Keputusan Berat

1478 Kata
“Sa—” “Apa yang ingin kamu jelaskan? Kamu ingin menyangkal, hah?” teriak Naomi untuk pertama kali di depan suaminya. Hati hancur lebur membuat amarahnya tidak dapat ditahan lagi. Untuk sejenak, dia tidak berpikir dengan logika, melainkan perasaan yang bertindak. “Aku benar-benar kecewa sama kamu, Mas. Kukorbankan semuanya demimu, tapi … diam-diam kamu tega selingkuh dengan temanku sendiri. Apa kurangnya akunya?” Naomi terus meraung, meluapkan amarahnya. “Sa—” “Aku benci sama kamu, Mas. Aku jijik sama kamu. Kamu sama sekali gak bermoral. Tega kamu bermain sejauh ini.” Naomi terus mengeluarkan unek-unek yang ditahan tanpa sedikitpun membiarkan Sakhi berbicara. Kini tangannya mendorong kuat d**a suaminya, melangkah dengan cepat keluar dari kamar dalam tangis yang membanjiri pipinya. “Nao, berhenti!” Sakhi mengejarnya, tidak ada niatan untuk Naomi berhenti sampai tangannya ditarik paksa oleh Sakhi. “Lepaskan aku! Aku jijik sama kamu. Jangan pernah menyentuhku lagi! Gak sudi tangan kotormu menyentuhku,” teriak Naomi membuat Sakhi meradang dan spontan menampar pipi istrinya. “Sakhi, apa yang terjadi?” teriak Bu Rosa kaget melihat putranya menampar perempuan, terlebih itu Naomi. Meskipun dia cekcok dengan mantunya, tapi dia tidak suka melihat kekerasan. “A—aku hilang kontrol, Bu,” jawab Sakhi terbata-bata. Dia hendak meraih sang istri, tapi malah sang empunya menepis. “Ada apa? Kenapa kalian bertengkar?” tanya Bu Rosa penasaran. “Mas Sakhi selingkuh, Bu,” jawab Naomi dengan lantang membuat Sakhi memejamkan matanya. Mampus, ketahuan. Kenapa bisa sampai kecolongan? “Selingkuh? Apa maksudmu?” Bu Rosa terperanjat. Menatap lekat manik mata Naomi yang masih dibanjiri dengan air mata, lalu menoleh ke arah anaknya dengan tatapan butuh penjelasan. “Mas Sakhi selingkuh sama Dea, Bu. Nao melihat dengan jelas chat mesra mereka, bahkan video vulgar.” Naomi menatap suaminya dengan tatapan kecewa—tak berkedip dan sangat perih. “Sakhi?” Bu Rosa menatap putranya yang membisu. “Kita bicarakan masalah ini. Ikut Ibu!” Bu Rosa melangkah menuju ruang keluarga yang disusul oleh Sakhi dan Naomi. Sakhi berusaha mendekati tapi Naomi malah menjaga jarak, termasuk ketika mereka duduk di sofa sekalipun. “Jelaskan pada Ibu! Apa benar yang dikatakan Naomi?” Sakhi terdiam cukup lama, setelah itu barulah dia menganggukkan kepala. “Kenapa? Apa alasannya?” Tidak ada jawaban, karena Sakhi tidak tahu mau menjelaskan seperti apa karena memang perselingkuhan yang terjadi bukan dengan alasan, melainkan karena sering bersama. “Sakhi!” “Maafkan, Sakhi, Bu. Ini terjadi begitu saja.” Mendengar jawaban lirih dari Sakhi membuat Naomi memejamkan mata. Air mata kembali jatuh di pipinya. “Sejak kapan? Dan sejauh mana hubungan kalian?” “Satu bulan yang lalu … ka—kami sudah ketingkat yang lebih serius.” Lagi Naomi memejamkan matanya. Telinga panas mendengar jawaban yang seharusnya tidak dia dengarkan. Sembilu di hatinya sudah tidak dapat dilukiskan lagi. “Astagfirullah.” Bu Rosa mengusap dadanya. “Ma—maafkan Sakhi, Bu,” ucap Sakhi berlutut di depan ibunya, bukan pada perempuan yang telah dia sakiti. Lantas Naomi tidak sanggup lagi berada di sana dan akhirnya memilih pergi tapi malah menghentikan langkah kakinya saat mendengar keputusan besar yang membuat hatinya meledak. “Perselingkuhan terjadi banyak faktor dan salah satunya istri yang tidak becus mengurus suaminya. Andai ada anak, tidak mungkin Sakhi akan bermain api. Karena semua ini sudah terjadi, sebaiknya kamu nikahkan saja Dea.” “Bu.” Sakhi membelalak, tidak menyangka jika ibunya akan berada di pihaknya—mendukung perbuatan serong yang dia lakukan. “Jadi ini salah Nao, Bu?” tanya Naomi menatap nanar. “Hal yang wajah jika laki-laki itu menginginkan sesuatu yang berbeda. Ibu akui Dea lebih menarik daripada kamu, pintar mengurus Sakhi, bahkan dia bisa memberikan anak. Andai saja kamu bisa memberi anak, kesempurnaan itu milikmu. Pasti Sakhi tidak akan kecantol dengan perempuan lain karena dia akan mengingat anaknya di rumah. Buru-buru ingin pulang untuk menemui anak,” jawab Bu Rosa dengan lantang membuat Naomi menganga, lalu tersenyum sumbang seraya mengangguk kepala. “Iya. Istri selalu salah dan suami selalu benar. Dia yang berzina, Nao yang salah. Gak ada anak, juga Nao yang salah. Seakan-akan Nao ini Tuhan yang bisa menciptakan anak dengan mudah,” teriak Naomi membuat mata Sakhi merah dan menamparnya dengan karas. “Kamu boleh meninggikan suaramu di depanku, Nao! Tapi tidak dengan Ibuku,” kecam Sakhi menatap tajam. Naomi memegang pipinya yang sudah membiru. Dua kali tamparan membuat sudut bibirnya tergigit hingga berdarah. Tapi dia tidak menangis lagi, malah tertawa sumbang. “Mas, memang pantas membela Ibu, sama seperti Ibu membela, Mas. Nao salut sama kalian berdua. Sama-sama kompak menghalalkan yang haram demi yang haram.” “Naomi!” teriak Sakhi. “Apa? Mau menamparku lagi? Silahkan! Bila perlu lebih parah, biar aku gampang menceraikanmu dengan kasus KDRT,” pekik Naomi menyodorkan pipinya untuk ditampar lagi. Sakhi mengepal tangannya. Urat leher sudah menonjol seiring dengan amarah yang membludak. Kini dia menarik tangan Naomi menyeretnya ke dalam kamar. Tidak peduli Naomi berteriak maupun meronta-ronta, tetap dia menyeretnya lalu mendorongnya ke kamar dan mengunci dari luar. “Mas, bukakan pintunya!” teriak Naomi menggedor-gedor pintu. “Jangan harap!” ketus Sakhi beranjak pergi—menemui ibunya yang masih duduk di sofa. “Apa langkah yang akan kamu ambil, Sakhi? Jujur, Ibu kecewa. Akan lebih baik jika kamu langsung melamar Dea daripada harus mengawali dengan perzinahan seperti ini.” Di depan Naomi, jelas Bu Rosa menunjukkan keberpihakan pada Sakhi, tapi di belakang, Bu Rosa malah menyudutkan putranya atas dasar kekecewaan karena Sakhi tega bertindak lebih jauh di luar sana. Terlebih Dea adalah sahabat Naomi, sekaligus asisten Sakhi juga di kantor. “Sakhi pusing, Bu.” Sakhi mengusap gusar wajahnya. “Awalnya Sakhi sama sekali tidak ingin semua ini terjadi. Tapi Dea selalu menggodaku sampai-sampai membuatku hilang kontrol dan melakukan perbuatan sejauh itu.” Sakhi masih ingat saat awal dia terjerat dengan Dea, itu awalnya saat mengantar Dea ke apartemen. Diajak masuk dan minum sebagai perayaan atas keberhasilannya, tiba-tiba tatapan semakin intens hingga keduanya hilang kendali. Semula kaget dengan perbuatan yang dilakukan, lama kelamaan semakin asik dan ketagihan, hingga mereka selalu mengulangi di saat rindu itu datang dan Sakhi mulai tidak tertarik lagi dengan pelayanan istrinya yang terlihat biasa saja. Bu Rosa menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan-lahan. “Menikahlah dengan Dea, Sakhi!” “Bu.” Sakhi menatap ibunya dengan gelengan kepala kecil. “Kamu sudah berbuat salah. Lagipula Naomi juga tidak bisa memberikan anak. Akan lebih baik jika kamu sama Dea yang memberikan Ibu cucu.” “Tapi bagaimana dengan Nao, Bu?” Sakhi masih belum bisa melepaskan Naomi begitu saja karena menganggap Dea hanya selingannya saja di saat rasa bosan dan kesepian itu datang. “Kamu ini laki-laki, bisa poligami.” Bu Rosa memberikan usulan yang sangat simpel menurutnya. “Ibu, serius? Bagaimana kalau Nao menolak?” “Katakan pada dia, jika ingin mendapatkan surga, patuhi perintah suami dan harus ikhlas jika suami berpoligami!” “Baik. Akan Sakhi katakan sama Nao.” * Naomi berusaha untuk menenangkan dirinya, menganggap semuanya hanya mimpi buruk, tapi begitu pagi-pagi sekali dia malah mendapati permintaan suaminya yang membuat dia tersadar, bahwa kejadian semalam bukanlah mimpi, tapi realita yang sengaja ditolak demi menyembuhkan luka hati. “Apa katamu? Poligami?” “Iya. Kamu juga gak bisa kasih anak untukku. Akan lebih baik kalau kamu legowo menerima istri baruku.” Jawaban yang terdengar santai itu membuat Naomi menganga. “Yang dikatakan Sakhi benar. Kamu harus tau diri dengan kondisimu saat ini. Terima saja di poligami!” seru Bu Rosa sangat kompak dengan anaknya. Lagi-lagi membuat Naomi menggeleng kepala, rasa sakit yang dialami membuatnya tidak sanggup untuk menopang dirinya, tapi dia malah tertawa sumbang. “Rencana yang hebat. Sengaja bermain api dulu, setelah ketahuan minta restu untuk poligami. Hebat, hebat, hebat, kalian hebat sekali.” Air mata jatuh, tapi tetap berusaha tertawa seraya bertepuk tangan. “Asal kamu tau, Mas! Lebih baik aku bercerai denganmu daripada poligami,” imbuh Naomi memberi penekanan. Padahal dari semalam sampai pagi, dia sudah melawan dengan sekuat tenaga gejolak hati dan logika atas kebenaran perselingkuhan Sakhi dengan Dea, hingga dia memilih bertahan dan memaafkan kesalahan suaminya yang mungkin saja khilaf. Tapi, pagi ini malah disuguhkan berita yang membuat dia sama sekali tidak bisa bernegosiasi untuk damai. “Aku tetap gak akan pernah menceraikanmu,” tegas Sakhi. “Aku yang akan menggugat,” balas Naomi tidak kalah tegasnya. “Seorang istri tidak boleh menceraikan suaminya, arasy akan goncang. Apa kamu lupa dengan apa yang dikatakan ustadz, Naomi? Surga juga untukmu jika kamu patuh pada suami dan mengizinkan suami nikah lagi,” ujar Bu Rosa membuat Naomi terenyuh. Naomi, seorang muallaf yang fakir ilmu malah dihadapkan dengan kenyataan yang ada. Ucapan Bu Rosa bagaikan tamparan keras untuk dirinya. Antara surga atau neraka, antara kebahagiaan atau memelihara luka yang tidak tampak kasat mata. Ya Allah, apa yang harusku lakukan? Aku menginginkan surga-Mu, tapi kenapa harus sesakit ini? Kenapa harus sesulit ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN