Setiap manusia yang merasakan sakit dikehidupanya pasti akan menginginkan kebahagiaan seperti yang orang lain rasakan,
***
Malam ini terasa sangat dingin, angin kencang tak henti-hentinya menerbangkan dedaun kering. Rumah megah Aalisha seperti rumah hantu karena sepi dan lampu serumah belum dinyalakan. Jam saat ini telah menunjukkan pukul setengah delapan malam.
JEDAR
Angin tiba-tiba masuk dan mendobrak jendela kamar Aalisha sehingga menciptakan suara brisik dan membuat Aalisha terbangun dari tidurnya. tatapanya kosong seperti jiwanya telah mati. Ia bangun dari tidurnya menuju jendela yang terbuka tadi dan langsung menuju saklar semua lampu di rumahnya. Sepertinya ini bukan pertama kali rumahnya dalam keadaan seperti ini, karena memang hampir setiap hari Halena pergi ke club malamnya pasa sore hari dan tidak peduli tentang keadaan rumah. Apalagi bibinya memulangkan semua pembantu karena baginya akan membuang-buang uang, sebagai ganti pembantu, Aalisha lah yang harus mengurus rumah.
Setelah menyalakan saklar lampu, Aalisha bergegas mandi. Ia melepas pakaianya dan pandanyanya tertuju pasa sesuatu.
“Hah… kenapa harus sekarang sih?” ucap Aalisha.
Terlihat ada bercak darah di pakaian Aalisha, ia sedang datang bulan sedangkan pembalutnya habis, mau tidak mau ia harus pergi ke minimarket di tengah udara dingin seperti ini. Dengan hoodie dan kulot longgar serba hitam, ia berjalan menuju minimarket. Ia berjalan dengan santai sambil menikmati udara dan dedaun yang beterbangan.
“Sepertinya mendung,” gumam Aalisha setelah melihat langit tanpa bintang dan bulan.
Meskipun mendung jalan di perumahan Aalisha masih sangat terang karena banyak lampu saling berjajar di sepanjang jalan. Jarak minimarket dengan rumah Aalisha lumayan jauh sekitar 15 menit jika ditempuh dengan jalan kaki, namun jika naik kendaraan hanya membutuhkan waktu sekitar 6 menit. Aalisha memilih jalan kaki Karena ia tak diberi akses kendaraan sama sekali oleh bibinya. Banyak orang yang masih berlalu lalang melewati jalanan ini. Aalisha berjalan dengan ekspresi datar, ia mengamati wajah orang-orang yang disekitarnya mereka tertawa dengan lepas melihat itu Aalisha hanya bisa menghela nafas panjang.
Minimarket sudah tidak jauh lagi, semakin ramai orang yang berada di sekitar sana karena memang di samping minimarket ada pasar malam yang buka setiap dua hari sekali, dan hari ini bertepatan hari buka. Di dalam pasar malam itu terdapat stand kuliner, game, aksesoris, dan baju.
“Haaaah” Aalisha menghela nafas dan berhenti sejenak sebelum masuk ke minimarket.
Pintu minimarket rasanya tak terlihat karena banyak gerombolan orang yang duduk di kursi teras minimarket. Aalisha sebenarnya tak suka di keramaian seperti ini. Ia merutuki dirinya, bisa-bisanya pembalutnya habis saat pasar malam ini buka.
‘Bisa-bisanya mereka keluar rumah saat cuaca dingin seperti ini,’ celetuk batin Aalisha saat memandangi sekumpulan orang-orang yang datang ke pasar malam. Ia tidak sadar bahwa dirinya juga berada di luar rumah, dasar Aalisha.
Pandangan Aalisha tertuju pada pasangan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan gadis kecil berusia sekitar 5 tahun, mereka berjalan keluar dari pasar malam dengan tertawa bahagia, gadis kecil tersebut di gendong ayahnya sambil makan es cream, gadis kecil itu terlihat bahagia. Seketika itu Aalisha meneteskan air mata dengan tatapan tertuju pada keluarga itu. tanganya memeras hoodie yang dipakainya, dalam lubuk hatinya paling dalam ia merindukan sosok yang membuat dirinya bahagia seperti putri kecil. Ia tetap memandangi keluarga itu sambil berdiri mematung.
“Abi, lihat kaka itu kenapa menangis?” ucap gadis kecil itu kepada abinya.
“Abi juga nggak tau, ayo kita hampiri kakak itu.”
Aalisha tidak menyadari bahwa keluarga itu semakin mendekati dirinya yang tengah menangis dengan ekspresi datar. Gadis kecil itu turun dari gendongan ayahnya dan menghampiri Aalisha yang masih melamun, dipegangnya tangan Aalisha. Jari mungilnya menyadarkan Aalisha, ia segera mengusap air matanya dan meminta maaf.
“kakak kenapa menangis?” Tanya gadis kecil tersebut.
Aalisha berjongkok demi menyamakan tingginya dengan anak kecil itu, “ah tidak apa-apa, Cuma kelilipan heheh,” jawab Aalisha.
“Kakak kalau sedih makan es krim aja, nih aku kasih satu.”
Gadis kecil tersebut menyodorkan es krim kepada Aalisha, Aalisha tersenyum hangat dan memeluk gadis kecil itu. kedua orang tua gadis itu tersenyum, mereka sepertinya memahami perasaan Aalisha saat ini.
“Terimakasih cantik” ucap Aalisha sambil menerima es krimnya.
“Paman ayo, aku sudah selesai dari toilet” ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba datang menghampiri Aalisha dan keluarga gadis kecil tadi.
Laki-laki tadi melihat keponakanya bersama perempuan yang tidak ia kenal, “Paman siapa dia?” Tanyanya ketika melihat Aalisha.
Sebelum pamanya menjawab, gadis kecil itu tiba-tiba bicara, “ini kakak cantik,” ucap gadis kecil tersebut.
Aalisha tidak enak jika lama-lama bergabung dengan keluarga yang tak ia kenal ini, maka dari itu ia ingin cepat-cepat pergi.
“Ah, anu- maafkan saya dan terimakasih, saya harus pergi dulu. Sekali lagi terimakasih” ucap Aalisha lalu pergi meninggalkan keluarga harmonis tadi, ia masuk ke dalam minimarket dan membeli pembalutnya.
“Ya sudahah, ayo Alan kita pulang,” ucap pamanya.
“Ayo,” ucap Alan- laki-laki yang datang tadi.
Dalam hati Alan masih penasaran dengan gadis itu, namun ia menepis pikiranya. Ia tidak mengenal gadis itu kenapa ia harus memikirkanya?.
Sementara itu, Aalisha duduk di bangku taman dekat minimarket. Beruntung ada bangku taman yang masih kososng diantara keramaian. Rencananya mau cepat-cepat pulang ia urungkan karena ingin menikmati suasana malam bersama langit yang mendung. Ia terus memandangi es krim pemberian gadis kecil tadi.
“Andai ayah dan ibu masih hidup pasti hidupku sama seperti gadis tadi” gumam Aalisha. Tak mau es krim itu makin cair Aalisha segera memakanya sambil memandangi lampu taman yang berkeli-kelip.
Tes.. Tes
Satu demi satu air hujan turun, mendung yang dari tadi menampung air hujan kini telah menumpahkanya, Aalisha tetap duduk dengan santai di bawah guyuran hujan. Lama kelamaan hujanya semakin deras, semua orang berhamburan untuk mencari tempat untuk berteduh. Namun Aalisha tak berkutik sama sekali, ia membiarkan air hujan membasahi badanya. Banyak orang yang memandangnya dan berkata gadis aneh karena malam-malam malah hujan-hujanan. Orang yang seperti itu tidak pernah tau bagaimana leganya ketika menangis di bawah guyuran hujan.
Satu jam kemudian hujan sudah berhenti, begitupun Aalisha mulai bergegas untuk pulang. Ia tak peduli jika bibinya lebih dulu pulang ke rumah, ia tak peduli dirinya akan dimarahi, yang ia rasakan sekarang hanya hampa.
Mobil Alpart terparkir di halaman rumah Aalisha, menandakan kedatangan Halena.
“Aalisha!” panggil Halena.
Tak ada sahutan dari Aalisha karena memang Aalisha masih dalam perjAlanan pulang. Halena berulang kali memanggil Aalisha namun tidak ada sahutan sama sekali. Halena semakin kesal karena dirinya lelah dan Aalisha taka da dirumah. Apalagi rumah ditinggalkan dalam keadaan tidak terkunci.
“Aish! Dimana sih dia,”gumam Halena dengan kesal. Ia merebahkan badanya ke sofa depan televise sambil menunggu Aalisha pulang. satu menit kemudian terdengar suara pintu terbuka.
“Aalisha!” bentak Halena.
Aalisha yang semula melamun tersentak kaget karena bentakan bibinya. Halena berdiri dan menghampiri Aalisha. Raut wajahnya menunjukkan rasa kesal, Aalisha yang mengetahui Halena sedang marah hanya bisa diam, dia tau bahwa akhirnya akan seperti ini.
“Dari mana kamu hah?!” bentak Halena sambil menendang kaki Aalisha sehingga membuat Aalisha tersungkur.
“Pintu rumah nggak kamu kunci, kamu mau ada maling masuk hah?!” amuk Halena. “-kau kira barang-barang ini murah? gajimu bekerja seumur hidup pun tak bisa membelinya, dasar anak bodoh!”
Aalisha hanya mendengarkan bibinya marah-marah tanpa ada niat membalas ucapan Halena. Halena melettakkan tanganya dipinggang dan menatap marah Aalisha, “Ini juga, pulang-pulang basah kuyup aduuh.. kamu ini buat lantai rumah kotor saja!”
“Maaf bi, Halena habis dari supermarket beli pembalut,” ucap Aalisha dengan ekspresi datar.
“Aku gak peduli ya, Kamu mau ke supermarket, mau jatuh, mau mati sekalipun saya gak peduli. Cepat bersihkan lantainya! Rumahku kotor gara-gara badanmu.” Ucap Halena dengan tangan mendorong kepala Aalisha.
Aalisha tersenyum miring saat mendengar kalimat terakhir bibinya. “Ini rumahku bi, rumahku sama ayah dan ibu. Bukan rumah bibi,” ucap Aalisha.
Aalisha sudah lelah bibinya bersikap seenaknya. Tanpa disadari Aalisah, Halena malah naik pitam ketika mendengar ucapan Aalisha tadi. Ia mulai menjambak Aalisha dan menyeretnya ke sebuah kamar kecil.
“Beraninya kamu bicara seperti itu, dasar anak tak tau diuntung. Kamu harus dihukum!” ucap Halena.
“Bersihkan seluruh rumah ini, kamar mandi dan jangan tidur di rumah selama 2 hari. Dan itu di depan sampah sudah menumpuk. Malam ini juga cepat bersihkan!” ucap Halena dengan mata merah.
Aalisha terkejut atas ucapan bibinya, apa bibinya tidak tau ini sudah malam?.
“Ta-tapi bi-.“
“Tidak ada tapi-tapian…Cepat!”
Jika sudah seperti ini Aalisha sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia segera menuju ke tempat sampah yang banyak kantong kresek besar dan dia harus memindahkanya ke tempat pembuangan sampah umum di perumahan rumahnya.
Jam menunjukkan pukul 00.12. Seharusnya saat ini waktu tidurnya namun ia harus segera memindahkan kantong-kantong sampah ini.
“Aduh berat sekali,” keluh Aalisha.
Aalisha rasanya ingin menangis karena berat sekali kantong sampahnya dan perutnya nyeri karena baru pertama kali haid.
Aalisha sedikit demi sedikit mengangkat kantong sampah dan kurang satu kantong lagi. Disitu dia benar-benar sudah capek dan pinggangnya nyeri.
BRUK
Aalisha terjatuh karena kecapekan. Ia menunduk dan menangis.
“Ibu…ayah… Aalisha capek,” isak Aalisha.
Dia memegangi pinggangnya yang sakit dan mencoba berdiri. Mau tidak mau ia harus menyelesaikanya dengan cepat agar bisa beristirahat. Dengan sekuat tenaga akhirnya satu kantong terakhir sudah berhasil ia pindahkan. Sekarang Aalisha menuju rumahnya dengan tertatih-tatih karena seluruh badanya terasa nyeri.
Aalisha dduduk di teras rumah. Ia tidur di sana karena tidak boleh tidur di dalam rumah. Ia menangis sesenggukan dan beberapa menit kemudian dia tertidur. Beralaskan lantai yang dingin ia berharap, menunggu hari esok yang mungkin saja ada sedikit kebahagiaan atau malah tersiksa lebih kejam.