Bab. 2 - Pendekatan

1466 Kata
Ada yang bilang cinta itu rahasia Yang Kuasa Datangnya sering tak terduga Perginya juga sering tiba-tiba Entah sejak pandangan pertama, kedua, ketiga,  atau kesekian kalinya...  *** Hari Sabtu para karyawan bisa pulang lebih awal dari hari biasanya. Karena jam kerja hanya setengah hari saja. Dahlia sedang berjalan ke luar. Ia menunggu Ratih di dekat gerbang pintu masuk sambil bermain ponsel. Temannya datang menghampiri. "Nunggu Ratih ya, Lia?" tanya Karen. Ia ikut duduk di sebelah Dahlia. "Iya nih, lagi males bawa motor. Diajakin bareng tadi pagi ya ngikut aja aku. Kamu nunggu jemputan pacar?" "Bukan. Udah putus aku sama pacarku. Ini nungguin jemputan gebetan baru sih," balas Karen sambil mesem-mesem. "Wah, hebat juga kamu, baru putus udah dapat ganti yang baru." "Ish, namanya juga masa pemilihan. Ya kita manfaatkan baik-baiklah mumpung masih ada yang mau." "Bukannya biasanya yang hobi pilih-pilih pasangan tuh laki-laki ya? Perempuan kan biasanya demen nolak atau nerima aja." "Ya itu kan dah kuno. Buatku sih, perempuan juga berhak memilih." Sedang asik berbincang mendadak seorang teman mereka mendatangi Dahlia dan mengatakan ingin bicara berdua. Dahlia pun mengikutinya. Karen mengamati dari tempatnya. Seakan sudah bisa menebak maksud serta tujuan Nurjanah bicara dengan Dahlia. Benar saja, tampak Dahlia merogoh uang dari dompet cokelatnya. Lalu menyodorkan lembaran uang  pada Nurjanah. Gadis berparas manis itu lantas kembali ke tempatnya duduk menunggu, setelah selesai dengan urusan Nurjanah. "Eh, Lia, kamu minjemin duit ya ke Nurjanah?" selidik Karen sok tahu. "Kenapa memangnya?" "Ih, kamu nggak dengar kah kabar yang santer di sini? Nurjanah itu hutangnya dah numpuk sama temen-temen. Gali lobang tutup lobang, tapi kebanyakan lobangnya. Sampaj ada yang pernah tahunan nggak dibalikin loh. Jangan terlalu baik deh sama orang. Kasihan kamunya." Karen berusaha menasihati. "Ya biarlah. Mungkin memang dia lagi ada perlu mendesak. Yang penting niat kita membantu baik. Mau dibalikin atau nggak, itu urusannya sama Yang Maha Kuasa. Kan hutang tetaplah hutang sampai kapan pun. Dan selagi niat kita baik, insyAllah akan jadi pahala buat kita." "Iya juga sih..." Sementara tanpa keduanya sadari, tak jauh dari mereka, Pras dan Rama tengah duduk di warung dekat Dahlia dan Karen berbincang. Pras bisa mendengar suara keduanya. Ia takjub dengan jalan pikiran dan cara Dahlia menanggapi kata-kata temannya. Diam-diam hati kecilnya agak tertarik ingin mengenal Dahlia lebih dekat. Rama mengamati ke mana arah tatapan mata temannya. Ia mengangguk paham, seolah mengerti sesuatu. Pria berkemeja biru muda itu pun berdehem-dehem. Menyadarkan Pras dari lamunannya. "Kenapa, Bos? Suka ya?" "Suka? Siapa? Sama siapa?" Pras mendadak canggung. "Udahlah ngaku aja. Biar aku bantuin. Dahlia itu cantik, manis loh. Udah gitu baik dan rajin ibadah pula. Paket lengkap, Bos. Eh ya, satu lagi, bonusnya, masih single!" celoteh Rama mengompori dengan gaya khasnya. "Oh ya? Masa masih single?" "Nggak percaya? Bentar." Rama menyesap sisa es teh manis dan menelan sisa bakwan yang ia comot sedari tadi. Lalu berdiri dan berjalan mendekati Dahlia. Pras membayar makanan ke ibu pemilik warung. Dan bergegas menyusul Rama. "Lia, pulang sama siapa?" tanya Rama basa-basi. "Sama Ratih, Ram." "Aduh! Ratih mau kuajak jalan. Ibuku minta belikan sesuatu. Kuminta dia temani aku. Gimana dong?" Rama berbohong dengan menumbalkan sepupu dekatnya sendiri. "Masa sih, Ram? Kok dia nggak bilang ya ke aku?" "Kan baru aja kukasih tahu lewat WA." "Gitu ya? Coba kutelpon dulu deh." Dahlia berniat menghubungi Ratih, tapi Rama melarang. "Udah nggak usah. Mending kamu balik sama Pras aja gih?" Dahlia terkejut. Sama hanya dengan Pras. Sejak tadi diam-diam Dahlia menahan diri untuk tak curi pandang ke arah pria tampan yang pesonanya mirip Fedi Nuril itu. "Hah? Kan kami nggak saling kenal, Ram. Kamu ada-ada aja." Karen yang paham dengan tingkah laku Rama agaknya mengerti situasi. Ia pun ikut mengompori Dahlia. "Nggak apa, Lia. Pak Pras kan orangnya baik. Kamu pasti diantar sampai rumah dengan selamat, ya kan, Pak?" selorohnya. Pras hanya bisa mengangguk seperti orang linglung. Sementara Rama menepuk-nepuk pundaknya sembari menggumamkan sesuatu. "Udah aku bantuin buka jalan. Sisanya tergantung kamu, Bos." "Bisa nggak sih nggak usah bas bos bas bos," protes Pras agak kesal. Rama hanya terkekeh. Mereka teman satu kuliahan dulu, sudah seperti saudara sendiri. Pras tak suka diuar jam kerja dirinya dipanggil seperti itu. Lagipula, jabatan mereka juga hanya beda selevel saja. Area kerja mereka itu seperti daerah pergudangan. Banyak deretan bangunan dan parkir luas. Tapi saling berdekatan. Walau berbeda kantor, gedungnya tetap bersebelahan atau ada pula yang berhadapan. Rama dan Pras di satu perusahaan. Sementara Dahlia, Ratih, dan Karen ada di perusahaan lain. "Gimana, Lia?" "Ehm, aku..." Dahlia berpikir sebentar. Ia galau, bila menerima rasanya terkesan seperti gampangan sekali. Bila ditolak, maka akan hilanglah kesempatan baik yang ia harapkan, bisa mengenal sosok Pras lebih dekat. "Kalau kamu nggak keberatan nggak apa. Saya akan mengantar kamu sampai rumah. Jangan takut," tukas Pras tiba-tiba. Serasa mendapatkan angin segar, Dahlia pun akhirnya menerima tawaran pria itu. Mereka pun pulang bersama naik mobil Daihatsu Ayla milik Pras. Sepanjang perjalanan mulanya mereka saling diam karena tak tahu memuali percakapan dari mana. Sampai lagu beralih, suara Nike Adrilla  terdengar dari stereo mobil. Keduanya tanpa sadar ikut bernyayi hampir bersamaan. Dahlia dan Pras saling tersenyum malu. "Suka juga lagu ini?" tanyanya. "Iya. Saya suka lagu-lagu zaman dulu malah, apalagi lagunya Nike Ardilla. Liriknya sepanjang masa." "Sama. Saya juga suka lagu-lagu Nike Ardilla. Lebih mudah masuk ke hati makna dari lirik lagunya." "Paling suka yang judulnya apa?" "Ku Tak Akan Bersuara." Dahlia mengangguk-anggukkan kepala. "Oh yang itu. Iya itu juga bagus. Kalau saya paling suka yang ini, Bintang Kehidupan." "Kamu suka apalagi selain ini?" "Maksudnya?" "Misal hobi gitu." "Oh hobi, saya suka main badminton kalau pas libur. Biasanya hari Minggu sama Siti ke stadion Sempaja buat main badminton." "Besok mau main sama saya?" Dahlia terkesiap sesaat. Tak menyangka dengan ajakan Pras yang jelas membuat hatinya senang bukan kepalang. "Boleh." Pras tersenyum bahagia. "Jam berapa? Biar saya jemput." "Nggak usah dijemput. Nanti ketemu di sana aja. Daripada merepotkan." "Loh, saya nggak merasa direpotkan kok. Nggak pa-pa saya jemput ya?" Meski sungkan, Dahlia hanya bisa mengangguk saja. Sangking tak enaknya mau menolak lagi. "Oh ya, Pak Pras berapa lama di Semarang? Saya dengan pindahan dari sana." "Dua tahun di sana. Ya biasalah, pindah-pindah area terus. Tapi, karena pengen dekat sama keluarga di Balikpapan, ya akhirnya saya ajukan mutasi ke sini." "Nggak ke Balikpapan sekalian?" "Di sana belum ada yang kosong. Adanya di Samarinda sini. Nggak pa-palah, udah ada jalan tol kan deket aja kalau mau balik." "Enakan mana di Jawa sama di Kalimantan, Pak?" "Aduh, Lia. Tolong panggilnya nggak usah pakai Pak segala ya? Kan saya  bukan atasan kamu," pinta Pras sembari menebar senyum. "Hehe, iya deh. Panggil apa jadinya?" "Nama aja." "Itu kurang sopan kayaknya." "Yaudah terserah, asal jangan Pak ya. Saya kelihatan tua banget kesannya." Dahlia tertawa. "Kan panggilan Pak bukan cuma buat orang tua loh, tapi juga buat orang yang dihormati misalnya." "Iya sih..." "Panggil Mas Pras, boleh?" Jantung Pras serasa dihujani kelopak mawar yang bertebaran merekah-rekah. Panggilan itu terdengar sangat manis baginya. Sederhana tapi berkesan sampai ke relung hati. Mungkin, karena Dahlia yang memanggilnya demikian. Ia jadi suka. "Boleh." "Oke." "Tadi kamu tanya ya, enakan mana di Jawa sama di Kalimantan?" Dahlia mengangguk. "Kalau buat saya sih enakan di sini. Cari uang kayak lebih gampang gitu. Entah perasaan saya aja kali ya." "Banyak sih yang bilang begitu." "Oh ya kamu asli orang sini?" Dahlia menggeleng. "Bukan, Mas. Saya lahir di Jawa sebetulnya. Tapi udah lama pindah sekeluarga ke sini. Nenek kan asli orang sini. Disuruh pindah semua ke sini, sambil bantu Nenek dagang di pasar pagi." "Owalah gitu. Dagang apa di sana? Pakaian?" "Iya, pakaian sama kosmetik dan skincare gitu, Mas. Apa yang lagi booming pokoknya dimanfaatkan ikut dijual." "Bagus itu. Nggak menyiakan kesempatan kan." Obrolan terus berlanjut. Tanpa terasa Dahlia menunjukkan kalau rumahnya sudah di depan sana. Rasanya Pras enggan berpisah saat ini. Ia masih ingin bicara banyak dengan gadis yang murah senyum padanya itu. Dahlia memang cantik dan manis. Sikapnya juga sopan dan mereka sepertinya saling cocok. Walau terkesan terlalu buru-buru, tapi, hati Pras tak bisa menolak. Bahwa ia memang mulai terpesona dengan sosok Dahlia sejak pendekatan pertama. "Lia?" panggil Pras ketika Dahlia hendak turun. "Ya, Mas?" "Besok jangan lupa ya?" "Oh, badminton kan? Siap," balasnya. "Mau mampir?" tanyanya basa-basi. Sebenarnya Pras ingin mengiyakan, tapi ia malu juga belum persiapan apa-apa. Datang di kunjungan pertama dengan tangan kosong rasanya hampa baginya. "Besok aja deh mampirnya. Saya masih ada urusan habis ini. Maaf ya?" "Nggak apa. Makasih ya, Mas, udah dianterin." "Sama-sama." Dahlia pamitan ke luar dari mobil. Pras melambaikan tangan dan menutup pintu kaca. Mobilnya berlalu meninggalkan Dahlia yang masih berdiri dengan senyum menawannya. Dari kaca spion, Pras masih saja mencuri pandang. Pria itu tersipu bahagia. "Semoga aja kalau memang dia baik untukku, dan aku baik untuknya, dia beneran jadi jodohku..." lirihnya penuh harap. Akan kah doa Pras menjadi nyata? Atau hanya harapan semu belaka? ==♡ Secrets of Marriage ♡==
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN