Gold and Diamond

2221 Kata
Anne baru saja pulang. Ia mengunci pintu, berjalan ke arah kamar mandi dan mulai membuka seluruh pakaiannya yang ia kenakan seharian tadi. Perempuan itu memasukannya ke dalam keranjang pakaian kotor dan mulai membasuh wajahnya yang lelah setelah seharian berhadapan dengan banyaknya pasien. Menjadi orang yang berdiri di barisan paling depan melawan virus bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi sekarang ini lonjakan angka terinfeksi tidak main-main. Kemarin bahkan ia tidak dapat pulang ke rumah dan membiarkan July sendirian, meskipun kelihatannya baik-baik saja karena July sudah besar, tetap saja ada rasa cemas dari lubuk hati Anne karena lelaki itu sudah bersamanya sejak ia berusia empat tahun. Ia lupa kalau sepertinya, isi kulkas di rumah mereka mulai kosong. Ia tahu kalau sepupunya itu sudah terjangkit. Tapi mau bagaimana lagi? Pemerintah belum mendapatkan obat penawarnya. Bahkan, John—kekasih Anne yang merupakan Dokter penanganan virus aneh itu pun belum menemukan cara untuk menyembuhkan penderita. Akhirnya, Anne hanya melakukan apa yang ia dan para medis lakukan untuk membantu para korban tetap bertahan dan membentuk antibodinya sendiri, seperti yang sudah dijelaskan John pada mereka beberapa waktu yang lalu. Terlebih, ia tidak begitu khawatir pada July karena ia masih terlihat baik-baik saja. Juga, July tidak memiliki riwayat penyakit apapun sebelumnya. Hanya saja itu tadi. July yang sekarang menjadi seorang pengangguran, bisakah ia memesan makanan keluar sementara Anne pergi bekerja? Seusai membersihkan diri, Anne berjalan menuju kamar. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Sudah tidak aneh bagi perempuan itu pulang di jam -jam seperti ini, sejak virus itu mewabah dan marak hampir di setiap titik di kota tempat mereka tinggal. Anne hanya punya waktu empat jam untuk tidur hari ini. Perempuan itu harus kembali ke rumah sakit setelahnya, untuk bergantian jaga karena kurangnya tenaga medis yang berdiri di garda depan. Ia melirik ke arah kamar July sebelum ia masuk ke kamarnya. Terlihat tenang. Tidak terdengar suara musik, maupun suara game, gaduh, dan sejenisnya. Wajar saja, waktu memang sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Ia berpikir kalau lelaki itu pasti sudah tertidur di jam-jam seperti ini. Kemudian, ia masuk ke dalam kamar dan mulai menutupi tubuhnya dengan selimut yang hangat setelah seharian digelayuti penat. Baru beberapa waktu ia terlelap, Anne mendengar suara gaduh dari luar. Terdengar seperti suara pintu yang berkali-kali diketuk dengan keras, seolah-olah ada hal genting harus segera ia tangani. Ia bahkan mendengar dentuman seakan seseorang hendak mendobrak pintu dengan bahunya. Akhirnya, perempuan itu bangkit dari tempat tidur meskipun matanya masih sulit untuk terbuka karena mengantuk. Ia berjalan keluar untuk melihat apa yang terjadi di rumahnya itu. Namun, begitu ia membuka pintu dan mulai melangkahkan kaki keluar dari kamar, suara dentuman keras yang tadi membangunkan tidurnya yang baru saja dimulai, lenyap begitu saja. Seperti tidak ada apapun yang terjadi. Ia mengedar pandang ke seisi rumah dengan matanya yang separuh tertutup, sepi. Hanya terdengar suara binatang malam yang memang sudah biasa menjadi teman tidur mereka. Anne berpikir kalau ia mungkin berhalusinasi karena terlalu lelah. “Apa hanya perasaanku saja?” batinnya saat itu setelah melihat kondisi di dalam rumahnya baik-baik saja. Karena kantuk yang benar-benar tidak tertahan lagi, ditambah waktu istirahat yang ia miliki terbatas, perempuan itu memilih untuk kembali tidur. Setelah mendekati kamar July dan menempelkan daun telinga di pintu nya, Anne kembali ke kamar karena tidak mendengarkan suara apa pun. Ia tidak lagi memerdulikan apa yang baru saja mengganggu tidurnya. *** July mengerjapkan mata berkali-kali. Setelah matanya sedikit dapat menangkap apa yang ada di depannya, ia mulai melihat ke se keliling. Laki-laki itu telah kembali. Ia bangun di sebuah tempat yang memang sudah semestinya ia pijaki. July ternyata tertidur di atas laptopnya yang masih menyala dan dalam video game yang masih berputar. Setelah sekian menit ia terpaku memandangi layar laptop dan terdiam untuk mengumpulkan nyawanya yang masih berkeliaran separuh, ia akhirnya bergumam, “Rupanya aku semalam benar-benar bermimpi.” Sebuah kesimpulan yang keluar dari bibirnya, hal yang akan dilakukan kebanyakan orang jika mengalami hal yang sama. Meskipun malam tadi, mimpi yang ia miliki benar-benar terlihat seperti nyata. Apalagi di saat para makhluk itu mulai berdatangan dari jalan aspal menuju ke pintu dapur July melalui halaman belakang yang pacarnya hilang entah ke mana. Lelaki itu melirik jam di sudut layar laptopnya. Sudah pukul sembilan pagi. Ia sudah melewati waktu yang panjang. Cukup untuk mengatakan kalau ia bangun terlambat meskipun memang tidak ada lagi hal lain yang dapat ia lakukan sekarang. Lelaki itu tidak harus pergi ke tempat kerja. Ia juga tidak akan keluar rumah karena sedang dalam masa karantina dan mengharuskan July untuk tetap tinggal di dalam kamar. Berkeliaran di dalam rumah saja, sebisa mungkin ia hindari agar tak berpapasan dengan Anne. Ia tak ingin kalau sampai Anne juga terjangkit karena perempuan itu harus bekerja. Ia lah yang menjadi tumpuan satu-satunya untuk segala pembiayaan yang ada di rumah itu sekarang. Rumah tampak sepi. Hening, tidak ada suara keran yang menetes, tidak juga terdengar suara dari televisi, atau suara tumisan dari wajan panas yang disertai dengan harum yang membuat perut lapar. July berpikir kalau Anne sudah pergi ke tempat kerja, seperti biasanya dan mungkin saja perempuan itu sudah memasak sesuatu untuknya sesaat sebelum Ia pergi ke rumah sakit. July kemudian mengambil handuk yang ada di belakang pintu dan berjalan ke meja makan karena cacing di dalam perutnya sudah mulai berpesta. Belum sampai ia melihat ke arah meja makan, perhatiannya teralihkan pada yang lain. Teringat tentang hal yang semalam ia alami, pandangannya terarah pada pintu belakang yang terletak di samping wastafel. Jika memang benar hal semalam adalah sebuah kejadian nyata, pasti setidaknya ada bekas-bekas kejadian semalam. Begitu pikirnya. Di tambah, apa yang ia lalui benar-benar kacau. Kacang kenari raksasa yang tergeletak di mana-mana dan menjadikan halaman belakang rumahnya berantakan. July membuka tirai yang menutupi jendela kecil yang mengarah ke halaman belakang rumah mereka. Ia ingin memastikan kalau benar hal yang telah ia lalui itu memang nyata adanya. “Berati aku memang hanya bermimpi,” gumamnya setelah memeriksa kondisi halaman belakang yang masih terlihat sama seperti sebelum adanya serangan makhluk makhluk pemakan otak itu. Semua masih terlihat sama dan tertata pada tempatnya. Pagar belakang yang membatasi halaman rumah dan jalan aspal pun masih ada. Tidak lenyap seperti semalam. Pun, dua pagar yang terlihat seperti kandang, tempat para kacang kenari raksasa itu disimpan pun sudah tidak ada lagi di sana. Seolah-olah benar benar tidak ada yang terjadi. Masih dengan rumput tipis, semuanya tertata rapi, pagar di bagian belakang yang juga tidak rusak maupun menghilang seperti kejadian semalam. Pun dia tidak menemukan dua pagar kayu pembatas dengan kaitan besi di bagian kiri dan kanan halaman, dekat dengan pintu dapur. Tempat di mana ia melihat kacang-kacang kenari raksasa itu diletakkan. Akhirnya lelaki itu kembali setelah melihat bahwa semuanya baik-baik saja. Ia bahkan lupa akan perutnya yang merasa lapar. Lelaki itu malah mengambil kembali handuk yang sempat ia taruh di atas kulkas dan mulai melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi. Menyalakan keran untuk mengisi bak mandi dengan air yang segar dan mulai melucuti pakaiannya satu persatu. Akan tetapi, pergerakannya terhenti segera, setelah ia menemukan sesuatu yang janggal ia dapati di dalam saku celananya. “Aku tidak ingat kalau aku mengantongi sesuatu,” katanya sambil meraba-raba dan menebak apa yang ada di dalam sakunya itu. Lelaki itu lupa kalau ia meninggalkan sesuatu di dalam saku. July semakin heran. Ia menemukan dua keping emas dan sebuah permata berwarna biru berukuran sebesar ibu jari. Ia taruh benda-benda itu di atas telapak tangannya sambil memandangi dan mengingat-ingat di mana ia mendapatkan hal-hal aneh tersebut. Dua keping emas dan permata biru itu erlihat seperti mainan, tapi July berpikir kalau ia tidak memiliki mainan seperti ini. Lelaki itu mengamatinya. Kemudian ia berpikir kalau benda-benda ini bukanlah sebuah mainan maupun imitasi. Jelas ia lihat kalau dua keping emas itu tidak asing, tapi ia juga tahu kalau itu bukan dari dunianya yang sekarang, tidak tertulis bahasa dari negaranya atau tahun pembuatan logam mulia tersebut. Uang logam yang digunakan untuk bertransaksi di tahun itu, berbeda dengan apa yang ada di atas telapak tangannya. Lalu, sebenarnya untuk apa dua keping emas ini dan dari mana benda ini berasal? July, masih bertanya-tanya. Tak lama, matanya dibuat semakin membelalak. Ia tercengang dengan apa yang terjadi, jelas di depan matanya. Bagaimana tidak? Dua keping emas dan sebuah permata biru yang ada di telapak tangannya itu perlahan melenyap menjadi debu dan berterbangan yang juga mengeluarkan sedikit cahaya, seperti dua buah batu yang digesek lalu menghasilkan percikan api. Setelah benda-benda yang membuat July bingung itu lenyap dari tangannya, terdengar sebuah notifikasi dari ponsel miliknya yang ada di atas kasur. Dengan bertelanjang d**a dan hanya menggunakan celana pendek selutut yang seharusnya sudah ia buka-karena ia akan pergi mandi, namun terhenti karena benda di dalam sakunya itu, July akhirnya keluar dan mengambil ponsel yang tadi terdengar suaranya. Dilihatnya sebuah notifikasi dari akun bank yang memang sudah tertaut dengan ponselnya itu. Seketika, matanya membelalak, lagi. Untuk yang kedua kalinya dalam satu hari ini. Ia melihat sebuah kejadian yang lagi-lagi membuatnya tidak percaya. Seolah-olah mimpi yang ia alami tidak kunjung berakhir. “Apakah mimpi ini belum juga selesai? Jadi, aku bermimpi di dalam mimpi? Sial! Apa yang terjadi sebenarnya?” Angka fantastis terlihat di layar handphonenya. Benar-benar angka fantastis yang sebelumnya bahkan tidak pernah terpikirkan oleh July akan menerima mutasi dana dengan angka yang seperti ini. Ada sebuah mutasi di akun bank July yang tadinya hanya tersisa untuk hidup mungkin kurang dari satu bulan ke depan saja. Perkara, Welt si sialan itu memecatnya tanpa memberikan pesangon sedikit pun dengan alasan perusahaan yang sedang collapse. Padahal, jika Welt mau, bisa saja ia memberi uang pesangon sebagai tanda terima kasih karena July sudah bekerja dengannya selama dua tahun, sejak July menuntaskan sekolahnya dulu. “Tiga puluh juta?” Ia kembali menengok notifikasi. Ia takut kalau matanya salah lihat karena ia baru saja bangun tidur. Kemudian lelaki itu menghitung jumlah nol dalam deretan angka-angka tersebut. Ia mencari tahu, siapa yang telah mengirimkan uang yang cukup banyak itu ke dalam rekeningnya. July tidak berpikir kalau si Welt sialan itu yang mengirimkan nya uang pesangon, apalagi dengan jumlah yang sebegini besarnya. Jelas, si gendut nan rakus yang pelitnya tidak tertolong itu tidak mungkin melakukan hal demikian. Tapi, siapa yang akan mengiriminya uang sebanyak ini? Ia tidak memiliki rekan yang benar-benar dekat, keluarga yang ia miliki hanya Anne, tidak ada lagi yang lain. Ibu bapaknya sudah lama mati. Tidak juga dengan kakek dan nenek July. Sekali lagi, lelaki ini hanya mempunyai Anne dalam sisa hidupnya ini. “Zen Garden?” July menaikkan alis setelah membaca nama yang tertera di keterangan dalam mutasi tersebut. Sebuah nama yang tidak asing rupanya merupakan sumber pendanaan yang telah mengirimkan sejumlah uang ke dalam akun banknya. July menggelengkan kepala. Dirasa sudah mulai tidak waras dan ingin memastikan kalau ia hanya bermimpi, July mulai menampar pipinya sendiri hingga mukanya terlihat memerah. Ia mengelus pipinya yang ia lukai dengan tangannya sendiri. Terasa panas. “Sialan, perih!” Lelaki itu mulai mengingat sesuatu. Zen garden adalah nama kebun di dalam video game yang ia mainkan tadi malam. Sejak awal, ini memang tidak masuk akal. Dari bagaimana ia terbangun di sebuah rumah kaca dengan tanaman di dalam pot yang kehausan, munculnya makhluk-makhluk pemakan otak yang entah dari mana datangnya tiba-tiba saja masuk ke pekarangan belakang, pagar yang membatasi halamannya dengan jalan aspal tiba-tiba menghilang, kacang-kacang kenari raksasa yang ada di sisi kiri dan kanan dengan palang pintu yang terkunci, sampai yang terakhir ini, uang yang secara ajaib masuk ke dalam akun rekeningnya. Benar-benar tidak masuk akal. “Tapi aku tidak sedang bermimpi. Ini memang duniaku,” katanya lagi setelah merasakan pipinya yang perih akibat tamparan nya sendiri. Masih dengan tangan yang mengelus-elus pipinya itu, ia mencoba untuk mencerna apa yang terjadi. Kemudian, ide mulai muncul di kepalanya yang sebenarnya terasa pusing karena kebingungan yang tiada akhir. Lelaki itu berlari ke depan cermin. July melihat pipinya yang memerah, dengan bekas tangan yang terlihat terjiplak di sana. Benar. Lelaki itu memang sudah terbangun di dunianya. Dunia yang selalu ia tidak sukai, apalagi sejak virus yang ramai dibincangkan itu masuk ke dalam tubuhnya, dan membuat July akhirnya menjadi seorang pengangguran. Ia sangat benci hal itu, meskipun kerja dengan Welt juga merupakan salah satu hal yang juga tidak ia sukai. Tapi, tetap saja, menjadi seorang pengangguran adalah hal paling buruk dibanding harus mengeluh tentang kerjaan yang Welt berikan padanya. "s**t! Aku benar-benar tidak mengerti semua ini!" teriaknya yang diakhiri tawa karena uang-uang datang pada July, dengan sendirinya. *** July memutar keran. Menutup air yang mengalir membasahi wajahnya yang cukup tampan. Setelah mengguyur kepalanya yang ia pikir sedikit kacau dan campur aduk, ia memutuskan untuk menjernihkan pikirannya dengan air yang sejuk. Semoga saja air dingin itu sedikit meredakan segala kepusingan yang menerjang kepalanya. Ia mengacak rambutnya dengan handuk begitu keluar dari ruang dua kali dua meter itu. Kemudian mengambil kaus berwarna hitam dari lemarinya yang terletak di sebelah kasur. Laptopnya masih menyala. Bahkan ketika sudah sepanjang malam berlalu. Memang, baterai nya terlihat habis, sedikit lagi dan notifikasi tentang charge sudah muncul di layar. Setelah July selesai berpakaian, ia menghampiri laptopnya yang ada di meja. Di layar itu, terlihat game yang terakhir kali ia mainkan. Ia lagi-lagi dibuat tercengang. Di sana, tepat di layar yang menyala, tertulis sebuah tulisan, “Selamat anda sudah mengalahkan Zombie dalam Walnut Bowling! Sampai bertemu di permainan berikutnya!” July mengerenyitkan dahi, “Tunggu, bukankah permainan ini sama dengan tulisan di atas pintu yang kupilih tadi malam?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN