Pahit

1283 Kata
Liburan semester sudah berlalu. Awal yang baru bagi Melodi, juga semua siswa PELITA HARAPAN. Saatnya kenaikan kelas. Melodi akan menjadi kakak kelas, ia naik satu tingkat.  Selama liburan, Melodi tidak bertemu dengan Bian. Melodi kangen Bian. Namun Melodi tidak bisa mencari bian sekarang.  Di hari pertama masuk setelah liburan yang sangat panjang, Melodi terlambat. Hal yang sangat Melodi jauhi. Dalam kamus Melodi, telat itu hal yang tidak pernah ia bayangkan. Lebih baik tidak sarapan daripada telat sekolah kalau kata Melodi. Di dekat mading yang ada di kantin, Bian melambaikan tangannya dan menyeru nama Melodi berulangkali. Sehingga banyak menyedot perhatian siswa yang sedang sibuk melihat namanya di daftar mading. Sejurus kemudian, siswa yang sedang berkerumun itu kembali terfokus mencari nama masing-masing. Beruntungnya kegiatan belajar mengajar belum efektif, jadi seharian penuh siswa tidak akan menerima pelajaran. Melodi tidak perlu terburu-buru menghampiri Bian. Melodi sengaja melambatkan langkahnya. "Lama banget Mel jalannya." "Biar nunggunya lama Bi," gurau Melodi. "Menunggu lama itu nggak enak Mel, apalagi tanpa kepastian. Tapi gue beruntung karena udah dapet kepastian lo." "Sekarang jadi Bian si singa bijak. Ya kan Bi?" "Kalau gue singa, lo simba ya?" Melodi mendengus kesal, capek-capek dia mencari nama julukan untuk Bian, tapi Bian malah memberinya nama simba. Singa dan Simba itu tidak cocok, sama sekali tidak cocok! "Nggak mau." Melodi mengerucutkan bibirnya. "Lucu banget sih kalau ngambek. Pingin cubit." Bian menggoda Melodi dan akhirnya mereka tertawa bersama. Terkadang memang tidak perlu kata romantis yang manisnya melebihi gula jawa, gurauan kecil saja terkadang bisa menjadi sebongkah kebahagiaan. "Gue mau liat nama di mading!" Melodi menghentak-hentakkan kakinya di depan Bian. "Tungguin singa ganteng Mel!" Bian berteriak dan menyusul Melodi. Namun Melodi sudah ditelan kerumunan siswa. Bian tidak bisa melihatnya lagi. "Kemana sih?" Bian menggaruk-garuk kepalanya frustrasi karena Melodi tidak kunjung keluar dari kerumunan. "Kelas berapa Bi?" Dinda muncul bagai kilat, sangat cepat. Tau-tau dia sudah berada di samping Bian dan bersendakap. Tidak lupa juga Dinda terus menatap Bian. Tapi Bian tetap memfokuskan pandangannya ke arah mading, takut Melodi sudah keluar duluan. "IPA 1 lagi Din." Dagu Dinda mengeras setelah Bian mengatakan itu. Bahkan sebelum Melodi dan Bian tau di mana kelasnya, Dinda sudah tau. Dia sangat benci keberuntungan yang berpihak pada mereka. "Kita sek-" Melodi mengatupkan mulutnya. Dia melihat Dinda dan Bian berhadap-hadapan. "Dinda?"  Dinda sama sekali tidak menoleh dan pergi begitu saja. "Kenapa Bi?"  "Kalian masih berantem?" "Gue udah berusaha baikan," jawab Melodi lemas. Ia duduk di kursi kantin. Memang sudah lama Dinda mendiaminya. "Bukannya kita nggak boleh marah Mel, tapi lo tau sendiri kan kalau nggak baik berantem sama orang lebih dari 3 hari." "Tau, tapi Dinda yang nggak mau baikan. Tau sendiri kan Dinda masih suka sama lo?" Bian menyentuh dagunya dan kemudian tangannya menggenggam jari-jemari Melodi. "Kita coba aja. Sama-sama ngedeketin Dinda lagi supaya bisa kembali seperti saat kita kelas 10." Melodi mengaitkan tangannya pada Bian Mempererat genggaman itu. "Bantu gue ya Bi, gue nggak bisa lakuin ini tanpa lo." "Dengan senang hati simba." Kemudian mereka berjalan beriringan dari koridor kelas 10, kelas mereka dulu, menuju kelas 11 yang baru. Mungkin orang yang melihat akan mengira bahwa mereka pasangan yang baik-baik saja, tapi sebenarnya tidak. Begitu banyak orang yang tidak setuju terhadap hubungan mereka. Di pintu kelas 11 IPA 1, Melodi menatap kelas yang akan Dinda tempati, 11 IPS 1. Di sana, Dinda dengan wajahnya yang masih menahan amarah melihat Melodi sampai akhirnya tangan Melodi ditarik Bian menuju ke dalam kelas. Melodi mendapat tempat duduk di bangku no dua dari deret kedua, sedangkan Bian duduk di bangku nomor tiga deret pertama sebelah pintu. Tempat duduk mereka semakin dekat dan Melodi tidak lagi duduk di antara siswa laki-laki di kelasnya. ***** Saat kelas sepi karena semua penghuni ke kantin, termasuk Bian, Dinda menyeret Melodi menuju kamar mandi. Melodi tidak tau kenapa Dinda bisa sekasar ini, tapi percuma saja Melodi mencoba melepaskan cengkraman Dinda pada lengannya, dia terlalu kuat karena menahan marah. "Din udah! Tangan gue sakit." Dinda melepaskan Melodi saat mereka sudah di kamar mandi putri. Di sana juga sepi, tidak ada orang lain kecuali mereka. Bahkan ibu-ibu yang menjaga toilet juga tidak kelihatan. "Apa lo nggak mikir Mel gimana sama hati gue? Apa lo kira selama ini gue nggak sakit liat lo terus sama Bian?" Suara Dinda menggema memenuhi kamar mandi. Sekarang suasana ketika Melodi bicara dengan Dinda sudah berbeda sejak hampir enam bulan yang lalu. Mereka canggung. "Maafin gue kalau pilihan yang gue buat membuat lo sakit Din. Tapi gue juga nggak tau mau gimana lagi. Gue bingung dengan semua ini." "Oke, gampang. Kalau lo mau persahabatan kita kembali seperti dulu, jauhi Bian. Putusin Bian dan jangan pernah berani sebut nama Bian meski cuma di pikiran lo." Melodi tidak yakin. Bahkan, tidak akan pernah bisa. Permintaan Dinda seperti pisau dibelah dua, sama sakitnya. "Itu bukan pilihan Din," jawab Melodi. Dia berjalan keluar kamar mandi dan ketika memakai terompah, Dinda kembali mendekatinya. "Apa lo akan tetap pertahanin Bian kalau Bian nggak sebaik yang lo kira?" Dinda tersenyum miring dan badannya ia senderkan di dinding. "Maksud lo apa?" "Bian itu lebih buruk dari yang lo kira. Dia pernah mutusin sepupu gue karena dia udah bosen. Dan tau lebih parahnya?" "Bian bilang begitu setelah lecehin sepupu gue!" Setiap kata yang keluar dari mulut Dinda penuh penekanan. Juga seperti badai jarum yang menusuk Melodi tepat di hatinya. Apakah semua usaha Melodi hanya dibalas seperti ini?  "Nggak mungkin Din! Nggak mungkin Bian gitu, dia itu cowok baik-baik!" Melodi histeris karena dia yakin Bian adalah cowok yang tidak neko-neko. Bian bahkan terlalu baik untuk ukuran cowok. "Tapi sayangnya itu adalah kenyataan. Terserah lo mau terima atau nggak!" Dinda keluar dan meninggalkan Melodi sendirian yang sudah merosot ke lantai. Melodi tidak peduli jika seragamnya kotor. Semua hancur sudah, termasuk kepercayaan Melodi kepada Bian. Tidak ada lagi Bian yang Melodi banggakan, semuanya hanya ilusi. Melodi menangis sesenggukan. Meratapi kisah hidupnya yang tidak seberuntung orang lain. Bahkan Tuhan tidak mengijinkannya bahagia sebentar saja. Melodi menenggelemkan kepalanya dilekukan kaki. Dia memegang lututnya rapat dan menangis tertahan. ***** Sesampainya di kelas, Melodi tidak banyak bicara dan dia diam ketika Fauzan mencoba mengerjainya dengan Bian. Fauzan berusaha keras supaya Melodi mau melihat ke arah Bian.  Melodi tidak mengacuhkan Bian. Bian tidak tau apa penyebabnya. Melodi tidak bisa menyuruh Bian untuk tidak menatapnya, alasannya tidak akan dituruti Bian begitu saja. "Bu Bety, Fauzan menggoda saya terus!" Adu Melodi dan Fauzan langsung mendaratkan tatapan mautnya. Akhirnya Fauzan berhenti merayu Melodi untuk terus menatap Bian. "Nggak usah ngadu kali Mel, lo mau kan sebenernya?" Goda Fauzan lagi. "FAUZAN!" "Iya Bu Bety ti ti." Gelak tawa seisi kelas langsung menyambut Fauzan. Sekarang Bu Bety sudah bekacak pinggang di depannya. "Kamu keluar sekarang! sama Melodi!" "Yah bu, kok saya juga?" protes Melodi. "Daripada kalian mengganggu di pelajaran saya, lebih baik KELUAR!" Melodi berjalan lunglai keluar kelas dan menatap tajam Fauzan. Gara-gara Fauzan dia harus merelakan jam belajarnya.  "Maafin gue ya Mel. Gue kan nggak sepenuhnya salah." Melodi hanya memutar bola mata malas dan duduk di teras kelas. s**l nasibnya hari ini. ***** Pulang sekolah Melodi mampir ke kantin mengantar Gina membeli minuman. Melodi melihat Bian dan Dinda dalam satu meja makan dengan Dinda menatap Bian penuh harap. "Gin cepetan!" Seru Melodi dari balik tembok kantin. "Lo kenapa pake ngumpet ke situ? Kayak maling." Gina heran dengan Melodi. "Udah lah, cepet Gin." Sesaat kemudian, Gina melihat ke arah pandang Melodi tanpa sepengetahuan cewek itu. Oh, sekarang Gina tau apa penyebabnya. "Alah, bilang aja lo panas gara-gara cowok lu makan bareng Dinda. Bener kan gue?" Melodi beralih menatap Gina yang sudah tersenyum jail mengoda Melodi. "Gue tinggal!" Melodi berjalan cepat melewati kantin agar Bian tidak sempat melihatnya. Tapi sayangnya dari tadi bahkan Bian sudah memantau Melodi di tempat persembunyiannya. Backstreet terlalu sulit untuk mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN