Wanita dari Masa Lalu

1113 Kata
Mas Reno terperangah mendengar pernyataan, ralat permohonan tersebut. Ia tampak terkejut mendengarnya. Begitu pula dengan diriku. Aku berusaha menahan diri dari emosi yang meluap-luap mengetahui maksud kedatangan dari wanita asing yang hendak memporak-porandakan pernikahanku. “Siska, ini nggak semudah yang kau pikir.” Mas Reno tampak bergelut dengan pemikirannya. “Tapi, Mas? Aku sudah sangat yakin ingin menikah kembali denganmu.” Siska berusaha meyakinkan niatnya. “Reno, dengar Ibu baik-baik, Nak. Siska jauh-jauh datang kemari karena ingin meminta maaf padamu. Dia juga sudah menyesali perbuatannya. Masa kau nggak mau memaafkannya dan memberinya kesempatan.” Ibu terus mendesaknya. Entah ada keperluan apa Ibu terus mendesak putranya menikah lagi. Padahal Ibu tahu kalau Mas Reno sudah memiliki istri lagi, yaitu aku. Walau sejujurnya aku terkejut mengetahui Mas Reno pernah menikah dan memiliki seorang anak. Ia tidak pernah menceritakan masa lalunya kepadaku sebelumnya. Sungguh, aku benar-benar syok mendengar berita menggemparkan ini. “Tapi, bu... Mas Reno ‘kan...” Aku mencoba berbicara kali ini, tapi Ibu malah menghentikanku. “Diam Arumi, ini bukan urusanmu. Ini urusan Reno dengan Siska. Kau cuma orang luar diantara mereka!” Bentak Ibu yang membuatku terdiam seketika. Rasanya ingin sekali aku mendebatnya, tapi apa daya aku enggan untuk berdebat dengan wanita yang kuanggap seperti ibu kandungku sendiri. Meski dia ibu mertuaku, tetap saja aku harus menghormatinya selayaknya ibu kandungku. “Mas, tolong kau pertimbangkan baik-baik permohonanku ini mas. Bukan untuk aku, tapi untuk Karin putri kita, Mas. Dia sangat menyayangimu. Dia tidak mau berpisah denganmu.” Siska terus berusaha membujuk Mas Reno. “Reno, mungkin ini sudah malam. Kau juga baru pulang kerja. Sekarang tidurlah dan pikirkan permohonan Siska.” Ibu pun membantu Siska membujuk Reno. “Oh iya, Arumi. Di rumah ini ‘kan masih ada satu kamar tersisa. Biarkan Siska menginap di sini malam ini, karena sudah malam. Nggak mungkin ‘kan ia pulang larut malam.” Belum sempat aku membantah, Ibu langsung membawa Siska ke kamar kosong yang memang khusus disediakan untuk tamu yang hendak menginap. Wanita itu bahkan tidak menunggu persetujuanku. Hening ... Aku terdiam melihat kepergian mereka ke ruang kamar tidur khusus tamu yang memang tersedia di rumahku ini. Dalam hati aku hanya bisa menggerutu melihat sikapnya yang semau-maunya sendiri. Aku tidak menyediakan kamar tersebut untuk wanita yang hendak menghancurkan rumah tanggaku ini, ‘kan? Entah kenapa aku merasa hancur melihat kedatangan ibu mertuaku dan wanita dari masa lalu Mas Reno itu. Aku tidak pernah tahu Mas Reno memiliki masa lalu bersamanya, karena Mas Reno tidak pernah sedikit pun menceritakan tentang masa lalunya. “Mas mau mandi dulu?” tanyaku berusaha memasang senyum ceriaku. Aku bersusah payah tersenyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa, tapi Mas Reno terlihat sibuk dengan pemikirannya. Apa sehebat itu pengaruh wanita bernama Siska itu terhadap Mas Reno yang kini berstatus suamiku. “Iya.” Aku segera menyediakan handuk untuknya dan menunggu dia keluar dari kamar mandi dengan ribuan pertanyaan yang siap terlontar dari mulutku. Selama beberapa menit ketika Mas Reno mandi, aku sibuk dengan pemikiran-pemikiran yang menyerang pikiranku bertubi-tubi. Tentang siapa itu Siska, bagaimana kehidupan masa lalu mereka. Semuanya. Aku ingin tahu semuanya tanpa ada satu pun yang ditutupi. Dengan sekuat tenaga aku menahan diri agar bersabar menunggu Mas Reno selesai membersihkan diri. Jujur, aku menikah dengan Mas Reno dari proses ta’aruf. Tiga bulan sebelum menikah, kami sudah saling berkenalan. Kami diperkenalkan oleh Pakde-ku yang bekerja sebagai pengawas lapangan kebun yang mengenal Mas Reno yang kala itu bekerja sebagai mandor. Pakde menyukai kepribadiannya. Menurut Pakde, mas Reno adalah pria pekerja keras yang penuh tanggung jawab. Ia juga jujur serta ulet dalam bekerja. Karena itu, Pakde menyampaikan niatnya untuk memperkenalkan Mas Reno padaku yang saat itu memang masih single. Aku memang tidak pernah memiliki hubungan apapun dengan pria, karena aku terlalu pemilih. Aku menunggu sosok yang mampu meluluhkan hatiku yang keras ini. Pertama kali kami bertemu, Mas Reno terlihat kikuk. Ia seperti pria lugu yang belum berpengalaman, sama sepertiku. Ia juga pria yang ceria yang selalu membuatku tertawa setiap kali ia melakukan sesuatu. Setelah tiga kali pertemuan, akhirnya aku memutuskan menerima lamarannya. Karena aku merasa dia adalah laki-laki yang baik yang akan membimbingku ke surga-Nya. Tanpa pikir panjang, kuputuskan untuk segera menerima pinangannya. Aku tidak pernah mengira, Mas Reno yang menikahiku adalah seorang Duda beranak satu. Kenapa Mas Reno tidak pernah menceritakan tentang masa lalunya padaku. Salahku juga yang tidak pernah mencari tahu tentang masa lalunya. Lalu bagaimana denganku yang merasa tertipu olehnya. Ia tidak jujur padaku. Terlebih ketika perempuan itu datang dan mengobrak-abrik kehidupanku. “Kau belum tidur, Rum?” tanya Mas Reno setelah ia selesai mandi. Ia mengusap rambutnya yang basah dengan handuk yang langsung ia gantung di jemuran agar lekas kering. Aku hanya menggeleng lemah sambil duduk di atas ranjang yang terasa dingin malam itu. “Aku ingin Mas cerita.” “Cerita apa, Dek?” tanyanya seolah ingin mengabaikan kecemasanku semenjak kedatangan ibu dan wanita itu. “Mas nggak ada hubungan apa-apa lagi dengannya. Mas sudah bercerai!” “Tapi Mas nggak jujur padaku,” tukasku menahan kesal yang masih terus menggerogoti pikiranku. “Harusnya Mas jujur kalau Mas sudah pernah menikah dan mempunyai seorang anak.” “Memangnya apa bedanya kalau Mas jujur, Dek? Mereka hanya masa lalu Mas. Sama sekali nggak pernah terlintas di pikiran Mas akan kehadiran lagi di hidup Mas.” Mas Reno bersikeras untuk mempertahankan egonya yang dirasanya benar, tapi tidak bagiku. Kejujuran adalah pondasi utama dalam pernikahan. Semenjak awal Mas Reno tidak jujur saja, aku terluka. Aku merasa dibohongi olehnya. “Tapi setidaknya aku tahu kalau Mas masih memiliki seseorang yang menjadi tanggung jawab Mas selain aku dan calon anak kita nanti.” “Itu urusanku nanti, Rum. Tugasmu hanyalah menjadi istriku yang taat padaku dan ibu untuk anakku. Aku tidak ingin berdebat denganmu malam ini. Tidurlah!” ujar Mas Reno dengan nada sedikit membentak, sehingga aku tak sanggup lagi untuk melanjutkan perdebatan kami. Sejenak aku terdiam sambil memposisikan diriku agar merasa nyaman tidur di ranjang, “Lalu bagaimana dengan wanita itu?” Akhirnya aku beranikan diri untuk bertanya tentang rencana Mas Reno terhadap mantan istrinya tersebut. “Apa Mas berencana menikahinya?” “Mas bahkan belum memikirkannya,” sahut Mas Reno sambil menutup pintu kamar dan meninggalkanku sendiri—meratapi kepedihan hatiku ketika mendengar Mas Reno akan memikirkan wanita itu kembali. Ya Allah, entah mengapa dadaku terasa sesak... aku menangis dalam diam hingga tak terasa airmata menetes perlahan membasahi bantal. Allah, tolong kuatkan aku menghadapi hari esok. Adakah cara bagiku untuk menenangkan resah di hati ini? Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang, karena kegelisahan di hatiku terasa semakin menyesakkan d**a. Bagaimana jika Mas Reno memutuskan menikahi wanita itu? Aku bahkan belum siap menerima kehadiran wanita lain di kehidupan Mas Reno. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN