?Second?

477 Kata
"Mas Arsa! Stop! Aku bilang stop!" Semakin Mas Arsa memajukan tubuhnya, semakin aku memundurkan tubuhku. "Mau keluar sendiri? Atau aku dorong?" Mas Arsa tetap saja diam sambil memberikan senyuman mengejek. "Aku dorong ya? Serius ini." Begitu tanganku sudah berada di dadanya pria ini malah menggengam tanganku. Senyuman mengejek masih terukir di bibirnya. "Emangnya kuat?" "Kuat dong! Aku kan dari dulu selalu minum s**u dan makan telur setiap pagi. Disuruh sama Papa." "Coba." Dia terdiam, sedangkan aku terus mendorong tubuhnya. Namun, tidak satu sentimeter pun tubuhnya bergerak mundur. Padahal tubuh Mas Arsa tidak gemuk, tetapi sangat sulit sekali untuk aku dorong. Tubuhnya tegap banget. "Jangan berusaha sekeras itu," ucap Mas Arsa lantas menarikku untuk duduk di tepi ranjang, "mending diam sini. Hemat energi." "Enggak! Enggak! Hemat energi mau ngapain?" Sebelah alis pria itu menukik. "Sesuai yang ada dipikiran kamu," dia mengelus pipiku, "mau perempuan atau laki-laki, Dek? Kita kan udah halal. Langsung dibuat sekarang bisa." "Heh! Aku enggak kepikiran ke sana ya. Jangan ke-PD-an." "Memang harus percaya diri." Aku menarik tangannya dengan sekuat tenaga. "Keluar ah, Mas! Aku mau tidur. Besok harus kerja lagi." Pria di hadapanku ini tertawa pelan, tapi dia masih tidak mengindahkan ucapanku. "Mas! Ah! Cape!" "Iya, makanya udah. Jangan berusaha ngusir suami sendiri," Mas Arsa mengusap keringat di keningku, "tidur aja sini, Dek. Berdua. Bisa pelukan. Kamu biasanya tidur kedinginan kan?" Aku melirik ke arah jam, sudah pukul sebelas malam. Kalau aku meladeni Mas Arsa, enggak ada habisnya. Aku enggak mau aku kesiangan besok hanya karena pertikaian enggak penting ini. "Kalau Mas enggak mau tidur di kamar yang lain, gapapa. Aku yang tidur di kamar lain," aku mengambil bantalku kemudian bergegas keluar, "Aku lebih nyenyak tidur sendiri," ucapku diakhiri dengan gebrakan pintu yang kencang. Sial. Belum juga satu hari menikah, aku udah merasa bahwa ketenangan aku diganggu. Aku masuk ke dalam kamar orangtuaku yang saat ini sudah kosong. Aku menjatuhkan tubuhku di sana lantas memejamkan mata. Namun, ada suara pintu yang terbuka dan masuklah Mas Arsa. "Kalau enggak mau tidur satu ranjang, gapapa. Tapi jangan pindah kamar begini. Lagian kita udah menikah, memang seharusnya sekamar. Kamu malah ngusir-ngusid suruh Mas pindah kamar." "Masa Mas tidur di kamar Danina, enggak mungkin tidur di kamar mantan istri dan enggak mungkin juga Mas tidur di kamar orangtua kamu sendirian, enggak etis aja rasanya." Ngedumel dia. "Mas enggak bisa tidur di sofa, terlalu sempit." Aku menarik napas kemudian membuka mata. "Terus sekarang maunya gimana? Jangan ngajak aku bertengkar, Mas. Besok aku kerja pagi." "Enggak ada yang ngajak bertengkar. Mas cuma ngasih tahu." Aku bergumam. "Sekarang maunya gimana?" "Balik ke kamar kamu. Kita tidur satu kamar. Kamu di ranjang, Mas di bawah. Tolong gelarkan karpet tapi." "Hmm, iya." Aku kembali ke kamar dan menuruti apa yang dia inginkan. Bukannya karena aku mengalah, tapi karena aku enggak mau membuang waktu untuk bertengkar hal yang enggak penting. Time is money. Bagiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN