Kadang-kadang Lizzy bermimpi. Mimpi itu sangat indah dan terasa hangat. Kehangatannya terasa nyata memeluk tubuh Lizzy hingga membuat tidurnya sangat nyenyak. Mimpi itu datang setiap menjelang ulang tahun Lizzy. Dalam mimpi itu, seseorang mendekapnya penuh kasih sayang. Ada dengung nyanyian lembut memanjakan telinganya. Seolah sedang menidurkan Lizzy seperti yang biasa seorang ibu lakukan kepada bayi.
Lizzy tidak bisa mengingat orang itu. Namun, dia cukup ingat betapa lembut suaranya. Dari suara itu, telah dipastikan ia seorang wanita. Kadang-kadang dalam angannya, terputar bayangan seorang wanita berambut pirang dengan mengenakan topi floppy berpita biru muda. Lizzy tidak dapat melihat wajahnya karena selalu terhalang oleh topi tersebut. Akan tetapi, goresan senyum hangatnya mengintip dari balik topi.
Seiring berjalannya waktu, Lizzy mulai memikirkan wanita tersebut lebih jauh. Menduga-duga identitasnya. Tentu saja Lizzy tidak mengenalinya karena tidak pernah mampu melihat keseluruhan wajahnya. Seandainya Lizzy mampu melihatnya pun dia tidak yakin dapat benar-benar mengenalinya. Jadi, Lizzy tidak punya ide tentang wanita yang selalu menghampirinya di dunia mimpi tersebut.
Lizzy mulai berpikir bahwa wanita tersebut adalah ibunya, Elliana de Gilbert. Pernah suatu ketika Lizzy mencoba membandingkannya dengan orang-orang di sekitarnya. Alice menjadi satu-satunya figur yang paling mendekati sosok wanita dalam mimpi Lizzy.
Tapi, Lizzy tetap tidak yakin apakah wanita itu adalah ibunya. Lizzy tidak ingin terlalu berharap.
“Tidak bisa tidur?”
Suara Ian membuat Lizzy menoleh ke kanan, menemukan lelaki itu masih duduk di kursi tepat di samping Lizzy. Lizzy mengamati figur Ian sejenak tanpa memberi jawaban. Merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Ian karena pertanyaan itu termasuk retoris.
“Kau butuh sesuatu?” tanya Ian lagi seraya membalik halaman buku. Tidak menoleh ke Lizzy seolah tahu Lizzy sedang menatapnya dan tak berminat menjawab pertanyaan sebelumnya.
“Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Lizzy pelan, meremas selimut.
Ian hanya mengangguk kecil. Tenggelam dalam buku filsafat. Satu-satunya kegiatan yang dia lakukan selama menemani Lizzy. Ian mengambil liburan dari tugas dan jadwal kesibukannya demi merawat Lizzy. Ini sempat menjadi perdebatan di antara mereka karena Lizzy cukup menentangnya. Tentu saja Ian tidak mau mengalah.
Jika saja Lizzy dalam kondisi sehat, perdebatan itu tidak akan ada habisnya.
Hari ini Ivander de Bloich sangat aneh, Lizzy akui itu. Lizzy seolah sedang bersama orang yang berbeda, bukan Ian yang dia kenali. Lizzy sempat berpikir ini semua hanyalah mimpi, dia belum kembali ke kesadarannya, Ian yang menemaninya sekarang adalah sebuah mimpi kosong. Tapi, ketika Lizzy terbatuk, pening, dan sedikit mual, Lizzy harus memercayai ini semua adalah kenyataan.
Lizzy harus percaya, tapi terasa sangat sulit saking mustahilnya.
“Yang Mulia,” panggil Lizzy pelan.
“Apa?” sahut Ian tanpa mengalihkan perhatian dari bacaannya.
Lizzy menipiskan bibir, sedikit ragu. “Benarkah tidak ada yang terjadi selama aku kehilangan kesadaran?”
“Jika seluruh pelayan, ksatria, dan dokter mengalami panik termasuk sesuatu yang kau maksud, itulah jawabannya.”
“Bukan itu. Maksudku adalah kau.”
“Ada apa denganku?”
“Kau… berbeda.”
Ian melengos pelan. Tangannya yang hendak membalik halaman pun terhenti. Dia memijat pangkal hidung untuk meredakan lelah akibat terlalu lama membaca. Kemudian, Ian menoleh ke Lizzy dengan raut tanpa ekspresi seperti biasa.
“Bagian mana dari diriku yang berbeda?” tanya Ian.
Lizzy mengerjap cepat, terkesan takut-takut untuk menjawab. Beberapa kali matanya berpaling dari tatapan Ian sebelum bibirnya memberanikan diri untuk bersuara. “Sifat.”
Alis kanan Ian sedikit naik. “Sifat?”
Lizzy mengangguk kecil seraya menarik selimut ke atas guna menutupi separuh wajahnya. Takut melihat perubahan raut muka Ian yang terkesan tidak terima.
“Bagimu seburuk itukah sifatku?” tanya Ian datar.
Lagi-lagi Lizzy hanya mengangguk dan semakin menaikkan selimutnya. Membuat Ian melengos lelah.
“Aku memerlakukan semua orang seperti itu, termasuk ayah dan ibuku,” ujar Ian menjelaskan membuat Lizzy mengerjap pelan. “Aku tidak mau tahu apa yang orang lain pikirkan tentangku. Aku selalu bersikap apa adanya. Mungkin bagi kalian, para perempuan, sifatku terlalu kasar, huh.”
“Kau membuat Putri Elesis menangis,” tanggap Lizzy bersuara dari balik selimut yang menutupi bibirnya.
“Aku tidak berniat seperti itu. Dia membuat karangan bunga dan meminta pendapat jujurku. Tapi selanjutnya dia langsung menangis,” Ian menghela napas panjang. “Aku tidak akan pernah memahami perempuan.”
“Kau terlalu frontal.”
“Dia minta pendapat yang jujur, kuberikan. Lalu di mana letak kesalahanku?”
Tanpa Ian ketahui, bibir Lizzy menyunggingkan senyum geli dari balik selimut. “Jika itu aku, mungkin aku juga akan menangis. Tergantung dari seberapa jujurnya pendapatmu.”
Ian mendengus. “Lebih tepatnya, tergantung dari seberapa bagusnya karangan yang kau buat.”
“Eh?”
Ian mengalihkan kepala dari Lizzy. Dia menyandarkan kepalanya ke tangan kanannya yang bertumpu pada sandaran tangan kursi. “Aku tidak pernah berbohong. Jika memang bagus, aku tidak akan membualkan kalimat yang buruk. Begitu juga sebaliknya. Orang-orang perlu mengubah mindset mereka terhadap kritikan. Semakin hari semakin banyak orang yang tidak mau menerima kritik.”
Lizzy terperangah mendengar kalimat terpanjang Ian. Kalimat terpanjang pertama yang tidak mengandung hal buruk terhadap Lizzy. Nada bicaranya memang datar, wajahnya pun tidak berekspresi. Terkesan tidak minat untuk diajak berbincang. Tapi, Ian tetap meladeni Lizzy tanpa mengeluarkan sinyal penolakan. Berkontradiksi dengan kesan yang menguar dari wajah dan nada bicaranya.
Lizzy pikir interaksi-interaksi selanjutnya dengan Ian akan berjalan seburuk interaksi mereka di hari pertunangan. Hanya terisi kalimat-kalimat tajam yang menggoreskan luka hingga Lizzy memutuskan untuk tidak pernah memulai percakapan. Namun kini interaksi mereka berubah dalam sekejap mata. Tidak ada kalimat tajam.
Lizzy tidak tahu percakapan normal ini akan bertahan sampai kapan, setidaknya dia mensyukurinya. Mungkin Ian sedikit memikirkan kondisi fisik Lizzy yang sedang lemah. Mungkin Ian memiliki sisi manusiawi yang tidak Lizzy ketahui. Mungkin juga Ian tidak seburuk yang kabar dan rumor edarkan. Lizzy ingin memercayai itu semua.
“Seharusnya kau tidur. Obatnya tidak membuatmu mengantuk?” tanya Ian kembali menenggelamkan diri dalam buku.
“Tidak sama sekali,” jawab Lizzy polos.
“Jam makan malam masih lama. Berusahalah untuk tidur, tutup matamu.”
Wajah Lizzy sedikit memerah mendengar anjuran Ian. Baru mengingat kebiasaannya setiap kali jatuh sakit cukup memalukan. Tidak mungkin Lizzy memberitahu Ian. Terlalu memalukan.
Lizzy menarik selimut, menutup tubuhnya secara utuh. “Baiklah.”
Ian melirik Lizzy kala telinganya menangkap nada suara gadis itu sedikit berbeda. “Kau akan susah bernapas. Turunkan selimutmu.”
Lizzy menggeleng cukup keras, menimbulkan kasak-kusuk. “Tidak apa-apa, aku akan baik-baik saja.”
Gelagat aneh Lizzy membuat Ian menoleh kepadanya. Heran melihat gadis itu tiba-tiba bersikap aneh setelah dianjurkan untuk tidur. Padahal sebelumnya Lizzy tidak seaneh itu. Usai sarapan dan meminum obat pertamanya, Lizzy langsung tertidur pulas karena efek obat. Jadi, tidak ada drama susah tidur seperti sekarang.
Di percobaan tidur kedua seusai makan siang dan meminum obat keduanya, Lizzy justru susah tidur, entah mengapa. Ian tidak terlalu ambil pusing karena kondisi gadis itu berangsur pulih. Suhu tubuhnya mulai turun dan tidak ada sakit apa pun yang menyerangnya. Hanya saja cukup membingungkan melihat Lizzy tidak bisa tidur meski sudah minum obat.
“Turunkan selimutmu. Akan menjadi masalah bila kau terkena efek susah bernapas,” perintah Ian sedikit tegas, sedikit mengagetkan Lizzy.
Berusaha mengendalikan sensasi panas yang menjalar di kedua pipinya, Lizzy sedikit menurunkan selimut. Mengeluarkan setengah kepalanya agar dapat lebih mudah bernapas. Mata biru Lizzy kembali bertemu dengan mata merah Ian. Menyebabkan wajah Lizzy semakin memerah dengan gejolak ragu berkecamuk dalam dirinya.
“Jujur saja, aneh sekali melihatmu tidak mengantuk. Sebelumnya kau langsung tidur setelah minum obat,” komentar Ian heran.
“Entahlah, aku juga bingung,” sahut Lizzy berusaha senormal mungkin, tapi sia-sia saja karena nada canggungnya sungguh mencolok.
Telinga sensitif Ian menangkap nada canggung itu. Kini menatap Lizzy dengan lebih serius. “Ada apa? Jika memang ada kondisi tertentu, katakan saja.”
Wajah dan nada serius Ian membuat Lizzy semakin merasa malu. Ya ampun, kenapa dia tampak seserius itu. Jika dia seperti itu, rasanya semakin memalukan untuk memberitahunya. Entahlah apa yang akan dia pikirkan setelah kuberitahu. Pokoknya, memalukan!
“Aku sungguh baik-baik saja. Tidak ada masalah,” sangkal Lizzy membuat Ian semakin curiga.
“Aku akan menanyakannya ke pelayanmu.”
Lizzy mengerjap cepat, syok. “Jangan!”
Alis Ian naik sebelah. “Kenapa?”
“Ah, pokoknya jangan! Tidak boleh!” seru Lizzy mulai merasa gemas sendiri dengan kondisinya yang penuh dilema.
Ini wajah cemberut yang keberapa kalinya untuk hari ini? Selama dia sakit, wajahnya sangat mudah cemberut, batin Ian sedikit tergelitik melihat sorot mata biru Lizzy sedikit melotot kepadanya.
Ian melengos. “Aku paham. Itu sesuatu yang memalukan bagimu, bukan?”
Lizzy tersentak, terkena sasaran Ian.
“Apa lagi yang lebih memalukan tentangmu selain masih tidur ditemani pelayan sampai umur enam tahun?”
Lizzy ternganga melihat Ian membeberkan rahasia kekanakannya. Tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Tidak percaya mendengar Ian melontarkan rahasia kekanakannya. Rahasia yang Lizzy kubur dalam-dalam dua bulan sebelum dirinya menginjak umur enam tahun, kini diketahui oleh tunangannya sendiri!
“Kau… kau! Siapa yang memberitahumu?!” tanya Lizzy dikuasai syok.
Ian mengedikkan bahu. “Rahasia perusahaan.”
“Yang Mulia!” rengek Lizzy cukup keras, tanpa sadar selimutnya telah turun, memamerkan paras cantiknya.
“Suaramu mulai kembali normal, huh. Baguslah,” ledek Ian, puas menikmati wajah cemberut dan rengekan Lizzy.
Tubuh Lizzy berguling ke kiri, memberikan punggung kepada Ian. Terlalu malu untuk menatap lelaki berambut acak-acakan itu. Tubuh Lizzy meringkuk membentuk bola dengan selimut menutupinya rapat-rapat karena tarikan tangannya. Bibir tipis Lizzy menggumamkan dumel dan rengekan sembari menutup kelopak matanya. Berharap dengan begitu dia akan tertarik ke dunia mimpi, melarikan diri dari rasa malunya.
Ian menyeringai geli melihat tunangannya ngambek. Tunangannya yang selalu tampil elegan dan berwibawa, kini tampil apa adanya dengan karakter kekanakan yang mudah cemberut dan merengek sesuai usianya. Kini perbedaan umur mereka sangat terasa.
“Dibacakan dongeng? Dinyanyikan lagu pengantar tidur? Atau memelukmu sambil mengelus kepalamu? Katakan saja, Elizabeth,” ujar Ian berusaha menahan nada geli.
Lizzy mendengus keras. “Memangnya aku anak kecil, huh.”
“Kau memang anak kecil. Tidak perlu menahan diri, kau perlu tidur.”
“Aku tidak mau.”
“Kenapa?”
Lizzy semakin meringkuk, suaranya memelan. “Ditertawakan. Memalukan tahu.”
Ian nyaris tidak mampu menahan dengus gelinya. “Aku tidak akan menertawakanmu.”
“Sungguh?”
“Janji.”
“Janji?”
“Janji.”
Terjadi jeda. Lizzy tidak bergeming. Ian masih menatapnya, menunggu. Tampaknya Lizzy menimbang-nimbang keputusannya. Ian mulai memikirkan apa yang alasan sebenarnya. Dari gelagat Lizzy, tampaknya sangat-sangat memalukan hingga gadis itu perlu berpikir berulang kali sebelum memberitahukannya.
Tubuh Lizzy bergerak, berguling ke kanan, menghadap Ian kembali. Gadis itu menutupi setengah parasnya menggunakan selimut. Tapi, Ian dapat menemukan rona merah menjalar di bawah mata Lizzy. Sorot mata Lizzy penuh ragu dan kekhawatiran, membuat Ian semakin penasaran.
“Tangan,” ujar Lizzy sangat pelan, nyaris seperti bisikan.
Ian mengernyit, sedikit memajukan kepalanya karena tidak dapat mendengar dengan jelas. “Apa?”
Gurat wajah Lizzy kembali cemberut, nada suaranya mengeras. “Tangan.”
“Tanganku?”
Lizzy mengangguk. Walau dirundung bingung, Ian mengulurkan tangan kirinya kepada Lizzy. Gadis itu menerima menggunakan tangan kirinya. Lizzy meletakkan genggaman tangan mereka tepat di samping kepalanya, berhadapan langsung dengan wajahnya. Tangan Ian pun dapat merasakan hembusan napas dari hidung Lizzy, terasa sedikit menggelitik.
Ian sedikit merasa telah dipermainkan oleh Lizzy. Dia mengira sesuatu yang lebih aneh lagi. Ternyata hanya sekedar menggenggam tangan. Apa efek genggaman tangan yang membuat Lizzy jadi semalu itu?
“Dasar, hanya genggam tangan membuatmu bertingkah berlebihan,” keluh Ian menghela napas panjang.
“Apa maksudmu “berlebihan”, huh? Ini memalukan tahu,” sahut Lizzy tak terima.
Ian akan selalu mengingat betapa kekanakannya Lizzy selama gadis itu jatuh sakit.
TO BE CONTINUED
Aslinya bab ini lebih panjang lagi. Tapi, yoweslah, ya, dipotong dulu agar santai2 dulu biar nggak tegang gara-gara efek Arthur kemarin, hehe. Calm down, guys, ini masih season 1. Masih panjang perjalanan kita!