"Apa?"
Nana menatap lekat wajah Lita, istri Prana, bosnya.
"Aku serius, Nana. Kamu pikirkan saja dulu. Bayarannya bisa untuk biaya pendidikan adik-adik kamu." Lita meyakinkan Nana kalau permintaan yang diucapkan serius.
"Aduh. Bisa dijelaskan pernikahan seperti apa ini, Bu." Nana takut salah tangkap apa yang diinginkan Lita, istri bosnya, terhadapnya.
Lita menjelaskan tentang permintaannya kepada Nana.
"Pernikahan kalian hanya status di hadapan ibu Prana, mertuaku. Jadi tidak ada hak dan kewajiban suami istri di antara kamu dan Mas Prana."
"Jadi tujuan pernikahan ini apa, Bu? Yang saya tahu, kalau pria menikah lagi bisa karena cintanya terbagi, bisa karena ingin memiliki keturunan."
"Kami berdua tidak ingin memiliki anak. Sedang ibu Prana ingin memiliki cucu."
Jawaban Lita mengejutkan dan membuat Nana bertambah bingung.
"Aduh. Saya semakin bingung, Bu." Nana menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Gerakan itu dilakukan tanpa ia sadari.
"Dengarkan penjelasan saya. Jangan dipotong dulu."
"Baik, Bu."
"Begini. Saya dan Mas Prana sejak awal menjalin hubungan, lalu menikah, sudah sepakat untuk tidak memiliki anak. Kami tumbuh besar sebagai anak dari keluarga berantakan. Kami tidak ingin anak kami menjadi seperti kami."
Lita menatap wajah Nana. Nana juga tengah menatap Lita, menyimak apa yang diucapkan Lita.
"Ibu Mas Prana sangat ingin memiliki cucu. Beliau mendesak kami untuk merubah keputusan, kalau tidak, ibu Mas Prana akan memaksa Mas Prana menikah lagi dengan wanita pilihannya."
"Kalau begitu berarti sudah ada calon istri untuk bapak, Bu."
"Wanita mana yang mau dimadu, Nana. Saya tidak mau dimadu. Saya tidak ingin melepas Mas Prana. Saya juga tidak ingin memiliki anak."
"Lalu kenapa Ibu meminta saya menikah dengan bapak? Artinya saya jadi madu Ibu."
"Ini tentu saja berbeda, Nana. Kalau Mas Prana menikah dengan pilihan ibunya, wanita itu pasti akan berusaha menguasai segalanya. Dia akan mempergunakan anaknya sebagai senjata. Sedang kamu, saya percaya kalau kamu akan mengikuti mau saya. Kamu tidak akan mengkhianati saya."
"Saya rasa solusinya bukan itu, Bu. Maaf ya, Bu. Masalah ini sederhana. Menurut saya bapak dan ibu punya anak saja, jadi masalah ini selesai."
"Kami tidak ingin punya anak, Nana. Tadi saya sudah menjelaskan alasannya."
"Bagaimana masa depan anak Ibu dan bapak, ya tergantung ibu dan bapak."
"Keputusan saya sudah bulat, Nana. Kamu pikirkan dulu tawaran saya dalam dua hari ini. Kamu harus memberi saya jawaban sebelum saya kembali ke Jakarta."
"Saya ...."
"Kamu tidak akan rugi menerima tawaran saya. Pikirkan saja dulu. Sekarang, silakan kamu kembali bekerja."
"Baik, Bu."
Nana bangkit dari duduk, ia melangkah ke luar dari kamar bosnya itu dengan perasaan bingung.
'Yang aku tahu, salah satu tujuan orang menikah, karena ingin memiliki keturunan. Lah ini, Pak Prana dan Bu Lita malah tidak ingin punya anak. Alasannya takut anaknya menderita seperti mereka. Kalau takut anak menderita jadilah orang tua yang baik. Berikan cinta, perhatian, dan kasih sayang yang anak butuhkan. Huh! Apa pemikiran ku yang terlalu sederhana. Atau Bu Lita saja yang membuat masalah ringan jadi berat.'
Nana masuk ke dalam ruangan tempatnya bekerja. Yang jadi bahan pikirannya bukan tawaran Lita, tapi alasan Lita yang tidak mau punya anak.
"Na!"
Nana terjangkit kaget, karena tangannya dipukul dengan gulungan kertas.
"Eh!"
"Kok bengong? Ada apa? Dikasih bonus Bu Lita ya? Atau dikasih ceramah?" Tanya Dwi teman satu ruangan dengannya.
"Dikasih ceramah, Mbak." Nana tertawa pelan.
*
Dua hari sebelumnya.
Nana menatap jam di pergelangan tangannya. Jam di sana menunjukan pukul 07.55.
Artinya, sepuluh menit lagi, gerbang pabrik rotan tempatnya bekerja akan segera ditutup. Jam kerja dimulai pukul delapan pagi, tapi ada lima menit untuk toleransi.
Nana berlari kecil, ia tidak ingin bolos kerja. Bolos satu hari, artinya ia sudah kehilangan satu hari gajinya, plus bonus mingguan tanpa bolos yang nilainya sama dengan gaji satu hari.
Gajinya memang dihitung harian, dibayarkan setiap akhir pekan. Kalau full seminggu bekerja, dapat bonus.
Nana tiba di depan gerbang pabrik, yang sudah hampir dua tahun menjadi tempatnya bekerja. Tepatnya sejak ia lulus SMA. Nafasnya tersengal. Handi, Satpam pabrik tertawa melihatnya.
"Habis dikejar hantu, Na?"
"Takut telat, Paman."
"Bangun kesiangan ya?"
"Tadi malam, ikut shift malam."
"Rajin sekali kamu kerja, siang malam kerja."
"Kalau tidak masuk, dicari Bos. Katanya, dari pada keluyuran malam, menghabiskan uang, lebih baik kerja."
"Cepat kaya, kamu, Na."
"Aamiin. Aku masuk dulu, Paman."
"Iya, selamat bekerja, Na."
"Iya, Paman juga. Selamat bertugas."
Nana masuk ke dalam ruangan kantor. Tempat Bos besar, dan para pekerja bagian administrasi berkumpul. Pranaditho, Bos besar yang biasa dipanggil Bos Prana, seorang pria berdarah Jawa-Taiwan, ia sudah duduk di kursi kebesarannya.
"Telat, Na?"
"Kalau telat, tidak bisa masuk gerbang, Bos," sahut Nana dengan santai pada Prana. Usia Bos besarnya itu tiga puluh lima tahun. Orangnya santai, dan sering bercanda dengan siapa saja, termasuk dengan semua karyawan pabrik. Namun kalau dia ada kesalahan yang membuatnya marah, tidak akan ada yang berani membantah apa lagi melawan di depan wajahnya. Tapi yang Nana suka, bosnya kalau marah sebentar saja, setelah itu seperti debu tertiup angin, tak ada bekasnya. Padahal di dalam hati yang dimarahi masih terasa sakitnya.
"Buatkan aku minum, dan sarapan dulu."
"Siap, Bos!"
Nana beranjak menuju dapur yang berada di samping kantor. Bos besar memang tinggal di bangunan yang sama dengan kantor. Kamarnya ada di sebelah ruangan kantor. Ia tinggal di pabrik sendirian, karena istrinya tidak mau ikut tinggal di pabrik yang berada di kota kecil. Selain itu, istrinya tidak mau melepas pekerjaannya. Konon mereka sudah tujuh tahun menikah, tapi belum memiliki keturunan. Pabrik ini warisan dari ayah Prana yang orang Taiwan. Ayah Prana bercerai dengan ibunya sejak Prana berusia lima tahun. Prana ikut ibunya yang menikah lagi. Sedang ayahnya, sampai akhir hayat tak menikah lagi.
Nana merebus air untuk menyeduh teh bagi bosnya, karena bosnya tidak mau minum air dari pemanas. Menunggu air mendidih, Nana membuat roti bakar, dengan telur dadar di tengah dua lembar roti. Tidak lupa diberi irisan tomat, dan lembaran daun selada.
Si Bos tidak terbiasa sarapan nasi. Hanya roti sarapannya setiap pagi. Nana terpaksa harus mencari tahu, berbagai menu olahan roti.
Namanya memang terdaftar sebagai bagian administrasi di pabrik. Tapi, tugasnya merangkap sebagai koki. Nana bertugas di dapur sejak karyawan administrasi yang merangkap koki berhenti bekerja lima bulan lalu, karena melahirkan. Tadinya Nana hanya buruh kasar biasa, sebelum ditarik ke kantor, karena dianggap cepat tanggap, rajin, dan cekatan. Sebelum koki lama berhenti, Si Bos meminta karyawan itu mengajari Nana bekerja di dapurnya. Nana tak bisa menolak, gajinya harian, dengan kerja serabutan. Tapi, akhirnya Nana menikmati juga, menjadi koki bagi Bosnya.
Roti bakar sudah siap. Teh panas yang mengepulkan asap juga sudah siap. Nana menghidangkan di atas meja kerja Prana.
"Selamat sarapan, Bos," ucap Nana, sebelum berlalu dari hadapan Prana.
Ruangan utama kantor, ukurannya 8x8 meter, ruangan itu sekaligus ruang tamu, juga ruang kerja bagi tiga pegawai lainnya. Ada Pak Bekti, usianya lima puluhan, beliau pengawas umum, yang mengurusi berbagai urusan jalannya mesin-mesin di pabrik. Ada Wiwi, yang mengurusi keuangan perusahaan. Ada Titi, yang mengurusi keluar masuk barang. Ruangan itu sangat jauh dari kesan mewah. Pegawai di kantor itu berpakaian biasa, layaknya pegawai pabrik lainnya. Prana saja, hanya mengenakan kaos oblong putih, dan celana jeans setiap hari. Tidak ada istilah seragam di pabrik mereka.
"Na, tunggu!"
"Ya, Bos." Nana berbalik dan kembali menghadap sang bos.
"Lusa istri saya datang. Besok bersihkan ruangan tempat tinggal saya, Na."
"Baik, Bos. Adalagi, Bos?"
"Selama istri saya di sini, kamu khusus temani dia saja. Pekerjaan di pabrik serahkan pada yang lain saja."
"Baik, Bos. Ada lagi?"
"Tidak!"
"Saya permisi, Bos."
"Iya."
Nana meninggalkan hadapan Prana. Setiap istri bos datang, memang Nana yang selalu diminta menemani kemana-mana.
*