PART 3

1905 Kata
Rasanya seperti mimpi. Melihatmu lagi, benar-benar membuatku merasa seperti sedang bermimpi. Mimpi yang indah dan sangat panjang. Begitu ajaib. ***   Nara dan Deeka berjalan dalam diam selama menuju UKS. Mungkin Deeka merasa canggung, karena ia baru mengenal Nara hari ini.             Namun bagi Nara, ini adalah sebuah keajaiban. Ia baru saja berhasil mengubah masa depan. Deeka tidak pingsan lagi di lapangan seperti dulu dan menjadi perhatian banyak orang. Yah, walau dengan cara yang sedikit 'tidak tahu malu', yang penting Nara berhasil.             Ketika keduanya masuk UKS, Deeka hampir saja jatuh karena kehilangan keseimbangan. Kepalanya kembali berdenyut, telinganya seperti berdenging. Tapi untung saja Nara dengan sigap langsung menahan Deeka dan melingkarkan tangan Deeka di pundaknya yang kecil.             "Hati-hati, Dee. Mendingan lo aja yang istirahat, ya." Nara menuntun Deeka dengan hati-hati, hingga sampai di ranjang UKS.             Deeka terlihat pasrah, tapi wajahnya memerah. Mungkin ia gugup, karena ia tidak pernah sedekat itu dengan lawan jenis. "Nggak, harusnya lo yang istirahat. Lo kan sakit...."             Nara hampir lupa tadi ia pura-pura sakit. "Gue udah mendingan, Dee. Lo kayaknya yang lebih perlu istirahat." Nara meminta Deeka berbaring, dan Nara otomatis menyelimuti Deeka hinggal leher. "Mau gue buatin teh hangat?"             Deeka mengangguk pelan. Ia juga heran kenapa kepalanya suka sakit tiba-tiba seperti dipukul palu. Sudah beberapa hari ini ia merasa seperti itu, walau tidak terlalu sering.             Saat Nara membuat teh, suasana semakin hening dan canggung. Hanya suara sendok yang terdengar. Deeka tidak tahan dengan susana seperti itu.             "Nara, kenapa nama lo Nara?" Deeka akhirnya memecah keheningan, walau dengan pertanyaan yang bodoh.             Di sisi lain, pertanyaan itu sangat bermakna bagi Nara. Ia ingat, dulu Deeka memang sering tiba-tiba bertanya begitu. Namun, Nara awalnya selalu menjawab dengan ketus dan kesal. Ia menganggap Deeka sangat mengganggu ketenangannya. Itu adalah salah satu penyesalannya.             Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengurangi penyesalannya.             "Kenapa, ya? Gue juga nggak tahu. Nyokap gue yang ngasih nama." Nara menjawab dengan riang sambil menoleh sedikit untuk melihat Deeka. Ia senang melihat jawabannya membuat Deeka juga tersenyum. Walau lumayan jail.             "Apa gue harus nanya nyokap lo?"             "Boleh, pasti nyokap gue akan menjawab dengan senang hati."             "Nyokap lo nggak akan marah?"             "Nggak, tapi mungkin lo akan diwawancara dulu sebentar." Nara terkekeh sambil menyerahkan teh hangat buatannya.             "Waduh, gue pasti bakal gerogi banget."             "Masa? Lo keliatan penuh percaya diri. Apa gue salah?"             Deeka mendengus geli. "Gue pemalu, kok. Lo aja yang enak diajak ngobrol, makanya gue ngerasa ... nyaman."             Pemalu? Nara tidak menyangka Deeka akan mengaku dirinya pemalu seperti itu. Menggemaskan sekali.             "Syukurlah, gue kira lo ... ngerasa nggak nyaman karena gue sok kenal sama lo tiba-tiba."             "Awalnya gue kaget, sih. Tapi ... lo keliatan beneran khawatir, bukan modus." Deeka tertawa di akhir kalimat, Nara jadi ikut tertawa.             "Modus? Memangnya gue ngapain?"             Deeka meminum teh buatan Nara hingga setengah kosong, mendadak Deeka heran karena teh buatan Nara sangat pas di lidahnya. Tidak terlalu manis. Ia memang tidak suka makanan atau minuman yang terlalu manis. Biasanya tidak ada orang yang bisa membuat minuman sesuai dengan selera Deeka. Mamanya saja sering membuatkan the yang terlalu manis untuknya.             "Hei, malah bengong. Gue memangnya ngapain?" Nara mengibaskan tangannya di depan wajah Deeka.             "Lo ... tadi megang-megang gue pas gue hampir jatoh. Gue kaget, lah. Lo keliatan nggak canggung sama sekali." Deeka selalu terlihat lucu kalau sedang mengomel.             "Gue cuma niat nolong, astaga. Apa yang lo pikirin, hmm?" goda Nara sambil menaikkan satu alisnya.             "Nggak ada! Udah, ah. Gue tidur aja! Kayaknya gue salah mulu kalau ngomong!" Deeka kembali berbaring dan menutupi wajahnya dengan selimut.             Lucu sekali. Nara jadi tidak bisa berhenti tersenyum.... *** Setelah upacara selesai, Deeka menghampiri Roni tergesa-gesa. Roni terlihat heran dengan sikap Deeka.             "Kenapa, kenapa? Ada gosip apa?" tanya Roni serius.             "Ini bukan gosip, Bro. Tapi, gue mau nanya sesuatu." Deeka memasang wajah seriusnya yang jarang diperlihatkan.             "Nanya apa?"             "Aneh nggak sih, kalau gue merasa nyaman sama orang yang baru dikenal? Apalagi, ini cewek," bisik Deeka, takut terdengar murid lain.             "Lo? Nyaman sama cewek yang baru dikenal? Ah! Cewek itu, ya? Yang tadi lo tolongin karena nggak enak badan?" tanya Roni tidak bisik-bisik seperti Deeka. Membuat seseorang jadi berminat menguping pembicaraan mereka. Siska mendekatkan telinganya kea rah Deeka agar ia bisa mendengar lebih jelas. Kebetulan, Siska duduk di sebelah kanan Deeka—di barisan lain.             "Sstt! Pelan-pelan ngomongnya, dasar pinter." Deeka memelotot, lalu lanjut berkata, "iya, namanya Nara. Gue merasa nyambung banget ngobrol sama dia. Apalagi kalau liat dia senyum. Jantung gue kayak ... deg-degan gitu."             "Masa lo jatuh cinta secepet ini, sih? Aneh...." Roni menyipitkan matanya. "Bukannya lo homo, ya?"             Deeka langsung memukul belakang kepala Roni tanpa ragu. "Sembarangan aja kalau ngomong!"             Roni terkekeh puas. "Bercanda. Jadi, kayaknya lo suka sama Nara?"             "Suka?" Mata Deeka melebar. "Kayaknya nggak mungkin secepat ini, deh."             "Terus?"             "Gue cuma ... seneng karena ada cewek yang nyambung sama selera humor gue. Mungkin itu, Ron!" Deeka menjentikkan jarinya.             "Ya, mungkin gitu." Roni terlihat tidak berminat ikut campur. Tapi ia tentu saja salut, karena Nara bisa membuat Deeka sesenang ini. Padahal baru kenal, kan?             "Lo harus gue kenalin ke dia, Ron. Pasti lo bakal ngerti maksud gue." Deeka menepuk pundak Roni. "Dia baik, lucu, dan ... perhatian."             "Oke. Tapi kalau gue suka sama dia juga, gimana?" tanya Roni untuk menguji Deeka.             "Gue ngalah." Deeka menjawab, tapi matanya melihat ke arah lain. "Gue nggak mau saingan sama sahabat gue sendiri."             Roni mendengus. "Gue juga nggak mau saingan sama lo, k*****t. Pokoknya kita jangan sampai suka sama cewek yang sama. Oke?"             "Oke!"             Sesaat kemudian seorang cewek berambut panjang datang sambil tersenyum manis. Namun, bukannya terpesona, Deeka malah merinding. Ia bisa tahu bahwa senyum cewek itu tidaklah tulus.             "Nama lo Deeka, kan? Gue Siska, gue boleh minta nomor lo?"             "Nggak boleh, kalau untuk diperjual-belikan." Deeka terkekeh.             "Cuma buat gue, lo nggak perlu takut."             "Oke!" Deeka menuliskan nomor ponselnya di sobekan kertas. "Nih, tapi jangan kasih ke siapa-siapa, ya." Siska mengangguk. "Thanks."              Siska baru saja berpikir bahwa Deeka sangat mudah didekati; murahan. Wajar saja Nara bisa dekat dengan Deeka juga. Awalnya Siska heran.             "Dee! Kenapa lo ngasih nomor lo segampang itu?" tanya Roni heran.             "Tenang, Ron. Itu nomor Bang Indra."                         "Hah? Why?"             "Not why why," jawab Deeka santai. "Bang Indra tuh jarang ngecek hape. Sekalinya ngecek, dihapus semua chat yang menurutnya nggak penting."             "Ohh, okay." Roni baru paham. Yah, begitulah sikap Deeka biasanya kepada cewek-cewek genit yang mendekatinya tidak jelas. Berarti, Nara benar-benar hebat, bukan? *** Ketika bel istirahat berbunyi, Nara baru saja menyusun rencana untuk lebih dekat dengan Deeka. Ia harus menghampiri Deeka dan mengajaknya ke suatu tempat. Suatu tempat yang sangat berkesan di SMA baginya.             Sebelum Nara bangkit berdiri, Deeka dan Roni berdiri di depan meja Nara. Roni mengulurkan tangan, tersenyum tipis. Kebetulan sekali.             "Gue Roni, sahabatnya Deeka."             Nara membalas senyum Roni, tapi ia ragu untuk menerima tangannya. Apa masa depan juga akan berubah kalau Nara menjaga jarak dengan Roni? Nara penasaran, tapi di sisi lain ia tidak tega. Roni orang yang baik dan bisa diandalkan. Apa yang Nara pikirkan, sih?             Nara menerima tangan Roni sambil tersenyum. "Nara, temen baru Deeka, kayaknya," jawab Nara melirik Deeka.             "Kok kayaknya?" Deeka terkekeh canggung.             "Ra, gue dikacangin?" bisik Sandra tiba-tiba di sebelah Nara.             "Oh, iya! Ini sahabat gue, namanya Sandra Jelita. Semoga kita berempat bisa akrab, ya!" ujar Nara bersemangat. Ia sangat yakin mereka pasti bisa akrab.             "Oh, jadi kalian udah kenal sebelumnya? Pantes aja keliatan deket banget." Roni mengangguk-angguk mengerti.             "Kita baru kenal," sahut Sandra. "Tapi Nara tuh emang seru anaknya. Jadi, gampang banget akrab sama Nara."             "Gitu, ya?" Deeka memiringkan kepala, baru sadar kalau mungkin ia juga merasa nyaman karena Nara ... memang baik pada siapa saja dan mudah bergaul.             "Dee, gue boleh minta tolong?" tanya Nara terlihat sedikit gerogi.             "Kenapa?"             "Ikut gue ke lapangan, ada yang mau gue omongin." Nara meringis. "Kalau nggak mau—"             "Ayo." Deeka menuruti Nara dengan mudah. Nara, Sandra, dan Roni cukup terkejut. "Gue juga mau nanya sesuatu."             Keduanya pun pergi, walau diejek Sandra dan Roni habis-habisan. Nara tidak peduli, ia malah senang karena Deeka terlihat salah tingkah.             Tiba di lapangan, Nara mengajak Deeka duduk di pinggir lapangan dengan nyaman. Dulu, ia beberapa kali mengobrol dan bercanda dengan Deeka seperti saat ini.             Mungkin ini waktu yang tepat. Nara menghela napas, sebelum berkata, "Gue mau jadi guru les lo."             Deeka melebarkan matanya. Perkataan Nara sangatlah tidak terduga. "Apa? Tunggu, gue nggak salah denger?"             "Gue ini sering jadi juara umum. Gue butuh temen belajar, biar lebih seru belajarnya. Gimana? Kita bisa sharing dan kalau ada yang lo nggak ngerti, gue bisa jelasin sejelas-jelasnya. Tertarik?"             Deeka mendengus geli sambil menggaruk kepalanya. "Gimana, ya? Gue nggak suka belajar, Ra."             "Gue akan bikin lo suka. Percaya sama gue, Dee." Nara memegang punggung tangan Deeka, menatapnya penuh harap.             "Suka belajar?" Deeka terkekeh. "Roni aja nggak berhasil, Ra."             "Gue pasti berhasil. Kalau lo merasa nggak seru belajar sama gue, lo boleh protes dan berhenti. Gimana?"             Deeka malah menyengir. "Lo kayak nawarin ansuransi, sumpah."             Nara memang frustrasi. Menjadi teman belajar adalah satu-satunya cara untuk membuat dirinya lebih dekat dengan Deeka. "Ah, lo pasti mikir gue cewek yang aneh, ya? Plis, percaya ... gue ngelakuin ini demi kebaikan lo juga."             "Makasih, Ra." Deeka tersenyum hangat. "Oke, nanti kita bisa belajar di rumah gue kalau udah ada PR, ya. Mohon bimbingannya!"             "Yes! Maksud gue, oke. Tentu aja!"             Beberapa detik kemudian, ada seekor kucing menghampiri Nara dan Deeka. Nara otomatis tersenyum lebar dan mengusap bulu kucing itu dengan gemas. Ia ingat sekali nama kucing itu.             "Chiko! Apa kabar?"             Deeka menyipitkan mata. "Tahu dari mana nama kucing ini Chiko, Ra?"             Sial. Alasan bodoh apalagi yang harus Nara buat?             "Hah? Baru aja gue kasih nama. Lucu, kan? Kayak nama artis. Haha." Nara tertawa hambar. "Chiko, kenalin, ini Deeka. Eh, Apa? Dia luamayan ganteng?"             "Lo bisa bahasa kucing?"             Nara mengangkat bahu. "Kadang-kadang."             Ketika Deeka tertawa, kucing itu malah minta dipangku olehnya. Deeka mengelus kucing lucu itu penuh sayang. "Kenapa lo suka kucing, Ra?"             "Karena lucu dan bisa jadi temen di saat gue kesepian."             "Lo punya kucing?"             "Punya! Namanya Sim--" Nara berhenti bicara ketika ingat ini adalah masa lalu. Ia belum memelihara apalagi bertemu Simba—kucing kesayangannya. "Ah, dulu punya. Sekarang udah nggak ada."             "Ya ampun, gue turut berduka. Tapi lo enak boleh memelihara kucing. Gue nggak boleh, tuh."             "Kenapa?"             "Abang gue alergi bulu kucing. Gue bakal dimaki-maki kalau berani bawa kucing ke dalem rumah." Deeka terkekeh. Nara pun tahu siapa yang Deeka maksud. Pasti bang Indra.             Bagaimana Nara tahu, padahal Deeka baru bercerita sekarang? Tentu saja karena yang hobi memarahi Deeka hanyalah Bang Indra.             "Seru ya punya saudara kandung? Rumah lo pasti hangat dan ramai."             "Lo anak tunggal, Ra?"             "Iya, kenapa?"             "Nggak. Gue cuma seneng bisa saling berbagi informasi kayak sekarang."             "Gue juga." Ternyata masih banyak hal kecil yang Nara tidak tahu soal Deeka. Untunglah ia bisa kembali ke masa lalu.             Namun, Nara tidak yakin bisa mengubah masa depan sepenuhnya. Apa yang ia lakukan sudah benar?  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN