S1 Chapter 03 – Seorang Pria di Tengah Kota dan Puluhan Monster?

1616 Kata
Saat ini, Kellion berada di tengah kota yang berantakan, bangunan-bangunan rusak tak terawat seolah sudah ditinggalkan oleh peradaban dalam waktu yang lama. Lumut sudah tumbuh di dinding-dinding gedung, banyak bangunan yang sudah terlihat lapuk dimakan waktu. Meski begitu, bangunan-bangunan ini tidak sepi, ada banyak makhluk hidup yang menghuninya. Mereka bukan manusia atau hewan, melainkan puluhan jenis monster yang memiliki aneka ukuran. Saat ini, Kellion yang sedang dalam keadaan tubuh kotor oleh noda, ia berhadapan dengan monster yang jumlahnya banyak. Para monster itu terlihat kelaparan dan seluruhnya tampak merupakan karnivora. Melihat monster yang jumlahnya banyak, bahkan dengan berbagai bentuk dan ukuran, Kellion sama sekali tak takut, tak ada perasaan yang seperti itu di dalam dirinya. “Jadi, apa yang kalian tunggu? Mau memakanku? Majulah, akan kucincang kalian semua.” Kellion yang sebelumnya sudah melawan pasukan robot, ia tampak optimis dan berani meski di hadapannya saat ini ada banyak monster. Kellion yang masih berada di tempatnya, dia mengayunkan pedangnya, tiga monster yang bergerak cepat melompat ke arahnya langsung terpotong begitu saja. Bersamaan dengan beberapa monster yang bergerak melompat ke arahnya, Kellion juga melompat ke arah depan. Di udara, ketika mereka bertemu, Kellion berhasil melepaskan tebasan yang memotong tubuh monster-monster itu, saat dia mendarat, tiga monster menyerang dari arah berbeda, wujud mereka seperti harimau dengan tubuh bersisik. Monster yang ada di depannya langsung ia tikam dengan pedang besar di tangannya, sedangkan monster yang menyerang dari arah samping kanan, ia tendang kuat-kuat sampai makhluk itu terlempar. Sedangkan monster yang menyerang dari belakang, ia berkelit dengan sedikit merunduk lalu saat monster itu mendarat, ia melepaskan tebasan lurus ke arah makhluk itu. Sebelum mendapatkan serangan lebih lanjut, Kellion melompat mundur bersamaan dengan beberapa monster yang menerjangnya. Kellion berlanjut bersalto ke belakang dengan lompatan tinggi tatkala beberapa monster kembali melompat menyerangnya. “Wah, wah, kalian benar-benar tak sabaran rupanya.” Kellion yang tak memiliki ruang untuk menghindar, dia melepaskan beberapa tebasan pada beberapa monster yang menyerangnya, lalu sebelum ada yang monster yang menggigitnya, ia bergegas kembali berpindah tempat, melompat maju. Monster terbesar mulai bergerak, langkahnya membuat jalan retak dan debu mengepul. Monster yang lebih kecil memutari reruntuhan gedung, menyiapkan serangan mendadak. Kellion bergerak, menggunakan gedung retak dan puing sebagai pijakan. Monster yang tinggi mencoba menginjaknya, tapi Kellion memutar tubuh, menggunakan momentum untuk melompat ke reruntuhan di atas menghindari kaki besar tersebut. Kellion berlari di atas reruntuhan bangunan, menebas setiap monster yang ada di sana dengan mudahnya, lalu melompat ke arah monster yang ukurannya besar. Belum sempat ia melepaskan serangan, monster itu sudah mengangkat cakarnya, melepaskan serangan yang bertepatan dengan Kellion menggunakan pedangnya sebagai tameng, meski begitu, ia tetap terlempar kembali ke daratan. “Cih, ternyata tak semudah seperti yang kupikirkan.” Monster mulai menyerang bersamaan. Mereka melompat, mencakar, dan menerkam. Kellion menebas monster dari jarak dekat, memutar pedang untuk membelah tubuh monster terdekat, menggunakan momentum untuk meloncat ke reruntuhan lain sambil melepaskan tebasan. Darah memuncrat ke mana-mana. Meski begitu, para monster yang tersisa tampak tak gentar, mereka meraung dan tetap berada di tempat, sebagian sudah bergerak melompat mulai melepaskan serangan. Kellion berlari maju, melepaskan dua tebasan beruntun yang membunuh dua monster, dia merunduk sambil meluncur tatkala ada satu monster berukuran besar melompat hendak menerkamnya. Dia memutar tubuh lalu mengayunkan pedang secara horizontal dari kiri tatkala berhadapan dengan tiga monster lain. Dengan sekali tebasan, ketiga monster itu tertebas. Kellion bergerak satu langkah ke samping menghindari terjangan satu monster, lalu dia menyodokkan pedang besarnya ke depan menyambut terjangan monster berikutnya, pedang itu menembus kepala sampai ke badan monster itu. Dia menepiskan pedangnya membuat monster yang tertancap terlempar seketika. Kellion berlanjut melompat ke depan, melepaskan tebasan secara vertikal dari atas. Monster yang berada dalam jangkauan serangannya langsung terbelah tatkala ia mendarat dengan pedang menghantam jalanan. Bersamaan dengan itu, dua monster di belakangnya melompat melepaskan cakaran, Kellion merunduk menghindari cakaran monster pertama, berlanjut dengan menendang monster kedua yang berniat menyerangnya. Saat monster kedua terlempar, Kellion sudah dengan cepat melepaskan tebasan pada monster pertama sehingga darah memuncrat dari tubuh makhluk itu. Kellion berlanjut menggunakan pedangnya sebagai tameng tatkala ditubruk oleh monster bertaring dan bercakar yang wujudnya seperti leopard, tapi memiliki sepasang tanduk di kepala. Tubuhnya terdorong mundur beberapa meter. “Sial, ada juga monster yang seperti ini.” Kellion tak beradu kekuatan dengan monster yang satu ini, dia memutuskan untuk mengelak ke samping sambil melepaskan tebasan, alhasil, monster yang terdorong oleh kekuatan serudukannya terjerembap ke depan dengan tubuh samping tergores dalam oleh tebasan pedang. Perhatian Kellion tertuju pada monster-monster yang ada di sekitarnya yang berjumlah masih banyak. beberapa sebesar bus kota, dengan kulit keras berlapis duri, cakar seperti kapak, dan rahang yang siap menggigit. Yang lebih kecil melompat cepat, bergerak seperti kawanan serangga raksasa dengan mata merah menyala. Setiap makhluk bergerak dengan naluri predator, menatap Kellion seolah tahu ia musuh utama. Kellion menatap pedangnya, pedang yang sebelumnya ia gunakan, mode basic pedang itu memang tak mengeluarkan jenis kemampuan khusus, serangannya juga terkesan biasa saja, tak ada efek apa pun. Kenapa dia tak mengaktifkan mode pedang elemen api lagi? Dia hanya berpikir untuk saat ini, ia mampu menghadapi para monster meski menggunakan pedang mode basic. Ia berlari maju sambil melepaskan tebasan ke arah para monster yang ada di jalur pergerakannya. Seperti sebelumnya, dia juga bergerak mengelak bersamaan dengan monster lain yang menyerangnya. Ia seolah bisa mengetahui keberadaan setiap monster meski tidak melihat mereka yang ada di samping maupun belakang, ia bisa mengelak dan menyerang pada waktu yang tepat sehingga setelah menghadapi cukup banyak monster bahkan membunuh mereka, ia belum menerima satu pun serangan yang membuatnya cedera. “Wah, aku tak menyangka bisa bertarung seperti ini,” pikirnya sambil menebas monster pertama. Monster itu berbentuk seperti laba-laba raksasa dengan cakar menebal dan kulit hitam mengilap. Setiap tebasan Kellion memecah cakar dan bagian kaki, sementara tubuhnya melompat tinggi, menukik, dan mendarat dengan gesit di reruntuhan. Beban yang ia angkat—bagian beton retak, serpihan logam—terasa ringan saat digunakan untuk menghantam monster yang ada di hadapannya. Sebagai catatan, sejak awal dia berhadapan dengan monster-monster ini, dia melayangkan tebasan itu dengan satu tangan, tangan kirinya bebas sehingga saat ada kesempatan dan terpikirkan, dia bisa meraih bongkahan beton berukuran besar dan melemparnya. Meski mode basic pedang itu memiliki ukuran yang begitu besar, bahkan panjangnya saja sedikit melebihi tinggi badannya karena ukurannya yang hampir mencapai dua meter. Tapi, Kellion tak terlihat kesulitan mengangkat dan mengayunkan pedang itu, ia bahkan tak terlihat merasakan adanya beban berat pada pedang tersebut. Monster lain berukuran sebesar truk mendekat. Ia memutar tubuh, mengangkat serpihan gedung, dan memukul monster itu sehingga terlempar beberapa meter. “Kalau dipikir-pikir lagi, aku memang memiliki kekuatan fisik yang besar. Ini bagus, aku akan memanfaatkannya sebaik mungkin,” gumamnya, heran sekaligus lega. Ia menyadari bahwa kemampuan fisiknya melampaui batas normal manusia, walau ia sendiri tak mengerti bagaimana. Monster dengan kulit berlapis duri dan cakar panjang menyerang dari samping. Kellion meloncat tinggi, memutar pedangnya di udara, menebas duri yang keras seolah mereka adalah ranting kayu. Tubuhnya berputar, kaki menendang reruntuhan, mendorong dirinya melintasi udara, dan mendarat dengan mantap di atas mobil yang hancur. Ia menggunakan benda-benda berat di sekitarnya—puing beton, potongan logam, bahkan mobil rusak—sebagai alat melompat, mendorong dirinya melewati serangan monster lain. “Ini… kotor… menjijikkan… tapi… tidak ada pilihan. Dasar monster-monster menyebalkan,” gumamnya, menatap darah dan lendir yang menempel di tubuhnya. Monster lain menyerang dari udara: makhluk bersayap besar, kulit hijau dan bersisik, mata kuning menyorot. Kellion memutar pedang, membelah sayap mereka saat melintas, lalu menendang reruntuhan ke arah monster yang lebih kecil. Benda-benda berat seperti beton dan logam dapat ia angkat, lempar, dan gunakan sebagai pijakan atau senjata tambahan. Monster yang menyerang satu per satu hancur, sementara yang lain mulai mundur sejenak, memberi ruang bagi Kellion untuk bergerak cepat. “Huh, aku tak bisa menebas mereka seharian, terutama dengan yang besar-besar di sana. Ini harus segera diakhiri.” Kellion yang merasakan kalau pertarungannya terlalu membuang waktu, memutuskan menyudahi menggunakan mode basic. Apalagi masih banyak monster yang harus dikalahkan, terutama monster-monster yang ukurannya sebesar dan setinggi gedung—yang mana sejauh ini mereka masih belum bergerak, hanya memperhatikan dari jauh. “Akan kuhabisi mereka dengan cepat.” Kellion kembali mencoba mengubah bentuk senjatanya ke mode pedang elemen api. Dan usahanya berhasil, pedangnya kembali berubah bentuk, warnanya menjadi hitam, terdapat ukiran tribal di bagian badannya yang menyala seperti bara api, bersamaan dengan itu, pedangnya mulai memunculkan api. “Wah, ini berhasil, aku bisa menggunakan mode ini sepanjang waktu tanpa kendala,” gumam Kellion yang memandang pedangnya dengan puas. Kemudian perhatiannya beralih tertuju pada para monster yang saat ini mengelilinginya. “Kemarilah hewan-hewan kecil. Akan kujadikan kalian daging cincang panggang. Uh, dari kedengarannya saja, kalian pasti akan menjadi sajian makanan yang enak.” Monster bersisik besar dengan cakar setinggi manusia mencoba menerkamnya. Kellion memutar tubuh, menggunakan tubuh monster yang jatuh sebagai pijakan, melompat tinggi, dan menebas cakar, membakar kulit bersisik dengan pedang api. Setiap langkah, setiap ayunan, terasa intuitif—meski tanpa ingatan, tubuhnya tahu apa yang harus dilakukan. “Tubuhku sangat mendukung dengan skill ini. Aku punya kemampuan berpedang yang baik, para monster ini, mereka bukan tandinganku,” gumamnya dalam hati, sambil menatap kota yang rusak. Gedung-gedung tinggi berlumuran debu dan reruntuhan, jalanan dipenuhi monster yang mati dan yang masih bergerak, serta darah dan lendir menempel di seluruh tubuhnya. “Yang menjadi pertanyaannya, apa aku manusia terakhir di dunia ini? Apa dunia ini adalah Planet Bumi?” Sampai sedetik kemudian, Kellion teringat dengan semua escape pod yang jatuh bersamanya, ia ingat bahwa pod itu sebagian ada isinya, sebagian ada manusia yang dalam keadaan tak sadarkan diri. “Ah benar juga ... Pod-pod itu, aku harus menemukan semuanya, siapa tahu para manusia di dalamnya selamat.” “Sebelum itu, sepertinya aku harus membersihkan para monster di sini dulu.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN