. Dia sangat lega sang istri kembali. Sret Tak Tak "Nenek!" "Nenek sudah ada." Cucu-cucu Agri dan Lia turun dari mobil dan mendekat ke arah Lia. Mereka melihat sang nenek duduk di dalam gerobak lalu dipeluk oleh kakek mereka. Sementara itu terlihat seorang perempuan muda yang berdiri sambil memegang gagang gerobak agar stabil. °°° "Oh temanku...terima kasih...telah mengantarku pulang..." Lia tersenyum riang ke arah Atika. "..." Atika syok. Ya, dia syok. Nenek yang dia temukan di bak sampah tadi siang adalah nyonya besar Nabhan. Atika tidak tahu harus mengatakan apa lagi ke keluarga Lia yang sedang memandanginya. "Suamiku..." panggil Lia. "Aku disini Lia..." sahut Agri yang sedang memeluk Lia. Agri menolak melepaskan istrinya, dia tidak ingin Lia duduk dekat dengan siapapun kecuali dirinya. "Ini temanku...dia sangat baik...dia memberiku makan dan minum..." ujar Lia. Agri mengangguk. "Ya, dia sangat baik." Balas Agri menyenangkan hati istrinya. "Ah...dia meminjamkan aku baju barunya...lihat ini..." ujar Lia girang sambil menunjuk baju bekas yang dia pakai. Piw Wajah Atika terlihat kikuk. Baju yang dia pakaian ke Lia itu bukan baju baru tapi baju bekas. Atika menelan ludah bersalah. "Ya, baju ini baru," ujar Agri menyenangkan istrinya. Glung glung Lia yang berada di pelukan Agri mengangguk. "Suamiku..." "Aku disini Lia," "Aku juga sudah mandi air hangat...temanku sungguh baik...dia memandikanku dan memijit punggungku..." ujar Lia. Agri mengangguk. "Ya, sungguh baik." Karena semua anggota keluarga Lia memandangi wajah Atika dengan keinginan tahu mereka, Atika jadi kikuk, dia mengambil cangkir teh yang disediakan untuknya, niatnya ingin membasahi tenggorokannya yang kering, siapa tahu dengan basahnya tenggorokan, dia mampu berbicara ke anggota keluarga Lia. "Oh...temanku ini dia kuat...ada polisi bermain petasan di jalan dan temanku lari menarik gerobak nya cepat...hahahahaha polisi dan orang itu saling melemparkan petasan ke arah kita." "Bruuskk! Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Atika terbatuk-batuk hebat ketika mendengar ucapan Lia yang senang. "Uh...temanku...hati-hati jika minum..." ujar Lia prihatin. "Hehehehe...iya nek." Atika terkekeh sambil melap mulutnya dengan punggung tangan. Agri dan yang lainnya dapat melihat telapak tangan Atika yang memerah, bukan cuma memerah, tapi telapak tangan itu telah melepuh ada air di dalam kulit telapak tangannya. Jihan dan Gea saling melirik, begitu juga Cici Cila dengan suaminya. "Oh...kau sangat kuat..." ujar Lia. "Suamiku..." "Aku disini..." "Aku menaiki mobil terbuka...ah...aku bisa melihat jelas orang-orang yang berjalan..." ujar Lia girang. "Ya, itu bagus sayang." Balas Agri menyenangkan istrinya. "Ah...temanku yang menjadi supirnya..." ujar Lia lagi. "Ya, ada supir," balas Agri. Piw "Itu gerobak nenek," batin Gaishan berteriak protes. Sret Semua mata memandang iba ke Atika. Yang dinaiki oleh nenek mereka itu adalah gerobak yang ditarik oleh gadis di depan mereka ini. "Suamiku..." "Aku disini Lia..." "Aku melihat gedung-gedung yang indah..." "Ya, apakah banyak yang indah?" "Ya, banyak...ah...ada gedung yang ada pohon di atasnya...pohonnya bagus...ada bunga juga...bunga besar yang aku lihat, mirip sekali dengan bunga yang ada di gerbang rumah kita...ah...iya...gerbang rumah kita..." "..." Ruang itu sunyi. Keluarga Nabhan saling memandang. Yang di lihat oleh Lia adalah lambang keluarga Nabhan yang terpasang di atas gedung. Bunga Gardenia. "Aku melambaikan tangan ke gedung itu...hahahaha..." ujar Lia terkekeh riang. "Ya, kau melambaikan tangan," Agri menyahut saja ucapan sang istri. Sret Mata tajam Agri melihat ke arah putra-putranya satu persatu. Busran memijit keningnya. Farel dan yang lainnya pung sama. Mereka seperti cacing kepanasan mencari keberadaan dari sang nenek, tapi rupanya sang nenek lewat di pinggir gedung utama Nabhan dengan gerobak. Sret Agri melirik ke arah anak-anaknya. "Dasar buta." Kalimat dingin yang didengar oleh para anak Nabhan. Farel dan kedua saudaranya menggigil ketakutan. Bukan cuma mereka saja yang ketakutan, tapi anak-anak mereka juga. "Suamiku..." "Aku disini Lia." "Aku melupakan sesuatu...tapi aku tidak ingat apa itu..." ujar Lia sambil mengingat sesuatu. "Tidak apa-apa jika tidak ingat, jangan dipaksakan," ucap Agri. Glung glung "Ya...kau benar suamiku...jangan dipaksakan..." Lia manggut-manggut. "Oh ya ampun...aku melupakan segala...bagaimana ini..." ujar Lia sedih. "Tidak apa-apa Lia, asalkan jangan melupakan aku," ujar Agri. "Ya kau benar suamiku...jangan melupakanmu..." "Suamiku...beruntungnya aku memilikimu..." "Aku yang beruntung memiliki kamu Lia..." Cup Agri mengecup kening istrinya. "Uhuk!" Atika terbatuk lagi. Dia menyaksikan secara langsung adegan cinta dari pasangan tua itu. "Hehehe...maaf nona Atika, kakek saya memang sangat mencintai nenek saya, meskipun sekarang nenek saya telah pikun dan lupa-lupa ingat," ujar Nibras mencairkan suasana. Glung glung Atika manggut-manggut mengerti. "Ya...bisa saya lihat...suami nenek sangat mencintai nenek, sungguh beruntung nenek mendapatkan suami seperti kakek anda," ujar Atika. Nibras mengangguk. "Ah, ini sudah jam sembilan malam, aku ingin pamit pulang dulu, bapak-bapak dan ibu-ibu." Ujar Atika ingin pamit pulang. Farel mengangguk. "Baik, nanti ada pengawal dan supir yang akan mengantarkan anda, nona Atika," ujar Farel. "Oh tidak perlu pak, saya kebetulan bawa gerobak, jadi sekalian narik gerobak pulang saja, tidak perlu diantar, nanti jadi ribet." Ujar Atika menolak. "Tidak, saya menolak, kamu harus diantarkan oleh pengawal dan supir, nanti gerobak kamu akan kami antara bersamaan tetapi dengan mobil truk saja," ujar Farel. "Ah, baiklah kalau begitu pak, terima kasih karena telah merepotkan." Ujar Atika tidak enak hati. "Tidak merepotkan sama sekali, justru sebaliknya, saya yang sudah merepotkan mu membawa ibu kami ke sini dengan menarik gerobak itu." Ujar Farel tulus. Busran dan yang lainnya mengangguk membenarkan. "Ya, kami yang sudah merepotkan mu, nona Atika." Ujar Busran. "Tidak pak, itu memang kebetulan saja saya ketemu dengan nenek Lia yang sedang tidur di bak sampah tadi siang, saya tidak tahu kalau itu ibu anda, yah...seperti tadi yang saya jelaskan kalau saya ingin ke kantor polisi, tapi situasi dan kondisi tidak mendukung...tetapi akhirnya Allah membuka jalan pulang bagi nenek Lia. Saya senang nenek Lia bisa berkumpul lagi dengan keluarga beliau," ujar Atika. Farel dan yang lainnya mengangguk mengerti. "Pesan saya, jaga baik-baik nenek Lia, nenek Lia sangat imut, jangan sampai hilang atau tersesat lagi nenek Lia, cukup kali ini saja, saya harap kedepannya nenek Lia dijauhkan dari segala macam bahaya," sambung Atika. "Terima kasih nona Atika." Sret Jihan memeluk Atika setelah mengucapkan rasa terima kasihnya. Atika menganggukkan kepalanya. "Sama-sama, ibu." Balas Atika. Gea tersenyum dan Cici Cila, mereka mengusap punggung Atika sambil mengucapkan rasa terima kasih mereka. Sret "Ada obat untuk anti melepuh, obat ini sangat baik dalam penyembuhan, oleskan saja salep ini, akan terasa dingin dan nyaman, satu atau dua hari kulit yang melepuh akan kering." Ujar Cici Cila "Baik, Bu. Terima kasih." Atika mengangguk. "Saya permisi, assalamualaikum." Pamit Atika. "Ya, waalaikumsalam." Balas yang lain. "Oh temanku..." terdengar suara Lia memanggil Atika. Sret Atika yang tadi berjalan berhenti, dia berbalik ke arah sang nenek yang dia temui di bak sampah tadi siang. "Ya, nenek?" sahut Atika. "Datanglah kesini besok dan bermain bersamaku...aku tidak punya teman..." ujar Lia dengan tatapan penuh harap. Atika yang mendengar ucapan dari Lia itu memandangi Agri dan anak-anak Lia. Atika tidak bisa seenaknya mengatakan 'ya', sebab ini bukan rumahnya. Agri memandang serius ke arah Atika, dia mengingat apa saja yang telah istrinya ceritakan. Agri sangat berterima kasih pada Atika, sebab Atika tidak tega hati meninggalkan sang istri ketika ada baku tembak di kantor polisi tadi. Bisa Agri lihat bahwa Atika ini hanya penolong yang menolong saja, tidak ingin mendapatkan sesuatu, bisa terlihat ketika di wajah Atika. Gadis yang membawa pulang istrinya itu bahkan tidak mengatakan bayaran atau upah apapun. Dia memperlakukan sang istri dengan tulus. Orang seperti ini yang Agri hargai. Yaitu, orang yang menghargai sang istri. Glung glung Agri mengangguk. "Datanglah ke sini agar bermain bersama istriku Lia." Ujar Agri. "Um...em..." Atika terlihat kikuk. "Bagaimana yah...saya...saya harus pergi memulung botol bekas pagi sampai sore, jadi waktunya tidak sempat bertemu dengan nenek Lia..." ujar Atika dengan nada bersalah. "Uh...apakah kau tidak mau berteman  denganku lagi?" ujar Lia sedih. "Ah! Tidak seperti itu nenek, Atika ingin berteman dengan nenek, ah! Begini saja, setiap sore setelah saya selesai pulang memungut botol bekas saya akan ke sini untuk bermain bersama dengan nenek, bagaimana?" ujar Atika. "Uh??" Lia memandangi ke arah suaminya. "Suamiku..." "Aku disini Lia..." "Apakah boleh dia datang kesini?" "Tentu saja boleh, Lia sayang." Jawab Agri lembut. Agri memandang ke arah Atika. "Kapanpun waktu luang anda, nona Atika, pintu gerbang dan rumah kami selalu terbuka untuk anda." Ujar Agri. "Baik, kakek." Atika mengangguk. "Ah...jangan lupakan mobil yang aku naiki tadi, sangat menyenangkan...hahahaha." Lia tertawa senang. "Ya, selalu saya bawa nek, hehehehe!" Atika ikut tertawa. °°° Kania yang sedang duduk di muka gang rumahnya melihat bingung ke arah sebuah mobil mewah yang berhenti di pinggir gang. Di belakang mobil mewah itu ada truk kecil, ada empat orang yang naik di atas truk itu. Sret Brak Terlihat adik perempuannya yang turun, salah seorang pria berpakaian hitam membukakan pintu mobil untuknya. Sret Kania beridri ketika melihat adik perempuannya. "Terima kasih pak sudah mau mengantarkan." Ujar Atika ke arah pengawal Nabhan. "Tidak masalah nona Atika." Balas pengawal itu profesional. Atika mengangguk. "Eh, gerobak saya sudah diangkut lagi kesini, terima kasih." Ujar Atika. "Tidak masalah nona Atika." Ujar pengawal itu. "Tidak masalah mulu dari tadi balasnya," batin Atika. "Hehehe," Atika terkekeh. Empat pengawal Nabhan menurunkan gerobaknya, lalu mendorong gerobak itu masuk ke dalam gang. "Dimana rumah anda nona Atika? Kami akan mendorong gerobak ini," tanya seorang pengawal. "Nggak usah pak, saya bisa sendiri." Ujar Atika tidak enak hati. "Tidak apa-apa, ini pesan dari tuan kami." Ujar pengawal itu. "Ah baiklah, mari ikut saya, kita masuk sedikit ke dalam gang." Atika berjalan masuk ke gang dan diikuti oleh beberapa bodyguard. °°° "Serius kamu? Nenek-nenek yang bau itu adalah nyonya besar Nabhan?!" Kania Sartika berteriak sambil melotot. "Ishh...jangan teriak. Aku nggak budek." Atika menjauhkan pendengarannya. "Ck! Terus kamu dikasih apa sama mereka? Uang? Perhiasan? Mana? Aku mau lihat!" Kania dengan semangat menengadahkan kedua tangannya. Sret Atika memberikan sebuah botol salep luka bakar ke dalam tangan Kania. "Apa ini?" Kania melihat ke arah salep itu. "Aku dikasih salep obat anti luka bakar." "Tuh buat kakak, kalau kakak mau, ambil aja." Ujar Atika sambil masuk ke dalam kamar lalu dia tidur. "Mereka nggak kasih mau apa-apa? Ini apa? Heh! Atika! Dasar bodoh kamu! Minta uang kek! Mobil kek! Atau rumah! Kamu t***l banget sih!" Kania berteriak marah dan jengkel ke arah adik perempuannya. "Ck! Berisik! Aku ngantuk." Balasan dari sang adik. "Ck! Bodoh kamu!" Tok Tok Tok "Dimana rumah nenek itu?" Kania bertanya sambil mengetok pintu kamar. "Buat apa?" tanya Atika. "Buat ke sana minta uang bayaran lah!" jawab Kania. "Nggak usah! Tidur sana!" balas Atika dari dalam kamar. "Heh Atika! Kalau kamu nggak mau minta, aku aja yang minta!" Kania berteriak dongkol. "Ngapain kakak mau minta uang di sana? Memangnya hubungannya apa sama kakak?" Atika yang berada di dalam kamar menjadi terusik juga. "Kamu kan nggak mau! Kakak yang akan gantikan kamu untuk minta uang bayaran!" jawab Kania. Sret Ceklek Atika bangun dari tempat tidur lalu membuka pintu kamarnya. "Kak, jangan serakah deh, mau mereka kasih atau nggak, itu terserah mereka, nggak usah minta macam-macam kalau nolongin orang, nggak baik tahu." Ujar Atika. "Halah, sok tahu kamu, kamu tahu apa? Minta sedikit dari mereka itu nggak apa, malahan wajah! Di Jakarta ini cari uang susah! Ini kesempatan buat dapet uang banyak, bilang aku, rumahnya dimana?" Kania ngotot ingin mengetahui alamat rumah utama Nabhan. Atika memutarkan bola matanya. "Aku mau tidur." Ceklek Klik Pintu kamar dikunci oleh Atika. "Heh Atika! Bilang dulu dimana rumahnya? Kamu budek ya?" Kania dongkol dengan sang adik. Atika tidak menghiraukan teriakan sang kakak, dia sudah terbiasa dengan teriakan kakaknya. Pendengarannya sudah kebal. "Ck! Dasar bodoh kamu! Kesempatan bagus dilewatkan!" "Heh! Cuma sekali aja kesempatan ini!" Kania masih tidak terima dengan adiknya. "Hiiihh! Coba aja tadi aku yang ngantar nenek itu ke kantor polisi, yang dapat uang sekarang kan aku." Ujar Kania menyesal dengan masa lalu. Dia tidak menyangka bahwa sang nenek gila dan bau itu adalah nyonya besar Nabhan. Ini kesempatan bagus untuk dia. Kania terlihat berpikir. "Ah masa bodoh, biar saja Atika tidak mau kasih tahu, aku ke kantor polisi saja, tanya dimana alamat rumah nenek itu." "Ah, bagus kan ideku." Kania tersenyum senang. "Minta apa yang bagus yah? Mobil? Motor? Ah kalau motor nggak level, mobil boleh tuh," Kania sedang berimajinasi dengan pikirannya sendiri. "Rumah bisa nggak yah?" "Ah! Pasti bisa! Nabhan kan kaya!" "Asik! Besok harus dapat uang!" Kania bersemangat. °°° °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN