Skrip-6

1063 Kata
Ava mengipas-ngipas wajahnya dengan telapak tangan, berharap dapat mengurangi rasa gerah yang sejak tadi membuatnya tidak nyaman. “Ini acara kapan selesai, sih?” gerutu Ava dengan nada sebal. Tentu saja itu didengar oleh Arka. “Kalau kamu capek, kamu bisa ke kamar duluan,” bisik Arka. Ava mendengkus. Ia langsung pergi tanpa mengucap sepatah katapun. Tujuannya adalah kamarnya. Ia ingin mandi, sungguh. Gaun pernikahan ini benar-benar tidak nyaman. Sesampainya di kamar, Ava langsung menuju kamar mandi. Setelah merendam tubuhnya selama beberapa menit, rasanya nyaman sekali. Namun rasa nyaman itu seketika berubah menjadi rasa kesal. “ Kok Pak Arka?!” katanya dengan nada tak terima, “kenapa bisa Pak Arka? Itu tadi Pak Arka dosen gue, kan? Tapi, kok ….” Ava menggelengkan kepalanya begitu kuat. “Enggak, ini pasti gue halusinasi gara-gara inget skripsi makanya muka orang yang tadi nikah sama gue jadi berubah kaya Pak Arka.” Ava mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya mimpi. Ia berharap bisa bangun dari mimpi buruknya ini. Entah kenapa ia langsung mengambil ponselnya dan mengetikkan nama Arka. Tanpa basa-basi Ava langsung saja menelepon dosennya itu. Tepat setelah 5 detik berdering, panggilan itu diterima. “Pak Arka di mana?” tanya Ava dengan cepat. “Saya masih di luar. Kenapa?” “Di luar mana? Di luar rumah? Di luar kampus? Di luar … di luar daerah?” Ava begitu mendesak pertanyaan itu. Gadis yang satu ini benar-benar masih berharap bahwa apa yang terjadi padanya tidaklah nyata. “Di luar—lagi nyapa teman Ayah saya. Kamu lapar?” Ava menjauhkan ponsel itu dari telinga tanpa mematikannya. Ia bergumam, “Bodoh. Kenapa gue masih berharap ini gak nyata?” Ava keluar dari kamar mandi. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur dengan posisi tengkurap. Wajahnya ditelusupkan ke bawah bantal. Menangis … itulah yang Ava lakukan. Disisi lain, Arka buru-buru menghampiri Ava. Setelah mendapat telepon Ava yang tiba-tiba, Arka langsung merasa ada yang aneh, apalagi ketika ia mendengar suara tangisan meskipun tidak terlalu jelas. Pria itu berlari secepat mungkin, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk. Wajah paniknya terlihat sangat jelas. Ia baru saja akan membuka pintu kamarnya, namun ia urungkan. Pria itu beralih ke pintu kamar Ava. Tentu saja ia punya akses masuk karena memegang access card. Pria itu menghela napas ketika melihat Ava yang tengah menangis sambil tengkurap dan bantal yang menutupi bagian kepala. Ia pikir sesuatu yang buruk terjadi. Jika ia tidak bisa menjaga Ava …bagaimana perasaan almarhum ayahnya dan ayah Ava? bagaimana hanya menjaga Ava saja ia tidak bisa? Arka menghela napas. Ia membuka sepatunya, lalu menghampiri Ava dan duduk di tepi tempat tidur. “Jangan nangis,” katanya dengan suara berat. “Ava,” panggil Arka sambil mengusap punggung belakang istrinya. Ava tahu arka ada di sana. Tapi ia malas sekali meladeni pria yang satu ini. Ia masih marah. Tentu saja! Siapa yang tidak marah jika tiba-tiba saja dipaksa menikah, dengan dosennya pula. Memangnya tidak ada calon lain? Ya, meskipun Arka tidak setua bayangan tentang calon suami Ava, tapi tetap saja, Ava ingin menikah dengan pilihannya. Kenapa permintaan itu sulit sekali? “Saya tahu kamu dengar saya, Ava. Kamu boleh marah, tapi jangan marah dengan keluarga kamu dan keluarga saya. Marahnya ke saya aja.” Oh, pahlawan? Dipikir dengan kaya gitu gue berhenti marah? Tetap aja gue sebal sama Mama, Kak Malvin, dan manusia sialan yang namanya Ares. “Saya tahu kamu menentang pernikahan ini, tapi Ava … apapun yang udah terjadi sekarang, kalau kamu ingin membalikkannya lagi, maka bukan cuma saya yang akan jatuh … tapi keluarga saya … keluarga kamu.” Ava mendengkus. Kini ia bangkit dan membenarkan posisinya menjadi duduk. Ekspresi Ava terlihat tidak suka. Ia menyilangkan kedua tangannya. “Pak Arka ngancam saya?” “Enggak gitu, Va, tapi—” “Stop! Saya gak mau dengar lagi. Gini, ya, Pak. Jujur aja saya kecewa. Kenapa lebih milih menikahkan saya dengan cara kampungan gini? Kenapa gak dengan cara baik-baik? Pak, kita sering ketemu. Pak Arka tinggal bilang kalo Pak Arka mau nikahin saya. kenapa pake acara ngejebak saya? Saya tahu Pak Arka pintar. Harusnya Pak Arka tahu cara yang benar menikahi itu seperti apa.” Ava benar-benar terlihat kecewa. Arka bisa mengetahui itu. Ia juga tahu cara ini salah … tapi ia hanya mengikuti saran dari Adelia—mama Ava. Ava bersikeras tidak akan menikah, sedangkan Adelia hanya berharap putrinya menikah secepatnya. Ava tergolong keras kepala. Ia akan tetap mempertahankan keputusannya bagaimanapun caranya. Oleh sebab itu, Adelia merencanakan semua ini.  “Maaf, saya yang salah.” Ava menghela napas berat. Ia masih tidak terima, tentu saja. Tapi mau bagaimana lagi? Bercerai? Apa kata dunia dengan orang-orang bermulut pedas ini jika ia bercerai setelah menikah. Hancurlah reputasi Ava. “Kenapa harus Pak Arka, sih? Kenapa gak Ares?” Dibandingkan menikah dengan Arka, Ava tidak akan terlalu kecewa jika seandainya Areslah yang menjadi suaminya. Tentu karena Ares dan dirinya sangat dekat. Mereka pernah bersama. Ava tidak akan terlalu mempermasalahkannya. Mendengar Ava menyebut nama itu, Arka langsung menghela napas berat. “Kamu masih berhubungan dengan dia?” “Dia?” Ava tertawa sumbang. “Memangnya Pak Arka kenal Ares? Tahu dia siapa?” “Adik saya.” “Dan mantan saya,” sambung Ava. gadis itu terdiam sebentar, namun beberapa detik kemudian matanya langsung terbuka lebar. Ia menatap Arka dengan wajah terkejut. “A-adik Pak Arka?” Arka mengerutkan dahinya. Kali ini ia yang terlihat kebingungan. “Jadi, selama ini dia gak ngasih tahu kamu?” Ava mengepalkan tangannya. Ia turun dari tempat tidur, bersiap menemui manusia sialan yang sejak tadi pagi membuatnya ingin sekali menghabisinya dalam sekali pukulan. Namun, tangannya ditahan oleh Arka ketika gadis itu hendak melangkah lebih jauh. “Kamu mau ke mana, Va?” “Nyamperin Ares, lah,” jawab Ava, ketus. “Enggak usah.” Ava menaikkan sebelah alisnya. “Apa masalahnya?” “Saya ini sudah jadi suami kamu,” kata Arka memperjelas hubungan mereka, berharap Ava mengerti maksudnya. “Ya, terus?” “Ya terus, kamu jangan ketemu Ares untuk saat ini. Masih banyak orang di luar, Va. Apa kata mereka nanti? Jangan buat keributan. Kamu juga udah pakai piyama. Mau jadi tontonan?” Benar juga apa yang dikatakan pria yang satu ini. Jika ia keluar, dan menemui Ares yang pastinya masih ada di tempat acara, tentu saja akan mengundang perhatian. Meskipun ava masih tahu malu. “Ck, ya udah, lepasin tangan saya.” Seperti yang diinginkan Ava, Arka langsung melepas genggaman tangannya. “Kamu bisa tidur di sini. Saya tidur di kamar saya.” “Ide bagus.” Ava langsung kembali ke dalam, merebahkan tubuhnya ke tempat tidur, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut. Arka melirik sebentar ke arah Ava, lalu kemudian pergi meninggalkan kamar itu dan kembali ke kamarnya. Sepeninggal Arka, Ava langsung buru-buru mencari sweaternya. Ia memakainya, menutupi kepalanya dengan penutup kepala lalu ke luar dari kamar. Buru-buru ia berlari menuju lift takut-takut Arka memergokinya. Ia memang memikirkan apa yang dibicarakan Arka tadi. Tapi, memberi Ares pelajaran lebih penting. Ia harus marah. Ares—pria itu harus mendapat amarahnya malam ini. --To be continued--
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN