Bab 5

1511 Kata
Hampir seharian Desha menemani bunda. Ikut merawat ayah, menyuapinya dan mengecek suhu tubuh, detak nadi dan tensinya, lalu memberinya obat. "Ayah sudah tertidur kembali Bun." Ujarnya saat masuk dapur, terlihat bunda sedang memasak. "Terimakasih, sudah membantu bunda." Katanya, sambil menjerang air untuk membuat sup ayam. "Tidak apa-apa Bun, selagi aku bisa bantu bunda." Tangannya mengambil wortel lalu mengupasnya. "Tadi Margo kesini, bilang mau ke Rumah Sakit." "Yah, bunda aku juga lupa bilang kalau Morgan pun tadi buru-buru ke Rumah Sakit, sepertinya ada panggilan darurat." "Sebenernya hari ini mereka ambil libur, tapi begitulah kalau bekerja di Rumah Sakit, tidak bisa menghindar bila ada panggilan darurat." Desha tersenyum. "Bila sudah punya klinik, mungkin kak Margo dan Morgan akan lebih fokus ke kliniknya." "Morgan memang memiliki modal hanya kesibukannya yang membuat rencana itu terus tertunda." "Sepertinya Morgan bukan hanya jadi dokter saja, tetapi masih mempunyai bisnis lain, ya Bun?" "Wah, anak itu gak pernah menyia-nyiakan kesempatan kalau soal bisnis, dari pemasok alat-alat medis sampai perusahaan penyalur sayuran organik dari petani disini ke Super Market, Rumah Sakit dan pasar-pasar tradisional." Desha agak tertegun, bagaimana Morgan bisa menangani usahanya itu sendirian? "Kamu gak usah kaget, Morgan memakai orang-orang kepercayaannya, tinggal memantau dari laptopnya saja, hanya sekali-kali ditengoknya bila ada waktu luang. Sejauh ini lancar dan tidak terlalu banyak kendala." Sambung bunda, melihat ekspresi wajah Desha dan bisa membacanya. Jadi bunda memberi penjelasan tanpa perlu ditanya. "Kak Margo gimana Bun?" "Sepertinya Margo tidak punya otak bisnis seperti Morgan, beberapa kali Morgan mengajaknya untuk bergabung dalam usahanya tapi Margo bilang tidak sanggup." Desha mencuci sayuran yang sudah di potong-potong itu. "Sayurannya sudah bisa di masukin belum Bun?" Tanyanya pada bunda yang sedang mengulek kentang yang sudah matang, sepertinya akan membuat perkedel. "Lihat aja dulu, apakah dagingnya sudah empuk atau belum?" Desha mengambil daging yang sudah di potong dadu dari dalam panci, memeriksanya. "Sudah empuk Bun, aku taruh kentang sama wortelnya aja dulu ya?" Bunda mengangguk menyetujuinya. Ia mengingat Danisha dan Marline yang sedang bermain dari tadi. "Des mau melihat dulu anak-anak Bun." Ijinnya pada bunda. "Sepertinya mereka sangat cocok bermainnya." "Ia Bun, usianya tidak begitu jauh juga, Untungnya Danisha pun sangat suka bermain bersama dari pada sendirian." Ya ampun, pantesan mereka sangat anteng sekali. Meski ruang beranda itu jadi berantakan oleh segala macam mainan, tapi Desha melihat keduanya telah berhasil menyulap rumah Barbie besar itu jadi rumah yang sangat cantik, lengkap dengan isinya. "Bagus nggak Bun?" Lirik Danisha saat tahu kehadiran Mommynya. "Wow! Cantik sekali rumah Barbienya." Seru Desha kagum yang tidak nampak di buat-buat. "Kata Alin, yang membelikan rumah Barbienya om Morgan loh Mom dan hampir semua mainan ini om Morgan pula yang membelikannya." Jelas Danisha dengan wajah sumringah, Marline hanya terlihat senyum-senyum aja. "Pasti ada yang dibeliin sama papa Margo juga dong." Tatapnya pada Marline. Gadis cilik itu menggelengkan kepalanya. "Papa Margo gak suka beliin Marline mainan," jawabnya tertunduk. Sebenarnya hati Desha agak sedih, kenapa Margo seolah tidak begitu menerima kehadiran anaknya itu? Apakah karena sejarahnya yang mengharuskan dia terpaksa mempertanggung jawabkan perbuatan yg sangat tidak diinginkannya itu? Ia membelai rambut Marline dengan sayang, "Marline juga boleh kok, panggil Mom seperti kakak Sha." Marline menatapnya, ada sekilas cahaya di sorot matanya. "Boleh Tante?" "Jangan panggil Tante lagi, Mom aja." "Kakak Sha tidak akan marah?" Tatapnya pada Danisha. "Tentu saja kakak Sha tidak akan marah, seneng punya adik sebaik kamu, tidak nakal dan sangat penurut." Jawab Danisha spontan dan tertawa, membuat wajah Marline semakin cerah. Desha sendiri saat pertama melihat Marline merasa sedikit heran, karena wajah anak itu terlihat murung dan sedikit pendiam. Tapi ia senang sekarang, wajah mungil itu telah menunjukan keceriaan sewajarnya seperti anak-anak lainnya. "Ayo lanjut mainnya dan jangan lupa beresin kalau sudah selesai ya." kedua anak itu mengangguk sambil bertukar senyum. Desha kembali ke dapur melanjutkan membantu Bunda. Tidak begitu lama Danisha berlari ke dapur. "Mom, itu Alin mimisan." Katanya penuh kekuatiran. Desha dan bunda jadi ikut cemas. "Biar aku lihat Bun." Desha segera berlari ke depan. Melihat Marline yang sedang terduduk diam dengan darah mengalir dari hidungnya. "Alin tetap duduk disini ya...jangan nyender atau tiduran." Baru saja tangannya bergerak untuk sedikit mencondongkan tubuh anak itu agak ke depan, untuk menghindari agar darah tidak masuk ke tenggorakkannya. Sebuah tangan menyentakkan tubuhnya hampir terjatuh kalau saja tangannya tak segera menahan tubuhnya. "Apa yang akan kamu lakukan? Anak ini sedang mimisan, kalau salah penanganannya bisa membahayakannya." Bentak Morgan kasar, yang secara tiba-tiba ada di tempat itu. Ia memposisikan tubuh Marline agak di condongkan. "Alin, seperti biasa harus seperti ini ya kalau lagi mimisan." Katanya dengan nada lembut. Lalu dengan sigap meninggalkan tempat itu dan kembali lagi dengan kotak P3K. Mengambil beberapa lembar kain kassa, menyusut darah yang terus keluar dari hidung anak itu. Desha yang terhenyak dengan sikap Morgan tadi, agak sakit hati. Tentu saja ia tahu bagaimana cara menangani anak yang sedang mimisan, tadi juga ia akan melakukan apa yang dilakukan Morgan barusan. Margo yang ada di belakangnya, sempat melihat perlakuan Morgan tadi pada Desha. Dengan lembut ia membantu Desha untuk berdiri. "Sebenarnya apa yang kamu lakukan tadi akan dilakukan Desha juga. "Tegur Margo pada adiknya. Morgan menatap keduanya dengan wajah masih tidak bersahabat. "Tahu apa dia, jelas-jelas tadi dia akan memangku Alin." "Untuk seorang dokter spesialis anak pasti dia tahu." timpal Margo agak kesal. Morgan menatapnya, terkejut. "Apakah hanya Margo yang boleh mengetahui profesimu?" Tanyanya tajam pada Desha. Desha sepertinya sudah merasa muak dengan sikap tengilnya Morgan, dengan tanpa menjawab ia meninggalkan tempat itu. Melewati tanah yang sedang dibangun, lalu sampai ke rumahnya sendiri. Dadanya yang sudah terasa sesak dari tadi, menjadikan air matanya tertumpah seketika. Mengapa Morgan sebegitu kasarnya? Desha termenung, duduk di kursi makan dan sesekali mengusap air matanya. Terdengar langkah seseorang, Desha mengira mungkin Danisha menyusulnya, dengan terburu-buru ia merapihkan wajahnya supaya jejak tangisnya tidak terlihat oleh anak itu. Berpura-pura membenahi meja makan meski sudah rapih. Ia menuju kompor, memasukan air ke ceret lalu menjerangnya di atas kompor, bermaksud membuat segelas kopi pahit supaya sedikitnya menghilangkan rasa pening di kepalanya. Ia dikagetkan dengan sebuah suara yang sangat berat. "Tolong buatkan aku juga segelas kopi." Secara otomatis ia melihat ke sumber suara itu, dilihatnya Morgan sedang bersandar di tiang pintu dengan kedua tangannya bersilang memeluk dadanya yang bidang. "Maaf, soal sikapku tadi, aku selalu kuatir berlebihan bila melihat Alin mimisan." Desha segera memutar kepalanya kembali, rasa mangkel di hatinya belum juga hilang dengan permintaan maaf dari Morgan, tapi ia juga tidak ingin terus memikirkan sikapnya tadi dengan kembali meluruhkan air matanya, sungguh rugi pikirnya. Mengambil dua gelas di rak, menaruh satu sendok kecil kopi bubuk di dalamnya. Tetap berdiri di depan kompor yang sedang menyala, menunggu air dalam ceret itu mendidih. Saat sudah menaruh air mendidih itu di gelas dan mematikan kompornya, tanpa diduga tubuhnya di kurung oleh kedua lengan Morgan yang ada persis di belakangnya. Ia merasakan rasa hangat menyentuh tengkuknya yang telanjang. Tubuhnya tiba-tiba jadi kaku dan rasa ingin memberontak itu pasti selalu ada. "Kamu pasti belum memaafkan atas sikapku tadi." Morgan memeluknya. "Alin sudah melalui beberapa pemeriksaan sehubungan dengan seringnya ia mimisan seperti itu dan hasilnya mengarah pada diagnosa Leukemia." Tanpa sadar Desha membalikan tubuhnya. "Kamu sudah yakin?" Tanyanya, menatap Morgan dengan jarak sangat dekat. "Dari hasil biopsinya positif." Mata cantik itu langsung meredup sinarnya. "Kasihan anak sekecil itu sudah menderita." Morgan menatapnya lebih dalam. "Sudah banyak pasien yang ku tangani seperti Alin ini. Aku mengambil spesialis onkologi anak." "Aku tidak menduga, kamu akan mengambil kedokteran juga." Morgan lebih mencondongkan wajahnya, menipiskan jarak keduanya. Desha berusaha memalingkan wajahnya tapi Morgan malah tersenyum geli. "Menghindar lah kalau kamu bisa." Ia lebih menekankan tubuhnya, hingga tubuh Desha rapat dengan meja dapur. Dengan mudah Morgan mencium bibirnya, ia lebih tahu bagaimana cara menyerang Desha sampai wanita ini menyerah pada cumbuan lidah dan bibirnya. Morgan menggeser gelas kopi yang panas itu lebih jauh lalu mengangkat tubuh mungil itu untuk mendudukannya di meja dapur dan menyilangkan kedua kaki itu di pinggangnya, melanjutkan cumbuannya. Desha melemparkan kepalanya ke belakang, ada erangan halus saat lehernya jadi sasaran berikutnya untuk di cium oleh bibir Morgan yang semakin memanas. Tangan yang satu menyangga punggungnya sementara tangan satunya lagi sudah ada di dadanya. "Mom." Terdengar panggilan dari arah depan rumahnya. Hingga dengan seketika pergerakan dua orang yang sedang b******u dengan penuh gairah itu, terhenti. Berikutnya Desha segera turun dan membenahi pakaiannya. "Rambut mu acak-acakan!" Pelototnya pada Morgan. "Siapa coba yang melakukannya?" Tawa Morgan, menatap geli ke wajah yang masih nampak memerah itu. "Rapihkan! Sha nanti melihatnya, kamu mirip Einstein." Ledeknya hingga laki-laki itu membelalakkan matanya. "Aku tidak botak." Katanya tertawa, sambil merapihkan rambut gondrongnya yang memang terlihat acak-acakan, ulah remasan tangan Desha tadi. Danisha melihat Morgan yang sedang tertawa dan Mommynya yang sedikit terlihat kikuk. "Mom, kata Oma, kita akan makan malam bersama di rumah besar, ajak om Morgan juga." kata Danisha yang terus menatap Mommynya. "Baiklah nona cantik, kita dengan senang hati akan makan bersama di rumah besar itu dan terimakasih atas undangannya." kata Morgan formal tapi dengan sedikit tertawa lucu juga, hingga Danisha ikut tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN