Chapter 2 - Berciinta Tanpa Cinta

2111 Kata
**Malam sebelumnya** Henry membaringkan tubuh Tamara yang sudah basah kuyup itu ke tepi kolam renang. Dia yang melakukan CPR dan memberi Tamara nafas buatan, hal krusial yang untungnya dia pelajari saat dirinya bergabung sebagai anggota PMR dulu. Banyak orang yang langsung berbondong-bondong datang untuk menyaksikan aksi heroik Henry, termasuk Carmen, Marion dan Kristin. Marion yang panik langsung menelepon ambulans. Tapi baru saja seorang petugas rumah sakit menjawab panggilan masuknya saat tiba-tiba Tamara sudah sadar kembali. Sambil dipegangi punggungnya oleh Henry dia batuk-batuk, terus mencoba untuk mengeluarkan semua air yang terjebak di dalam paru-parunya. Dibukanya sepasang maniknya dengan perlahan. Telinga Tamara bisa mendengar dengan jelas kalau itu adalah suara Henry, laki-laki yang dibencinya, yang terus memanggil-manggil namanya. Dia juga tahu kalau pasti Henry pula yang menyelamatkan dirinya, namun pandangannya yang masih kabur itu malah memainkan intrik dalam kepalanya. Samar-samar, Tamara melihat wajah laki-laki lain. Bukan wajah Henry, bukan pula wajah Dennis. Meskipun raut itu tak nampak dengan jelas, tapi entah kenapa Tamara sama sekali tidak merasa asing dengan sosoknya. Ah, siapa gerangan sosok itu? Kenapa Tamara malah merasakan cinta dan sesuatu yang spesial darinya? Seolah-olah dirinya sudah pernah dipertemukan dengan laki-laki itu di lain waktu dan di lain tempat, entah kapan dan bagaimana caranya … Mungkinkah ini efek dari alkohol yang terlalu banyak ditenggak Tamara? Ditepuknya pipi kiri Tamara dengan pelan. “Hey, sadarlah!” oceh Henry. Dan saat itu juga bayangan Tamara akan sosok laki-laki itu lenyap. Hanya ditatapnya Henry dengan sorot kosong. Dengan cepat Henry melepas suit-nya lalu memakaikannya pada Tamara agar dia tidak kedinginan. Diraihnya clutch Tamara yang ikut basah kuyup itu lalu diberikannya pada Carmen, yang masih berdiri membatu. “Periksa isi clutch-nya, cari kartu identitas dan ponselnya. Hubungi keluarganya sekarang juga,” perintahnya. Diperiksanya isi clutch Tamara sambil dibantu oleh Marion dan Kristin. Carmen lantas menatap Henry gugup kelar menggeledah isi clutch sahabatnya. “Tamara tidak bawa kartu identitas,” katanya. “Ponselnya juga mati, pasti kemasukan air,” timpal Kristin. “Tidak adakah satupun dari kalian yang tahu di mana alamat rumah Tamara?” tanya Henry, yang hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh ketiganya. “Damn it, teman macam apa yang tak tahu di mana alamat rumah temannya sendiri?” makinya. “Kami memang belum sempat main ke rumah baru Tamara! Dia dan Dennis belum lama ini pindah ke rumah baru,” cetus Marion. Henry menghela nafas panjang. “Kalian bawa mobil?” tanyanya pada ketiganya. Sementara Tamara, hanya bisa duduk di tepi kolam renang di samping Henry. Tubuhnya masih lemah. Kepalanya masih sakit dan dia masih shock selepas jatuh ke dalam kolam renang sedalam dua meter yang hampir saja merenggut nyawanya. “Tidak,” jawab Carmen seraya menggeleng. “Aku belum punya mobil,” sambung Kristin. “Mobilku rusak dan masih diservis,” timpal Marion. “f**k,” gumam Henry yang kepalanya jadi ikut-ikutan sakit. “Baiklah. Biar aku yang antar Tamara ke rumahnya,” imbuhnya, lalu lanjut menggendong tubuh Tamara ala bridal style, hendak membawanya menuju tempat mobil audi hitamnya diparkir. “Tunggu,” cegat Carmen. Ditatapnya Henry dengan sorot yang nampak begitu khawatir, “Jaga Tamara baik-baik. Pastikan dia pulang ke rumahnya dengan selamat.” Henry hanya mengangguk dengan serius. “Di mana alamat rumahmu?” tanyanya pada Tamara selesai mendudukannya di dalam mobil di samping dirinya. Lawan bicaranya tak menjawab, masih diam sambil melamun menatapi dashboard mobilnya. “Hey, aku sedang bicara denganmu, Nona. Kalau kamu hanya berdiam diri seperti itu, yang ada kita tidak akan pulang,” keluh Henry yang mulai naik darahnya. Lagi-lagi Tamara tidak bergeming. “Come on, kamu bisa sakit kalau begini terus,” resah Henry sembari menatapi rambut Tamara yang basah dan lepek. Karena tak kunjung ada jawaban, akhirnya Henry memutuskan untuk segera menyalakan mobilnya—meskipun sesungguhnya dia tak yakin mau membawa Tamara pergi ke mana. Dia mendengus kesal. “Ck, dasar wanita dungu. Bisa-bisanya kamu pergi tanpa membawa kartu identitas? Kalau diculik dan dibawa kabur orang, sudah pasti kamu akan …” Ucapan Henry sontak terpotong saat tiba-tiba Tamara mendaratkan bibirnya ke atas bibir Henry. Ditangkupkannya wajah tampan Henry dengan tangan kanannya, lalu ditatapnya dengan sorot sayu. “Bawa aku pulang bersamamu …,” bisik Tamara. “What?” ucap Henry kaget. Matanya terbuka lebar. “Kepalamu terbentur lantai kolam?” tanyanya, tak percaya dengan apa yang barusan dikatakan oleh musuh bebuyutannya. “Please …,” desak Tamara dengan tubuh yang sedikit menggigil karena kedinginan. “Fine,” kata Henry sambil mematikan AC mobilnya. “Tapi kamu harus sudah pulang pagi-pagi sekali, dan jangan menyeretku ke dalam masalah rumah tanggamu. Kamu sendiri yang harus menjelaskan semuanya pada suamimu,” ancamnya. ***** Keduanya sampai di Monver Estate, apartemen yang dihuni Henry, satu jam kemudian. Henry merasa jengkel, benar-benar merasa direpotkan oleh Tamara yang tubuhnya masih lunglai dan harus dibopong sampai masuk ke dalam kamar tidurnya. Melihat Tamara yang semakin kedinginan, ditambah lagi dirinya tak mau menambah beban dengan membiarkan Tamara jatuh sakit, akhirnya dengan pelan dan agak ragu-ragu Henry menanggalkan suit-nya beserta mini dress yang menutupi tubuh Tamara. Dia lanjut menurunkan panties yang melindungi lipatan kenikmatan milik Tamara sambil curi-curi kesempatan untuk merasakan betapa halusnya kulit paha dan betis Tamara yang terasa agak dingin itu. Tanpa sadar Henry menelan salivanya dengan kasar begitu dia membuka kaitan bra yang menutupi gundukan ranum milik Tamara, yang puncaknya sudah menegang dan berbentuk nyaris bulat sempurna itu. “Tutupi tubuhmu pakai selimut,” perintahnya seraya membuang muka. Tamara sudah berhasil memancing gairahnya. Buru-buru Henry keluar dari kamar tidurnya seusai mengambil mini dress, pakaian dalam, ponsel serta clutch milik Tamara yang hendak dicuci dan dikeringkannya. “Sial, ponselnya masih mati,” gumamnya seraya menepuk-nepuk ponsel Tamara. Kelar memasukkan baju kotor itu ke dalam mesin cuci, dia beranjak menuju dapur, mengeluarkan beberapa bongkah es batu dan sebotol beer dari dalam kulkas, lalu meminumnya guna menenangkan dirinya sendiri. Namun rupanya ketenangan sedang tak mau berkawan dengan Henry malam ini. Dengan langkah agak sempoyongan, Tamara, yang tubuhnya tak tertutup sehelai benangpun itu, menghampiri Henry kembali lalu berdiri persis di belakangnya dan membuatnya terkejut setengah mati. “Kamu dari mana?” tanyanya seraya memamerkan lekuk tubuhnya yang berbentuk bak jam pasir. Henry membalik tubuhnya. “Habis mencuci mini dress dan pakaian dalammu, sekalian mengeringkan clutch dan ponselmu,” jawabnya. Bukan mata Tamara, melainkan gundukan kembarnya yang jadi fokusnya. Dipeluknya tubuh Henry dengan erat. “Jangan tinggalkan aku …,” lirih Tamara. Mabuk. Dia sungguh sudah dimabuk alkohol. ‘Oh, s**t,’ benak Henry. Dia takut batang keperkasaannya akan semakin tegak berdiri dan sulit untuk diajak ‘tidur’ lagi. Dilepasnya pelukan Tamara lalu dijauhinya tubuhnya dengan segera. “Sana masuk ke dalam kamar!” perintahnya tegas. Tamara malah menggeleng dan lanjut memeluk tubuhnya kembali. “Tidak mau …,” rengeknya. Birahi yang kian melingkupi Henry akhirnya berhasil mengalahkan akal sehatnya. Dia menyeringai lalu melepas pelukan Tamara dan menatapnya dengan sorot penuh nafsu. “Hmm … Kamu sungguh nakal, Tamara,” katanya sambil meraih dua buah es batu yang tergeletak di atas meja dapur di dekat tubuhnya. “Apa jangan-jangan kamu sengaja menggodaku, hm?” gumamnya seraya mengusap puncak gundukan ranum milik Tamara menggunakan bongkahan es batu tersebut. Tubuh Tamara bergetar hebat. Rasanya dingin tapi juga nikmat. Sebuah sensasi yang sungguh tidak biasa bagi dirinya. “Ahhh …,” desahnya sambil meremas lengan berotot Henry. “Kamu menyukainya?” tanya Henry sambil memijat satu gundukan ranum milik Tamara. “Nghh …,” erang Tamara yang tak mampu berkata-kata. Digendongnya tubuh polos Tamara lalu dibawanya masuk kembali ke dalam kamar tidurnya. Henry separo menindih tubuh Tamara, wajahnya berada persis di atas lipatan kenikmatannya. Dijilatinya lipatan kenikmatan yang warnanya agak kemerah-merahan itu, lalu dibasahinya menggunakan cairan salivanya. “Ahhh … Please …,” desah Tamara yang tubuhnya semakin menggeliat tak nyaman. “f**k,” bisik Henry. Diselipkannya jari tengahnya untuk membelah lipatan kenikmatan milik Tamara, dan ditekannya klit0risnya berkali-kali. “Aku iri dengan suamimu. Beruntungnya dia bisa merasakan tubuhmu setiap malam,” gumamnya. “Ahhh … terus …,” desah Tamara yang dibuat semakin gila karena sentuhan dan remasan tangan Henry yang perkasa. Seringai lebar itu kembali muncul di wajah rupawan Henry. Dia melepas seluruh pakaiannya, lalu dengan cekatan beranjak naik ke atas tubuh Tamara. “Let’s do it, baby. Biar kubuat dirimu mendesah kencang di atas ranjang malam ini,” ucapnya sambil menggesekkan ujung batang beruratnya ke atas lipatan kenikmatan milik Tamara yang kian basah karena nafsu. **End of flashback** “Tidak mungkin! Kamu pasti cuma mengarang cerita, kan?!” debat Tamara setelah dirinya mendengar penjelasan Henry soal apa yang sudah terjadi tadi malam. “Mana mungkin aku yang merengek untuk menginap di sini dan minta ditiduri olehmu?!” Henry menaikkan kedua bahunya. “Terserah apa pikirmu, tapi memang itu kenyataannya,” katanya. Dia tersenyum miring. “Makanya jangan kebanyakan minum alkohol kalau tidak mau mabuk dan berciinta dengan sembarang orang,” sindirnya. Wajah Tamara seketika memerah. Sindiran itu mengenai tepat sampai ke hatinya. Henry lanjut bicara, “Aku sudah menyiapkan s**u dan vitamin untukmu. Minumlah agar tubuhmu tidak lemas lagi.” “Kembalikan baju dan barang pribadiku!” ucap Tamara ketus. “Baju dan clutch-mu belum kering,” tutur Henry sebal. Dia lanjut memberikan ponsel Tamara, yang sebelumnya sudah coba dia keringkan menggunakan hair dryer, “Ini, sudah kucoba keringkan, tapi ponselmu tetap tak mau nyala.” Diambilnya ponselnya dan ditatapinya dengan raut sedih. Wafat sudah ponsel seharga lima belas juta milik Tamara. “Mudah-mudahan masih bisa diperbaiki,” gumamnya. “Mau pakai bajuku dulu?” tawar Henry datar. Ditatapnya Henri dengan wajah sinis. “Aku tak sudi memakai pakaianmu,” tolak Tamara. “Oh, oke. Aku juga lebih suka melihatmu tanpa busana,” rayu Henry. ‘Sialan,’ umpat Tamara dalam hati. Siangnya, tanpa mau menunggu hingga mini dress dan pakaian dalamnya benar-benar kering, Tamara langsung mendesak Henry untuk memesankannya sebuah taksi. Dan Henry dengan tangan terbuka menemani Tamara di lobby apartemennya hingga taksi pesanannya tiba. “Tunggu, aku tukar uangku dulu,” ujar Henry, lalu pergi meninggalkan Tamara sebentar menuju sebuah minimarket. Selagi menunggu hingga Henry kembali dan taksi pesanannya sampai, seorang wanita berusia sepuh yang duduk di atas kursi roda dan sedaritadi menatapinya dari kejauhan, menghampiri dirinya. Dia terdiam sejenak sambil menatapi wajah Tamara, lalu lanjut mengucapkan kalimat penuh teka-teki, “Laki-laki yang ada dalam bayanganmu itu adalah takdirmu. Kamu tak akan bisa lepas darinya sebelum kamu menyelesaikan apa yang belum kamu selesaikan di kehidupan masa lalumu.” Tamara tersenyum canggung. “Siapa yang ibu maksud?” tanyanya. Wanita yang rambutnya sudah memutih semua itu tidak menjawab. Hanya terdiam sembari menunjukkan senyum ramah di wajahnya yang telah renta. Tamara lanjut bertanya, “Ibu bicara dengan saya, kan?” Barulah wanita itu mau merespon. “Selama ini jawabannya terkubur di dalam ingatanmu,” jawabnya—yang malah semakin menorehkan tanda tanya besar dalam benak Tamara. Dahi mulus Tamara seketika mengernyit. “Saya tidak paham dengan apa yang sedang ibu bicarakan,” ujarnya. Selang beberapa detik kemudian, seorang perempuan berusia tiga puluhan akhir dengan sigap menghampiri keduanya. “Maaf, ibu saya memang suka meracau,” ucapnya pada Tamara. “Tidak apa-apa,” tutur Tamara dengan senyum tipisnya. Mereka meninggalkan Tamara setelahnya. “Mau rokok?” ucap Henry kelar menukarkan uang recehnya. Tamara menggeleng, “Aku tidak merokok.” “Tapi suka ‘menghisap batang rokok’ milik suamimu?” rayu Henry sambil menyalakan sebatang rokok menthol-nya. “Pertanyaan macam apa sih itu?!” maki Tamara. Henry tersenyum, “Sorry. Bercandaku memang kadang kelewatan.” Dia terdiam sejenak untuk berpikir. “Ibu-ibu yang duduk di kursi roda itu penghuni apartemen ini?” tanya Tamara penasaran. “Yang rambutnya sudah putih semua?” Tamara hanya mengangguk. “Kenapa? Dia meramalmu? Dia bilang kalau taksi yang kamu tumpangi bakal kecelakaan?” gurau Henry. “Bukan, bodoh.” Dihirupnya batang rokoknya dalam-dalam. “Namanya Niken Sasmita, dia tetanggaku yang tinggal dengan putrinya. Aku dengar dia divonis mengidap alzheimer, jadi maklumi saja kalau bicaranya ngaco,” jelas Henry. “Oh,” gumam Tamara seraya mengangguk dengan pelan. Taksi pesanannya tiba enam menit kemudian. “Nanti kuganti uangmu,” kata Tamara tepat sebelum memasuki mobil taksinya. Henry menggeleng dengan mimik dinginnya, “Tidak usah.” Keduanya pun berpisah setelah itu. Selama dalam perjalanan menuju rumahnya, selain kepikiran dengan ucapan wanita bernama Niken tadi, Tamara juga terus memikirkan soal suaminya. ‘Kapan Dennis akan balik dari Korea?’ tanyanya dalam hati. Satu hal yang paling mengganggu pikirannya, apa yang akan diperbuat Dennis saat dia tahu kalau istrinya tidak sengaja melakukan one night stand dengan laki-laki lain? ♥♥TO BE CONTINUED♥♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN