Prolog

1029 Kata
Wekawekaland, 2021. Pandemi masih memeluk dunia. Ia belum beranjak pergi. Bermain-main dan mewabah di sana sini. Sementara ekonomi yang tidak stabil masih menjadi sorotan utama para petinggi, angka kematian yang setiap hari melonjak, juga orang-orang yang terinfeksi naik setiap harinya. Beberapa perusahaan terpaksa tutup. Beberapa lainnya memecat pekerja karena kendala finansial. Sudah terhitung dua tahun sejak kasus ini ditemukan pertama kali di satu daerah, ketika di tempat ini masih dengan bangganya tidak akan terjangkit dan merasa paling kuat di antara negara lain. Kenyataannya, nasib buruk memang selalu menimpa kesombongan meskipun hanya sebesar biji jagung. Ketika separuh dari mereka mulai pulih, negara ini mulai runtuh. Semua mulai melakukan hal-hal yang membatasi adanya kerumunan. Teknologi yang sudah berkembang, dijadikan sebagai patokan dan alat untuk bergantung dan bertahan hidup. Jalanan yang ramai dipadati roda dua dan empat kini hanya terlihat satu dua saja. Apalagi, sejak terakhir kali terdengar kasus yang naik sampai dua ratus kali lipat. Jalan banyak ditutup, toko banyak diusut, keluar di jam malam bisa-bisa kena tuntut. Dampak dari kenaikan angka tersebut juga dirasakan July. Setelah ia mendapati dirinya terinfeksi virus setelah mengalami demam dua hari, ia mulai merasakan gejala-gejala yang lain. Di hari ketiga, demamnya tidak lagi tinggi. Tapi bos dari tempatnya bekerja tidak peduli. Ia menelpon dan bertanya, sanggupkah ia melanjutkan pekerjaannya. Kemudian, hari itu ia berangkat kerja dan ambruk setelahnya. July merasakan pusing yang amat sangat, membuat pandangannya berputar dan memutuskan untuk tidak berangkat kerja di hari selanjutnya. Dua hari kemudian, July mulai kehilangan penciuman. Ia tidak lagi mencium wangi parfum Anne yang bahkan biasanya bisa ia cium dalam jarak dua meter. Ia mulai panik. Lelaki itu pergi ke klinik dan menemukan bahwa hasilnya adalah ia positif terjangkit virus. Setelahnya, sang Bos mendengar kabar July dan memutuskan untuk menjadikannya salah satu di antara orang-orang yang diputus hubungan kerja. July tidak keluar kamar sudah seminggu. Karena rumah sakit yang penuh di sana sini, ditambah gejalanya yang tidak begitu serius, ia akhirnya memilih untuk melakukan isolasi. Anne biasanya akan mengisi nampan makanan dan meletakan nya di depan kamar July. Anne adalah kakak sepupu July yang bekerja di salah satu perusahaan yang juga mengalami kendala semasa pandemi. Namun, ia masih beruntung dan sangat mewanti-wanti agar July tidak menyebar virus itu padanya, hingga Anne masih tetap bisa bekerja. Setelahnya, July hanya bisa menghabiskan waktu dengan tidur, makan, mandi, dan bermain game. Ia melepaskan semua beban pikirannya pada sebuah laptop tua yang ia beli tiga tahun yang lalu, yang awalnya hanya ia gunakan sesekali untuk memutar musik, ataupun menonton video saja. Lelaki itu bernostalgia pada sebuah permainan lama yang menurutnya lumayan menarik. Maka, setelahnya, ia menghabiskan waktu hanya untuk menatap layar laptop dari pagi sampai pagi lagi. Tidurnya menjadi tidak teratur. Kadang, ia akan tertidur di siang hari, ketika matahari sebentar lagi naik ke kepala. Kemudian lelaki itu akan bangun ketika gelap sudah sempurna memayungi atap rumah yang bisa ia lihat dari jendela. Lalu, sepanjang malam hingga ayam berkokok lagi, ia akan memainkan permainan di dalam laptopnya itu. Melewati stage demi stage, melawan satu per satu musuh dengan mata yang sudah memerah. Suatu hari, Anne mengetuk pintu untuk memberi tanda bahwa ia sudah menaruh makanan untuk July. Setelahnya perempuan itu pergi dan akan kembali setelah malam tiba. Mereka jarang sekali berinteraksi. Bahkan kadang, ketika sedang sibuk-sibuknya, Anne tidak akan pulang ke rumah. July membuka pintu dan menemukan sepiring nasi, semangkuk sop, dan sebuah jeruk. Tak lupa Anne menyelipkan dua butir vitamin pada nampan dan dua botol air minum. Segera setelah mengambil nampan tersebut, July kembali menutup pintu dan menghabiskan makannya. Lalu, ia kembali bermain, membiarkan kepalanya yang dipenuhi pikiran-pikiran itu mulai rileks dan menikmati setiap tantangan yang ia hadapi dalam permainan. Tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan untuk membunuh rasa bosan. Waktu berlalu begitu cepat sampai akhirnya malam kembali menguasai pemandangan di luar jendela. Langit yang tidak memiliki bintang satu pun malam itu, diguyur hujan deras yang membuat July mematikan kipas angin yang selalu berputar menghadap ke wajahnya. Ia tidak lagi butuh angin buatan. Hawa dingin yang menerobos melalui celah-celah jendela membuatnya sudah cukup merasa sejuk tanpa harus kerja ekstra sang kipas usang. Namun, hawa yang seharusnya membuat lelaki itu terlelap malah enggan menutup mata. Ia melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Mungkin, karena sejak siang hari ia menghabiskan banyak waktu untuk tidur, maka malam harinya kantuk tidak menyerang matanya sama sekali. Ia masih menyalakan laptopnya. Menyirami tanaman-tanaman yang ia dapatkan dari pertempuran, dan membeli beberapa item setelah mendapat banyak koin dari hasil begadang. Sampai waktu kini menunjukkan pukul tiga pagi, lelaki itu tanpa sadar meletakan kepalanya tepat di depan laptop yang masih menyala. Ia membiarkan keadaan menjadi terbalik. Di mana biasanya ia memandangi laptop, kini laptop lah yang memandangi ia tidur. *** July merasakan silau menimpa wajahnya. Ia berpikir kalau pagi lagi-lagi sudah datang dan ia ketiduran untuk beberapa jam di depan permainan yang sedang ia putar. Lelaki itu mencoba mengerejapkan mata dan bangkit. Samar-samar, ia mulai meraba apa yang ada di depan matanya. Sejenak ia terhenti. Mematung seperti Zombie yang terkena serangan ultimatum dari Ice Shroom dalam permainan. Setelah selang beberapa detik berlalu, barulah July mengucek matanya. Ia bahkan menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat sambil mengedip-kedipkan mata, barangkali apa yang dilihatnya hanyalah sebuah ilusi karena ia terlalu sering bermain game. Ia memegangi kepalanya yang sedikit pusing. Tempat ini jelas berbeda dengan tempat pertama kali ia tak sengaja tertidur. Lelaki itu ingat, bahwa terakhir kali, ia sedang bertelungkup di atas ranjang dengan laptop di depan matanya. July berpikir bahwa permainan ini memanipulasi mimpinya. Ia yakin bahwa sekarang ini, ia tidak benar-benar bangun. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling. Dalam beberapa menit, ia tahu tempat ini. Rumah yang sekelilingnya kaca, dengan bambu-bambu yang dirakit sedemikian rupa, untuk tempat para tanaman dikembang biakkan. Ia melihat ada tiga buah vas dari tanah liat. Persis seperti yang ia miliki dalam permainan yang baru saja ia mainkan. Kemudian, ia menghampiri nya. Di sana, hanya ada bibit tanaman yang tertanam dan belum sepenuhnya tumbuh. Ketika ia mencoba untuk meraihnya, tiba-tiba muncul sebuah gelembung tepat di atas vas bunga tersebut. Di dalam gelembung itu, ada sebuah gambar tetesan air yang berwarna biru. Seketika July tercengang. “Bahkan dalam mimpi pun, aku masih bermain game!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN