"Oh, Jangan bilang kalau kau terpaksa kemari karena disuruh Mbak Karin?" Sindir Vania.
***
Rendi menggeleng." Tidak. Karin tidak meminta. Aku sendiri yang memutuskan untuk tidur disini malam ini."
Mendengar perkataan Rendi, segera Vania berpaling. Bola matanya kembali memutar malas ketika lelaki yang terpaut hampir tujuh tahun darinya itu sedang melepas sandalnya dan berniat untuk rebah di ranjangnya.
"Kau pakai kamar di lantai bawah saja, mas. Maaf, tapi aku ingin sendiri di kamarku." Tegas Vania sambil melempar tatapan tajam.
"Tak masalah."
Mendengar jawaban Rendi yang tanpa perlawanan. Tentu saja membuat Vania sedikit kaget, karena tak biasanya lelaki itu bersikap ramah dan mengalah padanya. Sungguh, terkadang Vania tak bisa mengerti isi kepala lelaki ini.
"Lalu?" Tanya Vania sambil membulatkan matanya.
"Apa?" Wajah datar diperlihatkan Rendi, seakan tak mengerti. Berpura pura bodoh.
"Aku sudah bilang ingin sendiri, dan kau bilang tak masalah. Lalu mengapa masih disini?" Protes Vania sambil mengerucutkan bibirnya.
"Aku disini karena hari masih sore. Dan aku belum mengantuk." Jawab Rendi cuek.
Vania menghela nafas panjang. Lalu menggigit bibir bawahnya. Tak lama, Vania mendengkus kasar ketika melihat pandangan Rendi yang kini terfokus pada blouse tanpa lengan yang di pakainya.
"Kau tampak seksi."
"Jauhkan pikiran kotormu."
"Rasanya aku tak ingin tidur di kamar bawah." sahut Rendi.
"Kau akan tidur disana atau keluar dari rumahku." Vania mengancam.
"Bagaimana jika aku memilih tidur di sofa itu saja." Tunjuk Rendi pada sofa yang tadi di duduki Vania.
Vania melirik sofa tunggal yang ada di dekat jendela. Lalu kembali beralih pandangan ke arah Rendi yang kini mengulas senyum manis padanya. Seketika Vania merasa mual.
"Silakan saja, kau bisa tidur disini."
Vania keluar setelah mengatakannya, namun tak berlangsung lama ia kembali bersama Bi Sumi, asisten rumah tangganya.
"Bi, bantu aku meletakkan sofa ini di luar karena seseorang akan tidur di sofa ini nanti malam." Sindir Vania.
"Mau diletakkan dimana Mbak?" Tanya Sumi tampak bingung.
"Di ujung sana, dekat tangga saja." Vania menyahut. Tak lama kedua wanita itu kini telah menggotong sofa tunggal itu dan meletakkannya di sudut kiri tangga.
"Posisinya sudah pas." Wajah Vania nampak puas.
"Terima kasih, bibi bisa balik ke dapur lagi." Ucap Vania dengan satu tangan mengipas wajah.
Vania membuang nafas kasar, lalu kembali berjalan menuju kamarnya. Sosok pria yang dengan aroma maskulin bercampur mint yang segar masih ada di atas ranjangnya, bahkan lelaki itu sedang berbaring nyaman di sana.
"Keluar dari kamarku. Sofa mu sudah kusiapkan di luar." Geram Vania yang sama sekali tidak dipedulikan Rendi.
Melihat reaksi Rendi yang tak bergeming dari posisinya sontak membuat Vania murka. Dengan mata berkilat amarah. Vania menarik lengan Rendi agar turun dari tempat tidurnya.
Melihat emosi yang diperlihatkan Vania, membuat lelaki berusia tiga puluh tahun itu terkekeh. Tubuh Rendi bahkan tidak bergeser saat Vania berusaha menyeretnya keluar.
"Cepat keluar dari kamarku!" Bentak Vania dengan posisi tangan mencengkram erat lengan Rendi.
Rasa pedih mulai Rendi rasakan ketika salah satu kuku Vania menembus kulit lelaki itu. Tak hanya itu, Vania bahkan tak henti memaki.
"Keluar kau, dasar tak tahu malu."
"Biarkan aku sejenak di sini, Vania. Kamarmu wangi, aku suka."
"Aku tidak menerimamu di kamarku!" Protes Vania sengit.
Melihat kilat amarah di manik jernih milik Vania, akhirnya membuat Rendi mengalah. Ia beranjak bangun dari ranjang Vania dengan sebuah lengkungan tipis di bibirnya.
"Apa kau lupa dengan tanggung jawab seorang istri, Vania?"
"Aku tidak lupa, tapi aku sedang tidak ingin melakukan tanggung jawabku. Ada masalah?"
"Oh tidak! Aku tidak ada masalah dengan itu. Hanya saja, apa kau tega membiarkanku kedinginan tidur di luar? Belum lagi nyamuk dan ...."
"Fine! Kau boleh tidur di kamarku, puas?" Jerit Vania kesal.
Lengkungan tipis di wajah Rendi kini berubah menjadi sebuah senyuman yang lebar. Lelaki itu menahan diri untuk tidak tertawa kala melihat istri keduanya itu melipat kedua tangan di d**a sambil mendengkus kesal padanya.
Melihat ekspresi penuh kemenangan yang terlihat di wajah Rendi, membuat Vania menggerutu. Namun, tak berlangsung lama, karena beberapa detik kemudian, seringai tipis melukis wajahnya.
"Kau bisa tidur sepuasnya di kamarku. Tapi maaf, aku tak berminat berada dalam satu ruangan denganmu. Jika kau menolak keluar dari kamar ini maka aku saja yang tidur di kamar lain. Jelas?"
"Dan iya, Jangan mengubah keputusan. Karena aku sudah merelakan kamarku untukmu malam ini. Jika kau tidak ingin aku memanggil petugas keamanan komplek untuk menyeretmu keluar dari rumahku" Gertak Vania yang langsung di jawab dengan anggukan kepala Rendi.
Dengan raut wajah yang penuh dengan kekesalan, Vania menghentak kakinya meninggalkan kamarnya. Sebelumnya tubuhnya benar-benar menghilang di balik pintu, kembali sebuah ancaman ia lontarkan.
"Jangan menyentuh barang-barang pribadiku ataupun memindahkan posisinya jika kau tidak ingin menyesal."
Terdengar suara yang cukup keras ketika Vania menutup pintu. Setelah memastikan bahwa Vania telah benar- benar pergi, tangan Rendi menarik sebuah bantal dan meraih ponsel Vania yang sebelumnya ia letakkan di sana.
Wajah Rendi yang tadi mengulas senyum kini berubah dingin ketika membaca pesan Gio berikut pesan balasan yang ditulis Vania. Tak lama ia mengembalikan benda pipih itu ke tempatnya semula begitu terdengar langkah kaki seseorang mendekat. Dan Rendi meyakini pemilik langkah itu adalah Vania yang baru menyadari jika ponselnya masih tertinggal di kamar ini.
Bersambung