Bab 11 : Rumah Kenangan

2290 Kata
Julie baru saja berpamitan dengan kedua orangtua Tony. Tak lupa mereka mengoleh- olehi Julie dengan sekeranjang buah- buahan dan vitamin untuknya, Ellis, dan untuk Mrs. Arden. “Oh, iya, Julie sayang, jangan lupa datang ke konser Tony, ya? Hari Sabtu, dua minggu lagi!” kata Mrs. Grosvenor. Julie melihat ke arah Tony. Tony berusaha mencari- cari kartu undangan tadi di sakunya, tapi kata- kata Mrs. Grosvenor lebih cepat. “Belum kau berikan juga, Tony? Tony ada konser tunggalnya Sabtu depan, sayang, kami juga akan ikut datang”, kata Mrs. Grosvenor yang dalam beberapa detik telah menuju ruang tamu, mengambil kartu undangan, dan mengangsurkannya pada Julie. Tepat ketika Tony berhasil mengeluarkan kartu undangan dari dalam kantong celananya. Tapi tetap saja ia memberikannya pada Julie. Menerima dua kartu undangan itu, Julie nyengir. “Baiklah, aku akan datang.” Julie melambai meninggalkan mereka yang membalas lambaian itu dari pintu. Tony ikut melangkah keluar menemani Julie. “Aku antar pulang, ya?” Tony tersenyum manis seperti biasa menatap Julie sambil bergerak cepat menuju arah mobilnya. Julie ragu, sekejap ia melirik ke arah Mr. dan Mrs. Grosvenor yang masih memandang mereka dari depan pintu dengan seulas senyum. “Aku...aku, baiklah, Tony.” Julie masuk ke dalam mobil bersamaan dengan Tony, yang sudah terlebih dahulu meletakkan keranjang buah dan vitamin itu di kursi belakang. Tak lama kemudian, mobil itu sudah meninggalkan rumah keluarga Grosvenor, meninggalkan kepulan asap tipis. Julie melihat ke belakang, hingga rumah keluarga Grosvenor makin menjauh dan menghilang dari pandangannya. Setelah tak lagi nampak di pelupuk matanya, Julie memegang tangan Tony, “Berhenti, Tony.” Tony merasa seakan ada sentruman listrik kecil di punggung tangannya saat Julie menyentuh tangannya itu. Dengan mendadak ia mengerem mobil itu berhenti. “Ada apa, Julie?” Julie melepaskan tangannya dari Tony lalu berkata dengan sungguh-sungguh. “Aku turun di sini saja, Tony.” Tony membelalak terkejut. Ekspresinya seketika berubah menjadi sedih dan kecewa, yang tampak begitu nyata terlukis di wajahnya. “Kenapa? Apa kata- kataku tadi begitu menyakitimu, Julie? Aku minta maaf.” Tony memegang setir dengan lunglai, kepalanya menunduk. “Aku sungguh- sungguh minta maaf.” Julie secepat mungkin menoleh ke arah Tony, tak menyangka Tony akan berkata seperti itu. “Kamu tidak salah apa- apa Tony, tak perlu minta maaf! Aku hanya... ingin ke rumahku yang dulu. Itu saja.” Tony tidak berkata apapun, tapi kepalanya tak lagi menunduk. “Kamu tahu, Julie, aku sangat mengkhawatirkanmu," kata Tony kaku. “Ya, Tony, tapi aku minta maaf! Aku hanya merindukan keluargaku. Aku tak ingin membuatmu tersinggung—aku , biarlah aku pergi sendiri saja kesana.” Tony menatap ke depan lurus- lurus, tanpa sedikitpun memperhatikan Julie. Rahangnya mengeras, dan dari sana giginya terdengar bergemeretak. “Kau tahu aku tak ingin kau bersedih, Julie? Kenapa kau ingin membuka luka lamamu lagi?” Julie menunduk dalam-dalam. “Tony, tak mudah bagiku untuk tak merindukan keluargaku.” “Kau masih punya Ellis dan Mrs. Arden, Julie! Mereka keluargamu sekarang!” Kini Tony menoleh, menatap Julie dengan muka merah. Hanya Tony yang tahu seberapa besar amarah yang ditahannya untuk membuat Julie mengerti tanpa harus berteriak- teriak dalam mobil itu. “Ya, Tony, mereka keluargaku sekarang.” “Lalu?” “Kau pasti tahu ‘darah lebih kental daripada air’? Aku—sungguh—aku cemburu sekali padamu, Tony, memiliki keluarga yang masih lengkap dan menyayangimu. Aku bukannya tidak bersyukur, tapi—ketika aku masih memiliki mereka dulu, dan tiba- tiba ketika ibu meninggal, aku hanya tak mengerti apa yang membuat semuanya menghilang begitu saja dari dekatku.” Suara Julie makin lama makin pelan. “Aku juga merindukan kenangan tentang ayah dan ibuku.” Julie menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. “Aku hanya memiliki memori tentang mereka, Tony.” Ia memalingkan wajah pada Tony. “Apa jika kau hanya punya memori tentang keluargamu, kau akan menghapusnya begitu saja? Apa kau tidak boleh mengingatnya?” Tony masih menatap ke depan. Julie memandang Tony dengan wajah memohon. “Kumohon ya, Tony? Aku hanya meminta turun di sini saja.” Tony tiba-tiba menyalakan mesin mobil. “Kuantarkan," kata Tony pendek. “Baiklah, terimakasih.” Julie tersenyum tulus sambil kembali mengelus punggung tangan Tony. Tony menyambutnya, mengelus balik tangan Julie dengan tangan kanannya. Namun ia tak sedikit pun menoleh ke arah Julie. “Kita ke agen real estate yang menangani penjualan rumahku dulu, ya Tony?” pinta Julie. “Kau ingin masuk ke dalamnya juga?” Julie mengangguk. “Baiklah.” Dengan tenang, Tony membawa mobil itu melalui jalanan yang tak terlalu ramai hingga mereka kemudian sampai di jalan raya. Tony mengebut melintasi jalan raya itu, berbelok, dan terus melaju menjauhi jalanan pusat kota. Mereka berhenti sejenak di sebuah kantor agen real estate untuk bertanya tentang rumah itu. “Oh, baik akan kami antarkan," jawab pria berkacamata tebal itu senang. Si pria berkacamata tebal sepertinya mengira mereka hendak membeli rumah itu. “Rumah itu sangatlah bagus, berdesain klasik. Sangat cocok untuk pasangan muda yang ingin bulan madu yang damai dan tenang.” Telinga Tony memerah. Tapi Julie sepertinya tidak terlalu menghiraukan perkataan si agen. “Oh, tidak usah, Pak. Boleh kami meminjam kuncinya saja? Kami ingin melihat-lihat ke dalam rumah itu dulu," pungkas Tony. “Oh, baiklah. Silakan dibawa dokumen ini," kata si agen sambil mengangsurkan sehelai kertas kopian pada Tony. “Ini deskripsi rumahnya, ya?  Dan juga silakan isikan data diri Anda beserta nomor kontak di sini," kata si agen sambil memberikan kertas lainnya. Setelah menyelesaikan administrasi itu dalam beberapa menit, Tony dan Julie keluar dari kantor tersebut dengan kunci di tangan. Dengan cepat mereka meninggalkan kantor itu untuk melanjutkan perjalanan. Tak banyak percakapan di antara mereka sepanjang perjalanan. Julie lebih memilih menikmati pemandangan di luar. Semakin banyak kelokan- kelokan yang mereka lewati, dan mereka semakin dekat dengan pemukiman asri. Banyak pohon akasia di pinggir jalan, dengan hamparan rumput hijau yang luas. Tak jauh di depan, terdapat padang rumput yang tertata rapi yang digunakan sebagai lapangan golf. Di sisi kanan mereka terdapat danau buatan yang tak kalah luas, memantulkan cahaya sore keemasan yang menyilaukan mata. Rumah mulai tampak satu demi satu, namun jarak antar rumah tidak terbilang berdekatan satu sama lain. Rumah- rumah itu pun lebih cocok disebut istana, terbuat dari bata- bata putih dan merah dengan gaya klasik. Deretan bangunan itu berdiri megah menjulang tinggi, seakan- akan itu adalah kediaman para bangsawan. Sepuluh menit kemudian, mereka kembali berbelok ke kanan, memasuki hutan asri di kiri- kanan mereka. Tak jauh dari sana, berada pada dataran rendah, terlihat dua bangunan yang cukup berdekatan. Arsitekturnya terlihat hampir sama, meski keduanya hampir- hampir tak lagi dikenali lagi seperti dulu. Bangunan itu terpelihara cukup baik, meski sudah ada beberapa bagian yang berlumut di sana- sini. Rumah- rumah itu begitu tinggi dan besar, memberi kesan kekuatan sekaligus menakutkan. Mobil Tony berhenti persis di depan salah satu bangunan. Mereka berdua keluar, menatap kedua bangunan itu, betapa megahnya mereka walau sudah dimakan usia. “Here we are," kata Tony pelan, masih terpana. Julie masih menatap kedua bangunan itu dalam diamnya, terkenang. Kedua rumah itu adalah rumah Julie dan Tony kecil. *** “Julie pergi kemana, Nek?” tanya Ellis yang baru saja hendak duduk di sofa. Mrs. Arden dengan mengenakan baju hangat coklat yang biasa, sudah berada di sana dengan rajutan di tangan. Ia pun menoleh. “Katanya pergi ke rumah Tony. Keluarga Tony mengajaknya makan siang bersama.” “Oh.” Mrs. Arden memfokuskan perhatiannya lagi ke rajutannya. Dengan lincah tangannya menelisik tiap lubang, memutar, menarik, dan memasukkan jarum di antara benang-benang. Sambil tersenyum, ia berkata, “Kadang kita tak bisa mengerti perasaan itu seperti apa.” Ellis yang sedang bermenung- menung memperhatikan betapa cekatan neneknya, lalu menoleh dan bertanya, “Maksud Nenek?” “Ya, hati itu sungguh mudah dibolak- balik. Suatu saat kita akan merasa sedih, di lain waktu kita bahagia. Saat kita sedang gundah bisa saja satu kalimat yang bermakna bisa membuat kita lega dan ceria. Kadang dalam diam dan ketenangan, kita juga bisa merasa gelisah dan kecewa.” Ellis menatap Mrs. Arden dengan polos. “Akhir- akhir ini Nenek rasanya sering menyampaikan kata- kata yang tak bisa kumengerti. Kita adalah produk sejarah, hati kita mudah dibolak- balik...Nenek sendiri kenapa?” Mrs. Arden  tertawa. Ia menatap bola mata Ellis, jauh menyelam ke dalam dunianya. “Pengertian dan pemahaman tentang dunia akan selalu bertambah seiring usia, Ellis sayang. Mungkin itulah sebabnya.” Ellis mengangguk- angguk. “Hmm...pantas saja aku tak mengerti. Nenek berbicara tentang dunia, toh,"  tukas Ellis setengah menguap. “Aku berbicara tentang dirimu, Sayang. Aku yakin di lubuk hatimu yang paling dalam perlahan kau bisa mengerti.” Ellis hanya memiringkan kepala, menatap Mrs. Arden yang masih melanjutkan rajutannya. Matanya tidak benar-benar fokus, karena memang ia memahami maksud perkataan Mrs. Arden. Sungguh, ia mengerti. “Ngomong- ngomong, Nenek sedang merajut apa?” “Oh, ini," jawab Mrs. Arden sambil membentangkan rajutannya sedikit lebih lebar. “Ini baju hangat. Aku masih menyelesaikan setengah lengannya.” “Nenek, ini kan baru mulai musim semi? Kenapa Nenek sudah merajut baju hangat?” “Ya, ya, cucuku yang cerewet. Aku sudah merajut banyak sekali syal, jadi Nenekmu ini sekarang butuh pengalihan dengan merajut baju hangat.” Ellis mengelus sedikit benang- benang wol biru yang telah terajut rapi itu. “Bagus," gumamnya. “Nenek, apa Nenek tidak merasa terlalu terburu- buru bekerja seperti ini? Maksudku, pikirkanlah kesehatan Nenek. Jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja keras.” “Aku tidak bekerja keras, Nak. Aku hanya mengisi waktu luang.” Ellis memeluk neneknya yang tersayang itu. “Aku tidak ingin Nenek sakit, Nenek tahu ‘kan?” Mrs. Arden mengangguk dan mengecup kening Ellis. Ia lalu berkata, “Tetaplah sehat dan gembira, cucuku.” *** Julie menatap pintu depan penuh minat. Tony sesaat bimbang. Ia lalu berkata,” Bagaimana kalau kita lihat- lihat pekarangan dulu? Nanti kau bisa masuk ke dalam setelahnya. Oh, jangan lupa kita juga bisa lihat pekarangan rumahku juga!” Julie setuju dengan ide ini. Mereka berdua melangkah mengitari sekeliling rumah dengan perlahan. Tony menatap bunga- bunga di taman rumah Julie dulu. “Aku ingat Mamamu suka sekali dengan bunga. Kau sering bermain- main dekat bunga, menangkap kupu- kupu.” Julie tersenyum mengenang. “Ya, aku ingat sekali. Dan kau begitu anti dengan tanah dan binatang- binatang kecil, Tony. Berbeda sekali dengan sekarang.” Tony tertawa terbahak- bahak. “Ya, ya, aku tahu! Manusia juga berubah, Julie. Dan kamu adalah ratu pemanjat yang bisa memanjati pohon setinggi apapun!” Julie menunduk tersipu malu. Mereka berdua terus melangkah menelusuri sekitar halaman itu. “Oh, Mamaku juga suka sekali menanam sayuran di sebelah sini. Ada banyak sekali dulu”, tunjuk Julie. “Dan di sana," lanjutnya sambil menunjuk agak ke sisi timur, “Aku punya jalan rahasia menuju hutan belakang. Apa kau ingat Tony? Kita sering menangkap tikus tanah dan memberinya makan.” Tony mengangguk- angguk semangat. Mereka berdua sudah mencapai bagian belakang rumah. Mereka memutari ke sisi timur dan kini mereka ada di halaman sebelahnya. Tony berseru, “Lihat! Rumah kita hanya berbatasan dengan pagar tanaman saja!” Ia menunjuk rumah di sebelahnya, “Lihat, itu rumahku! Dulu kita merasa kesulitan sekali untuk menembus pagar tanaman ibumu, Julie! Aku harus memutar ke depan dan mengetuk pintu depan rumahmu.” “Tapi kita pernah mencoba melubangi pagar tanaman ini, ‘kan?” tanya Julie tersenyum. “Ya. Aku menebas beberapa batang yang merambat di sebelah sini," tunjuk Tony riang. “Tapi sayang, mereka tumbuh lagi dalam seminggu. Dan kini, kita hanya tinggal melangkahinya, dan...” Tony mengangkat kakinya sebelah dan melompat. “Hap! Kita sudah sampai di rumah Tony Grosvenor!” Tony membentangkan tangannya seakan- akan baru saja menyelesaikan sulap spektakuler untuk penontonnya. Julie ikut melangkahi pagar tanaman itu dan sampai di samping Tony. “Oh, kau ingat, Tony? Ini kan ruang musikmu? Kau selalu memainkan musik di sini. Piano, biola.” Julie mendekati sisi rumah Tony yang tepat bersebelahan dengan pagar tanaman rumah Julie. “Dulu dinding sisi ini hanya diberi kaca, ya? Sekarang sudah dibuatkan tembok bata.” Tony menatap tembok putih itu, mengenang. “Ya, ayahku senang memainkan musik di dekat alam. Makanya beliau membuat sisi ruang musik yang bersisian dengan pekarangan ini hanya dibatasi dinding kaca. Beliau ingin bisa melihat daun, pepohonan saat memainkan musik tanpa harus berada di luar ruangan.” Tony lalu menoleh pada Julie. “Dan bukannya kita pertama kali bertemu dekat kaca itu?” Julie bisa membayangkan tembok bata itu seakan- akan tembus pandang. Ia masih bisa mengingat Tony kecil —yang lebih pendek dari dirinya —berusaha dengan susah payah duduk di atas kursi tinggi di depan piano. Ia bisa melihat gadis kecil berambut coklat, dirinya, berdiri di samping Tony. Gadis kecil itu membolak- balik kertas nada di depan Tony, lalu merebutnya pergi, meninggalkan Tony yang sengsara harus bersusah payah lagi turun dari kursi. Julie tersenyum lebar. Hati Tony mencelos. Ini adalah kali kedua ia melihat Julie tersenyum sebagaimana senyumnya yang dulu. Tony cepat- cepat berputar, memalingkan wajah ke arah halaman. “Dulu ibuku sepertinya lebih suka tanaman- tanaman hijau, bukan bebungaan. Beliau menanam tanaman yang bisa menyegarkan udara, terlebih lagi banyak tanaman yang bisa mengusir serangga semacam nyamuk, yang seperti itu. Itu lavender dan, ....Eh...” “Sansevieria laurentii, Hedera helix, lavender dan rosemary," kata Julie sambil menunjuk satu-persatu tanaman yang ada di halaman Tony. “Mungkin karena rumah kita dulu dekat dengan hutan, Tony.” “Wow, Julie!” kata Tony terperangah. “Kau ingat nama tanaman- tanaman ini?” Julie menatap Tony menyipit. “Kau lupa dulu kau pernah memberiku buku tanaman, Tony?” “Aaah!” Tony menepuk dahinya sendiri. “Oh, astaga sudah lama sekali, ya? Jadi waktu itu kau menghafalnya?” “Well," kata Julie sambil mengangkat bahu. “Aku hanya menyukainya.” Tony tersenyum tampan. “Syukurlah kau menyukainya.” Setelah mengitari rumah itu sekali, mereka berdua sudah kembali lagi di pintu depan. Julie berbalik kearah Tony, menghadap ke arahnya sepenuhnya. “Seperti yang kubilang, Tony, aku ingin memasuki rumah ini.” Tony melihat ada tekad pada mata Julie. “Baiklah, jika kau sudah berniat begitu.” Tony menyerahkan kunci yang tadi telah ia peroleh dari agen real estate. “Aku akan menunggumu di luar, jika boleh.” “Tentu saja boleh," jawab Julie sambil mengangguk. “Kau pun boleh masuk.” “Tak apa, aku di sini saja.” Julie lalu memasukkan kunci dan memutarnya hingga pintu terbuka. Rumahnya masih seperti dulu, seperti yang ia bayangkan meski sudah banyak perubahan di sana- sini. Tapi baru saja Julie menjejakkan langkahnya di sana, kulit Julie meremang. Kepalanya sungguh sakit dan seluruh badannya gemetar. Jauh di lorong rumahnya, ia seakan melihat gadis kecil berambut panjang berlari dengan wajah membiru. Itu aku. Julie membelalak menatap gadis itu berlari tak tentu arah, sempoyongan. Di belakangnya, seorang pria mengejarnya dengan botol minuman keras di tangan. Kepala Julie terasa pusing, seakan ada karet yang mengetat menekan- nekan kepalanya, menekan bola matanya jauh ke dalam rongga. Julie segera menutup matanya menahan rasa perih. Itulah dirinya. Julie merasakan dirinya sedang berlari menghindari pria yang setengah mabuk itu, yang masih mengejarnya di belakang. Pria itu berteriak, menggerung tak jelas. Julie terus berusaha berlari, meski sekujur tubuhnya sakit. Ia sempat menoleh ke belakang sebelum melihat botol itu melayang ke arahnya. Cairan lambung Julie naik, seakan ia baru saja menaiki roller coaster yang begitu menyiksa bersamaan dengan rasa perih di tiap titik di kepalanya. Julie pingsan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN