Lima

1456 Kata
Setengah jam sebelum makan siang, rapat tersebut usai. Dua klien tersebut nampak senang, sehingga hampir semua anggota tim rahasia negara merasa bahwa tema acara mereka telah ditentukan dengan matang. Hampir seluruh pasang mata dari divisi wedding curi-curi pandang ke arah lift, di mana Fian dan Dini mengantarkan dua klien penting mereka pergi. Ketiga anggota tim sudah beranjak dari kursi, hendak bertanya hasil dari pertemuan pertama namun langsung diurungkan. Bagaimana tidak, tepat setelah lift tertutup bahu keduanya langsung merosot lemas. Fian bahkan berjongkok sembari memegangi kepala, dan Dini yang memijat kening. “Nggak berjalan lancar ya?” tanya Erwin, ketua tim satu yang mejanya paling dekat dengan lift berbisik pelan. Membuat dua rekannya itu menoleh. “Dua hari, gue sama Dini butuh dua hari untuk siapin ide lagi sebelum rapat lagi sama mereka.” Ucapan Fian itu membuat seluruh anggota tim rahasia negara, segera berkumpul di meja Erwin. Siap mendengarkan hasil dari pertemuan barusan. “Mereka nggak ada gambaran apapun untuk pernikahan nanti, jadi kita lebih ke arah mengumpulkan suka dan tidak suka mereka sih.” Fian menjelaskan lebih terperinci, lantas melirik pada Dini yang membaca catatan hasil pertemuan tadi. “Kasih tau Din.” “Hasilnya, mereka berdua punya kesukaan yang saling berkebalikan satu sama lain.” Dini menggaruk-garuk tengkuknya yang tak merasa gatal. “Mas Mario suka acara modern, sementara Mbak Tamara suka acara adat. Mas Mario nggak masalah kalau ada lagu koplo, Mbak Tamara lebih suka lagu klasik. Mas Mario suka makanan tradisional, sementara Mbak Tamara sukanya makanan khas negara lain.” “Most important things, Tamara alergi bunga.” “Sumpah?” Lia membulatkan matanya tak percaya, jelas terkejut akan pernyataan barusan. “Berarti kita pakai vendor bunga palsu aja kali ya.” “Mas Mario nggak setuju, kalau memang nggak seharusnya ada di sana ya seharusnya nggak ada. Dia udah wanti-wanti undangan harus ditulis kalau tamu nggak boleh bawa bunga apapun ke acara, bahkan kalau itu cuman hiasan di kado. Nggak mau ambil resiko.” “Gimana dong, memang kita pernah nanganin klien yang nggak mau ada bunga sama sekali?” Cintya yang biasa bertanggung jawab untuk rancangan dekor mulai dibuat resah akan informasi tersebut. “Beda ya klien khusus, tingkat kesulitannya juga khusus.” “Sebenarnya di awal-awal Sweet Moments kita pernah ngadain pesta tanpa bunga sama sekali kok.” Panji, salah satu orang yang telah bergabung sejak awal berdiri Sweet Moments mulai angkat bicara. “Nikahan Mbak Yunita ya?” sahut Lia teringat salah satu kliennya di masa lalu, ketika Sweet Moments hanya terdiri dari satu tim. “Jaman kita masih satu tim sama Mas Hendra sama Mas Ardi? Sempat kerja sama dengan Hello,Wedding! itu?” “Oh iya, kita pernah buat.” Erwin mengangguk kecil sebagai pembenaran kalimat kedua rekannya barusan. “Terus data-datanya di mana Mas, Mbak? Boleh liat nggak buat kita jadiin referensi,” pinta Dini mulai bersemangat ketika menyadari ada titik terang dari masalah yang sedang mereka hadapi. Ketiga ketua tim itu saling berpandangan, nampak ragu menyetujui hal tersebut. “Coba aja deh di cek di ruang arsip, cuman kita nggak bisa jamin.” Lia berucap ragu-ragu. “Kita juga nggak tau datanya ada di sana atau nggak.” “Soalnya itu projek terakhir kita di kantor lama sebelum kebanjiran. Jadi nggak tau berkas itu termasuk yang selamat atau nggak.” *** Ardi menghela napas berat ketika dirinya tiba di kantor. Seharusnya ia langsung pulang dari pertemuan bisnis dengan beberapa vendor besar yang bisa ia ajak bekerja sama, sayangnya ia meninggalkan ponsel di dalam ruangan. Sehingga seharian ini ia hanya bisa dihubungi lewat Seli itupun hanya mereka yang punya kepentingan bisnis. Ia benar-benar tidak tau hasil dari pertemuan pertama Mario dan Tamara dengan tim yang ia bentuk. Itulah mengapa, ia menyempatkan diri kembali ke kantor meski waktu sudah menunjukkan larut malam. Ketika melewati kantor utama, Ardi hanya bisa terkekeh pelan melihat lampu di beberapa tim masih menyala. Mayoritas dari divisi musik, sebuah pemandangan yang sangat biasa. Ia mengingatkan diri sendiri untuk memesan makanan sebelum pulang untuk para karyawannya yang berjuang keras tersebut. Langkahnya kemudian terhenti, ketika melewati ruang arsip yang terbuka lebar. Titik fokusnya bukan kepada ruang arsip yang masih terbuka lebar, namun kepada sosok perempuan yang duduk di ambang pintu dengan beberapa tumpukan kardus berada di sebelahnya. Kakinya telanjang bebas, dan duduk begitu saja di lantai tanpa alas apapun. Tatapannya terlalu fokus menyisiri tiap lembar halaman ordner, memindai sesuatu. “Kamu nggak kedinginan duduk di lantai gitu?” Pertanyaan Ardi jelas membuat Dini tersentak, sang puan buru-buru bangkit dari duduk lantas menggeleng kecil. “Nggak dingin kok pak, daripada saya berdiri terus sambil buka-buka arsip. Mendingan saya duduk di lantai aja.” “Belum pulang?” Ardi mengarahkan pandangannya ke kantor utama yang dapat ia lihat dari tempatnya berdiri. Mendapati hampir seluruh lampu di meja divisi wedding telah padam. “Bukannya mereka yang masuk ke tim khusus nggak punya proyek yang sedang dikerjakan ya?” “Betul pak, saya memang sedang tidak ada proyek.” “Berarti yang sedang kamu kerjakan untuk pernikahan adik saya kan?” Dini mengangguk membenarkan. “Memangnya sebanyak apa yang mereka minta di pertemuan pertama, sampai kamu harus lembur kayak gini?” “Justru karena mereka nggak banyak permintaan, Pak.” Kening Ardi tanpa sadar berkerut mendengar hal tersebut. “Mereka sama sekali tidak punya gambaran acaranya mau seperti apa. Cuman, mereka mau kalau acara itu harus menggambarkan keduanya.” “Hal apa dari diri mereka yang buat kamu harus sampai lembur di ruang arsip ?” Ucapan tersebut ditanyakan dengan tenang, namun posisi sang pria yang jelas sangat tinggi dari Dini entah kenapa membuatnya merinding. Seolah kinerjanya sedang dinilai, walau niat Ardi mungkin tidak seperti itu. “Mereka nggak mau sama sekali ada bunga di acara pernikahan. Jadi saya lagi cari referensi acara seperti itu, Pak. Katanya kita pernah ngadain konsep seperti itu sebelum pindah ke kantor ini.” “Pas saya sama Hendra masih di tim perencanaan ya?” Dini mengangguk sebagai jawaban. Ardi menatap kardus – kardus tersebut seraya mengingat-ingat acara yang dimaksud sang puan. “Itu projek terakhir di kantor lama kan?” “Iya, betul mas.” “Loh berkas itu kan kena banjir.” Ardi teringat kondisi kantornya saat itu. Acara yang dimaksud Dini benar-benar acara terakhir yang dikelola timnya sebelum kantor terkena banjir. Banjir yang melanda secara tiba-tiba, membuat mereka tidak bisa menyelamatkan beberapa arsip kantor. Terutama acara yang baru saja mereka rampungkan. “Nggak semua sih mas, ada beberapa yang bisa saya temuin.” Tangan Dini mengangkat beberapa lembar kertas yang sedikit berwarna kecoklatan usang di beberapa sisi. Menandakan bahwa kertas tersebut sudah sempat terkena banjir namun masih bisa diselamatkan. “Makanya saya masih nyari-nyari ini.” “Oke, saya tinggal ke ruangan ya. Jangan pulang terlalu larut, kamu pulang sendiri?” “Nggak kok Pak, nanti saya bareng sama Mbak Rika pulangnya,” jelas Dini menatap Rika yang masih terlihat sangat sibuk di mejanya. Ardi mengangguk mengerti lantas pamit menuju ruangannya. “Dini.” Panggilan itu sukses membuat Dini melongokkan kepalanya ke luar, menatap Ardi dengan pandangan bertanya. “Mau saya kasih tau apa kesukaan mereka berdua?” *** “Dini ayo ambil bubur ayamnya!” Tepat ketika Dini menginjakkan kaki di kantor keesokan paginya, ia langsung disambut aura bahagia dari seluruh orang di ruangannya. Alasannya tak lain tak bukan, deretan paper bowl yang memenuhi meja panjang tengah ruangan. Meja yang menjadi pembatas antara divisi musik dan wedding. Bukan hanya paper bowl berisi bubur ayam, ada juga beberapa piring sate yang kerap menjadi teman untuk makan bubur. Mendadak ruangan menjadi pesta bubur ayam. “Ayo Din, ambil sogokan dari Pak Hendra sama Pak Ardi.” Fian berseru riang, laki-laki itu sudah menyantap bubur di mejanya sendiri. Wajahnya yang kemarin murung kini terlihat lebih ceria dan penuh semangat. “Sogokan?” “Iya, memang sih yang jalanin tim khusus. Cuman Pak Hendra sama Pak Ardi mau memastikan kalau seisi kantor nggak ada yang bocor soal pernikahan adik-adik mereka,” jelas Seli sembari mengoper bubur bagian Dini. “Kata mereka, ini baru sogokan pertama. Selama proyek kita bakal sering ditraktir.” “Pasti Pak Hendra yang mesenin, enak banget nih.” “Bukan, yang mesen Pak Ardi.” Anggi yang kebetulan ikut makan di sana, menyahut. “Nggak tau beliau tiba-tiba bilang udah mesen bubur ayam di depan gedung.” “Wah kalau gitu Dini beruntung banget dong.” Fian yang entah mengapa memilih melahap buburnya di divisi musik mendadak menyahut. “Bubur itu kan kesukaan dia.” Alih-alih segera melahap bubur yang baru saja di dapatnya, Dini memilih melipir ke mana Fian berada. Sadar bahwa dirinya dihampiri, Fian yang semula asyik bercerita dengan anak-anak divisi musik langsung diam. “Kenapa?” “Gue udah tau kita ngajuin rancangan apa.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN