BAB 41

2083 Kata
Pertunangan Ian dan Lizzy diselenggarakan secara terbuka untuk para bangsawan. Diadakan di gereja St. Church dengan dipandu serta diberkahi oleh Kepala Uskup Benedictus. Prosedur ini tidak berbeda dari pertunangan-pertunangan keluarga kerajaan sebelumnya. Maka, tidak heran bila melihat betapa antusiasnya para bangsawan untuk menghadirinya. Seperti yang telah diketahui, Ian belum melakukan debut sosialnya. Debut sosial Ian akan tiba tiga tahun lagi, tepat di umur empat belas tahun. Karena belum melakukan debut sosial, sosoknya belum pernah terlihat di depan umum. Hal yang sama terjadi juga kepada Noah, sang pangeran kedua. Maka, acara pertunangan keluarga kerajaan menjadi ajang pertama para bangsawan untuk melihat pangeran dan putri yang belum debut sosial. Untuk generasi ini, mereka sangat antusias karena rumor-rumor yang beredar seputar dua pangeran. Mata merah darah milik Ian dan rambut perak serta mata abu-abu milik Noah. Semua menantikan untuk memastikan kebenaran rumor itu sekaligus mencari celah yang dapat mereka terobos melalui dua pangeran tersebut. Lizzy sudah was-was terhadap fakta ini. Sebagai bangsawan yang telah melakukan debut sosialnya, Lizzy sudah sangat menarik perhatian. Terbukti dari puluhan undangan pesta teh untuknya selalu datang setiap hari. Menumpuk tanpa Lizzy sadari. Lizzy menyerah untuk mengecek satu per satu setelah dirasa tak ada gunanya untuk mengecek. Mereka mengundang Lizzy dengan beragam motif yang sudah bisa Lizzy tebak. Tidak perlu baginya untuk meladeni. “Ini tidak akan mengubah pendirian para bangsawan yang menolak pertunangan kalian. Dulu, enam belas bangsawan menolaknya, termasuk keluarga Gilbert. Setelah aku tiba-tiba menyetujui ini karena paksaan Marquis, mereka berpikir aku telah mengkhianati mereka. Lalu, membentuk faksi aristokrat yang sekarang sangat siap menghancurkan kedamaian istana. Aku percaya kau sudah memahami ini,” tutur Arthur di samping Lizzy, membuat Lizzy mengangguk. “Aku selalu ingat, Kak. Selain keluarga Weasley, aku perlu waspada dengan faksi aristokrat,” sahut Lizzy terdengar sangat tenang. “Setelah kau resmi bertunangan dengan bocah itu, mereka akan mulai melakukan segala cara untuk menghancurkanmu. Selain itu, akan ada banyak orang yang tiba-tiba mendekatimu dengan beragam motif,” Arthur melirik Lizzy tajam, “kuperingatkan sekali lagi, tidak ada kata ampun dan belas kasih untuk mereka. Mereka sudah berani mengganggumu, maka tidak ada alasan bagimu untuk menahan diri. Kau mengerti?” Lizzy mengangguk. “Aku mengerti. Aku tidak akan selemah itu menghadapi mereka.” “Aku tidak peduli dengan lingkaran pertemananmu. Selama kau mengerti kegunaan dan resiko mereka dalam dijadikan teman, kau bertanggungjawab penuh atas segala hal yang akan terjadi. Aku tidak akan ikut campur.” “Baik, Kak.” Sepengetahuan Lizzy, kakak-kakaknya tidak memiliki teman. Arthur sibuk menjalankan tugasnya sebagai pemimpin Alterius sekaligus penguasa dunia bawah Ophelia. Alice datang beberapa kali ke pesta teh jika ada ‘perlu’ saja. Sementara, Theo tidak pernah memedulikan orang lain sehingga tidak pernah bersosialisasi. Mendengar Arthur memperbolehkannya berteman dengan anak-anak lain membuat Lizzy senang. Meski dengan nada dan kata-kata ketus, Lizzy paham bahwa begitulah Arthur. Kakak mengerikan yang tidak tahu bagaimana cara memperlakukan orang lain dengan baik. Akhirnya, jalan inilah yang akan kulangkahi, batin Lizzy seraya menoleh ke jendela mobil, menatap segala pemandangan yang dilewati oleh mobil. Bila boleh jujur, Lizzy tidak siap. Mungkin sampai kapan pun Lizzy tidak akan pernah siap. Sejak dulu, mendengar segala hal seputar pertunangan sudah membuat diri Lizzy tidak siap menghadapinya. Mengetahui apa-apa yang menjadi resiko. Mengetahui kehidupan semacam itulah yang akan Lizzy jalani. Lizzy tidak pernah siap. Lizzy tidak punya pilihan. *** Ian tidak punya pilihan. Sekeras apa pun Ian menentang maupun berusaha melarikan diri, semua jalan telah tertutup. Tidak memberikan celah bagi Ian untuk memilih jalan lain. Situasi ini telah dihadapi Ian selama tujuh tahun. Tujuh tahun yang tidak terasa sama sekali, telah dilalui oleh beragam usaha dan cobaan untuk melarikan diri. Namun, berujung sia-sia. Sejak dulu, Ian menentang pertunangannya dengan Lizzy. Dia tidak merasa bahwa inilah yang harus dia jalani. Ian tidak punya ketertarikan terhadap perempuan. Baginya, perempuan adalah manusia paling merepotkan yang tidak bisa melakukan apa pun tanpa bantuan laki-laki. Ian tidak suka gagasan hidupnya harus terlibat dengan perempuan. Terlebih, perempuan yang usianya berjarak cukup jauh darinya. “Aku tidak mau melakukan omong kosong ini,” ujar Ian tegas kepada Marquis, sesaat setelah menyerahkan laporan terkait kunjungan Raja Garrold dan Putri Elesis. Marquis tidak menoleh sedikit pun, sibuk mengerjakan sesuatu. Memberi kesan bahwa tidak penting untuk meladeni Ian. “Omong kosong mana yang kau bicarakan?” tanya Marquis datar. “Pertunangan,” jawab Ian sama datarnya. “Itu bukan omong kosong.” “Ya, itu omong kosong.” “Jangan berani-beraninya menentangku setelah ulahmu nyaris menghancurkan hubungan diplomatik Ophelia dengan Pennsylvania.” Ian mengernyit kesal. “Itu bukan kesalahanku.” Marquis melirik dengan kening mengerut dalam-dalam. “Itu kesalahanmu. Kau pikir siapa yang membuat Putri Elesis menangis?” “Kenapa berkata jujur menjadi sebuah kesalahan? Dia yang meminta pendapat jujur dariku.” balas Ian tidak gentar, tidak tahan lagi disudutkan atas kesalahan yang bukan dia perbuat. “Inilah alasannya mengapa aku tidak mau melakukan pertunangan bodoh itu. Aku tidak mau berurusan dengan perempuan.” “Lalu, membiarkan kelancangan faksi aristokrat menyodorkan perempuan-perempuan tidak jelas kepadaku untuk ditunangkan denganmu?” “Sudah kubilang, aku tidak ingin bertunangan.” “Ivander de Bloich, apakah kau sepenuhnya sadar bahwa sekarang kau sangat i***t?” Ian tidak membalas, mendecak pelan. Nada suara diktator Marquis merupakan peringatan keras bahwa Ian telah melewati batas. Bagi Ian yang masih berumur sembilan tahun, dia tidak memiliki cukup keberanian untuk menentang Marquis. Dia sudah berani untuk berargumen, namun belum memiliki nyali utuh dalam menentang. Jadi, situasi saat ini membuat Ian mulai gentar. “Semua orang sudah mengatakan kepadamu betapa menjijikkannya faksi aristokrat. Mereka juga menentang pertunanganmu karena tidak ingin Ratu kedelapan Ophelia berasal dari keluarga Gilbert. Kau pikir, aku, Raja Ophelia, menetapkan Elizabeth de Gilbert menjadi calon Ratu tanpa alasan?” Ian tidak bersuara. Hanya bisa mengarahkan tatapan penuh pertentangan kepada Marquis. Walau saat itu Ian memiliki banyak argumen kuat untuk mendukung usahanya, lidah Ian tidak bergerak. “Jika sampai sini kau sudah mengerti dan idiotnya otakmu sudah menghilang, keluar dari ruanganku,” perintah Marquis tajam, tidak mau menjelaskan alasannya dalam menetapkan Lizzy menjadi calon Ratu. “Kuharap di masa yang akan datang, kau tidak bertingkah i***t seperti ini lagi.” Ya, Ian tidak punya pilihan. Sejak tujuh tahun yang lalu, Ian tidak pernah diberi pilihan. Di umur sembilan tahun Ian mengutarakan keberatannya, namun tidak digubris. Ian pikir, pada akhirnya inilah satu-satunya jalan yang harus ditapak. Suka atau tidak, keberatan atau tidak, Ian tidak punya jalan lain. Maka, untuk hari ini, tertanggal 1 Januari 1921, Ian terpaksa membuka pintu masuk jalan yang paling dia benci tanpa tahu alasan penting ayahnya. Jalan kehidupan yang mengharuskan Ian terlibat dengan Lizzy. *** Rombongan keluarga Gilbert tiba di istana kerajaan pukul delapan pagi. Rencananya, mereka akan berangkat ke gereja bersama keluarga kerajaan. Bagi pasangan yang akan bertunangan, mereka diharuskan menaiki kereta kuda bersama-sama. Sementara yang lain pergi mendahului pasangan tersebut. Lizzy tidak bisa membayangkan dirinya terjebak tiga jam bersama Ian di kereta kuda. Keluarga kerajaan langsung menuruni anak tangga setelah diinformasikan kedatangan keluarga Gilbert. Seolah tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dari sini, Lizzy dapat melihat Victorique dengan lebih jelas. Ratu Ophelia itu lebih pendek dari Lizzy. Penampilannya persis anak berusia lima belas tahun. Tidak menua, tidak ada kerutan wajah, dan tidak cela. Lizzy tidak habis pikir, kagum bukan main. “Halo, Lizzy. Hari ini kau sangat cantik,” sapa Victorique ketika sudah sampai di anak tangga terakhir. Kemarin-kemarin aku tidak melihatnya dengan jelas, jadi aku biasa-biasa saja melihat kecantikan Ratu. Tapi, sekarang melihatnya seolah sedang melihat sosok kakak. Aku bingung, rutuk Lizzy sedikit panik. “Aku tidak menyangka selera anak bodoh ini bagus juga,” celetuk Marquis menyindir Ian membuat mood Ian memburuk. Victorique tersenyum cerah. “Ah, iya, setelan Ian dan Lizzy didesain khusus oleh Madam Red dan dipilih langsung oleh Ian.” Wajah Lizzy bersemu merah mendengar fakta yang baru dia ketahui. Seluruh nyalinya menciut dalam sekejap. Mata biru berliannya tidak berani bertemu tatap dengan mata merah Ian, malu. Hatinya merutuk merapalkan segala umpatan sembari berusaha menenangkan diri. Sungguh, tidak ada yang memberitahuku hal sepenting itu! jerit Lizzy. “Langsung saja, apakah harus berangkat sekarang? Perjalanan ini cukup memakan waktu,” tanya Arthur memecah suasana bahagia di pagi hari. Membuat Marquis melirik sinis. “Dasar pelayat perusak—“ “Sepertinya begitu, Arthur. Perjalanan normal memakan waktu tiga jam, baik itu menaiki mobil dan kereta kuda. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi selama perjalanan, jadi kita harus segera berangkat,” ujar Victorique menyerobot hujatan suaminya demi menghindari keributan. Arthur mengangguk paham, lantas menoleh ke Lizzy. “Lizzy, kau akan menaiki kereta kuda bersama Ivander. Kami akan pergi lebih awal dari kalian untuk menghindari kemungkinan terburuk. Ksatria kudus dan ksatria Gilbert akan mengawal kalian.” “Baik, aku mengerti, kakak. Tolong berhati-hatilah di jalan,” sahut Lizzy tenang disertai senyum manis. “Ian, kau akan menemani Lizzy selama perjalanan. Kuharap kau mengerti apa-apa yang harus dan tidak kau lakukan,” ujar Marquis membuat Ian mencebik tidak suka. “Aku tahu,” sahut Ian ketus. Tidak ingin menghancurkan suasana hari bahagia, Victorique menyeret suami raksasa beserta Noah memasuki mobil. Diikuti oleh Ronald dan instansi pemerintah di mobil-mobil berikutnya, rombongan keluarga kerajaan berangkat mendahului. Tidak lama, rombongan keluarga Gilbert menyusul usai Arthur dan Alice selesai berurusan dengan Lizzy. Tersisa Ian dan Lizzy menunggu kereta kuda mereka siap. Johan dan empat pengawal Ian berdiri tidak jauh dari pasangan tersebut. Mereka tidak berani mendekat karena merasakan hawanya mencekam. Baik dari Ian dan Lizzy, sama-sama mengeluarkan hawa buruk yang tidak seharusnya ada di hari pertunangan mereka. Siapa pun yang melihat mereka pasti langsung paham bahwa keduanya sama-sama tidak menginginkan pertunangan ini. Lizzy menatap halaman istana dengan tatapan kosong. Benaknya memikirkan banyak hal. Jantungnya sudah menggila. Lehernya tidak berani mengarahkan kepalanya untuk menoleh ke kanan, tempat Ian berada. Lizzy tidak berani. Masih ada sisa rasa malu dalam dirinya terkait fakta gaun merah yang dia kenakan sekarang. Gaun merah tua itu berpasangan dengan setelan Ian. Dan Lizzy baru tahu. Ian, menjadi laki-laki tidak peduli seperti yang biasa dia lakukan, tidak berniat melakukan apa-apa kepada Lizzy. Dia bersedekap, diam di samping Lizzy. Sama seperti Lizzy, Ian mengarahkan pandangannya ke halaman istana. Seolah lebih menarik daripada menatap Lizzy yang hari ini sangat cantik. Ian tidak buta. Dia melihat penampilan Lizzy yang mengenakan gaun pilihannya. Tidak ada yang perlu Ian komentari. Ian sudah tahu bagaimana penampilan Lizzy saat Ian memilih sepasang setelan merah tua dari pilihan desain Madam Red. Warna lainnya adalah biru muda dan putih. Saat itu Ian ingin mengomeli Madam Red karena mengajukan setelan putih. Ian dan Lizzy hanya bertunangan, bukan menikah.  Ah, sudahlah, Mengingatnya membuatku sakit kepala, batin Ian sambil memijat pelipis kanannya. “Yang Mulia, kereta kudanya telah siap,” ujar Lizzy menegur lamunan Ian.   Ian mendongak, melihat Lizzy sudah dua langkah di depannya. “Ya.” Apakah dia sakit? batin Lizzy bertanya-tanya sembari kembali melangkah menghampiri kereta kuda. Tadi dia memijat pelipisnya. Mungkin dia sakit kepala? “Hei, perhatikan langkahmu. Ada banyak salju—“ “KYAA!” “Nona Elizabeth!” Belum selesai Ian menegur Lizzy, gadis itu sudah terkena getahnya. Butiran salju turun sejak pagi membuat jalan lebih licin. Untuk detik ini, salju turun sedikit lebih lebat. Ian terlambat memperingatkan Lizzy hingga gadis itu tergelincir. Kok… tidak sakit? batin Lizzy bingung setelah beberapa detik berlalu usai tergelincir tidak kunjung merasakan sakit. Kelopak mata Lizzy bergerak membuka, takut-takut. Benaknya sudah liar menganggap dirinya mati akibat tergelincir salju. Makanya tidak terasa sakit sama sekali. Akan tetapi, apa yang dia lihat usai membuka mata adalah wajah Ian yang dekat dengan wajahnya. Sukses membuat matanya membulat dan pipinya yang sudah memerah karena udara dingin, menjadi semakin merah karena malu. Dapat Lizzy rasakan, lengan kiri Ian menopang kepalanya. Sementara, tangan kanan Ian memeluk pinggang Lizzy. Sebuah penyelamatan yang berhasil Ian lakukan.   “Y—Yang Mulia,” bisik Lizzy sangat pelan, mati kutu karena merasakan hembusan napas Ian menerpa wajahnya. “Dasar bodoh,” olok Ian membuat Lizzy mengerjap dan bibirnya menipis, “jangan semakin merusak penampilanmu dengan jatuh konyol karena salju. Sudah jelek, semakin jelek.” Wajah kaget Lizzy berubah kesal. “A—Apa? Jelek?” “Ya, jelek.” Ian meluruskan tubuh Lizzy, lantas menarik tangannya. Dia mengembuskan napas panjang sebelum meraih tangan Lizzy. Tanpa permisi, menggandengnya supaya gadis itu tidak tergelincir lagi. Benar-benar mengabaikan wajah cemberut Lizzy. Apa-apaan? Aku tahu aku tidak cantik, tapi mengatakannya terang-terangan seperti itu benar-benar… ugh! rutuk Lizzy kesal menahan umpatannya dengan melirik ketus kepada Ian. “Naik,” ujar Ian kala sampai di kereta kuda. Menyuruh Lizzy masuk ke dalam kereta kuda terlebih dahulu tanpa melepaskan tangan Lizzy. Sekedar etika pria yang perlu Ian lakukan, membantu Lizzy naik. Lizzy pun tahu. Sebuah etika wanita juga bahwa perlu bantuan tangan pria setiap menaiki dan turun dari kereta kuda.   Ian dan Lizzy duduk berhadapan. Ian bertopang dagu dengan menyandarkan sikunya di sandaran tangan sofa. Sedangkan, Lizzy duduk dengan anggun di hadapan Ian. Melipat tangan usai membenahi cape untuk menghalau udara dingin. Dari sinilah, tiga jam atau mungkin lebih, Lizzy harus bertahan bersama Ian. TO BE CONTINUED[Surprise! Hehehe, akhirnya update. Maaf ya dipotong biar nggak kepanjangan. Cukup kan momen uwunya di bab ini. Kalau belum cukup, CUKUPIN! Ups, kabur ah! :""' ]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN