Ethan bangun dengan kepala berdenyut dan langit-langit kamarnya yang berputar. Di luar matahari sudah menembus tirai jendelanya yang terbuka, pagi yang cerah seolah badai semalam hanya mimpi .
Mendapati dirinya bangun dalam keadaan tanpa pakaian adalah hal yang lebih membingungkan dari pada rasa berdenyut yang menindih kepalanya.
Ethan memeriksa ke sekeliling dan tak menemukan sisa pakaiannya, matanya menangkap bercak merah di atas hamparan seprei tempat tidurnya.
Ethan mencoba bangkit untuk memastikan, dan seketika mengumpat kebodohannya sendiri.
Samar-samar dia masih ingat bagaimana dia sampai menelanjangi dirinya sendiri, dan berarti semua itu bukan mimpi....gadis yang masih perawan....
"Sial" jelas dia bukan Lady Alexsa.
Ethan mulai panik begitu menyadari dirinya baru saja meniduri gadis muda yang dia sendiri tidak bisa mengingatnya, memangnya siapa yang akan mendatangi rumahnya. Ethan tidak hidup dengan pelayan dirinya hanya tinggal sendiri di rumah tersebut hanya kadang kala Lory ikut menginap tapi pengurus istal tua itu sedang pergi ke kota untuk membeli beberapa keperluan untuk kudanya.
Siapapun yang dia tiduri semalam adalah seorang wanita, wanita yang sebenarnya. Ethan kembali memperhatikan jejak darah yang tertinggal di sepreinya dan samar-samar masih ingat bagaiman dia membungkam jeritan gadis itu karenanya, gadis yang terasa manis lembut dan ternyata tiba-tiba sudah kembali di rindukannya.
Ethan Harris kembali mengerang menghempaskan tubuhnya keatas hamparan tempat tidurnya yang berantakan, ada ke kosongan yang menguap, mustahil dirinya merindukan gadis yang hanya samar-samar di ingatnya, Ethan kembali menghela nafasnya lemah.
*****
Sementara itu di tempat yang lain Lady Anna terbangun di sebuah kamar kecil dengan atap rendah dan dinding-dinding berpanel kayu kusam yang sebagian catnya sudah terkelupas dan berjamur.
Hari yang buruk, lecutan itu berulang kali menyengat kembali bekas luka yang sama di antara ciuman dan kepedihan yang semakin sulit di pisahkan. Ciuman Ethan Harris di atas luka melintang itu bagai mengelupas kembali sayatan-sayatan kepedihan yang berulang kali menikamnya. Bekas luka itu dia dapat dari sisa pembangkangan -pembangkangannya di masa lampau.
Satu lecutan terberat yang harus dia dapat adalah saat harus kehilangan George nya. Meski bekas luka itu telah mengering namun masih meninggalkan luka yang menganga yang tidak akan pernah padam, dan akan dia tanggung seumur hidupnya. George yang baru sadar dicintainya saat dia sudah tiada, suaminya itu rela mengorbankan hidupnya hanya untuk menyelamatkannya, andai waktu bisa di putar kembali Anna berjanji akan mencintainya dengan benar. Namun semua sudah sangat terlambat untuk di sesali, George sudah tiada dan tidak ada yang sanggup mengembalikannya.
Sang Lady kembali menangis dalam diam, begitu kuat dirinya menahan emosi dengan kekerasan hatinya, mencengkram buku jarinya hingga mengejang tiap kali coba meredakan kepedihan tak tertahannya.
"Kau sudah sadar, Nona? "
Seorang wanita paruh baya muncul dari pintu yang hanya di tutup tirai, wanita itu membawa nampan yang berisi mangkuk dan gelas yang mengepul.
"Minumlah agar tubuhmu tetap hangat."
Wanita itu membantunya bangkit untuk duduk.
"Di mana ini? "
"Tadi pagi suamiku menemukanmu pingsan di ladang."
Sepertinya itu cukup menjelaskan segalanya.
"Trimakasih," Lady Anna meraih gelas yang berisi air hangat itu dan meminumnya tanpa rewel meski rasa cairan itu sangat aneh bagi lidahnya.
"Panggil saja aku, Lorna."
"Bibi Lorna, terimakasih,"
Wanita itu tersenyum ramah dan lembut.
"Siapa namamu, Nona? "
Lady Anna berfikir sebentar,
"Lilian."
"Nama yang cantik sama seperi pemiliknya."
Wanita itu kembali tersenyum menunjukkan deretan gigi cemerlang dalam senyum lebarnya, Lorna nampak ramah dan seorang Gipsy.
Lady Anna bisa menebaknya dengan mudah. Wanita yang bernama Lorna itu memiliki hidung runcing dangan alis hitam tebal yang sewarna dengan rambut ikalnya yang mengembang dan hanya di ikat sejenis bando dari kain warna-warni. Wanita itu nampak lebih sederhana dari para Gipsy yang pernah dia lihat sebelumnya.
"Apa yang membuatmu sampai di tempat ini, Nak? "
"Panggil saja aku, Lili, Bibi."
"Aku baru datang dan tersesat karena badai semalam."
"Apa kau tinggal di rumah bedeng? " banyak pekerja baru yang datang beberapa minggu ini dan sebagian dari mereka di tempatkan di rumah bedeng. Hanya pekerja lama dan sudah berkeluarga yang lebih suka membangun rumahnya sendiri.
"Kau bisa tinggal bersama kami, rumah bedeng terlalu sesak akhir-akhir ini."
"Terimakasih, Bibi, aku khawatir akan merepotkan."
"Tidak-tentu tidak, ada kamar putriku yang kosong tidak ditempati lagi setelah dia menikah dan ikut suaminya ke kota."
"Oh, terima kasih, Bibi."
Sejak saat itu Lady Annabeth tinggal bersama bibi Lorna dan suaminya Carlo. Selain putrinya yang sudah menikah bibi Lorna juga memiliki seorang anak laki-laki yang baru berumur delapan tahun. Noah anak yang ceria dan cukup aktif, selama beberapa hari Anak itu sengaja tinggal di rumah untuk menemani Lady Anna yang masih kurang enak badan, sementara kedua orang tuanya pergi keladang.
Sebenarnya Lady Anna merasa bisa mengurus dirinya sendiri tapi bibi Lorna memaksa agar dia tetap di temani. Bibi Lorna dan suaminya berada di kebun hampir seharian mereka selalu pulang saat hari sudah menjelang petang.
Sang Lady mengajarkan Noah menulis dan membaca, Noah sebenarnya anak yang cerdas dia sudah mampu berhitung dengan benar meskipun sepertinya tidak pernah ada yang mengajarinya.
"Lili, apa kau sudah punya kekasih? " tanya sang bocah di suatu siang.
"Dari mana kau tau istilah seperti itu?" tanya sang lady heran.
"Para gadis di rumah bedeng sering membicarakan kekasih mereka saat di ladang, aku sering mendengarnya."
"Apa banyak gadis yang bekerja di ladang? "
"Ya, tapi tidak ada yang secantik kau, Lili," Anna tersenyum oleh pujian polos bocah delapan tahun itu.
"Maukah kau jadi kekasihku saat aku besar nanti ?"
"Saat itu mungkin aku sudah keriput dan jelek."
"Aku tidak percaya gadis sepertimu bisa berubah seperti ibuku," keluh Noah terdengar lucu, sebenarnya Lady Anna memang menyukai anak-anak.
"Baiklah asal kau rajin belajar aku mau menjadi kekasihmu nanti."
"Oh, benarkah, Lili?"
"Ya," sang Lady mengangguk.
"Apa aku akan jadi pemuda yang tampan ?"
"Ya, tentu."
"Apa aku akan setampan Ethan Harris?"
Lady Anna sempat terkesiap hanya dengan mendengar nama Ethan Harris disebut dengan begitu polosnya.
"Lili, apa aku akan setampan Ethan Harris? " tanya bocah itu lagi.
"Ya, tentu."
"Kau tau dia punya kuda yang keren dan selalu menungganginya tiap kali keladang, aku pernah diajak naik ke punggung kudanya," kata sang bocah dengan bangganya.
"Sepertinya dia cukup baik."
"Dia sering memberiku hadiah, dia membagikan buku dan alat tulis tiap kali pulang dari kota."
"Sepertinya dia memang baik."
"Tapi kau tidak boleh jatuh Cinta padanya, karena kau sudah berjanji untuk menjadi kekasihku."
"Iya, Noah, aku ingat," sang Lady tertawa di ikuti bocah yang melompat ke pelukannya.
Pernah ada saatnya dirinya sangat menginginkan kehadiran seorang putra meski sekarang semua itu semakin mustahil. Lady Anna hanya coba menikmati kedamaian sederhana yang luar biasa ini.
****