-Alterius, 29 November 1920-
“Kerajaan Ophelia telah berdiri selama 150 tahun dengan terlahir pada tanggal 10 Januari 1770. Didirikan oleh Raja Yosephine de Croux setelah memenangkan Perang Kudus yang memperebutkan wilayah yang kini dikuasai oleh Ophelia. Sejak saat itu Kerajaan Ophelia memulai tatanannya secara signifikan dari tahun ke tahun. Hanya sepuluh tahun sejak berdiri, Kerajaan Ophelia berhasil menjadi salah satu kerajaan yang makmur dan maju.”
Lizzy berusaha menjaga kelopak matanya tetap terbuka. Mata biru berliannya mengamati Mrs. Bellogia menerangkan sejarah Kerajaan Ophelia untuk kesekian kalinya. Benar-benar kesekian kalinya hingga seluruh narasi kronologi sejarah tersebut terpampang jelas dalam kepala Lizzy. Telinga Lizzy pun sudah rampung mendengarkan sejarah kerajaan. Tentu memicu bosan, namun Lizzy tak bisa berbuat banyak.
Pernah suatu hari Lizzy memperingatkan Mrs. Bellogia bahwa beliau sudah menerangkan sejarah kerajaan di jadwal kelas sebelumnya. Sepersekian menit berikutnya, Lizzy menyesali keputusannya karena Mrs. Bellogia langsung berceloteh panjang lebar tentang betapa besar tanggung jawabnya untuk mengajarkan sejarah itu kepada calon Ratu Ophelia. Celotehan itu lebih memusingkan kepala dibandingkan narasi sejarah kerajaan. Jadi, Lizzy memutuskan untuk pasrah saja.
“Keluarga kerajaan sempat mengalami tatanan kompleks pada masa pemerintahan Raja Marcus de Croux lantaran beliau tidak memiliki keturunan. Hal ini sempat akan memicu perang perebutan tahta. Demi menghindarinya, Raja Marcus menunjuk Aberlain de Bloich, kerabat terdekatnya, menjadi pewaris tahta. Sejak saat itu keluarga Bloich resmi menjadi keluarga kerajaan yang kuat hingga sekarang. Dimohon untuk mengingatnya, Nona Elizabeth.”
Aku sudah ingat, astaga. Kau sudah menceritakan sejarah ini lima kali, rutuk Lizzy dalam hati. Hanya bisa menelan kalimat itu dalam-dalam.
Lizzy tersenyum manis. “Tentu saja, Mrs. Bellogia. Saya akan selalu mengingatnya.”
Mrs. Bellogia tersenyum bangga. “Sangat baik seperti biasa, Nona Elizabeth. Tidak diragukan lagi anda benar-benar pantas menjadi calon Ratu Kerajaan Ophelia.”
“Anda terlalu memuji,” Lizzy sedikit menunduk sebagai bentuk apresiasi dan hormat, “tanpa bimbingan anda, saya bukanlah apa-apa. Terima kasih, Mrs. Bellogia.”
Mrs. Bellogia mengambil cangkir teh. “Saya masih ingat hari pertama mengajar anda. Anda masih sangat kecil, berumur 4 tahun. Benar-benar lugu dan polos. Waktu berlalu sangat cepat.”
Ingatan Lizzy tertarik ke masa kecilnya ketika ia mulai mengikuti jadwal kelas. Saat itu menjadi hari yang menyebalkan bagi Lizzy karena ia tidak bisa lagi bebas bermain. Tiap hari Lizzy harus mengikuti jadwal kelas yang nyaris menyita waktu satu hari. Mau tak mau mulai mempelajari banyak hal yang memusingkan kepala. Tidak ada lagi waktu bermain dan bersantai seharian.
Lizzy masih ingat saat itu dirinya merajuk kepada kakak-kakaknya. Merengek tidak mau mengikuti kelas dengan mengancam mogok makan. Strateginya sia-sia karena kakak-kakaknya tidak ada yang memedulikan rengekan Lizzy. Akhirnya, sifat keras kepala Lizzy membuatnya jatuh sakit setelah mogok makan tiga hari. Selanjutnya Lizzy menyesali keputusannya karena Arthur langsung memarahinya dengan aura menyeramkan.
Bila dipikir-pikir, banyak sekali keputusan Lizzy berujung penyesalan.
“Tidak terasa sebentar lagi anda menginjak usia 7 tahun dan akan segera bertunangan secara resmi dengan Pangeran Mahkota,” ujar Mrs. Bellogia usai menyesap teh membuat lamunan Lizzy buyar.
Ah, perkara ini lagi, rutuk Lizzy tidak suka.
Lizzy berusaha mempertahankan wajah cemerlangnya, memberi tanggapan, “Benar. Waktu berjalan sangat cepat hingga membuat saya terkadang penuh ketakutan.”
“Ketakutan?” beo Mrs. Bellogia bingung.
“Saya masih memiliki banyak kekurangan. Terkadang saya gugup dan sedikit ketakutan seiring berjalannya waktu mendekati ulang tahun ketujuh saya. Anda tahu, di luar sana banyak perempuan yang lebih cantik dan berbakat.”
Mrs. Bellogia tersenyum maklum. “Ah, anda terlalu merendah, Nona Elizabeth. Anda tidak perlu memiliki keraguan seperti itu. Anda sangat cantik dan berbakat pula.”
Lizzy mengangguk takzim. “Mungkin ini hanya kegugupan saya semata. Anda benar, terima kasih, Mrs. Bellogia.”
Mrs. Bellogia meletakkan cangkir yang sudah kosong. Wanita itu meraih koper di sebelahnya, lantas berdiri hendak pamit. “Sangat wajar perempuan memiliki kegugupan seperti itu menjelang hari pertunangan dan hari pernikahannya. Tidak perlu khawatir dan memikirkannya berlarut-larut. Anda sangat baik dalam segi apa pun.”
Kuharap tidak seperti itu, batin Lizzy.
“Baik. Terima kasih atas pembelajaran hari ini. Hati-hati di jalan, Mrs. Bellogia.” ujar Lizzy seraya mengangkat gaun birunya penuh keanggunan.
Setelah Mrs. Bellogia diantarkan oleh Hera keluar dari ruang belajar Lizzy, gadis itu menghempaskan tubuhnya di sofa. Kepalanya yang bersandar membuat wajahnya otomatis menghadap langit-langit. Netranya kosong seiring benaknya kembali memikirkan banyak hal. Helaan napas keluar dari bibirnya saat Lizzy membenarkan posisi duduk. Netranya kini menatap sepotong cheesecake blueberry yang belum sempat dimakannya.
“Tidak diragukan lagi anda benar-benar pantas menjadi calon Ratu Kerajaan Ophelia.”
“Calon Ratu,” gumam Lizzy pelan sambil mengambil piring cheesecake blueberry. Tangannya mulai menyendok kue dengan gerakan sangat pelan seolah tidak berminat memakannya. Benaknya tidak fokus. “Aku? Calon Ratu?”
Mau berapa kali pun mendengarnya, telinga dan diri Lizzy tidak pernah nyaman. Seluruh tubuh Lizzy langsung menegang kaku tiap kali seseorang menyebutkan calon Ratu. Tidak pernah ada satu momen pun Lizzy menerima fakta itu. Sebaliknya, Lizzy menolak. Dari dulu hingga sekarang, tidak berubah sama sekali.
Kepala Lizzy sedikit mendongak. Mata biru berliannya terpancang pada potret orang tuanya yang terpajang besar. Dalam potret itu, ayah dan ibunya tersenyum dengan penuh aura padu kasih yang mampu membuat siapapun iri. Ayahnya sangat tampan, ibunya sangat cantik. Wajah cemerlang mereka yang terabadikan di foto menjadi satu-satunya perantara yang menemani Lizzy. Lizzy tidak pernah benar-benar tahu bagaimana sosok mereka secara nyata.
Suatu hari Arthur pernah mengatakan rencana pertunangan Lizzy dengan Pangeran Mahkota terjadi sesudah kematian orang tua mereka. Sejak saat itu Lizzy jadi bertanya-tanya, bila mereka masih hidup akankah mereka menyetujui pertunangan itu.
Ya, Lizzy masih kekanakan. Aku yang kekanakan ini justru terpilih menjadi calon Ratu. Aku bertanya-tanya alasannya.
Ketukan pintu membuat Lizzy mengerjap, berhenti menatap potret orang tuanya. Ia meletakkan piring ke meja, lantas menghabiskan sisa tehnya sebelum kemudian mempersilahkan pengetuk masuk.
“Yang Mulia telah kembali dari ekspedisinya, Nona,” lapor Hera setelah membungkuk hormat.
Lizzy mengembuskan napas pelan. “Begitukah? Bagaimana keadaan kakak? Ekspedisinya berhasil?”
“Yang Mulia baik-baik saja. Ekspedisi di wilayah Britania berjalan lancar. Wilayah itu akan segera menjadi bagian dari Kerajaan Ophelia.”
“Oh, baguslah.”
“Yang Mulia meminta kehadiran anda di ruang kerjanya.”
Kening Lizzy sedikit mengernyit tidak suka. “Ah, apa lagi yang dia mau sekarang?”
“Yang Mulia ingin berbicara dengan anda, seperti biasa.”
“Apakah ini berbicara seperti ‘berbicara’ yang kutahu, huh?”
Hera melengos pelan. “Anda tidak boleh seperti itu, Nona.”
Lizzy mendengus, bangkit berdiri. Ia merapikan gaun dan tatanan rambutnya sejenak. “Tidak ada seorang pun yang ingin memiliki kakak seperti Arthur, Hera.”
“Saya mengerti. Bagaimanapun, anda harus menahannya karena dia kakak anda sekaligus kepala keluarga Gilbert.”
Lizzy tidak berkomentar lagi. Gadis itu melangkah keluar dari ruang belajarnya menuju ruang kerja Arthur. Langkah dan pembawaannya penuh tata krama dan keanggunan. Benar-benar menyiksa Lizzy. Ia harus menjaga postur tubuhnya tegak lurus dengan langkah kaki berjarak teratur. Kedua tangannya lurus dengan telapak tangan saling tergabung membentuk huruf V. Leher Lizzy harus tegak menjaga kepalanya tetap lurus ke depan.
Semua postur ketatakramaan itu menjadi kebiasaan yang harus Lizzy lakukan setiap hari sejak berusia 4 tahun. Tidak hanya postur berjalan, terjadi juga pada postur duduk dan makan. Bila ia melanggar sedikit saja, Hera akan sigap menegur. Segalanya penuh aturan, penuh paksaan.
Tidak lain tidak bukan, terjadi karena perintah mutlak Arthur dengan dalih, “Kau akan menjadi calon Ratu Ophelia. Kau sangat tahu betapa dibencinya keluarga kita oleh semua orang. Tidak ada yang terima calon Ratu berasal dari keluarga Gilbert. Jadi, tunjukkan pada mereka kualitas Gilbert. Buat mereka bisu.”
Ya, Arthur benar-benar menyuruh anak berusia 4 tahun untuk membuat orang lain ‘bisu’. Lizzy perlu alasan apa lagi untuk tidak menyukai kakak pertamanya itu?
Ketika Lizzy sampai di pintu ruang kerja Arthur, Hans yang berjaga langsung mengumumkan kehadirannya. Gadis itu masuk setelah dipersilahkan oleh Arthur. Lizzy menatap Arthur yang duduk di kursi dengan kedua kaki terangkat ke meja. Aura intimidasi dan dinginnya tidak pernah berubah. Aura yang sangat dibenci oleh Lizzy.
Mata biru Arthur melirik. Lelaki yang kini berusia 19 tahun itu berhenti menggigit cerutu pipa porselain hitamnya. “Duduklah.” perintahnya datar.
Lizzy membungkuk hormat. “Salam kepada Grand Duke of Alterius.”
“Hmm,” sahut Arthur datar bersamaan dengan asap cerutu keluar dari ekor bibirnya.
“Ada apa kakak memanggilku?” tanya Lizzy masih berdiri di ambang pintu.
“Duduk,” perintah Arthur ulang masih dengan raut dan nada datar membuat Lizzy sedikit mengernyit.
“Maafkan aku, setelah ini aku memiliki pekerjaan rumah berupa menyulam saputangan. Jadi, aku tidak dapat berlama-lama.”
“Kubilang, duduk.”
Seharusnya Lizzy paham betapa keras kepala dan tidak berperasaannya seorang Arthur.
Mau tidak mau Lizzy mematuhi perintah Arthur. Ia duduk di sofa. Berhadapan dengan teh dan camilan yang telah disediakan di meja. Lizzy sedikit melengos ketika memalingkan wajah ke pintu ruangan. Merutuk dalam-dalam kenapa harus terjebak dengan Arthur setelah rumah terasa bebas selama dua minggu Arthur pergi ekspedisi.
“Jadi, ada—“
“Aku sudah melihat laporan pembelajaranmu selama dua minggu terakhir. Kau tidak mengalami penurunan maupun peningkatan,” tutur Arthur langsung memotong suara Lizzy membuat gadis itu terkesiap.
Lizzy mengerjap. “Untuk hal itu, aku—“
“Elizabeth de Gilbert.”
Tubuh Lizzy menegang mendengar nada suara dingin. Diikuti pula oleh raut wajah tak kalah dingin, sukses mengintimidasi Lizzy.
“Kau bisa lebih baik dari ini, kau tahu itu, bukan?” tanya Arthur tajam membuat Lizzy sedikit bergetar takut.
Lizzy sedikit menunduk. “Maafkan aku, kakak. Aku—“
“Kau tidak memiliki banyak waktu lagi. Kurang dari satu bulan lagi kau akan bertunangan, menghadapi para bangsawan, keluarga kerajaan, terutama Pangeran Mahkota. Jika kau masih seperti ini, kau mengundang mereka untuk mencemoohmu.”
Diam-diam kedua tangan Lizzy meremas gaunnya, menahan diri. “Maafkan aku. Aku akan meningkatkannya lagi.”
Arthur melengos. “Kau harus ingat kau membawa nama dan harga diri keluarga Gilbert. Ini semua demi kebaikanmu juga.”
“Tentu, aku selalu mengingatnya.”
“Keluarlah.”
Lizzy menggigit kecil bibir dalamnya. Kau bahkan tidak menanyakan kabarku.
Selama enam tahun Lizzy hidup, Lizzy tidak pernah benar-benar akrab dengan Arthur. Kakak pertamanya itu sangat dingin dan penuh kuasa terhadapnya. Tidak pernah benar-benar ada interaksi kekeluargaan di antara mereka. Arthur selalu membicarakan kewajiban Lizzy yang meliputi jadwal kelas, tata krama, dan tanggung jawab terbesarnya sebagai calon Ratu. Tidak pernah sekali pun Arthur menanyakan kabar maupun keinginan Lizzy.
Lizzy butuh alasan apa lagi untuk tidak menyukai Arthur?
TO BE CONTINUE
[Hai, my luvies! Kita telah sampai di awal perjalanan Ian dan Lizzy. Semoga kalian betah-betah, ya]