2

3906 Kata
Alana kembali ke kursinya. Dia melamun, menatap jendela kaca yang membatasi antara ruang pimpinan dengan mejanya. Dia menghela napas, berpaling setelah memutuskan kontak mata mereka dan beralih ke komputer yang menyala. Di sisi lain, Akira semakin tidak mengerti. Seleranya menguap entah kemana. Dia memejamkan mata, setelah memutar kursi kerjanya ke hadapan lain, selama Alana tidak bisa melihatnya. Pengunduran diri Alana sebenarnya bukan hal yang harus dia kejutkan. Karena Alana terlahir sebagai putri konglomerat, posisi sekretaris adalah posisi terendah yang bisa Akira tawarkan padanya. Pertemuan mereka, tujuh tahun lalu masih terasa membekas. Akira tidak bisa melupakannya. Dia gagal dalam menghilangkan nyawanya sendiri karena gadis itu. Alana menoleh, mendapati Hana menghampiri mejanya dengan kopi botol dingin di tangan. "Semoga kau lebih baik," katanya. Hana sudah bekerja selama tiga tahun di sini, dia mengerti karakteristik sang bos yang terlewat dingin dan kaku, tapi bisa bersikap kurang ajar dan menyebalkan di satu waktu. "Terima kasih," balas Alana, mengedipkan mata pada Hana yang menggeleng seraya berbisik, "bukan masalah, santai saja." Dia beranjak dari kursinya, bergegas pergi menuju lantai dasar untuk duduk menikmati udara di siang hari. Rasanya tidak lagi berselera untuk makan siang, Alana malas mengunyah sesuatu di dalam mulutnya. Alana melamun. Di sofa besar tempat dimana para tamu biasa menunggu, dia duduk. Menikmati waktu untuk dirinya sendiri dan berpikir. Dia akan semakin sulit keluar jika Akira tidak kunjung memberikan tanda tangan miliknya. Ponselnya bergetar. Alana membuka kunci layar dan mendapati sang ibu mengirim pesan singkat untuknya. Jangan lupa, jam delapan. Acara amal di Hotel Carlton. Kami menunggumu. Alana menghela napas panjang. Dia tidak menekan opsi balas. Yang dia lakukan adalah mematikan ponselnya, mengembalikan ke dalam saku blazer dan terdiam. Kembali menikmati waktu sendiri. Orang-orang yang berlalu-lalang tampak tak peduli padanya. Alana bersyukur karena dia tidak mendengar apa pun di telinganya. Dia kembali menghela napas panjang. Mengusap pelipis hingga pipinya berulang kali. Sebenarnya, kalau dia boleh jujur, tidak ada yang salah dengan  Akira, direktur utama 's Company, yang menjadi atasannya selama lima tahun ini. Alana sudah berlapang d**a menerima seluruh kelakuan pria itu. Dari yang terkecil hingga terbesar. Dia menerima tawaran Akira sejak awal. Walau pria itu sedikit memaksa, Alana berpikir menerimanya karena dia ingin hidup di dunia lain, yang tidak pernah dia sentuh selama hidupnya. Tetapi, pekerjaan demi pekerjaan yang ternyata cukup membuatnya tertekan, membuatnya lupa akan dirinya sendiri. "Yang terpenting adalah diri sendiri, kan?" Alana bergumam pelan, bertanya pada diri sendiri. Dia menarik napas panjang, berdiri dari sofa saat dia seleHiro menikmati waktu kesendiriannya. Dia berdiri, terdiam sejenak saat Akira berjalan ke arahnya, pria itu terdiam, mematikan langkahnya. Alana membungkuk, memberi salam pada Akira ketika pria itu berjalan, dan berhenti di belakangnya. "Kau mau makan siang bersama?" Alana terdiam. Dia menoleh, menatap manik pekat pria itu dalam-dalam. Tidak akan ada yang bergosip tentang dirinya dan Akira karena kerja mereka sebagai tim sangat baik. Mereka tidak pernah terlibat hubungan di luar pekerjaan. "Boleh," dia kembali memutar tubuhnya, berjalan di belakang Akira yang lebih dulu pergi berbelok ke kantin seorang diri. Seperti  Akira sebelumnya yang selalu menyendiri dan tidak suka keramaian, dia selalu pergi sebelum para pegawai turun untuk menyerbu kantin demi mengisi perut mereka. *** Mereka memilih menu makan siang sup daging pedas kali ini. Sebenarnya ini ide Alana dan Akira menurutinya walau menurutnya sup ini mengandung banyak micin, tapi dia tidak peduli. Akira menikmati makan siangnya. Sangat kontras dengan Alana yang sejak tadi diam, mengamati Akira yang sibuk mengaduk berulang kali supnya karena kurang lada dan garam. "Kau sadar kalau kau memasukkan banyak zat adiktif seperti bumbu mie kemasan?" Akira menghentikan adukan kuahnya, dia mengintip Alana yang tengah memangku dagu di hadapannya dengan alis terangkat. "Apa itu terlalu lezat?" "Aku tidak pernah makan sup daging di kantin kantor, ini pertama kalinya," Alana kini ternganga. "Kau bercanda?" "Kau sekretarisku, kau melewatkan yang satu ini?" Akira berujar tak percaya. Dia menuding Alana dengan telunjuknya. "Kau hanya tahu kalau aku menyukai ramen dan makanan laut. Benar?" Alana mendengus tak percaya. "Tolong berterima kasih, karena aku yang mengenalkanmu pada ramen," "Dia belahan jiwaku," timpal Akira. Alana memutar mata. "Atasanku benar-benar menyedihkan," gumamnya sarkatis, menyendok satu daging ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah. Mereka cukup lama tenggelam dalam diam. Karena Akira menganut prinsip dilarang bicara saat makan, Alana sudah terbiasa dengan aturan itu. Dia menyeleHirokan makan siangnya dan para pegawai mulai ramai memasuki area kantin. "Kau punya acara malam ini?" Alana meminum ocha dinginnya dan mengangguk singkat. "Keluarga," Akira menatapnya sebentar. Kemudian berpaling. "Kau datang?" "Aku tidak punya alasan untuk menghindar kali ini," kata Alana ketika dia berdiri, meninggalkan beberapa uang kepada penjual sup daging dan berlalu saat Akira menunggunya seleHiro membayar. Akira berjalan lebih dulu dan Alana tidak berniat menyusul langkahnya. Dia berbelok, mampir ke kedai kopi untuk membeli minuman dan cokelat batangan. "Vanilla Latte Iced, satu," kata Alana. Dia menoleh, mendapati Akira berdiri tidak jauh, menunggunya. Keningnya sedikit berkerut. Dia mengambil cokelat batangan itu dan berjalan ke arah Akira. "Kau mau satu?" Pandangan Akira menyapu cokelat yang masih terbungkus itu. Matanya berubah ngeri dan tajam bersamaan, Alana mengulum senyum geli. "Aku bercanda. Makanan manis adalah musuhmu. Bagaimana dengan kopi?" Akira kini mengangguk. Dia menatap Alana yang kembali berbalik dan memesan kopi pada barista. "One Grand Americano," Alana berjalan, memberikan satu kopi pada Akira dan kopi lain yang dia pegang. "Kau berhutang tiga dolar padaku, Tuan ," Alana mengedipkan matanya ketika dia berjalan menuju lift dan menekan tombol di sana, membiarkan Akira menatapnya dengan senyum separuh dan masuk ke dalam lift lebih dulu, disusul Alana. "Aku bisa membayarnya lebih. Tolong, hitung pengeluaran makan siang tadi juga," katanya berbisik di samping Alana yang sibuk mengunyah cokelatnya. "Untuk satu itu, aku traktir," dia menatap Akira dengan alis terangkat. "Karena setelah aku pergi dari sini, kau tidak akan mendapatkan kebaikan itu dariku lagi." Senyumnya masih ada. Masih untuknya. Akira berdeham, dia memutar kepalanya sembari menyesap kopinya dan sepenuhnya tidak menjawab kalimat Alana. Membiarkannya menggantung begitu saja tanpa kepastian. Alana kembali ke kursinya dan Akira belum sempat masuk ke ruangannya, dia menoleh. "Batalkan makan malamku dengan Tuan Hanzou. Aku punya acara malam ini," Alana mengangguk setelah Akira masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu. *** Sebenarnya, datang ke acara amal yang sepenuhnya berkedok acara pamer harta dan jabatan, sama sekali bukan seleranya. Tetapi Alana tidak punya cara lain untuk menghindar dengan alasan yang sama berulang-ulang. Dia tidak akan cari masalah dengan tidak menghadiri acara membosankan ini selain datang dan menghilang. Itu ide yang terlintas saat dia berdandan tadi. Alana menyesap anggurnya. Dia tidak boleh mabuk malam ini karena dia mengemudi. Walau ayahnya berkenan meminta supir untuk menjemput, Alana memilih untuk membawa mobilnya sendiri dan pergi tanpa ditemani siapa pun. Oh, pasti itu mengecewakan ibunya yang memintanya untuk segera menikah. Alasan basi, tetapi Alana lelah berdebat. "Bagaimana dengan Akira? Dia membuatmu kerepotan?" Alana menarik gelas dari hidungnya. Dia menghirup aroma anggur yang menenangkan itu dalam-dalam dan menatap mata sang ayah yang memancarkan sorot lembut. "Seperti yang ayah lihat, sudah seharusnya dia membuatku kerepotan karena dia atasan dan aku bawahan," Alana tersenyum. "Bukan masalah." "Oh, tentu itu menjadi masalah. Terutama untuk ibu,"  Hayate muncul dari belakang punggung Alana, mengejutkan putrinya dengan segelas air putih di tangan. "Dia membuatmu tidur hanya tiga sampai empat jam sehari. Tidak bisakah putriku tidur selama delapan sampai sembilan jam perhari?" Alana memutar mata. "Ayolah, ibu. Aku suka dengan pekerjaanku,"  Kei tersenyum. Dia menatap mata Hayate dengan isyarat sesuatu. "Biarkan Alana memilih. Lagipula dia bekerja untuk , aku mengawasi perusahaan itu kalau-kalau dia membuat putriku terluka." Alana menghela napas dan Kei hanya tersenyum. Mereka berdua larut dalam obrolan sampai Hayate hampir tersedak manisannya sendiri. "Kudengar, Akira belum punya pacar. Kau lima tahun bersamanya. Apa dia memiliki kelainan seksual?" Alana terbatuk. Dia mengambil air putih lain dari gelas yang penuh. "Tidak, jangan percaya pada gosip yang tersebar." Kei bergabung bersama kolega lainnya. Pemimpin yang memegang subkontraktor miliknya. Sedangkan Hayate masih setia menemani Alana di sini. "Astaga, bosmu di sini," bisik Hayate, memekik terkejut sembari memperbaiki syal bulunya dan tersenyum lebar. Alana menoleh, dan benar saja yang ibunya katakan. Akira datang. Dengan setelan jas hitam lengkap dengan kemeja hitam dan celana berwarna sama, Akira tampil sempurna malam ini. Kening Alana mengernyit dalam. Jadi, ini alasan dia membatalkan makan malam dengan Tuan Hanzou? "Ibu," Alana memanggil ibunya. "Apa Akira masuk ke dalam daftar tamu undangan? Apa dia diberi undangan khusus malam ini? Tanpa melewatiku?" Alana bertanya bertubi-tubi hingga ibunya kewalahan. "Tenang dulu, oke," Hayate memegang bahu putrinya. "Semua pimpinan perusahaan besar tentu saja diundang. Akira bukan orang sembarangan. Dia pasti diundang," alis Hayate menekuk. "Apa maksudmu tanpa melewatimu?" Alana menghela napas. "Pria itu selalu terjadwal, karena aku selalu mengecek agendanya setiap waktu. Dan acara amal ini tidak termasuk," Hayate mengerutkan dahinya. "Mungkin, jalur pribadi? Aku kurang tahu," "Atau melalui bos Shimura Steel?" Alana menatap ibunya dan mengangguk. "Mungkin," dia kembali berpaling, dan Akira menjadi sorotan utama mata para gadis lajang yang lapar akan sentuhan pria kaya-kaya yang siap memenuhi kebutuhan hidup hedonis mereka. Alana berdeham, dia berjalan mendekati Akira saat pria itu memilih anggur di atas meja. "Kau datang," Akira melirik dari sudut matanya. Dia menatap Alana dari atas sampai bawah. Gadis di depannya berbeda. Alana selalu tampil mempesona setiap ada pesta. Pesta perusahaan mau pun pesta pribadi, karena pada dasarnya dia memiliki uang dan barang, dia bisa melakukannya. Jika Alana sedang tampil dalam mode sempurna seperti ini, dia tidak cocok menjadi sekretarisnya, melainkan teman kencannya. "Hanya boleh tiga gelas, selebihnya kau akan mabuk," kata Alana memperingati saat Akira bersiap menegak anggur dari gelas yang dia ambil. Pria itu mendengus dan Alana hanya tersenyum kecil. Akira jelas tahu aturan itu. Dan Alana, layaknya bersikap seperti sekretarisnya, akan memberi peringatan. "Aku hanya melihat ibumu, dimana ayahmu?" "Arah jam tiga, Tuan," balas Alana. Akira mengangguk. Dia masih berdiri diam dengan gelas anggur di tangan dan Alana di sisinya. "Hiro tidak datang karena sesuatu yang mendadak terjadi," ucap Akira, kembali meneguk anggurnya. "Salah satu direkturnya datang kemari untuk mewakilinya." Alana menatapnya dari samping. Gadis itu mengangguk singkat, dan kembali menatap lurus ke depan saat dia menangkap sorot mata ibunya yang penuh haru dan bangga. Alana mulai tidak nyaman, dia berdiri terlalu dekat dengan Akira. Dia bergeser sedikit, menciptakan jarak hingga Hayate menghela napas dan berlalu. Alana mendengus, menahan senyumnya saat dia menoleh, mendapati tatapan dingin Akira menyapu wajahnya. "Kenapa kau menjaga jarak?" Alana memberikan senyum separuh. "Aku sekretarismu, seharusnya aku tahu batasanku," bisiknya, dan Akira mendengus mendengar jawabannya. "Kau datang sebagai  Alana, putri dari  Kei, bukan sekretaris 's Company. Mengerti?" Akira menaruh gelasnya, sedikit membantingnya lalu membawa tangan Alana menuju ibu Alana yang berkumpul bersama teman sosialitanya. "Oh, ?" Hayate menyapa ramah. Tatapan matanya jatuh pada tangan putrinya yang tergandeng, senyumnya melebar. "Senang melihatmu di sini." "Aku datang untuk menyapa kalian," ucapnya sopan, membungkuk memberi salam yang diikuti Alana. Hayate tersenyum manis. Saat Alana berbalik pergi melepas tangan mereka, Akira ikut berbalik pergi, menyusulnya. "Kenapa Alana mau menjadi sekretaris pribadinya? Apa mereka terlibat hubungan romantis?" Hayate melirik temannya dengan senyum misterius. "Menurutmu, bagaimana? Apa hubungan mereka hanya sebatas rekan kerja?" Dia sedikit merapat pada kumpulan geng sosialitanya. Tersenyum menang. "Kau tidak lihat kalau  Akira menggandeng putriku?" "Ah, dia beruntung," "Alana sangat cantik. Wajar jika Akira bertekuk lutut dan tergila-gila padanya," Berbagai pujian mengalir untuk  Alana dan itu membuat Hayate bangga pada dirinya sendiri. "Ibumu—" Akira menahan bibirnya untuk tidak melanjutkan ucapannya. Dia menatap Alana yang menoleh, memandangnya bosan. "—kurasa, dia menyukaiku." "Hah?" Alana menatap lekat-lekat wajah angkuh nan bangga itu. Dia mendengus, melempar tatapan pada ibunya yang sedang tertawa dan membanggakan diri di hadapan para sosialita yang jelas bukan orang sembarangan dengan angkuh. Alis Alana terangkat. Rasa bosan dan muak itu menyeruak di dalam dadanya. Siap meledak dan hanya menunggu waktu. Di depannya, Akira menunggu dengan ekspresi ingin tahu. Alana kembali menatapnya, hanya mengangkat alis dan kemudian berdecak pelan, senyum Akira timbul. "Aku benci sifatmu yang satu ini," Alana berbisik, dan Akira menyipit padanya. Dia berpikir pria itu tidak akan mendengar, tetapi sepertinya suara bisikannya terlalu keras layaknya suara truk pengangkut barang yang ada di jalan. Alana berpaling setelah mendengus. Akira bahkan tidak beranjak dari tempatnya sedikit saja. Dia kembali mengambil gelas minuman, bisik-bisik mulai terdengar dan dia mencoba mencari sumber obrolan mereka. Tatapannya terpaku. Pada sosok tampan yang berjalan dengan tangan bergandengan mesra. Napasnya tanpa sadar tertahan, Alana mengerjap beberapa kali dan mencoba mengambil udara bebas di sekitarnya. Semua menjadi terasa sesak. Dia bahkan tidak bisa mengalihkan pikirannya ke lain objek, selain pasangan yang mengumumkan akan menikah dalam waktu dekat ini pada media massa. Alana ingin berlari, menjauh dari kekacauan ini. Rei Rei memamerkan senyum lebarnya. Begitu pula dengan Ara, artis bayaran termahal yang memamerkan ekspresi ramah dan hangat, juga senyum manis pada para tamu dan wartawan yang mengambil gambar mereka. Mereka terlihat bahagia. Alana menunduk, menatap bibir gelas yang mulai mendingin. Tangannya terkepal, tanpa sadar hampir meremukkan gelas di tangannya. "Rei? Pilot itu, kau punya hubungan dengannya?" Alana mampu menyembunyikan segalanya dari Akira selama tujuh tahun dengan apik. Baginya, tidak semua masalah bisa dia bagi dengan orang lain, termasuk Akira. Alana menggeleng. Dia menegak minumannya dan melirik Akira. "Tidak, kami hanya teman." "Teman?" Alis Akira menekuk tajam. "Kurasa, tidak ada yang namanya benar-benar teman di dunia ini. Antara perempuan dan laki-laki," balasnya. Alana menahan tawa mendengar kalimat Akira. Dia menatap pria itu dengan mata mencemooh. "Kalau begitu, kita ini apa? Selain rekan kerja? Teman, bukan?" "Kita adalah pengecualian," jawab Akira. Dia kembali berpaling, menatap Ara dan Rei yang berbicara satu sama lain dengan tatapan memuja yang dilemparkan oleh mereka berdua. "Ara tampil sempurna malam ini, dia sangat cantik," bisik Akira. Alana terkejut. Dia menoleh pada Akira dengan ekspresi yang tidak bisa dia jelaskan. Gadis itu kecewa, bosan dan marah. "Apa-apaan tatapanmu—" Akira menahan napasnya. Saat Alana berjalan, mengayunkan tas selempangnya hingga memukul dadanya agak keras, membuat tawa dari sekumpulan gadis di dekat mereka meluncur sampai ke telinganya. "Sial," Akira mengumpat. Mengusap jasnya dengan pandangan tajam. Dia berbalik, melempar tatapan tajam dan dingin pada Alana yang tersenyum lebar. "Aku pikir kau butuh waktu untuk memikirkan surat sakti-ku itu, jadi aku akan ambil cuti mulai besok," kata Alana. Manik pekat itu membelalak tak percaya. "Dalam batas yang tidak ditentukan, tentu saja." "Kau gila," Akira berbisik, tidak percaya dengan ucapan Alana. "Tidak ada sekretaris—" "Yang lebih baik dariku?" Alana tersenyum bangga. "Kau bahkan tidak pernah memuji pekerjaanku sama sekali," tatapan Alana berubah sinis, kemudian dia tersenyum manis. "Aku mendedikasikan seluruh hidupku untuk pekerjaan yang melelahkan ini, tapi kau tidak pernah menghargaiku," ujarnya dramatis, Akira mendengus. Seperti ada latar hujan dan petir yang bersahutan saat Alana bicara. Gadis itu menunjuk d**a Akira dengan telunjuknya. "Kalau tidak ada yang sanggup menggantikan posisiku, kau saja yang merangkap jabatan. Direktur utama dan sekretaris. Mudah, kan?" Akira semakin membelalak tak percaya. Alana berbalik, melambai padanya dengan manja saat dia berjalan keluar lobi hotel tanpa menunggu acara dimulai. *** "Sup jagung ini terbaik," kata Hiro, saat menyeruput kuah supnya dengan bersemangat. "Terbaik setelah masakan ibuku." Souma mendengus. Dia menatap Hiro dengan tatapan jijik dan berpaling pada Akira yang memandang ke luar jendela. Lagi, pria itu tenggelam dalam fantasinya sendiri. "Alana, lagi?" Akira mengerjap, dia menatap Souma dengan alis terangkat. "Kata siapa? Aku memikirkan sahamku," jawabnya bosan. Hiro tersedak kuahnya dan Souma mendengus. Mendorong air putih dari gelas yang ternyata adalah air untuk pot bunga di atas meja. Hiro kembali terbatuk hebat. Souma tertawa dan Akira menggeleng kecil, menatap keduanya. "Dasar i***t," maki Hiro. Souma hanya mengangkat bahu, tidak peduli. "Bagaimana jika aku mati?" "Aku siap menggantikan posisimu di Shimura Steel," balasnya enteng. Hiro menatap Souma tak percaya, dia memegang dadanya dengan dramatis, matanya berkaca-kaca. "Kupikir kau teman baikku, ternyata kau berniat menghancurkanku dari dalam." "Selamat datang di neraka, Shimura," Souma tertawa layaknya antagonis yang baru saja berhasil membuat pemeran protagonis tersiksa dan sekarat, menunggu waktu hingga tewas. Akira mendengus, menatap keduanya dengan pandangan harus kuapakan kedua serangga ini.  Dia kembali menunduk, menatap mangkuk supnya tak berselera. Alana benar-benar tidak masuk hari ini. Dia melempar tugasnya pada Hana, anggota divisi umum yang kini merangkap sebagai b***k dadakan untuknya. "Mungkinkah Rei dan Alana pernah berhubungan?" "Apa?" Souma menatap Akira, dia mendengar pria itu bergumam dalam bahasa dewa di depannya. "Ada seseorang yang seperti menampilkan ekspresi kecewa, sedih dan marah bersamaan saat melihat pasangan yang berbahagia bergandengan tangan dan saling memuja satu sama lain," kata Akira. Kening Souma terlipat. Otak jeniusnya mulai bekerja keras memikirkan perkataan Akira. Dia melirik Hiro yang tampak masa bodoh dengan masalah Akira karena masalahnya juga besar. Cinta bertepuk sebelah tangan itu menyakitkan, bung. "Siapa?" Akira menatapnya datar. "Apa?" "Siapa yang kau maksud?" "Oh," Akira terbatuk pelan. "Teman Oki." "Hah?" Hiro memekik tak percaya. "Kakakmu sudah beranak satu, saat mereka datang ke reuni alumni menengah atas, hampir seluruhnya membawa anak mereka. Bahkan ada yang mempunyai anak seperti kesebelasan tim sepak bola. Siapa yang kau bicarakan?" Souma mengangguk mendengar ucapan Hiro. "Dia benar. Teman Oki sudah berumur, sudah berumah tangga. Siapa yang kau maksud?" "Teman Oki," kata Akira tak mau kalah. Souma dan Hiro melempar tatapannya. "Oke, kalau begitu, dia punya perasaan pada salah satu pasangan itu, entah cinta atau hubungan masa lalu yang belum seleHiro." "Seperti mereka pernah berpacaran, lalu putus dalam keadaan buruk, sakit hati dan berujung pada kebencian atau keputusasaan," lanjut Hiro dengan senyum bangga. "Atau bisa juga, dia mencintainya, tapi cinta itu bertepuk sebelah tangan," Senyum Hiro lenyap seketika. Dia menatap Souma yang masih memamerkan senyum bangganya. Pria itu berdecak, menendang sepatu Souma agak keras dan Souma bergeming, tidak merasakan apa pun. "Apakah ini tentang Alana?" Akira tertawa pahit. Dia menatap keduanya dengan alis terangkat. "Untuk apa aku membicarakan Alana?" Souma memasang raut datar dan Hiro juga menampilkan ekspresi sama. Keduanya menatap Akira dengan tatapan kami mengenalmu sejak kau masih menyusu pada ASI ibumu, jangan remehkan kami, burung kecil. "Dia cuti hari ini," Akira menegak ocha hangatnya. "Aku memberikannya cuti. Dia bisa bebas lakukan apa pun asal dia tidak pergi." "Oh?" Souma mengerjap beberapa kali. "Pantas aku tidak melihatnya. Kupikir dia sakit," katanya. "Asal dia tidak pergi?" Hiro menatap Akira. "Kau tetap ingin mempertahankannya?" "Tidak ada sekretaris yang berkompeten selain dirinya," kilah Akira. "Juga dia adalah putri konglomerat. Kapan lagi kau bisa menyuruh putri konglomerat itu layaknya b***k?" "Dia kejam," gumam Souma dan dibalas anggukan Hiro. "Juga sok tampan," Akira menipiskan bibirnya menatap kedua sahabatnya. Mereka sama sekali tidak membantu. "Mudah saja, jangan tanda tangani surat pengunduran dirinya," balas Souma. Akira mengangguk. "Aku akan menyembunyikan dokumen itu di dalam lemari pakaianku, Alana tidak akan bisa menyentuhnya." Hiro menatap keduanya dengan pandangan bosan. "Kalau dia mau, dia bisa menyewa seseorang untuk memanipulasi tanda tanganmu dan dia bebas. Keluar dari belenggu neraka dan jeratan iblis macam dirimu," Akira membelalak. Tidak terlintas di kepalanya tentang ide gila Alana yang satu itu. Dan lagi-lagi, Souma menghela napas. Hiro dan Akira adalah iblis yang berdiam di neraka dengan letak yang berbeda. Satu di kerak neraka, dan satu lagi ada di langit neraka. *** "Kudengar, kau tidak masuk kerja hari ini. Akira serius menandatangani dokumen itu?" Alana menatap Haru yang sibuk membakar daging dan udang di atas bakaran. "Aku cuti," "Cuti adalah pilihan terbaik. Kau hanya punya waktu cuti selama lima hari dalam satu bulan. Manfaatkan itu sebaik mungkin," jawab Haru. "Aku dirumah. Memesan ayam goreng dan bir. Aku ingin bersantai," ucap Alana saat dia memasukkan daging baru ke atas bakaran setelah dicelup bumbu. "Tidak apa. Lakukan apa saja yang ingin kaulakukan," Haru mengedipkan matanya dan Alana tersenyum padanya. Saat udang dan daging mereka matang. Haru siap membakar kulit dan cumi mereka. Dia menatap Alana yang sibuk memotong kecil daging itu dengan gunting. "Alana," "Hm?" Alana menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari daging bakar dan udang yang sangat lezat itu. "Kenapa aku berpikir kalau bosmu menyukaimu, ya?" Alana melotot mendengar ucapan Haru. Dia mendengus, menahan tawanya saat dia menaruh gunting, mengunyah daging itu ke dalam mulutnya. "Itu mustahil. Walaupun Akira pria normal, aku bukan seleranya. Dia juga bukan seleraku," "Tipe mungkin lebih sopan," ralat Haru. Alana mendengus tajam sekali lagi. "Apa pun itu, kami sangat profesional. Aku tidak mau menyinggung apa pun tentang hubungan kami selama dua tahun di tempat asing." Haru memangku dagunya, dengan sumpit yang membawa potongan cumi yang telah masak ke dalam mulutnya. "Ibumu menyukai Akira, itu lampu hijau untukmu." "Aku bekerja, bukan berkencan," balas Alana. Dia menunjuk Haru dengan sumpitnya. "Aku ini profesional," Manata Haru memutar mata. Dia menatap lampu restauran yang redup. "Kau benar, Akira mungkin sempurna tanpa celah, tapi sebenarnya, dia juga sama hancurnya dengan dirimu. Anggap saja dia hidup saat ini untuk menutup bekas lukanya," Alana terdiam. Dia menatap bakaran itu dengan lirih. "Aku tidak akan pernah membocorkan tentang Akira di masa lalu," "Tapi kau memberitahukannya pada diriku," ujar Haru. Alana memutar mata. "Kau pengecualian," Haru menyeringai lebar padanya. "Kau bilang Akira tidak bisa berenang, tetapi mengapa dia menceburkan dirinya di laut?" Kunyahan Alana di mulutnya terhenti. Dia menatap Haru, kemudian menunduk, menatap air putih dingin di gelas. "Karena kelemahannya itu, dia ingin menghabisi nyawanya sendiri," Alana berdecak. "Kasihan sekali dia. Hidup bergelimang harta dan kemewahan, tetapi tidak bahagia." Haru mendengus. Dia mengaduk cumi dan kulit di saus. "Bagaimana dengan dirimu?" Alana mengerjap, dia hanya tersenyum, menunduk lebih dalam. "Apa kau tidak pernah lagi melihat Oki?" Haru tiba-tiba bersuara. Alana menggeleng. "Tidak, karena Akira sangat sibuk. Tapi terakhir kali, saat Tari ulang tahun, aku memberikan hadiah atas perintah Akira dan membelikan putri kecil mereka boneka dan mainan, untuk satu itu, aku dan Akira memberikannya berbeda." Haru menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu, hubungan mereka masih membaik," Alana ikut mengangguk. "Aku rasa. Oki tidak punya masalah dengan Akira, tapi kurasa pria itu punya masalah dengan kakaknya." Haru terdiam sebentar. "Rumit sekali, ya, antar orang kaya lama seperti kalian," dia tertawa hambar, dan Alana hanya menatap kosong padanya. Haru membayar separuh makan malam mereka. Alana tidak meminta gadis itu membayar karena dia yang memaksa Haru untuk datang menemaninya. Dia tidak punya teman, yang mana benar-benar teman baik. Alana menghela napas, memandang kursi kosong dimana Haru tempati sebelumnya. Gadis itu sudah pergi karena telepon masuk dari kolega. Ponselnya bergetar. Alana menatap siapa yang mengirimkan pesan masuk untuknya. Dari Hana. Dia ingat kalau dia menaruh seluruh tugas itu pada Hana hari ini. Dengan semua dokumen yang sudah siap, Hana hanya perlu memberikannya pada Akira dan mengontrol kegiatan sang atasan seharian ini. Setelah Alana membayar makanan mereka, dia keluar menuruni anak tangga menuju mobilnya dan terdiam. Tatapannya terpaku pada sosok  Akira yang berdiri di samping mobilnya, menunggunya. Helaan napas Alana memberat. Dia berjalan, dan tatapan Akira mengikutinya. Dia tidak mengerti dengan tatapan sang bos kali ini. Seolah ada perasaan yang bergejolak dari dalam diri Akira, tidak bisa terungkapkan. "Kau menyukainya?" "Apa? tidak." "Aku tidak bisa mengerti dirimu walau kita berteman sudah sangat lama. Tapi jika kau menyukainya, kau tidak punya waktu untuk membiarkannya pergi." "Apa maksudmu?" "Kau ingat kalimat 'sebelum terlambat,' bukan?" "Aku yakin aku tidak menyukainya. Ini hanya ungkapan rasa terima kasihku padanya." "Akui saja kalau kau mendapatkan cinta yang baru setelah kematian gadis itu," "Kenapa kau di sini?" Alana bertanya dengan ekspresi datar, dia menekan tombol kunci mobil mewahnya dan mobil itu berkedip dua kali. "Aku ada kunjungan kerja ke Osaka, kau harus ikut, bersamaku." "Osaka?" Alana terdiam, mereka sempat larut dalam keheningan yang cukup lama. Sebelum Alana mengerjap, menatap Akira yang menunduk dalam. "Kau tidak mungkin mencari kematianmu sendiri di sana, kan?" Akira hanya menatapnya, kemudian menunduk dan pergi ke mobilnya. Meninggalkan Alana yang berulang kali menggedor kaca mobilnya, dan Akira mengabaikannya. "Pria itu benar-benar gila," umpat Alana saat dia melempar sepatu sandalnya ke arah mobil mewah Akira yang melesat pergi menjauhi parkiran restauran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN