S1 Chapter 06 – Mencari Air Jernih

1676 Kata
Kellion terus berjalan sambil memperhatikan semua itu. “Bumi… jika ini benar-benar Bumi… sudah berubah menjadi dunia asing. Seperti planet lain yang dipenuhi makhluk-makhluk mutasi.” Tubuhnya lengket dan bau setelah pertarungan. Lendir monster menempel di pakaian dan rambutnya, darah hitam mengering di kulit. Ia memegang hidung, muak dengan bau busuk yang masih menempel. “Aku harus… mencari air. Kalau tidak, aku akan gila dengan bau ini.” Ia melanjutkan langkahnya, kali ini lebih fokus mencari suara gemericik atau tanda adanya aliran air. Langkah-langkah Kellion berat, meninggalkan jejak lumpur di tanah retak yang dipenuhi lumut asing berwarna biru kehijauan. Bau amis darah monster yang menempel di tubuhnya masih menusuk hidung, membuat setiap tarikan napas seperti membawa kembali aroma pertempuran yang baru saja dilalui. Ia ingin sekali menemukan air, sesuatu yang bisa membersihkan tubuhnya dari cairan kental yang menempel di rambut, wajah, dan pakaiannya. Namun semakin jauh ia melangkah, semakin jelas bahwa dunia ini bukan lagi dunia yang ia kenal—jika memang ini benar Bumi. Tanah bergetar pelan ketika makhluk-makhluk raksasa melintas jauh di kejauhan. Monster-monster dengan tubuh seperti reptil, kulit mereka bersisik tebal berwarna keperakan, berjalan dengan langkah berat yang membuat tanah seolah berdenyut. Beberapa di antaranya bahkan menjulang setinggi gedung-gedung pencakar langit yang kini hanya tersisa reruntuhan, bangunan roboh ditutupi sulur-sulur tanaman asing. Di sisi lain, monster-monster kecil bertebaran. Ada yang mirip kadal, panjang tak lebih dari setengah meter. Mereka bergerak lincah di antara reruntuhan beton, lidah mereka menjulur cepat, berburu serangga berkilau yang beterbangan. Sekali injak, Kellion bisa meremukkan mereka dengan mudah. Namun, ia segera menyadari bahwa membunuh yang kecil pun bukan tanpa risiko—darah mereka Kellion berhenti sejenak di puncak reruntuhan sebuah gedung runtuh. Dari sana ia bisa melihat hamparan luas—hutan asing dengan pepohonan raksasa menjulang, bayangan makhluk-makhluk kolosal yang bergerak di bawahnya. Langkah-langkah Kellion menimbulkan suara berderak di atas permukaan tanah yang retak-retak, bercampur dengan lumut kehitaman yang memantulkan kilau samar di bawah cahaya langit. Tubuhnya masih berlumuran debu dan noda darah monster yang menempel, kering di kulitnya dan menyisakan bau yang menusuk hidung. Air. Itu yang dia butuhkan. Pikirannya terasa lebih jernih bila tubuhnya bersih, setidaknya itulah yang diyakininya. Namun, sepanjang perjalanan, alih-alih menemukan sungai atau genangan, ia justru lebih banyak disambut oleh pemandangan yang semakin asing. Genangan yang diharapkan adalah air bersih, selalu didapati adalah air kotor berbagai warna dan kondisi. Kellion mengalihkan pandangan pada sekawanan makhluk berbentuk menyerupai anjing, tubuh mereka memiliki banyak duri-duri runcing dan tulang luar seperti cangkang yang melindungi tubuh seperti armor. Mereka berlari cepat, lidahnya menjulur panjang meneteskan cairan asam yang mampu melubangi tanah. Ada juga serangga raksasa sebesar kuda, dengan sayap bergemeretak keras seolah memanggil kawanan lain untuk ikut menyerbu. Kellion terpaksa mengayunkan pedangnya, menyalakan api yang menghanguskan makhluk itu dalam sekali tebas, meninggalkan bau daging gosong bercampur zat kimia yang begitu menusuk. “Dasar serangga,” gumam Kellion ketus tatkala melihat monster-monster itu terbakar. Dari kejauhan, menjulang seekor monster setinggi gedung pencakar langit. Tingginya mendekati dua ratus meter, kulitnya tampak seperti gabungan baja dan batu, dengan mata merah menyala, monster itu ukurannya sedikit lebih besar dari monster yang sebelumnya telah dirinya ledakan. Setiap langkahnya menghancurkan bangunan yang tersisa. Karena tak ada gunanya melawan monster itu, Kellion memutuskan melanjutkan langkahnya, pergi dari sana. Dia kembali melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama melangkah, Kellion memikirkan tentang perutnya. Dia memang tak merasa lapar, tapi mungkin saja nanti akan, pasalnya dia sudah menghabiskan banyak energi setelah banyak pertarungan. Ia memiliki niat untuk mengisi perutnya sebelum merasakan lapar, sebelum kehabisan stamina dan sebelum dia tak punya waktu untuk mengisi perutnya. Kellion kembali harus berhadapan dengan beberapa monster yang menyerangnya. Akan tetapi hanya dengan mode basic, dia berhasil membunuh banyak monster dengan mudahnya. “Oke, sepertinya ini adalah makananku. Semoga rasanya tak seburuk seperti yang terlihat.” Singkatnya, Kellion mengolah daging monster sebisa mungkin, sebaik mungkin. Dia membuat api untuk memanggang daging monster yang sudah dirinya habisi. Di sini, ia tak mempertimbangkan tekstur, rasa bahkan keamanannya, dia tak berpikir kalau bisa saja daging monster itu berbahaya bagi tubuhnya. Setelah satu potong dirasa matang. Kellion mengambil untuk menyantapnya. Sekali kunyah, wajahnya langsung mengeras. Rasanya... mengerikan. “Sial, daging macam apa ini? Rasanya benar-benar buruk.” Daging itu begitu keras, seperti mengunyah kulit ban. Ada rasa kecut yang menempel di lidah, seperti logam berkarat yang dicampur dengan asam busuk. Ia mencoba menelan, tapi refleks tubuhnya menolak. Sesudah memaksakan diri menelan satu potong kecil, dia langsung membuang sisa daging yang ada di tangannya. “Tidak... ini tidak layak dimakan.” Meski monster itu mengandung energi, dia sadar tubuhnya bisa menolak atau bahkan keracunan bila terus dipaksakan. Dengan helaan napas berat, dia memutuskan untuk berhenti. Lebih baik lapar daripada memakan sampah semacam itu. Kellion meninggalkan api dan sisa makanan tersebut, ia memilih melanjutkan langkahnya. Langkahnya terus membawanya jauh dari reruntuhan kota. Kini ia tiba di sebuah area yang masih ditumbuhi pepohonan. Tapi bukan pepohonan biasa. Batangnya tinggi, menjulang seperti tiang logam, permukaannya berkilau seakan dilapisi perak cair. Daun-daunnya lebar, namun tidak hijau—melainkan hitam pekat dengan urat-urat biru yang menyala samar dalam gelap. Setiap kali angin bertiup, daun-daun itu mengeluarkan suara berdengung seperti kawat bergetar. Di antaranya, ada tumbuhan yang lebih kecil. Beberapa seperti bunga, tapi kelopaknya terbuat dari kristal tipis, memantulkan cahaya redup seperti prisma. Ada pula tanaman merambat yang berdenyut perlahan, seolah-olah hidup seperti otot makhluk hidup, bukan sekadar tumbuhan. Dan di salah satu pohon, ia melihat sesuatu yang tampak seperti buah. “Bentuknya tidak meyakinkan, tapi kurasa buah itu tak akan seburuk seperti daging monster. Kenapa kita tak coba dulu?” Lagi-lagi, Kellion memilih melakukan percobaan memakan apa saja yang tak terjamin kemanannya. Bulatan besar seukuran kepalan tangan, warnanya ungu gelap dengan kulit bertekstur seperti batu halus. Kellion menatapnya sebentar, lalu memetik satu. Beratnya lebih padat dari yang dia kira. Ia mengamati, mencium, lalu dengan hati-hati menggigit sedikit tanpa ragu sedikit pun, tanpa khawatir kalau buah seperti itu bisa saja membunuhnya dengan cara yang konyol. “Eum ... ini enak.” Di luar dugaan, ternyata buah itu rasanya manis, dengan sedikit pahit di ujung lidah. Tidak enak, tapi jauh lebih baik daripada daging monster. Dia menelan, dan menunggu beberapa saat, berjaga-jaga bila tubuhnya menolak. Namun, selain rasa aneh yang menempel di tenggorokan, tak ada reaksi buruk. “Aku pastikan kalau buah ini aman.” Ia memutuskan untuk mengambil beberapa lagi, memasukkan ke saku jaket dan saku celana cargo yang tidak ada isinya sejak awal. Di sinilah, Kellion menemukan sesuatu di saku celana jaketnya yang tertutup dengan baik, dia merogoh benda itu yang ternyata cairan hijau muda yang memancarkan cahaya redup, cairan itu berada di dalam wadah mirip tabung terbuat dari kaca transparan, ukurannya sebesar telunjuk manusia dewasa dan panjangnya hampir sejengkal. Ia punya dua botol. “Wah, apa ini?” tanya Kellion dengan mulut masih ada buah. Ia menyeka cairan manis di bibirnya. Ia memandangi cairan bercahaya itu. “fosfor? Kenapa ada di sakuku?” tanyanya, karena cairan itu memancarkan cahaya, Kellion sempat mengira itu adalah fosfor. Tapi sudah jelas bukan itu, benda itu lebih baik dan lebih berharga dari yang ia pikirkan. “Entahlah, tapi siapa tahu ini akan berguna,” gumamnya yang tak terlalu memikirkan. Beruntungnya, Kellion memasukkan lagi dua botol tersebut ke dalam sakunya. Dia lanjut makan buah enak itu sambil memetik buah-buah lainnya. Ia mengantongi buah yang tidak akan dimakan untuk jadi camilan nantinya. Setelah mengambil secukupnya, Kellion melanjutkan perjalanan mencari air untuk membersihkan tubuhnya, kali ini sambil menyantap camilan berupa buah aneh yang memiliki rasa cukup enak baginya. Kellion semakin fokus mencari tanda-tanda air. Ia mulai memperhatikan arah angin, kelembaban tanah, bahkan suara-suara samar yang mungkin saja berasal dari aliran sungai. Kellion berjalan semakin jauh menembus hutan yang terasa asing, setiap langkah kakinya menimbulkan suara remuk ranting-ranting aneh yang rapuh sekaligus lengket, seolah tanah itu sendiri bernapas. Ia menatap sekeliling dengan kewaspadaan tinggi, mengamati setiap pergerakan bayangan di antara pepohonan yang menjulang. Di tengah perjalanannya, pandangannya menangkap sesuatu yang tidak biasa: sebuah tanaman besar dengan batang menggembung seukuran tubuh manusia. Dari celah batang itu menetes cairan jernih, bukan getah, melainkan air sebening kristal yang mengalir deras, menetes hingga membentuk aliran kecil di tanah. Kellion menghentikan langkahnya, mengamati tanaman itu, lalu mendekat dengan hati-hati. Dia menyentuh cairan yang menetes, merasakan dingin menyentuh kulit jarinya, lalu mencium aroma segarnya. Tak ada bau aneh, tak ada rasa logam, ini adalah air jernih yang sudah setara keluar dari mata air. “Woah, ini air! Ini air!” teriak Kellion seolah dia menemukan harta karun yang jumlahnya melimpah. Dia tertawa gila keras-keras. Setelah terbatuk dan tersedak akibat tawa konyolnya, Kellion bergegas membasuh wajahnya. Rasa dingin segera menyebar, menenangkan kulitnya yang kotor oleh debu, darah, dan sisa pertempuran. “Sial! Ini benar-benar air murni!” teriak Kellion. Ia menarik napas mempersiapkan diri, kemudian berteriak keras-keras seperti orang bodoh. “Ini adalah air!” “Oke, sudah berteriak gilanya, lebih baik aku mandi selagi ada kesempatan.” Tanpa ragu, dia langsung membuka pohon lebih besar dengan sekali tebasan pedangnya, hal itu membuat air memancar lebih besar. Dia langsung mandi di sana. Bekas noda darah yang melekat di kulitnya perlahan larut, bau besi yang menempel hilang, dan untuk pertama kalinya sejak jatuh ke dunia aneh ini, tubuhnya terasa ringan. Kellion menghela napas lega, menutup mata sejenak, merasakan betapa berharganya air bersih dalam keadaan seperti ini. Setelah selesai, ia duduk bersandar di akar pohon, air masih menyembur di pohon tersebut. Pikirannya sedikit lebih jernih. Di sanalah, Kellion merogoh sakunya yang berisi dua tabung cairan biru bercahaya, ia masih penasaran apa cairan tersebut, tapi memilih untuk tak memikirkan terlebih dulu, nanti juga ada gunanya. Kellion merasa tak bisa hanya duduk diam dan menunggu dunia ini membunuhnya. Ia harus belajar, harus beradaptasi. Bertahan hidup artinya memahami lingkungan, bukan sekadar menebas musuh yang datang. Dengan tekad itu, ia mengangkat tangannya dan menatap gelang logam yang melingkar di pergelangan. Sekilas benda itu tampak sederhana, namun saat ia memeriksa sekali lagi, ia tak sengaja menyentuh sebuah layar gelap, secara tiba-tiba seberkas cahaya biru keluar, membentuk proyeksi hologram di udara. Sebuah antarmuka melayang di hadapannya, menampilkan deretan ikon dan simbol aneh. “Apa ini?!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN