04. KETEMU LAGI

1089 Kata
MESKIPUN Faren menjadi siswi yang penting karena ia adalah anak pemilik yayasan di SMA Erlangga, namun bukan berarti ia bisa melakukan sesuatu seenaknya sendiri. Faren masih sama seperti siswa-siswi lainnya, terlambat bukanlah definisi kata yang tepat untuk seorang Faren. Ia bahkan berangkat sekolah pagi-pagi untuk menimalisir agar tidak terlambat, karena Faren tidak suka. Pernah satu kali dulu waktu masih menginjak kelas sepuluh, dan Faren sungguh-sungguh kapok dengan itu. Memikirkannya saja sudah membuat Faren mual. Beberapa menit setelah itu, bus sekolah yang tiap hari mengantarkannya berangkat dan pulang ke rumah, akhirnya sudah berhenti di halte depan sekolah. Dengan senyuman selebar lapangan bola basket, Faren seperti biasa turun dari bus paling terakhir. Bukan karena sebab ia tidak mau berdesakan, melainkan ia akan berbicara sebentar pada pak Jaja, sopir bus ini. "Burung emprit duduk di atas gajah, assalamu'alaikum pak Jaja!" Dengan pantun recehnya, Faren sudah berdiri di dekat supir bus tersebut. "Si Agus minum es duren, walaikumsalam neng Faren," ujar pak Jaja pula, membuat tawa Faren benar-benar meledak. Faren tersenyum lebar, "pak Jaja bisa aja nih," ujarnya, lalu terkekeh pelan. "Seperti biasa, kan neng? Mana bukunya?" Faren kemudian tergelak kecil, ia sampai lupa tujuan utama menemui pak Jaja. Faren pun lekas mengangguk singkat dan mulai mengambil buku dan pulpen dari dalam tasnya. "Ini pak, yang bagus lho ya?" "Tanda tangan pak Jaja mah emang bagus neng," canda supir tua tersebut sambil menerima benda di tangan Faren. Setelah menandatangani buku tersebut, ia kembali menyerahkannya pada Faren. Dengan senang hati, Faren langsung menerima, "wih mantap! Makasih pak, kalo gitu Faren turun dulu, ya? Besok Faren minta tandatangannya lagi," ujarnya mantap, setelah mendapati ijin dari pak Jaja, Faren pun lekas turun dari bus tersebut, melambaikan tangannya sewaktu pak Jaja melajukan kembali kendaraan besar itu. Faren menunduk, entah kenapa setiap pagi ia selalu minta tanda tangan sopir itu. Memang bukan Faren namanya kalau tidak bertingkah aneh dan bikin geleng-geleng kepala. Sampai akhirnya, secara tidak sengaja, pandangan Faren terpusat pada sahabatnya yang baru saja turun dari mobil. Faren segera berlari kecil, menyusul Nata. Setiap hari Nata memang di antar oleh ibunya yang sekalian pergi ngantor. "Nataaaaaaa!!!!" panggil Faren histeris. Setelah sampai di hadapan Nata, Faren langsung memeluk sahabatnya itu. "Faren kangen Nata tahu, tadi malam Faren telpon kenapa nggak di angkat sih? Faren jadi kesel!" rajuknya. Bibir Faren mencebik, kemudian mengerucut ke depan. Terlihat seperti anak kecil yang tidak berhasil membujuk orang tuanya karena tidak dibelikan mainan baru. Namun, wajah Faren terlihat sangat menggemaskan. Nata meringis kecil, ekor matanya sedikit melirik keadaan di sekitarnya. Teriakan Faren yang terdengar hampir menyerupai emak-emak yang sedang nagih uang kontrakan, sukses saja membuat siswa-siswi yang sedang berlalu langsung memusatkan perhatiannya pada mereka berdua. Jujur, Nata jadi kesel dan agak risi. Tentu saja juga malu. "Ih Faren, jangan lebay gini deh. Dilihatin anak-anak tuh. Ayo kita pergi ke kelas aja." "Eh Nat, tapi Faren kan—" "Udah ah ayo!" potong Nata cepat, tidak terbantahkan, lalu alhasil Faren pun pasrah. Tidak ada jalan lain. Faren menghela napas kecewa, bibirnya manyun beberapa senti ke depan. "Nata! Udah dong, jangan narik-narik Faren gini, sakit tauk," ujarnya sebal. Dan setelah tangannya sudah terlepas dari genggaman Nata, dengan kesal Faren melipat kedua tangannya di depan dadaa. "Buruan deh jangan macem-macem, kita ke kelas sekarang sebelum masuk. Lo berdiri di tengah jalan gini, nggak mau lo?" "Malu kenapa? Emang Faren buat kesalahan, terus Faren nggak tanggung jawab?" jawab Faren enteng, merasa tidak bersalah. "Tauk ah, gue ke kelas dulu!" Tanpa peduli dan menunggu respons dari Faren, Nata sudah berbalik badan dan melenggang pergi. Faren langsung saja mencebikkan bibirnya, Nata selalu saja membuat Faren kesal seperti ini. Namun, beberapa detik kemudian, entah dapat hidayah dari mana, sorot nata Faren menemukan cowok ganteng kemarin yang tengah jalan di tengah lapangan. Binar mata Faren semakin terlihat jelas. Tidak peduli dengan Nata yang sudah agak jauh di depan saja, justru langkah Faren malah memangkas jarak dengan cowok beku kemarin. Karena tidak mau kehilangan jejak si cowok ganteng tidak ketulungan itu, Faren bahkan rela berlari kencang. Padahal, olahraga adalah kelemahannya. Tidak peduli, yang penting harapannya bisa terwujud. Meskipun sudah mengeluarkan napas yang sangat banyak hingga pernapasannya sedikit terganggu. Akhirnya Faren bisa menghentikan langkah cogan tersebut. Faren nyengir lebar di hadapan cowok itu sambil mengelap peluh yang sudah membanjiri pelipisnya. "Di pinggir jalan minum es degan, eh pagi-pagi udah ketemu cogan!" Faren tersenyum lebar. Cowok misterius itu hanya mendesah singkat, namun ketika ia berusaha melangkah untuk melewati Faren, dengan sigap dan penuh siaga, Faren sudah menahan langkahnya. "Eits, mau ke mana? Buru-buru amat kayaknya. Faren di sini lho, nggak lihat Faren yang cantik gini, ya?" "Pergi!" ujar cowok itu dingin. Faren berdecak kesal. "Setiap ketemu Faren, pasti main usir-usir segala. Kemarin kan kamu belum jawab pertanyaan Faren." Hening. Tidak ada sahutan dari cowok itu, hingga membuat Faren bertambah emosi. Tapi Faren tidak bisa nyerah begitu saja, ia baru saja berjuang. Malahan, dengan sikap dingin dan cuek bebek cowok ganteng di hadapannya ini, Faren semakin tertantang untuk mendapatkan hatinya. Dan Faren rasa, perjuangannya akan terbayarkan. Asalkan Faren tidak patah semangat. "Kok malah diem kayak patung Liberti gitu sih! Jawab pertanyaan Faren dong. Mau kan jadi pacar Faren? Mau lah, cogan pasti cocok sama cecan kayak Faren. Gimana?" "Nggak!" tegas cowok itu, mata elangnya menghunus manik Faren dengan sangat tajam, menyebabkan Faren merinding beberapa saat. "Ah nggak asik. Faren nanti traktir tiap hari deh kalo kamu mau jadi pacar Faren. Mau ya? Pliss ...." mohon Faren, mimik wajahnya ia buat sememelas mungkin. "Pergi atau gue laporin!" Bukannya takut mendengar nada suara yang sarat akan ancaman itu, terlebih lagi raut garang cowok dihadapannya yang begitu terlihat menyeramkan, Faren malah nyengir lebar. "Cogan dihadapan Faren ini mau ngajak Faren pergi dan laporin Faren ke kantor KUA? mau banget dong, duh nggak kuat dedek bang! Minta langsung dicocol nih!" "Cewek gilaa!" umpat cowok itu, lalu pergi dari hadapannya Faren selagi Faren berjingkrak bahagia. "Makan bubur bareng teh Santi, sampai ketemu nanti!" teriak Faren keras-keras. Ia melambaikan tangannya tinggi-tinggi ke udara meskipun cowok ganteng tanpa identitas itu tidak mempedulikannya. "Duh, ngimpi apaan semalam Faren sampai diajak pergi ke kantor KUA? duh, bikin Faren blushing aja deh. Gemes banget, mau deh cepet-cepet jadi istrinya!" Faren terkikik geli, ia pun berjalan menuju kelasnya dengan pipi yang sudah semerah tomat. Jika bukan karena bel tanda masuk pelajaran pertama di mulai, sudah pasti Faren akan mengejar dan mengikuti si pangeran detak jantungnya itu! Sampai kapanpun, Faren tidak bakal nyerah untuk menaklukan si cogan misterius. Cowok ganteng adalah hidup Faren.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN