Dua hari berlalu, Qenna memberanikan diri untuk pulang. Dia juga sudah memberi pesan pada Rafa, kali ini pesan itu hanya bercentang satu. Menghubungi nomor lelaki itu juga tidak lagi tersambung.
Kalau misalnya terjadi sesuatu pada Rafa, pasti Qenna akan di hubungi oleh keluarganya. Namun, semua nomor keluarga Rafa, membuat status dengan ucapan selamat untuk mereka.
Mengumpulkan sedikit keberanian, Qenna kini telah berada di ruang tunggu. Mengambil tiket langsung setelah tiba di bandara, I Gusti Ngurah Rai. Bersyukur ini tidak penerbangan luar negri, hingga Qenna tidak perlu di pusingkan dengan pasport.
Qenna tersadar dari lamunan. Saat staf bandara mempersilahkan penumpang untuk segera ke pesawat. Qenna bangkit dari duduknya, bergabung dengan barisan panjang. Untuk memperlihatkan perlengkapan penerbangan. Tibalah giliran Qenna, staff bandara mempersilahkannya menuju maskapai.
Satu jam lima puluh menit, armada yang di tumpangi Qenna mendarat dengan sempurna di landasan penerbangan bandara Halim Perdana Kusuma. Qenna melangkah lebar keluar dari pintu kedatangan. Menggeret koper dan hanya menyandang tas salempang, tanpa di jemput siapa pun, Qenna menaiki taksi.
Tujuannya saat ini, bukan langsung mencari Rafa. Ia akan pulang untuk beristirahat sambil menunggu pesan yang di kirim kepada Rafa masuk.
Setelah menempuh waktu satu jam, akhirnya Qenna sampai di rumah kontrakan. Ya, sebab Rafa tidak ada menjanjikan apapun untuk membopong Qenna kerumah sendiri.
Bukan langsung beristirahat, Qenna masih menghubungi Rafa, tidak ada yang berubah.
"Mas, kenapa nomormu jadi tidak aktif?" Qenna semakin larut dalam kegelisahan."Apa aku kerumah orang tuamu saja, Mas? Tidak! Aku akan mencari ke kantormu dulu. Mungkin sekretaris kamu tahu."
Qenna mengambil tas salempangnya. Ia bergegas ke kantor pria itu. Tiba di sana, wanita itu melihat sekretaris Rafa. Dengan langkah begitu lebar, ia melangkah menghampiri sekretaris itu.
"Maaf, Tuan, Mas Rafa ada di dalam?" tanya Qenna, jika ada ia akan langsung menemui pria itu.
"Tuan Rafa tidak masuk hari ini, ini kan hari pernikahannya? Bukankah dia sudah menceraikan, Mbak? Lantaran ..." Sekretaris Rafa menelusuri tubuh Qenna dengan tatapan hina. Menyunggingkan senyuman kecut pada Qenna yang masih belum mengerti kemana arah bicaranya sekretaris itu.
"Menikah?" lirih Qenna, matanya mulai berkaca-kaca."Lantaran, apa?" sambungnya kemudian. Hatinya merasa tidak tenang.
"Lantaran ternyata, Mbak itu sudah tidak perawan lagi. Heran lihat Tuan Rafa, kok bisa ya, tangkap kucing dalam karung. Sampai-sampai tidak tahu mana wanita baik-baik atau tidak," cemooh sekretaris itu. Semua yang berada di sana, menertawai Qenna, ada juga memandang jijik pada wanita itu.
"Jangan salah, kebanyakkan sekarang mengaku perawan, pada hal sudah enggak lagi." Kelakar lelaki berambut gimbal.
"Eh! jadi wanita itu jaga kehormatan dong, jangan asal di obral. Jangan menjatuhkan harga diri seorang wanita!" sembur wanita berbaju pink.
"Berwajah polos, ternyata kedok doang!"
"Pantas saja Tuan Rafa meninggalkan dia, dan mencari yang lebih baik darinya."
Qenna menggeleng tegas kepalanya, menutup rapat telinga yang mulai panas itu. Kaki jenjangnya berlari keluar dari kantor pria itu tanpa tau arah. Seiring cairan bening tumpah ruah membanjiri pipinya.
Sepanjang Qenna berlari, kini kakinya terhenti di suatu taman yang tidak jauh dari kantor Rafa. Qenna terhenyak duduk di kursi panjang. Dengan napas yaang tersenggal-senggal, serta air mata yang telah membasahi pipinya.
"Fitnah apa ini? Kenapa orang-orang menuduhku seperti itu? Apa yang kau bicarakan kepada orang-orang, Mas," ucap lirih Qenna, bagaimana bisa orang-orang beranggapan seburuk itu padanya. Menuduhnya tidak perawan. Rafa sendiri merasakannya, Qenna menjerit menahan sakit dari pusaka pria itu. Bagaimana bisa seorang suami melayangkan fitnah itu, menuduh istrinya sebelum menikah.
Dalam pikiran berkecamuk,"Dia bilang, Tuan Rafa menikah sekarang? Aku harus segera menghentikan pernikahan itu. Pernikahan ini tidak boleh terjadi!"
Qenna beranjak dari kursi panjang, kini tujuannya kerumah orang tua Rafa.
Sesampainya di sana, janur kuning memang terlihat di depan rumah Rafa, bertulisan nama pria itu dan seorang wanita bernama Sisil.
"Ini tidak mungkin! tega kamu, Mas."
Qenna terpaku. Ia tidak percaya dengan apa yang ada di depan matanya. d**a yang bergemuruh hebat, Qenna menguatkan diri untuk masuk melihat mempelainya.
Semua benar, tidak ada yang keliru. Bahkan pria itu tersenyum merekah menyapa tamu tanpa merasa bersalah melakukan pernikahan ini.
Qenna yang berdiri di ambang pintu di lihat oleh Mama Rafa."Untuk apa wanita itu kemari?! Dasar tidak tahu diri!"
Wanita paruh baya itu menghampiri Qenna dengan wajah kesal.
"Sini!" tangan Qenna di tarik paksa oleh Mama Jamilah, mamanya Rafa."Ngapain kamu kemari, ha! Jangan lagi menyentuh hidup anakku. Dasar tidak tahu diri!"
"Mama, salah aku apa, Ma? Kenapa Mama biarkan Mas Rafa menikah lagi? Aku masih istrinya," Qenna meluapkan hatinya yang tersayat itu.
"Kamu tidak pantas berdampingan dengan Rafa. Hidupmu tidak jelas! Dari awal aku memang tidak menyetujui hubungan kalian. Inilah akibatnya, bagimu yang mengharapkan harta anakku. Kamu pikir akan bisa menjadi ratu di sini. Setelah melewati satu malam!" wanita paruh baya itu menyunggingkan senyuman."Sana pergi!!" Mama Jamilah, mendorong Qenna. Wanita itu terjatuh ke tanah."Satpam! Bawa dia jauh-jauh dari sini!"
"Ma, tolong hentikan semua ini! Aku ini istrinya Mas, Rafa," Qenna memegangi kaki Mama Jamilah.
"Kamu tunggu saja surat cerai kalian dari pengadilan. Rafa akan mengurus secepatnya. Satpam, bawa dia!"
Seorang satpam bergegas, menghampiri Qenna, menarik wanita dari hadapan Mama Jamilah. Dengan kaki yang terseret, Qenna menjauh dari sana.
Di pinggir jalan, Qenna di biarkan oleh satpam. Wanita itu terus meratapi begitu pahitnya rumah tangga yang baru ia bina. Begitu tega, pria yang selama ini menjanjikan kebahagiaan untuknya, malah membuangnya seperti sampah.
"Tega kamu, Mas Rafa! Salah aku apa?" Qenna tersandar di tembok pagar rumah orang tua Rafa.
Ternyata pria itu hanya menikmati tubuhnya. Lalu menebar fitnah yang tidak-tidak. Begitu sadisnya hinaan yang ia terima.
"Kamu hanya pria pecundang! Pengecut!!" jerit Qenna.
***
Malam hari Qenna hanya terduduk di depan jendela. Memegangi kedua lututnya. Sorotan mata kosong, serta air mata terus berhamburan. Tidak menyangka, dia akan menerima nasib seperti ini. Sedari kecil, di tinggal oleh orang tua. Setelah dewasa rumah tangganya hanya terhitung sehari.
"Kalau memang kamu tidak mencintaiku, kenapa kau mengajakku menikah Mas, aku akan terima jika kamu memutuskan aku, dari pada kamu menfitnahku seperti ini!"
Kamar yang begitu berantakkan, foto pernikahan bertebaran di bawah dalam bentuk yang tak utuh lagi, Qenna tidak memperdulikan semua itu.
Malam bahagia yang begitu singkat itu, terus membayangi Qenna yang kini berganti dengan luka kepedihan yang mendalam.
Bersambung.