maaf membuatmu menunggu. Maaf menyia-nyiakan waktumu. Maaf mengganggu hidupmu. Aku bukan lagi pilihanmu, jadi biarkan rasa ini menghilang seiring waktu. ~dzawin~
***
Dzawin Ramadhani Ardiansyah. Laki-laki 28 tahun. Seorang designer grafis di salah satu stasiun televisi ibukota. Pemuda aktif yang tak bisa berhenti bergerak. Malah bisa disebut belingsatan. Ceria dan selalu terlihat bahagia. Lahir dan dibesarkan dari keluarga betawi jawa. Empat bersaudara. Memiliki seorang saudara kembar, dan dua kakak laki-laki. Seorang cerdas yang kadang malah terlihat aneh karena pemikiran-pemikiran anehnya.
Tiga minggu ini, Dzawin kehilangan keceriaan dan keblingsatannya. Setelah kehilanga pujaan hatinya. Ia telah merencanakan banyak hal dengan Izzatul Muna, adik kelas yang telah lama menjadi kekasihnya. Semenjak dari pondok, Dzawin telah menaruh perasaan pada wanita mungil dengan senyum manis ini. Tak berani berbuat apa-apa. Hingga selepas pondok dan sudah sama-sama kuliah di universitas, Dzawin memberanikan diri untuk mengutarakan perasaannya. Sudah hampir 9 tahun mereka bersama. Merasa saling mengikat, namun tidak terikat. Begitu komitmen mereka. Dzawin tak berani melamar Izza dan menjadikannya istri, merasa belum cukup bekal untuk meminangnya. Namun semua bagai disapu gelombang tinggi. Hilang begitu saja.
Bahkan selama lebih dari tiga bulan, Dzawin merasa punya ikatan dengan wanita yang sesungguhnya telah menjadi istri lelaki lain. Lelaki yang bukan lain adalah sahabat baiknya. Lelaki sholih, lulusan Al Azhar. Cerdas berwibawa. Seorang hafidz quran.
Perasaan Dzawin makin kecut, manakala Izza mengirimkan surel pada Dzawin. Iya, surel, karena Dzawin mengabaikan semua panggilan Izza. Ia tahu tak akan sanggup mendengar penjelasan apapun yang datang dari Izza lewat mulutnya. Karena mendengar suaranya saja akan membuat Dzawin tertekan.
To: Dzawin
Assalamualaykum, abang. Segala bentuk ungkapan maaf aku sampaikan. Aku tak punya daya melawan, menolak apalagi menghindari pernikahan ini. Aku tidak lagi punya alasan untuk menolak. Abang Zaky pria baik, sholih dan memberanikan diri melamar dan memintaku menjadi istrinya.
Sudah banyak yang datang pada ayah untuk memintaku, namun selalu aku tolak. Karena kebetulan aku tahu apa yang ada dalam diri pria-pria tersebut memberikan alasan secara syar’I untuk menolaknya. Meski sebenarnya aku hanya ingin menunggumu siap melamarku. Sedangkan abang Zaky, menurutmu alasan apa yang dapat aku pilih untuk menolaknya? Sungguh abang tahu persis apa dan bagaimana abang Zaky sesungguhnya.
Lalu jika abang begitu marah karena aku tak mengatakannya langsung. Maaf abang, rasa sayang dan keegoisanku memberatkan langkahmu. Aku tak ingin kehilangan perlindunganmu. Aku masih egois ingin bersamamu hingga detik akhir.
Ini menyakitkan juga buatku, bang. Banyak dosa kutanggung. Mohon maafkan aku. Aku telah tak sanggup menunggu kesanggupanmu.
Semoga abang mendapat wanita lain yang dapat mendampingi abang hingga akhir hayat.
Salam terakhir dari aku, wanita yang telah melukaimu
Izzatul Muna
Dzawin merasa dunianya runtuh. Ia mengumpati kebodohannya sendiri. Betapa pengecutnya ia, hingga membuat wanita yang ia cintai harus menunggu selama itu sedang ia tak kunjung membulatkan tekat. Sekarang, didapati dirinya dalam kubangan duka dan penyesalan yang dalam. Ia tak tahu lagi harus memulainya dari mana.
Sesungguhnya Dzawin telah menyiapkan tabungan, mengisi pundi-pundinya hanya untuk membangun masa depan yang bahagia, pikirnya. Dzawin lupa bahwa bahagia itu bukanlah apa, tetapi siapa. Takaran bahagia bukan lagi ada pada materi, tapi pada pribadi. Dzawin lupa, bahwa wanitanya butuh kepastian dan kemantapan hatinya, bukan keraguan dan kebimbangan dunianya.
***
Seminggu setelah undangan itu diterimanya, Dzawin justru terpuruk dan terabring tak berdaya di rumah sakit. Dia mengalihkan segala dukanya dengan bekerja, bekerja, bekarja. 4 hari berdiam diri membuat Dzawin mengerti. Ini bukan mau Izza, ini kesalahannya.
Pernikahan sahabat karibnya itupun tak ia hadiri. Sakit, dan opname di rumah sakit. Begitu alasan yang Dzawin sampaikan pada sahabatnya. Entah apa yang ada di benak Dzawin. Ia merasa tak sanggup melanjutkan hidup. Hari ke-empat opname, Dzawin diizinkan pulang. Ia dijemput oleh bang Rizal, kakak tertuanya dan mbak Vera kakak iparnya. Di mobil, Dzawin masih memandang keluar tanpa arah. Kakak dan kakak iparnya hanya diam dan tak ingin ikut bicara, takut salah kata dan justru memperdalam luka batin sang adik.
Sesampainya di rumah, Dzawin mendapat pelukan hangat dari umi. Menuntun Dzawin menuju kamar, meski sebenarnya hanya terlihat seperti Dzawin yang menuntun ibunya. Dzawin memang jangkung, paling tinggi diantara tiga lelaki putra umi. Maka jadilah Dzawin yang menggandeng tangan umi, bukan umi yang menuntun Dzawin.
Di sini, didalam kamar dengan nuansa abu-abu ini, Dzawin duduk di tepi ranjang.
’’ mau gua ambilin air atu apa gitu, nggak?’’ seloroh Maira memecah sunyi. Dzawin diam tak menjawab. Maira menghela napas lalu duduk di tepi ranjang, tepat di depan Dzawin. Di posisi ini, hanya umi yang tahu, bahwa kedua kembar ini hanya akan saling bertukar perasaan lewat batin jika tak satupun dari orang-orang diruangan itu keluar. Maka umi meraih tangan bang Rizal dan istrinya untuk keluar.
Ceklek, suara pintu menutup pertanda telepati mereka berakhir.
’’ apa?’’ kata Dzawin sambil mamandang wajah saudarinya. Maira meraih tangan Dzawin. Dengan segera ia menggeser duduknya disamping Dzawin yang bersandar di sandaran tempat tidur. Sementara ia menyelipkan kepalanya dibawah ketiak Dzawin lalu meletakkan tangan kekar Dzawin di pundaknya.
“lo butuh dihibur apa di sembur” kata Maira sambil memainkan gelang-gelang yang melingkar ditangan Dzawin.
“…” Dzawin tersenyum kecut namun tak mengeluarkan jawaban apapun.
“Win, sakit ya?” kata Maira sambil menunjuk d**a Dzawin. Dzawin mengangguk. Memejamkan matanya lalu beristighfar dalam hati.
“inget, nggak?” Maira memandang wajah Dzawin yang masih mendongak sembari memejamkan mata.
“dulu gua pikir, aneh kenapa Roman milih aku, padahal aku pendek dan dekil kaya lu” Maira berhenti. Ia memperhatika reaksi Dzawin. Masih terpejam
“sampe akhirnya aku tahu, dia cuma mau deketin gua supaya lu bantuin dia masuk ke kantor lu dan malah ngegeser lu dari posisi main designer. Sakit tau Win waktu itu.” Maira mengecek lagi, sudah terbuka tapi masih memandang kosong. Maira kembali menyandarkan kepalanya ke d**a Dzawin.
“lalu gua inget waktu itu elu bilang apa, kita itu kaya, pigmen warna kita banyak, makanya kita item manis.” Dzawin sudah menyunggingkan senyum. Meski kecut
“kita juga kaya, karena suka menyedekahkan barang yang kita cintai” Maira melirik kembarannya itu. Disaat yang sama, Dzawin juga melakukannya.
“sudah melunak” pekik Maira dalam hati. Maira melapaskan tangan Dzawin dari pundaknya lalau duduk kembali menghadap Dzawin.
“tapi lu akhirnya bisa dapet karir di tv, gajinya lebih banyak dan lu jadi lebih bisa belajar banyak” Maira menghela napas. Dzawin pun masih menatap kembarannya itu dengan mata sayunya.
“nah gua, sekarang gua udah dapat bang Angga yang menerima segala kekurangan, eh kelebihan pigmen gue. Mana dia lebih ganteng, lebih sholih dan lebih kaya dari si Roman. Kan Alloh kasih gantin kan ya?” Maira menggenggam.
“lu masih percaya, kan? Bahwa Alloh udah nyiapain pengganti yang bisa menerima kekurangan kita? Alloh juga akan nyembuhin luka lu, menjadikan elu lebih bijak dan lebih ganteng” kalimat yang panjang berakhir dengan menekan kata ganteng sembari senyum menyeringai.
Dzawin tekekeh, meski masih perih di ulu hatinya, namun ia tahu Maira benar. Bukan Dzawin kalau berdiam diri. Buka Dzawin jika ia tak segera bangun dari keterpurukannya. Dzawin memeluk kembarannya itu, mulai tersenyum. Namun tak lama
“lu berapa hari nggak mandi?” teriak Dzawin sambil melepaskan pelukan Maira dan mendorongnya menjauh.
“mandi kok, pagi” Maira mengendus ujung lengan kaos pendeknya, lalu mengangkat tangan dan mengendus ketiaknya.
“sono, bau lu” Dzawin melemparkan bantal yang sedari tadi menjadi sandarannya.
Maira berlari keluar sambil terbahak.
“woi, tutup pintunya kampret” Dzawin berteriak makin kencang hingga membuat Maira kembali dan membanting pintu. Di luar kamar terdengar riuh suara umi memarahi tingkah Maira. Perempuan dewasa yang akan menikdah bulan depan tapi masih bertingkah seperti anak-anak.
Dzawin beringsut. Ditariknya laci meja yang ada di samping temmpat tidurnya. Dikeluarkan buku tabungan dari sana. Empat buku denga stiker menempel dibagian depan. untuk haji abi sama umi begitu tulisan yang tertera di buku pertama. Untuk beli rumah buku yang kedua. Untuk kuliah lagi, buku ke tiga dan untuk Izza begitu tertera di sana.
Dzawin mengehela napas panjang. Di masukkan lagi ke dalam laci. Lalu ia membaringkan diri di atas tempat tidurnya. Perutnya masih sedikit nyeri, nyeri lambung serta nyeri hati. Kepalanya msih sedikit pening, pening karena kekurangan cairan tubuh dan pening karena kelebihan beban hidup. Badannya pun masih sedikit panas, panas karena demam dan menahan marah.
Ya, harus dilepas. Begitulah yang kemudian dibatinkan oleh hati kecil Dzawin. Menghela napas panjang. Menghirup dukanya. Ingin rasanya Dzawin melepaskan semua duka, namun yang didapatnya hari itu, hembusan dukanya menarik air mata yang begitu rapat dibendungnya. Tak bisa terkendali.
Maira masih mendengar isak itu dari balik pintu. Dilangkahkan kaki mungilnya kembali ke kamar Dzawin. Diangkat dagu lancip Dzawin, dikecup kening saudaranya itu lalu dibawanya kepala Dzawin ke pundaknya.
“ntar kalo mau buang ingus, jangan di lap dipundak gue ya?” seloroh Maira. Menghibur, tapi itulah yang menenangkan Dzawin saat ini. “gue kangen suara ketawa lo, Win” tangan Maira tak henti mebelai rambut hitam Dzaqin. “keluarin semua, lalu udahan ya? Capek gue” sebelah tangan Maira menepuk pelan punggung kembarannya itu pelan. Entah berapa lama, entah sudah berapa kali juga omelan Maira terdengar kala ingus Dzawin terusap begitu saja di pundaknya. Dzawin tenggelam dalam lelah.