BAB 2

1567 Kata
Theodoric de Gilbert, nama kecilnya adalah Theo. Anak ketiga dari empat bersaudara dalam keluarga Gilbert. Dari segi fisik dan kekuatan ototnya, tidak ada keraguan lagi bahwa dia memang keturunan asli dari Gilbert. Hanya saja yang membedakan Theo dari sepasang kakak kembarnya adalah sifatnya yang lebih blak-blakan dan cenderung sangat terbuka. Sifat yang sangat berkebalikan dari Eugene dan Ellie, orang tuanya. Theo sedikit lebih terpengaruh oleh kata hati dibanding logikanya. Sifat yang sedikit perasa itu tentu membuatnya tidak jarang mendapat teguran dari Arthur dan Alice. Tidak cocok bagi seorang Gilbert, kata mereka. Namun, Theo mau bagaimana lagi? Sifat perasa yang menjengkelkan ini sudah melekat dalam dirinya bagai parasit dan menyusahkannya dalam tiap kondisi. Seperti contohnya saat ini. Hati kecil Theo menyalahkan Elizabeth atas kematian orang tua mereka. Sangat tidak masuk akal dan tidak bijak, Theo pun tahu. Tapi, mau bagaimana lagi, bukan? “Tuan muda, bagaimana kalau anda beristirahat sejenak? Anda sudah berlatih seharian penuh tanpa makan sama sekali. Saya mohon, perhatikan kesehatan—“ “Aku akan makan bila aku ingin,” tandas Theo tajam seraya menebas pedangnya di udara, “kau tidak mengerti bahasa manusia?” Pelayan muda yang berdiri di tepi lapangan latih membungkuk hormat penuh kekakuan. “Maafkan kelancangan saya, tuan muda.” Bagi Theo, melatih kemampuan berpedang adalah jalan satu-satunya untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa duka yang merundungnya. Logikanya akan mulai tidak waras bila Theo tidak melakukan apa-apa karena suara hati kecilnya yang terus-menerus berbisik mengklaim semua ini adalah salah Elizabeth. Theo harus menjaga kewarasannya agar tidak berujung membenci Elizabeth atas tuduhan tidak berlogika tersebut. Jauh dalam ingatan Theo, dialah yang paling senang saat mendengar akan hadir saudara baru di istana Alterius. Theo yang paling antusias mengamati perkembangan perut ibunya setiap hari. Theo yang paling semangat mengingatkan ibunya untuk selalu berhati-hati menjaga calon adiknya. Dan Theo juga yang paling menantikan kehadiran bayi itu. Sungguh ironi bila kini Theo menyalahkan bayi tidak berdosa itu atas kematian orang tua mereka. “Hal bodoh apa lagi yang kau lakukan sekarang, Theodoric?” Tangan Theo yang menggenggam pedang terhenti di udara, terinterupsi oleh suara Arthur. Lelaki berusia sepuluh tahun itu lantas menolehkan kepala, menemukan si sulung berdiri di sebelah pelayan yang setia menemani Theo. Bibir Theo mendecak pelan merasakan netra hijau Arthur menyorot tajam kepadanya. Kemungkinan besar Arthur mengetahui ketidakwarasan hati kecil Theo. Pedang Theo berhenti mengacung di udara. Terkulai lemas. Theo melangkah ke tepi lapangan latih. Tidak melirik Arthur sama sekali, Theo menerima kain dari pelayannya untuk menyeka keringat di wajahnya. Suasana hati Theo sedang tidak berminat untuk memulai pertengkaran dengan Arthur, jadi ia berusaha mengabaikan dan berusaha senetral mungkin. Selama hidupnya, Theo tidak begitu dekat dengan Arthur. Benar mereka saudara kandung. Berbagi DNA dari orang tua yang sama dan tumbuh bersama-sama di istana Alterius dalam pengasuhan orang tua yang sama. Benar pula bahwa fisik mereka tidak berbeda jauh dengan rupa wajah yang persis sewajarnya saudara kandung. Namun, perbedaan besar terletak di karakter masing-masing. Arthur yang tegas dan berpendirian, sementara Theo sering terpengaruh oleh kata hati. Perbedaan yang terkesan sepele namun berhasil menciptakan pembatas tinggi di antara Arthur dan Theo. Bila Theo boleh jujur, dia tidak ingin berurusan dengan Arthur. “Tidak mau menjawab?” celetuk Arthur melempar pertanyaan yang sedikit memprovokasi ketika Theo menyeka wajahnya menggunakan kain handuk. Theo tahu seluk beluk karakter Arthur. Cukup temperamental, penuh kuasa dan manipulatif. Hal yang paling menjengkelkan dari Arthur adalah ketajaman otaknya bercampur padu dengan sifat-sifat buruknya. Bila Arthur menanyakan sesuatu, sebenarnya ia sudah memiliki jawabannya. Dari fakta itu, Theo memutuskan untuk tutup mulut. Theo benar-benar tidak ingin berurusan dengan Arthur. Ketika Theo hendak menyingkir dari Arthur, Arthur kembali bersuara membuat Theo terpaksa menghentikan langkahnya. Mereka saling membelakangi dengan jarak kurang lebih dua meter. “Kau tidak sedang menyalahkan adikmu sendiri atas kematian ayah dan ibu, bukan?” tanya Arthur dengan nada yang biasa-biasa saja, namun bagi telinga Theo ada secuil nada sarkastis di dalamnya yang membuatnya langsung muak. “Omong kosong apa itu,” sahut Theo tajam membuat seringai muncul di wajah Arthur. “Aku sangat memahami karaktermu, adikku,” tandas Arthur riang seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, masih memunggungi Theo, “bukankah di umurmu yang sekarang, kau bisa membedakan mana yang salah dan benar, Theodoric? Bahkan kau tidak menghadiri pemakaman ayah dan ibu. Kau sudah bukan si bungsu manja lagi.” Theo langsung menggeram mendengar Arthur kembali menyebut panggilan yang paling dia benci, si bungsu manja. Benar-benar memberi tamparan kesadaran pada sel otak Theo bahwa sekarang dia bukan si bungsu sejak tiga hari lalu. Tiga hari lalu, ketika adik yang dia dambakan lahir sekaligus malapetaka yang merenggut kedua orang tua mereka terjadi. Tanpa perlu Arthur katakan pun Theo paham bahwa menyalahkan bayi tidak berdosa adalah tindakan bodoh. Theo paham dan dia sedang berusaha mengenyahkan pemikiran bodoh itu. Akan tetapi kehadiran Arthur dengan segala nada sarkastisnya membuat kobaran emosi kebencian di hati Theo semakin menggebu. “Kau sudah bukan anak kecil lagi,” ujar Arthur membuat Theo mengepalkan tangan kuat-kuat, “kau marah kalau dipanggil si bungsu manja, benar? Maka buktikan bahwa kau memang tidak pantas dipanggil si bungsu manja lagi, Theodoric de Gilbert.” Usai menyelesaikan kalimatnya, Arthur berbalik badan. Lelaki berusia dua belas itu berjalan melewati Theo begitu saja. Tidak berkata lagi, tidak pula melirik adiknya. Arthur pergi meninggalkan Theo dengan segala ketidakpeduliannya. Tidak mau repot-repot melihat kondisi Theo setelah mendapat lontaran kalimat semacam itu. Sikap yang terkesan tidak peduli dan tidak menyayangi itulah yang menciptakan jarak di antara Arthur dan Theo. Dalam pandangan Arthur, ia memang harus mendewasa lebih cepat karena mengemban beban dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga sekaligus Grand Duke of Alterius selanjutnya. Sementara dalam pandangan Theo, Arthur adalah sosok kakak iblis yang tidak pernah memedulikan perasaannya. Theo semakin mengepalkan tangan, lalu berjalan memasuki istana diikuti pelayan yang setia menunggunya. Pikirannya berkecamuk hebat dan Theo lelah. Theo harus mendinginkan kepala. *** Suara tangisan bayi menggema keras dari salah satu kamar di area Rose Palace istana Alterius. Tangisan dari seorang bayi perempuan itu membuat Hera buru-buru menghampiri tempat tidur bayi yang terletak di sebelah ranjang utama di kamar. Hera segera menggendong bayi itu, mendengungkan nyanyian dan mengayunkan penuh kasih sayang. Tidak butuh waktu lama hingga tangisannya berhenti. Dan Hera tersenyum lega melihatnya. Senyuman lega Hera sirna dalam sekejap sesaat setelah kepalanya berpaling dari wajah damai bayi dalam gendongannya. Hera terdiam kaku dengan bibir perlahan menipis menahan gejolak emosi sedih dalam dadanya. Sedetik kemudian air mata membasahi kedua pipinya, benar-benar tidak kuasa lagi. “Hera.” Hera terlonjak kaget, buru-buru menghapus jejak air mata di wajahnya sebelum menoleh ke pintu kamar. Di sana berdiri Alicia de Gilbert, sang nona muda. Mengenakan gaun hitam dan bando pita berenda berwarna senada, Alice menatap datar pada Hera. Hera segera membungkuk hormat seraya membenarkan posisi bayi perempuan dalam gendongannya. “Hormat saya kepada Nona Alice.” Alice melangkah maju tanpa membalas sapaan Hera. Gadis mungil itu berjalan melewati Hera tanpa melirik adiknya yang berada dalam gendongan Hera. Masih berwajah datar, Alice mendudukkan diri di sofa yang bersebelahan dengan jendela. Perhatiannya sejenak ke pemandangan di luar sebelum kembali menatap Hera. “Dia menangis?” tanya Alice datar membuat Hera segera menegakkan punggung dan memutar badan untuk menghadap Alice. “Iya beberapa menit lalu, Nona,” jawab Hera dengan nada sedikit bergetar. Tidak ketara namun terdengar jelas bagi telinga tajam Alice. “Ada masalah, Hera?” Hera mengerjap bingung. “Maaf?” Alice mengembuskan napas pelan. “Kutanya, ada masalah, kah? Suaramu berbeda.” Hera tersentak, baru mengingat betapa peka telinga sang nona. Untuk sejenak Hera tidak berani menatap mata hijau cemerlang Alice. Wajahnya sedikit menunduk untuk menatap wajah tertidur damai si bayi di gendongannya, bungsu di keluarga Gilbert, Elizabeth de Gilbert. Tentu saja Hera tidak bisa selamanya menghindar dari tatapan Alice, tindakan yang lancang. Maka, ia berusaha kembali menatapnya dengan lebih tegar. Namun sia-sia, justru air mata kembali mengucur deras membasahi kedua pipinya. Disaksikan langsung oleh Alice yang rautnya tidak berubah sedikit pun. Sudah tidak memiliki kuasa lagi untuk menahan seluruh kesedihannya, Hera menunduk dalam-dalam seraya mengembalikan Elizabeth ke tempat tidurnya. Kedua tangan Hera segera menghapus seluruh bulir air matanya dan berusaha menahan suara isak tangis. Alice selaku saksi pun hanya diam mengamati Hera berusaha keras mengendalikan kesedihannya. Tanpa perlu bertanya pun Alice tahu penyebab Hera menangis sesedih itu. Padahal seharusnya sekarang Alice-lah yang menangis, bukan Hera. “Hera, sudahlah,” ujar Alice amat datar, sama sekali tidak terdengar seperti sedang menenangkan kesedihan Hera, “ibu tidak akan senang ditangisi seperti itu.” Hera berputar badan menghadap Alice dengan kedua tangan masih menutup wajahnya. “Ma—maafkan kelancangan saya, Nona. Saya… tidak bisa—“ “Aku mengerti.” “Ya?” Alice menoleh ke jendela, menerawang jauh menatap langit mendung di luar. “Aku mengerti. Sekarang pun dadaku terasa sangat sakit, tapi aku tidak bisa menangis. Aku iri padamu, Hera.” Hera mengusap wajahnya untuk terakhir kali sebelum maju satu langkah. “Nona—“ “Aku memahami perasaanmu. Kau sudah melayani ibu sejak ibu datang ke istana Alterius. Aku memahami ikatan yang terjalin antara kalian, wajar saja kau menangis dan masih bersedih,” tutur Alice langsung memotong suara Hera, “sedangkan aku sebagai putrinya justru tidak bisa menangis sama sekali. Padahal ikatanku dengan ibu lebih kuat daripada ikatanmu dengan ibu. Aku benar-benar putri yang mengerikan, bukan?” “Jangan berkata seperti itu, nona. Dengan nona merasakan rasa sakit dalam diri nona atas kepergian Yang Mulia dan Nyonya, hal itu sudah cukup untuk membuktikan betapa kuatnya ikatan nona dengan Nyonya.” Alice menyeringai kecil sembari menolehkan kepala ke tempat tidur bayi. Mata hijaunya menatap Elizabeth yang tertidur damai di dalam sana. Tak elak membuat kepalanya kembali teringat dengan surat perintah kerajaan yang datang hari ini. Sebuah surat yang berhasil memancing temperamen Arthur dan Alice. Raja gila, hujat Alice dalam hati sebelum mengalihkan perhatiannya ke Hera. “Mulai sekarang, tolong jaga dan rawat Elizabeth, Hera,” ujar Alice. Hera membungkuk dalam-dalam. “Sudah menjadi tugas dan kewajiban saya sebagai pelayan pribadi Nyonya, Nona Alicia.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN