Bab 8 : Aku Menyayangimu!

2336 Kata
Julie membuka matanya perlahan dan berusaha menangkap dimensi kamar tidurnya. Bayangan pekuburan berangsur menghilang, dan ini membuat napas Julie yang pendek- pendek tadi mulai teratur kembali. Perasaannya begitu buruk sekarang, sehingga ia memilih untuk benar- benar bangun dari tidurnya. Julie mengambil bantalnya dan keluar dari kamar. Ia segera menuju kamar Mrs. Arden. Tok-tok. “Nenek," panggil Julie perlahan sembari mengetuk pintu beliau. Terdengar gumaman ‘Masuk’ dari dalam. Julie pun segera masuk dan mendapati Mrs. Arden belum tertidur. Beliau duduk dengan bersandar pada bantalnya dengan lampu tidur dibiarkan menyala. Di tangannya ada sebuah buku kecil. Mrs. Arden segera melepas kacamata bacanya. “Nenek belum tidur, ya?” tanya Julie. Ia duduk di pinggir kasur nenek. Nenek tersenyum, “Aku sudah tertidur tadi, tapi ya namanya sudah lanjut usia, Nenek sering terbangun di tengah malam seperti ini.” “Oh, ya?” tanya Julie lagi penasaran. “Ya, kau pasti juga akan merasakan hal ini nanti Julie, kalau kamu sudah seumuran Nenek," jawab Mrs. Arden. “Sebab itukah Nenek membaca?” “Ya...kadang-kadang Nenek merajut juga.” Julie manggut-manggut. “Kamu kenapa? Tidak bisa tidur juga?” tanya Mrs. Arden sambil agak menyipitkan matanya. Dia memang menderita gangguan penglihatan seperti orang-orang lanjut usia lainnya. Ia kesulitan melihat benda yang terlalu dekat atau terlalu jauh. Setelah agak mendekatkan wajahnya ke arah Julie, ia terkejut. “Kamu pucat sekali, Julie!” Mrs. Arden segera menempelkan punggung tangannya ke pipi dan kening Julie. “Kamu juga berkeringat dingin! Kenapa, Julie sayang? Kamu sakit?” Dari sekian banyak pertanyaan Mrs. Arden, Julie hanya menggeleng sebagai jawaban, entah untuk pertanyaan yang mana. Tiba-tiba saja Julie meledak dalam tangisan. Air mata mengucur dengan derasnya dari pelupuk mata Julie. “Cup cup, sayang. Julie kenapa? Ceritakanlah," bujuk Mrs. Arden, yang kemudian memeluk Julie dengan erat. Ia mengelus -elus rambut Julie penuh sayang. “Nek," kata Julie sesenggukan, “Boleh aku tidur bersama Nenek? Malam ini saja," pinta Julie dalam pelukan Nenek. "Boleh, sayang," bisik Mrs. Arden lembut di pipi Julie. “Kapanpun kau ingin, kau bisa tidur bersama Nenek.” Julie lagi- lagi mengangguk menanggapi. “Apa kau ingin tidur sekarang?” kata Nenek, sambil merapikan bantal yang dibawa Julie dari kamarnya dan menyeka sisi lain tempat tidur. “Ya, Nek," jawab Julie singkat. Keduanya lalu merebahkan kepala di atas bantal yang empuk, sementara Mrs. Arden masih terus mengelus- elus rambut coklat Julie. “Nek” , panggil Julie lagi setengah berbisik. “Tadi aku memimpikan pemakaman Mama.” Sejenak Julie berhenti, karena Mrs. Arden menanggapi Julie dengan ‘hmm’-nya yang selalu menentramkan. “Aku memimpikan semua keluargaku ada di situ. Tapi mengapa tak ada satupun keluarga besarku yang mencariku hingga sekarang, Nek?” tanya Julie dengan suara gemetar karena menahan tangis. “Aku merindukan mereka. Tapi aku paling rindu Papa. Apa ini balasan untukku karena meninggalkan Papa? Kenapa sejak Mama meninggal, Papa tidak menyayangiku lagi? Dia juga tak pernah mencariku.” Mrs. Arden lalu mendekap Julie. “Nak, aku yakin Papamu juga pasti merindukanmu. Walaupun kau tidak tahu keberadaannya sekarang, tapi orang yang saling menyayangi pasti akan dikumpulkan suatu hari nanti, bersama.” Julie merasa lebih tentram. Ia sangat suka berada di dekat Mrs. Arden. Wanginya yang khas, kelembutan suaranya mampu membuat Julie lebih tenang. Ia meletakkan tangannya di dekat bantal Mrs. Arden, yang juga sewangi beliau. “Apa kau sering memimpikan itu, Julie?” “Hu-uh.” “Nah, itu ya ternyata, penyebab kenapa kau akhir-akhir ini menjadi pucat dan lesu? Entah sudah berapa kali Ellis menceritakan pada Nenek betapa pucatnya kau. Kau kurang tidur?” Julie mengangguk- angguk. Mrs. Arden hanya menatap Julie penuh haru. “Nak, maafkan Nenek tidak bisa banyak membantumu menyelesaikan masalah. Tapi jika kau ingin, kau bisa tidur bersama Nenek hingga kau merasa lebih baikan. Mau?” Julie menengadah menatap Mrs. Arden. “Mau!” jawab Julie dengan wajah berseri. “Baiklah kalau begitu ayo kita tidur," kata Mrs. Arden sambil mematikan lampu. Awalnya Julie ingin mencegah, tapi ia rasa ia akan baik- baik saja dalam tidurnya selama Mrs. Arden di sisinya. Ia yakin ia tidak akan bermimpi buruk saat ini tanpa nyala lampu tidur, tidak ketika ia di samping Nenek. Tepat ketika lampu padam, Julie memindahkan kepalanya ke bantal Mrs. Arden dan memeluknya lebih erat. Aku sangat suka wangi bantal ini, batin Julie. Ia meletakkan telapak tangannya di bawah bantal Mrs. Arden dan meraba sesuatu yang lembut. Seperti benang -benang wol halus yang telah dirajut dengan pola tertentu. Julie bertanya, “Nenek menyimpan rajutan di bawah bantal?” Segera Mrs. Arden terbangun. “Ah, iya kadang- kadang kalau Nenek terjaga malam hari. Biar Nenek pindahkan dulu," jawab Mrs. Arden dengan cepat. Dalam kegelapan, Julie bisa melihat samar-samar Nenek memindahkan rajutan- rajutannya ke laci lemari kecil di samping tempat tidur. Tapi Julie tidak ingin ambil pusing dan tidak terlalu ingin tahu tentang rajutan sekarang. Ia segera memejamkan mata, sambil berbisik, “Selamat tidur, Nek.” “Selamat tidur, Sayang.” *** Menurut Julie, mungkin ini adalah tidurnya yang paling nyenyak dalam setahun terakhir. Matanya baru membuka ketika ia samar-samar mendengar cericip burung- burung gereja yang bermain- main di kabel listrik. Matahari belum naik sepenuhnya, tapi hari memang sudah tidak gelap lagi. Begitu Julie mengumpulkan kesadarannya, ia benar-benar membuka mata. Nenek sudah tidak ada di sampingnya. Nenek bangun pagi sekali, batinnya. Julie menggeliat ke sana kemari, sebelum akhirnya ia turun dari tempat tidur dan bergerak menuju pintu. “Selamat pagi," sapa Julie masih mengucek- ngucek mata saat sampai di dekat meja makan. Ia mendapati Ellis juga sudah bangun. Bersama Mrs. Arden, mereka berdua sedang duduk dengan masing-masing secangkir teh panas. “Pagi!” jawab Ellis riang, melambaikan tangan kirinya. “Pagi, sayang," jawab Mrs. Arden lembut. “Aku sudah menceritakan masalahmu pada Ellis. Ellis janji mau bantu Julie, ‘kan?” tanya Mrs. Arden Ellis menjawab dengan semangat, “Tentu saja! Kenapa kau tidak ceritakan kepadaku sejak kemaren-kemaren, Julie? Aku memang tidak bisa berbuat banyak, tapi aku akan berusaha membantumu.” Ellis tersenyum tulus. “Terima kasih, Ellis," ujar Julie. Ia juga tak bisa menahan senyumnya melihat ketulusan Ellis. Ya, inilah keluargaku sekarang. Kenapa aku harus jadi sedih karena tidak bisa bertemu keluargaku yang sedarah? Mrs. Arden dan Ellis Arden, adalah keluargaku sekarang. Ellis melanjutkan, “Makanya akhir- akhir ini kau terlihat lesu, ya? Aku sudah sering menanyaimu, tapi kau tetap saja berkilah, Julie. Karena kurang tidur itulah, makanya kau sering kesiangan, seperti sekarang. Apa kau sebegitu tidak percayanya padak... Ahh!!” Ellis yang sedang anteng mencerocos menceramahi Julie, tiba- tiba terkejut menyadari sekelebat pengertian yang melewati kepalanya barusan. Ia masih menatap Julie yang baru keluar dari kamar Mrs. Arden. Telunjuk Ellis mengarah ke Julie, lalu ke arah kamar Mrs. Arden, kembali lagi ke Julie, begitu terus berulang-ulang. “Ahh!!” sorak Ellis lagi. “Kau semalam tidur dengan Nenek?” tanyanya dengan semangat. Julie menarik kursi terdekat dan duduk di sana. “Iya," jawabnya santai. “Kenapa, Ellis?” Ellis membelalak, lalu menoleh ke arah Mrs. Arden, meminta konfirmasi untuk pernyataan Julie tadi. Mrs. Arden mengangguk, dan ikut- ikutan bertanya, “Kenapa, Ellis?” Mata Ellis yang tadinya bak mata ikan kembung, kini berubah sayu. Ia menyilangkan lengannya dan dengan pipi digembungkan. “Julie curang!” ia merengut, ngambek. Dia menoleh pada mereka berdua, “Aku ‘kan juga ingin tidur dengan Nenek. Kenapa Nenek hanya mengajak Julie?” kini ia mengarahkan pandangannya pada Mrs. Arden dengan tatapan mengiba. “Nenek ‘kan nenekku!” Demi mendengar perkataan Ellis, tiba- tiba Mrs. Arden tergelak, sementara Julie tersenyum. “Ellis cemburu, ya?” rayu Julie. Mrs. Arden segera memeluk cucu kesayangannya itu dan mengecup dahinya. “ Kalau kau mau, kau juga boleh tidur di kamar Nenek malam ini.” Mendengar ini Ellis perlahan melepas pelukan Mrs. Arden, lalu menatap beliau dengan mata berbinar. “Sampai seterusnya?” tanya Ellis berharap. “Boleh, jika kau ingin.” “Yeaaay!” sorak Ellis. Ellis kembali memeluk Mrs. Arden dan mencium pipinya. Namun Julie tiba- tiba mendebat, “Kenapa cuma Ellis, Nek? Aku juga mau sampai seterusnya tidur dengan Nenek!” Ia beranjak dari duduknya dan ikut-ikutan dalam pelukan itu. Nenek tertawa terbahak-bahak hingga keriput di wajahnya terlihat makin jelas. “Boleh, dua- duanya, cucuku yang kusayang ini boleh tidur dengan Nenek hingga seterusnya.” Setelah tawanya mereda, Mrs. Arden berusaha melepaskan pelukan cucunya itu satu-satu. “Sudah, sudah. Kalau terus pelukan begini, kapan kita akan sarapan? Ayo, bereskan mejanya. Nenek akan cuci piring sebentar dan masakkan kalian masakan spesial! Dan Julie, cepatlah gosok gigi dan mandi.” “Oh, piringnya sudah aku cuci, Nek! Aku juga sudah mengepel, mencuci baju, dan menyapu halaman juga!” jawab Ellis sambil mengacungkan tangan, seakan- akan ia menjawab pertanyaan guru sekolah. “Pintarnyaa...cucuku," puji Mrs. Arden sambil mengecup dahi cucunya. Senyum Ellis mengembang karena senang. “Apa aku bantu Nenek memasak saja?” Mrs. Arden menggeleng, “Tidak, tidak usah. Kau sudah bekerja keras. Sekarang Nenek ingin memasakkan kalian tanpa bantuan. Nenek ini masih kuat, tahu. Nenek juga sejak muda rajin bekerja.” Ellis melanjutkan sambil berlagak, “Tidak seperti Julie, ya, Nek? Bangunnya saja kesiangan.” Ia memandang Julie dengan lagak meremehkan. Ia lalu tertawa terkikik. Julie yang baru saja hendak membawa peralatan mandinya, tersenyum meringai, “Baiklah, baiklah. Biar aku saja yang membereskan meja makan dan ruang tengah, Ellis. Kau duduk saja. Kalau perlu aku akan bereskan juga tempat tidurmu.” Ellis duduk di kursinya, pura- pura menyombong. “Terima kasih tawarannya, Julie. Tapi tak usah, aku sudah membereskan tempat tidurku.” Dengan gemas, Julie mencubit Ellis penuh semangat. Ia mencubitinya di pipi, di lengan, dan di tangan. Ellis pura-pura mengaduh lalu tertawa riang saat Julie menuju ke kamar mandi. Tepat ketika Julie selesai mandi setengah jam kemudian, terdengar bunyi bel dari arah depan. “Siapa?” tanya Julie sambil menatap Ellis. “Paling juga Tony," jawab Ellis santai. “Siapa lagi?” Sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah, Julie bergegas ke depan. Dan benar saja, Julie kembali lagi ke ruang makan bersama Anthony. “Halo, Ellis!” sapa Tony dengan ceria. “Pagi," jawab Ellis dengan tidak santai. Tony celingukan kesana-kemari. “Mrs. Arden mana?” “Oh, beliau sedang masak di dapur," jawab Julie sembari membawa handuk menuju halaman. Tony menggeleng-ngeleng dan berdecak. “Teganya kau, Ellis! Kau biarkan nenek memasak sendiri?” Ellis yang baru saja sibuk membuat perahu- perahuan dari tisu, berteriak, “Hei, Julie juga, tahu! Lagipula nenek yang minta supaya jangan dibantu. Kata beliau, aku sudah cukup bekerja keras.” “Yah...Julie ‘kan kasus berbeda.” Ellis memonyongkan bibirnya, lalu melipat lagi perahu dengan keras-keras, penuh tenaga. Tony bersorak ke arah dapur, “Nenek aku dataang!” “Oh, Tony! Sarapanlah bersama kami” ,sahut Mrs. Arden dari arah kejauhan. Tony mengiyakan dengan riang, lalu menarik salah satu kursi dan duduk di situ. Julie segera menata meja di hadapan kedua temannya dengan sigap. “Rajinnya Julie," puji Tony. “Ah, bukan. Aku hanya melakukan bagianku. Ellis sudah banyak beberes sejak tadi pagi.” Ellis makin memonyongkan bibirnya. Melihat itu Tony tertawa riang, lalu berkata, “Ya, ya, Ellis gadis manis yang rajin kok.” Ellis hanya menatapnya penuh selidik. Julie mengalasi meja itu dengan taplak lalu beranjak mencari kain lap. Sementara itu persis di hadapan Tony, Ellis duduk dengan masih menatapnya tak senang. “What's wrong?” tanya Tony. “Kenapa sih, kau senang sekali numpang sarapan di rumah kami?” “Memangnya tidak boleh?” “Makanlah dengan keluargamu! Apa kau kira orangtuamu tidak ingin makan bersama denganmu?” Tony bersandar pada kursinya. “Chill, Ellis. Aku sudah sarapan kok, tadi pagi. Tapi aku tidak menolak kalau dapat tambahan jatah.” “Itu artinya kamu tetap niat numpang makan," gumam Ellis sambil menoleh ke samping. Tony hanya tertawa terbahak-bahak. “Cih," ejek Ellis. Tawa Tony pun mereda, dan kini ia hanya tersenyum menyeringai. Julie telah kembali ke ruang makan, mengelap perabotan dan lemari-lemari. “Nah, kau sendiri! Kenapa kau waktu itu tidak ikut makan- makan?” serang Tony. “Kau sebegitunya cinta kerja?” “Ya! Aku memang cinta kerja! Saaangat cinta! Aku ingin cep...” “Cepat kaya? Ya, aku sudah tahu," potong Tony tak peduli. “Dengan cepat Ellis menoleh ke arah Julie yang tak jauh darinya, “Julie..?” Julie tertawa kecil. “Iya, Ellis, maaf. Aku yang memberitahu Tony. Maafkan aku ya?” “Tidak apa-apa, Julie," jawab Ellis, tersenyum pada Julie. Ia lalu kembali mengarahkan pandangannya pada Tony. “Nah, kalau kau memang segitu sukanya, kenapa hari ini kau tidak bekerja?" serang Tony lagi. “Hari ini?” ulang Ellis. Ia lalu tertawa, dibuat- buat. “Ini ‘kan hari Sabtu!” “Ini ‘kin hiri Sibti," ulang Tony setengah mencibir. Melihat itu, Ellis mengambil sehelai tisu dari kotak di hadapannya, meremas- remasnya sekuat tenaga, lalu melemparkan bola tisu itu ke arah Tony. Sayang, bola tisu itu hanya mengenai salah satu dari sekian banyak ujung rambut Tony yang mencuat. Bola itu memantul begitu saja, dan jatuh ke lantai. Tony hanya mengangkat bahunya penuh gaya. “Ah, maaf Julie. Akan aku buang,” kata Ellis dengan wajah memohon. Julie mengangguk, lalu berkata, “Aku bersihkan ruang tengah dulu, ya?” Beberapa saat kemudian Julie berlalu ke ruang tengah ketika Ellis beranjak dari tempat duduknya. Ia memungut bola tisu itu dan membuangnya ke tong sampah. Kini hanya ada Ellis dan Tony di ruangan itu. Ellis baru saja hendak duduk kembali, namun dia terdiam sejenak sebelum tiba-tiba ia berseru sambil menepuk dahi, “Ah, hampir saja lupa!” “Apa?” tanya Tony menaikkan alisnya sedikit. “Ada yang harus kutanyakan pada Julie!” Tony menyahut, “Jadi aku ditinggal sendiri?” Tapi Ellis tak menjawab. Sekonyong- konyong ia bergegas ke ruang tengah dan menemukan Julie sedang membungkuk menyapu kolong- kolong sofa. “Julie," panggil Ellis dengan suara rendah. Julie segera menoleh, mendapati Ellis berdiri di belakangnya dengan muka serius. “Kenapa, Ellis?” “Duduklah," pinta Ellis. “Ada yang ingin kutanyakan padamu.” Keduanya lalu duduk di sofa. Julie juga memandang Ellis dengan wajah serius. “Ada apa, Ellis?” Ellis diam sejenak. Lalu dengan pelan, tapi tegas, ia berkata, “Aku ingin tahu yang sebenarnya, Julie. Aku sering berpikir kau mengonsumsi sesuatu akhir -akhir ini. Apa aku benar?” Julie hanya terdiam. Lalu Ellis melanjutkan, “Kelihatannya aku benar. Kau bisa mengelabui nenek ataupun Tony bahwa kau hanya pucat dan lelah karena kurang tidur. Tapi tidak denganku. Kau juga tidak kelihatan berniat menambah waktu tidurmu di siang hari. Kau mengonsumsi sesuatu? Obat?” Julie masih saja terdiam. Lama kemudian, barulah ia mengangguk. “Pil tidur.” “Julie, jika banyak hal yang menyusahkanmu, aku akan berusaha membantumu, seperti kata nenek. Tapi jangan sekali- kali mengonsumsi pil apapun untuk membuatmu tertidur, Julie. Aku sangat yakin kau terus menambah dosisnya? Karena kau terus saja terbangun dan bermimpi buruk, yang artinya kau masih kesulitan tidur.” Julie lagi- lagi mengangguk. Kini ia menunduk dalam-dalam. “Buang.” Julie menengadah dan bertanya, “Apa?” “Buang pil tidurmu, Julie!” tegas Ellis. Wajahnya sangat serius, tidak seperti biasanya. “Tapi...," “Buang, Julie! Apa aku harus mengulangi permintaanku lagi?” tanya Ellis. Suaranya menandakan ketegasan yang mutlak. Bagi Julie, Ellis tak hanya ia sayangi sebagai sahabat dan saudaranya, tapi juga sebagai kakaknya, karena usia Ellis yang dua tahun lebih tua dari Julie. Dan jujur, Julie harus mengakui, bahwa wajah Ellis saat ini adalah wajah ketegasan seorang kakak yang tak mampu ia bantah sedikitpun. “Baiklah” ,jawab Julie lesu. “Tapi bagaimana denganku nanti?” “Kau harus percaya bahwa Nenek dan aku akan membantumu," ujar Ellis sembari memegangi kedua telapak tangan Julie. Ellis menatap Julie penuh tekad dan Julie pun balik menatapnya, penuh pertimbangan. Ia lalu tersenyum. “Baik. Tapi aku masih belum tahu bagaimana cara menghentikannya.” Ellis baru saja hendak membuka mulut untuk menjawab saat suara Tony yang begitu keras terdengar dari arah ruang makan. “Heeei! Kalian masih lama di situ? Nenek sudah menyiapkan sarapan! Nanti saja bebersihnyaa!” Ellis menoleh pada Julie. “Yuk? Nanti kita bicarakan lagi.” Keduanya pun beranjak ke ruang makan .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN