Nasehat Berharga

1268 Kata
Mas Haris bicara dengan nada menekan. Walau rasanya seperti diancam, aku pun mengiyakan. Toh, suamiku sudah membuktikan bahwa dia sudah banyak berubah. Sejak rajin ke kajian, suami pun sikapnya semakin baik. Dia tegas pada segala hal yang berkaitan dengan kewajiban kami sebagai seorang muslim. Dulu yang sholat bolong –bolong, sekarang malah rutin jamaah di Masjid. Permintaannya agar aku merelakan dia untuk tidak pulang, dan tak mencarinya, adalah bentuk kematangannya dalam ber-Islam. Wajar di usianya yang sudah memasuki angka 40 untuk lebih banyak mengingat akhirat. Bukankah usia tersebut adalah angka penentuan, apakah seseorang itu tetap hidup bergelimang maksiat dan abai pada akhirat, atau justru sebaliknya. “Iya, Bi. Umi mengerti.” Aku mengangguk patuh. Mulai hari itu, dia memang mengkhususkan satu hari satu malam tidak pulang untuk beri’tikaf di Masjid. “Bagus.” Mas Haris mengusap kepalaku lembut. Diikuti senyum manis yang menghiasi bibirnya. Sebuah senyuman yang mampu melenyapkan semua kegelisahan yang kurasakan kala dia tidak berada di sampingku. Rumah tangga kami tetap harmonis, dan bahkan aku mengandung anak ke enam di tahun pernikahan ke 16. Kabar mengenai Pak Karim tidak lagi aku dengar, sampai aku harus bertanya padanya. “Tumben sudah berapa bulan ini, Pak Karim tidak minta bekam, Bi?” tanyaku penasaran. “Apa beliau baik –baik saja? Belum meninggal maksudnya? He he.” Aku bicara dengan nada sedikit bercanda. “Huss, jaga bicaramu, Mi. Umi ini seorang perempuan dan juga seorang Ibu,” hardik Mas Haris. Dia terlihat begitu emosi ketika membicarakan Pak Karim. “Umi tahu, beliau itu banyak sekali jasanya pada kita.” Hiss, banyak apanya? Apa karena Pak Karim sudah menjadi pelanggan tetapnya dan memberinya banyak uang? Aku cuma bisa ngedumel dalam hati. Tidak ingin ia murka hanya karena membahas Pak Karim. Entah, kenapa dia jadi sesensitif itu pada orang yang belum lama dikenalnya. “Pak Karim sudah pindah ke luar kota. Jadi, Abi akan ke sana untuk sesekali berkunjung.” Pria itu menyambung ucapannya. “Oh jadi begitu.” Aku manggut –manggut. “Ya, sudah tidurlah, Mi. Umi pasti lelah seharian ini ngurus anak –anak sendiri. Maaf kalau Abi nggak sebanyak dulu waktu di rumah.” Suara pria itu melunak. Tampaknya dia menahan diri untuk tidak marah padaku. Namun, benar kata orang, bahwa firasat seorang wanita itu sangat kuat. Apalagi dia seorang ibu dan istri. Aku tidak tahu, kenapa belakangan merasa sangat kesepian ketika suami tidak pulang, dan berpamitan menemui pasiennya usai kerja. Hatiku terasa terbakar meski bertemu dengannya dan berbincang seperti biasa. Aku merasa ada berbeda dari Mas Haris meski dia tak mengubah sikap dan perhatiannya padaku dan anak –anak. “Ya Rabb, ada apa ini?” Rasa gelisah itu semakin hari semakin menjadi. Lebih saat suami memulai usaha baru di luar kota. Alasannya membuka cabang dan melebarkan sayap bisnisnya. Suamiku terlihat semakin sibuk. Meski dia tetap pulang, tapi dia jadi sering ke luar kota. Dia juga tak seintensif dulu memberiku kabar. Perasaan tak enak pun semakin menyiksa. Ditambah pekerjaan rumah yang terasa semakin berat tanpanya. Karena bahkan meski punya lebihan uang, kami ragu memperkerjakan orang lain di rumah. Apalagi, aku ini anak semata wayang, tidak punya saudara juga untuk diminta membantu. Ibu dan ayah masih ada, mereka tinggal lumayan jauh dari rumah kami. Dan tentu saja aku tak mau merepotkan mereka. Suatu kali Ibu dan Bapak berkunjung ke rumah, karena kangen kepada cucu –cucu mereka. Sementara Ibu sibuk dengan anak –anak, Bapak datang mendekatiku. “Nduk, berat, ya? Yang sabar. Banyak ngalah saja, ya. Haris itu mau bagaimana pun, dia suami yang baik dan bertanggung jawab pada keluarganya.” “Nggeh, Pak,” sahutku. Aku tidak tahu kenapa Bapak bisa bicara begitu? Mungkinkah beliau tahu sesuatu tentang Mas Haris tapi enggan mengatakannya padaku? _________ “Ya Allah, jika memang ada sesuatu yang terjadi. Hamba mohon tampakkanlah. Jika tak ada masalah besar yang harus dipermasalahkan, tolong tenangkan hati hamba. Aamiin.” Untuk menenangkan hati, aku pun menghibur diri dengan memperbanyak sholat sunnah dan membaca Alquran, kala semua kesibukan di rumah telah selesai. Sebagai seorang istri yang sudah mendampinginya lebih dari 15 tahun, dan tahu persis bagaimana luar dalamnya suamiku, tentu saja aku tak ingin terus berburuk sangka padanya dan mempercayainya. Siapa yang mau apa yang sudah susah payah kami bina hancur dalam sekejap hanya karena prasangka kecil yang dibesar –besarkan. Aku tahu persis, prasangka itu dari setan. Mereka meniup –niup perkara agar anak Adam terjerumus dalam dosa dan kehancuran. Dan bukankah, hal yang paling mereka senangi ketika berhasil mengganggu suami istri dan mereka bercerai? Subhanallah ... Tuhan menjawab kegelisahanku beberapa bulan terakhir. Selang beberapa hari, ada token masuk. “Hem?” dahiku mengerut karenanya. Bukankah, listrik di rumah masih ada? Masih banyak malah. Karena Mas Haris mengisinya 500 ribu, dan kadang baru habis setelah satu bulan. “Apa ini token nyasar? Namanya bukan nama Mas Haris sebagai pemilik rumah ini. Tapi ... kenapa nomor Mas Haris yang mengirimkannya?” Kuhela napas berat. Semakin tidak –tidaklah pikiran ini mengembara. Semakin ingin kutepis pikiran buruk tentang Mas Haris semakin tak bisa kutahan. “Ini membingungkan. Sabar .... Sebaiknya kutanyakan saat nanti dia pulang.” Aku menenangkan diri sendiri dan mengabaikannya. Sampai saat bertemu dengan Mas Haris ketika dia pulang, aku melupakan segalanya. Sampai ketiga kalinya, Mas Haris terus mengirimiku token yang sama. Ya Tuhan, aku terlalu sibuk mengurus lima anak kami dan rumah sendirian dalam kondisi hamil muda, karena Mas Haris jadi lebih sibuk di luar, sampai –sampai aku terus lupa dan tak ada waktu untuk membahas token –token itu. Padahal, sudah tiga kali dia salah mengirimnya. Di kesalahan ke empat, aku langsung berpikir, bahwa Allah sedang mengingatkanku, untuk mencari tahu, siapa pemilik nomor token itu sebenarnya. Ini bukan peringatan biasa. Maka saat itu juga, aku yang sebenarnya sedang sibuk memasak, meletakkan bahan –bahan makanan dan mematikan kompor. Karena didorong rasa penasaran, kuklik nomor Mas Haris dengan tergesa. Di panggilan pertama, pria itu tidak mengangkat walau panggilan itu terhubung. Aku tak menyerah dan menekan icon berwarna hijau untuk ke dua kalinya. Saat itulah Mas Haris mengangkatnya. “Halo, Assalamu alaikum, Bi.” “Ya, Waalaikumsalam, Mi. Maaf Abi sedang sibuk sekarang. Nanti Abi hubungi, ya.” “Nggak bisa, Bi. Ini cuma sebentar. Tolong jelaskan, token listrik siapa yang Abi kirim ke Umi. Sudah empat kali lho, Bi. Mana bisa Umi nggak tanya?” “Mi, nanti Abi telepon lagi. Sudah Abi bilang sibuk. Ini ada pelanggan jadi, nggak bisa jelasin sekarang. Assalamu alaikum.” Aku mengembus berat. Menyerah. Dan menjawab salam yang kemudian diikuti panggilan yang diputus lebih dulu olehnya. [ Baiklah, karena Abi tidak sempat menjelaskan, Umi akan cari tahu sediri token siapa itu? ] send. Kukirim chat di nomor suami. Tak lama, pria itu pun membalasnya. [ Umi, kalau mau Abi nggak marah dan tetap baik sama Umi, sebaiknya diamkan saja nomor token itu. Jangan pernah mencari tahu. Ini peringatan dari Abi untuk Umi. ] Heh. Giliran chat saja sempat ngetik. Mana panjang begini. Jelas saja hal itu malah membuatku semakin penasaran. Kenapa dia melarangku? “Maaf, aku tidak bisa menahannya lagi.” Untuk kali pertama, aku memilih untuk tidak taat pada Mas Haris. Semua ini kulakukan, agar aku berhenti berprasangka buruk padanya. Tak kehabisan akal. Kugunakan ponsel pintarku untuk melacak. Akhirnya, setelah mengunduh sebuah aplikasi berlambang listrik, memasukkan nomor yang tertera di struk, pemilik nomor dan alamatnya terlacak. “Rumah siapa ini? Ada di luar kota?” Aku pun memutuskan mencari alamat tersebut. Akan tetapi, baru saja menghubungi Ibu agar bisa menemani anak –anak, aku justru dikejutkan oleh kabar lain. Ibu menangis tersedu –sedu di ujung telepon. Ya Allah, ada apa ini? Next ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN