1. Merasa Putus Asa

1921 Kata
Fathia berdiri di tepi puncak gedung rumah sakit. Tekadnya sudah bulat. Sebentar lagi dia ingin mengakhiri hidupnya. Gadis cantik berkulit putih, tinggi berambut kecoklatan panjang itu merasa putus asa. Menurutnya semua jalan telah tertutup. Tidak ada yang mau menolongnya. Hubungannya dengan Abrar dan kebutaan ini seperti penjara gelap dan sempit yang hanya akan menyesakkan dadanya seumur hidup. Fathia tahu mengakhiri hidup adalah dosa besar. Namun dia sudah muak dan tidak tahan lagi. Berkali-kali Fathia mengatakan pada kedua orang tuanya kalau dia tidak ingin lagi menikah dengan Abrar. Calon suaminya itu telah berselingkuh dengan Sonya, sahabat Fathia sejak mereka masih duduk di bangku SMA. Tapi tanpa perasaan mereka justru menolak permintaannya. "Kalau aku sudah tiada, kalian mungkin baru menyadari kesalahan kalian, Ma, Pa," ucap Fathia dengan meneteskan air mata. "Kalian baru akan memahami perasaanku mungkin nanti setelah aku mati," ucapnya lagi. "Di dunia ini aku hanya punya kalian. Dengan kondisiku yang sudah tidak bisa melihat lagi, kalianlah yang menjaga dan melindungiku dari pria seperti mas Abrar. Tapi kalian tidak mau mendengarku. Maafkan aku bila terpaksa akan mengambil jalan pintas ini," lanjutnya. Air matanya kembali menetes saat teringat bagaimana dia membujuk kedua orang tuanya. “Tolong, Pa. Percaya dengan Fathia. Abrar benar-benar telah berselingkuh dengan Sonya. Fathia tidak mau menikah dengan dia. Fathia telah melihat sendiri Video itu. Fathia tidak bohong. Karena video itulah kemarin Fathia mengalami kecelakaan hingga tidak bisa melihat lagi seperti ini. Tolong setujui permintaan Fathia, Pa,” ucap Fathia dengan memohon memelas pada papa dan mamanya beberapa waktu lalu. “Keputusan Papa sudah tidak bisa diubah. Kamu harus tetap menikah dengan Abrar apapun yang terjadi. Sekarang kamu sudah tidak sempurna lagi, Fathia. Seharusnya kamu bersyukur masih ada pria yang mau menikahi kamu. Pria sempurna seperti Abrar susah dicari. Kalau dia sekali-kali nakal biarkan saja. Itu wajar. Papa sudah sering melihat pria seperti itu. Asalkan dia tetap pulang ke rumah dan tidak menguras hartamu, biarkan saja dia berbuat seperti itu. Kalau sudah bosan dia pasti akan kembali padamu,” tutur papa Fathia, Danu Nugraha. Pemilik perusahaan Arta Nugraha Group yang cukup di kenal di negeri ini. Batin Fathia semakin terasa teriris. Bagaimana bisa, ucapan seperti itu keluar dari mulut papanya. Bukannya peduli dengan harga diri dan perasaan Fathia, papanya justru menganggap perselingkuhan yang dilakukan Abrar itu wajar. Ternyata putri sendiri tidak lebih berharga dibandingkan dengan calon menantunya yang tidak setia. “Dengarkan Papamu, Fathia. Mama janji. Papa dan Mama nanti akan menasehati Abrar. Mama akan pastikan dia tidak akan mengulangi perbuatannya itu dan menjauhi Sonya. Kamu terus saja siapkan pernikahanmu, Nak. Bila ada yang harus diubah sesuai kondisi kamu sekarang, kamu ubah saja. Asal jangan meminta Abrar tidak menikah denganmu. Karena Papamu benar. Kamu adalah salah satu wanita yang paling beruntung. Masih ada pria dari keluarga pejabat tinggi dan terhormat yang mau menikah denganmu walau kamu sudah tidak sempurna lagi. Kamu harus sadari dan memahami hal itu, Nak,” tegas mama Fathia, yang sering dipanggil bu Sundari sambil mengelus pipi putrinya waktu itu. Mendengar itu, kekecewaan dan kesedihan Fathia semakin menjadi. Sebagai sesama wanita, Fathia sangat heran mamanya tidak bisa memahami perasaannya. Mamanya seolah tidak merasakan hatinya yang sakit karena dikhianati calon suami dan sahabat sendiri. Dia tidak merasa cemas atau khawatir bila putrinya nanti menikah dengan Abrar dan hanya akan jadi mainan pria itu. *** Sampai di titik pasrah dan menyerah, Fathia akhirnya memilih untuk mengikuti permintaan kedua orang tuanya tetap menikah dengan Abrar. Dia sudah lelah terus memohon dan berdebat agar pernikahannya dibatalkan. Dia juga telah meminta penjelasan pada Abrar dan juga Sonya. "Hehe... Apa yang kamu bicarakan Fathia? Kamu ini sedang mengigau atau belum sadar dari koma yang kamu alami kemarin?" tanya Abrar yang berlagak seolah tidak pernah melakukan perselingkuhan itu, saat Fathia meminta penjelasan padanya. "Jangan tertawa, Mas. Aku tidak sedang bercanda. Aku mengatakan ini dengan sadar dan sesadar-sadarnya, Mas," tegas Fathia ketus. "Percayalah. Itu hanya video editan Fathia. Kamu tahu, 'kan saat ini sangat mudah melakukan hal itu," ucap Abrar mencoba membela diri. Pria tampan berwajah innocent seperti pria baik-baik itu dengan yakin. "Itu terlalu lucu bila dikatakan video editan. Durasinya cukup panjang. Banyak adegan panas yang kalian lakukan. Jadi akan sulit mengeditnya. Aku memang tidak sepintar kamu, Mas. Aku masih punya otak," tegas Fathia masih ketus. Perdebatan itu berlangsung sengit. Bahkan Fathia telah mempertemukan mereka secara langsung. Namun seolah sedang bermain drama mereka tidak pernah mengakui perselingkuhan itu. Video yang dia sebutkan itu, Abrar yakini sebagai video editan yang ingin menghancurkan rencana pernikahannya. Abrar menegaskan bila dia hanya akan menikah Fathia bukan menikah dengan Sonya. Video itu palsu bukan video dirinya. Karena dia tidak punya hubungan apapun dengan Sonya selain sebagai teman calon istrinya yaitu, Fathia. "Aku tidak menyangka kamu ternyata hanya pria munafik, Mas. Berlagak alim. Tapi hanya untuk menutupi kebobrokanmu moralmu saja," ucap Fathia dalam pertemuan itu, ketus. Setelah dia muak dengan penyangkalan demi penyangkalan yang mereka tegaskan berkali-kali. "Selama ini aku begitu terpesona dengan sikapmu yang alim itu. Aku pikir, nanti bila menjadi istrimu, kamu akan mampu membimbingku menjadi istri dan wanita solehah. Kita akan punya keluarga kecil bahagia dengan landasan agama yang kuat. Ternyata itu hanya mimpi. Kenyataannya kamu tidak cukup teguh dalam mematuhi larangan ajaran agama kita. Imanmu tidak cukup kuat untuk tidak tergoda dengan wanita genit itu," tegas Fathia dengan mengarahkan tudingannya pada Sonya yang dia ketahui dari asal suara Sonya berada di depannya. Tepatnya di seberang meja makan restoran yang mereka tempati sekarang. "Fathia, jangan begini. Mengapa kamu terus mengatakan aku ini sebagai wanita nakal penggoda calon suamimu? Kamu sudah mengenalku sejak lama. Aku bukanlah wanita seperti itu. Aku adalah sahabatmu yang tidak mungkin mengkhianatimu," tegas Sonya setelah meraih kedua tangan Fathia dan menyatukan di dalam genggamannya. "Jaga ucapanmu, Sonya. Apa kamu tidak takut dusta yang sedang kamu mainkan ini?" Fathia buru-buru menarik tangannya. Dia merasa risih bersentuhan dengan Sonya sekarang. Padahal selama ini mereka sudah seperti saudara perempuan saja. Tidur bersama, pergi belanja bersama. Saling bertukar pikiran dan saling mencurahkan isi hati tentang pria-pria yang mereka suka. Tapi tidak disangka pria yang disuka Sonya adalah calon suaminya. Hari itu, Abrar dan Sonya masih berusaha meyakinkan Fathia. Tapi Fathia memilih tidak menanggapinya lagi. Lalu dia pergi meninggalkan restoran sendiri dengan naik taksi. Meskipun, Abrar ingin mengantarnya pulang, Fathia menolak. Dia nekad memilih pulang sendiri saja. Padahal saat itu dia baru saja mengalami kebutaan. Dalam perjalanan pulang, Fathia kembali teringat awal mula dia mengetahui perselingkuhan itu. Malam itu, dia sedang dalam perjalanan pulang dari kantor dan menyetir sendirian mendapatkan kiriman video dari orang yang tidak dikenal. Fathia yang merasa penasaran, segera membuka dan melihat video itu. Alangkah terkejutnya dia ketika tahu video itu berisi adegan mesra dan panas antara Abrar dan Sonya. Dengan perasaan syok, Fathia terus melihat dan memperhatikan video itu sehingga sampai lupa memantau jalan di depannya dengan baik. Sebuah mobil dari arah yang berlawanan tiba-tiba muncul dan tabrakan pun tidak bisa dihindari. Dalam kecelakaan itu Fathia mengalami luka parah di bagian kepala. Dia mengalami koma selama lebih dari seminggu. Ketika sadar, Fathia merasa kebingungan. Karena dia tidak bisa melihat apa pun selain kegelapan dan warna hitam. Awalnya dia pikir lampu tempat tidurnya sedang padam. Namun setelah menyadari dirinya telah kehilangan indra penglihatannya dan sedang berada di rumah sakit karena kecelakaan yang telah dialami beberapa waktu lalu, Fathia seketika menjerit histeris. Sedih dan sulit percaya ternyata dirinya telah kehilangan penglihatan total. Fathia sejadi-jadinya. Berhari-hari dia larut dalam kesedihan. Sungguh, sulit membayangkan bagaimana kehidupannya yang akan datang tanpa kedua matanya yang normal. Dia hanya akan menjadi wanita cacat yang tidak bisa berbuat banyak dalam seumur hidup. Namun seorang dokter muda nan tampan rupawan datang membawa secercah cahaya harapan. Dia adalah dokter Dewangga Kusuma. Seorang dokter spesialis mata termuda sekaligus terbaik di negeri ini, yang sekarang berkerja di rumah sakit Mitra Medica. Dia telah mengoperasi banyak mata di dalam maupun di luar negeri dengan tingkat keberhasilan mencapai sembilan puluh sembilan persen. Selama ini dialah yang merawat kedua mata Fathia. Dokter Dewa mengatakan bila kedua mata Fathia masih bisa disembuhkan. Harapannya masih besar. Operasi pertama boleh gagal. Namun dioperasi kedua dia yakin akan berhasil. Dengan sangat penuh percaya diri, dia berjanji akan menyembuhkan kebutaan Fathia dengan melakukan operasi sekali lagi. “Saat ini saya sudah tidak bisa melihat setitik cahaya pun, Dok. Saya tidak yakin masih bisa sembuh dan melihat lagi seperti dulu,” ucap Fathia ketika dia selesai melakukan chek up rutin ke poli dokter Dewa. Karena sebelum operasi pertamanya yang telah dilakukan beberapa waktu lalu, terkadang matanya masih bisa menangkap cahaya walaupun hanya remang-remang dan itu pun sangat jarang. Dan sekarang, setelah melakukan operasi pertama, kedua matanya gelap total. Sekali saja, setelah operasi dia belum pernah melihat cahaya atau bayangan. Itulah sebabnya dia berusaha menolak ketika dokter Dewa kembali menawarkan operasi lagi. Fathia sudah pesimis bisa sembuh lagi setelah operasi yang kedua. Tapi karena desakan dan harapan ingin bisa melihat lagi, Fathia akhirnya menjalani operasi kedua. Namun seperti yang telah dia duga. Operasi kedua tetap tidak membuahkan hasil. Kedua mata Fathia masih belum bisa melihat. Dan itu semakin membuatnya putus asa. Pernikahan kurang sebulan lagi. Persiapan sudah hampir selesai. Perasaannya semakin tertekan. Fathia sudah tidak tahan lagi mengetahui sikap Abrar dan Sonya yang penuh kepura-puraan. Di dekatnya mereka seolah tidak terjadi sesuatu. Tapi Fathia bisa merasakan bila keduanya sedang bermesraan. Sementara orang tuanya tidak bisa dia andalkan lagi. Tadi siang Fathia pamit pada mamanya untuk pemeriksaan rutin sendiri dengan naik taksi. Fathia meyakinkan mamanya tidak butuh teman dan bisa berangkat sendirian. Dia juga tidak mau ditemani Abrar. Sampai di rumah sakit Mitra Medica dia langsung ke poli tempat dokter Dewa. Di sana dia melakukan pemeriksaan sebentar. Karena pasien sedang ramai Fathia punya kesempatan untuk segera pergi. Kalau tidak, dokter itu akan meminta menunggu dan kemudian mengajaknya bicara. Fathia tahu dokter Dewa sangat penasaran dengan kedua matanya. Dia merasa bingung mengapa sudah dua kali dilakukan operasi tapi tetap gagal juga. Fathia tidak mau terus menjadi kelinci percobaannya. Karena itulah dia pergi menyelinap menuju ke bagian paling atas gedung rumah sakit ini. Beberapa waktu lalu dokter Dewa yang telah mengajaknya kemari. Saat itu dia benar-benar merasa sedih dan kecewa setelah tahu tidak bisa melihat lagi. Dokter Dewa mengajaknya kemari dan berteriak sepuasnya agar merasa lebih baik. Memang benar, dia merasa lebih lega. Saat itu emosinya juga jadi lebih stabil. Hampir setiap hari selama satu minggu dokter itu selalu mengajaknya naik ke atas gedung rumah sakit ini. Selain ingin menyembuhkan kedua matanya. Dokter Dewa juga ingin menyembuhkan mentalnya. Bagaimana pun Fathia tidak akan pernah melupakan kebaikan pria itu. Menurutnya, dialah satu-satunya manusia di muka bumi ini yang masih memikirkan perasaannya. Bahkan dibandingkan orang tuanya. "Selamat tinggal, Ma. Selamat tinggal, Pa. Sekali lagi maafkan aku telah memilih jalan ini. Selamat tinggal mas Abrar. Selamat tinggal Sonya. Aku harap hidup kalian tidak akan pernah tenang setelah kematianku. Selamat tinggal dokter Dewa. Terima kasih atas bantuan dan semangatnya yang tidak pernah habis agar bisa melihat lagi. Namun, aku tidak sekuat dan sesabar itu, Dok. Aku sudah tidak sanggup bertahan hidup di dunia ini lebih lama," ucap Fathia untuk terakhir kalinya. Perlahan Fathia naik ke pembatas pagar besi yang melindungi bagian pinggir atas gedung ini. Satu tingkat demi satu tingkat dia menaiki pagar pembatas itu. Dengan tangannya dia bisa tahu seberapa tinggi dia telah naik. Untuk sementara tangannya masih berpegangan erat pada pagar. Sebelum terjun bebas ke bawah, dia ingin meminta maaf pada Tuhan, kedua orang tuanya dan juga dokter Dewa. Dengan batin suara sedih Fathia menyebut nama itu satu persatu. Namun, tanpa dia duga tiba-tiba seseorang telah menangkap tubuhnya dari belakang. Fathia terkejut dan menjerit. Tubuhnya kemudian terangkat menjauh dari pagar pembatas itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN