Apa Ava tidak salah dengar? Calon mantu? Jangan-jangan … Mamanya ingin membawanya menemui pria yang akhir-akhir ini selalu dibicarakan oleh keluarganya?
Mampus gue! Gue bahkan enggak make up!
Bukan … Bukan itu yang paling penting. Intinya ia tidak mau bertemu pria manapun yang Mamanya jodohkan. Ava menggigit bibir bawahnya, melirik ke kanan-kiri mencari sosok yang punya kemungkinan adalah orang yang dimaksud Mamanya. Matanya kini terpaku pada sosok pria dengan kemeja hitam yang tergulung. Pria itu membelakanginya. Dari postur belakang tubuh, Ava berani menebak pasti wajahnya tua sekali. Dan benar saja … ketika pria itu menoleh ke belakang, Ava rasanya ingin menangis di tempat. Dari gelagatnya, pria itu berlaku seperti wanita. Jangan-jangan …
“Enggak mau!” rengek Ava tiba-tiba, membuat Adelia dan Fara menoleh bersamaan.
“Kenapa, Va?” tanya Adelia.
Ava terdiam. Fara mengikuti arah pandang Ava yang tertuju pada salah satu karyawannya. “Karyawan Tante ganggu kamu?” tanya Fara kemudian.
“Eh? Karyawan?”
“Iya, itu Hadi—karyawan Tante.”
Ava menghela napas lega. Ava sudah berpikir macam-macam. “Enggak, Tante. Tadi … lagi balas chat teman, gak sengaja keceplosan,” bohong Ava.
Fara tersenyum. “Oh, iya, Del. Anakku gak bisa ke sini. Dia ada acara seminar di Bandung, pulang malam. Kayaknya, kita belum bisa temuin mereka berdua,” kata Fara pada Adelia. Sedangkan Ava? Ava lebih memilih keluar dari sana, tidak mau lagi membayangkan macam-macam seperti tadi.
“Yah, padahal harusnya mereka ketemu sebelum Ava pergi ke Bali.”
Fara terkekeh. “Kamu yakin, Ava enggak akan marah dengan rencana kita?”
Adelia menyilangkan kedua tangannya, lalu tersenyum. “Marah … pasti. Tapi mau menolak juga enggak akan bisa.”
Keduanya tertawa membayangkan akan betapa marahnya Ava saat tahu apa yang mereka lakukan untuk gadis nakal itu.
-----
Ava mengunyah burgernya sambil menunggu panggilan untuk keberangkatannya. Lain hal nya dengan Ava yang memilih makan, Ares justru menggunakan waktu itu untuk memejamkan matanya sebentar. Semalaman ia tidak tidur karena harus membantu Kakaknya yang menyebalkan itu. Ya, Ares memiliki seorang kakak. Tidak banyak yang tahu soal kakaknya. Ava saja tidak tahu.
Mata Ava menyipit kala melihat seseorang yang tidak asing duduk beberapa kursi di depannya. Ava seperti mengenali postur tubuh itu. Mirp sekali dengan … ah, ya, dosennya—Arka. “Itu, Pak Arka?” gumam Ava yang masih agak ragu, takut-takut ia salah lihat.
Ava bangkit, hendak menghampiri sosok itu, namun tarikan Ares membuatnya terkejut. “Ayo, Va!”
Mau tak mau, Ava langsung mengikuti Ares, sesekali menengok ke belekang.
Perjalanan dari Jakarta ke Bali memakan waktu hampir 1 jam penerbangan. Ava menghabiskan dua jam itu untuk tidur. Hebat sekali. Bahkan Ava sama sekali tidak terbangun selama itu. Ares sampai mengira anak itu mati. Keduanya sampai disebuah hotel yang telah disiapkan oleh Ares. Sungguh hotel yang luar biasa. Ava sampai terkagum-kagum dengan suasananya. Terlalu lama berkutat pada skripsi, mata Ava rasanya sudah lama tidak melihat keindahan semacam ini.
“Ini seriusan lo sewa kamar di hotel ini, Res?” tanya Ava, memastikan.
“Iya, lah.”
“Sumpah! Lo emang terbaik, deh.”
“Eits, ini bukan apa-apa. Masih ada banyak hal yang mengagumkan di sini. Lo kalo capek, istirahat aja.”
“Enggak! Gue datang ke sini mau jalan-jalan. Udah cukup tidur gue selama perjalanan. Gak akan gue sia-siakan Bali gue yang aesthetic ini.” Ava langsung memakai kacamata hitamnya kemudian berjalan begitu saja melewati Ares yang hanya bisa melebarkan mulutnya. “Woy! Koper lo, Va!” Pria itu menghela napas berat. Sudah ia duga akan begini. Menjadi babu dadakan.
Ava berlari menuju pantai yang ada di samping hotel. Hotel ini berdekatan dengan pesisir pantai, oleh karena itu Ava bisa langsung pergi ke pantai melalui pintu samping. Ava sudah lama tidak merasakan suara deru ombak dan harum lautan yang khas. Kakinya yang menyentuh pasir pantai yang lembut kini berlari-lari membuat jejak yang akhirnya tersapu oleh ombak. Ava menggunakan kesempatan itu untuk mengambil gambar yang tentunya untuk kepentingan feed instagramnya.
Ava tersenyum puas dengan semua hasil jepretannya. Senyumnya menghilang ketika sebuah bola mengenai kepalanya dengan keras. Ava memekik, “Aww!”
Seseorang menghampiri untuk meminta maaf. “Maaf, Kak. Saya enggak sengaja.”
Ava melirik bocah laki-laki itu. Sepertinya juga pengunjung hotel. Ava menghela napas pelan. “Iya, gapapa. Lain kali hati-hati, ya. Untung kena kepala Kakak, kalau kena orang mungkin kamu udah ditimbun di pasir.”
“Sekali lagi maaf, ya, Kak.” Bocah laki-laki itu mengambil bolanya lalu berlari pergi dari sana. Ava melihat pantulan dirinya dari layar ponsel. Sebuah benjol yang cukup besar menghiasi dahi putihnya. “Ah, jidad gue yang paripurna,” rengek Ava sambil mengusap benjolnya.
“Emang susah banget, ya, punya hidup tenteram dan aduhai bagai sultan kayak orang-orang. Baru juga liburan udah digebok bola. Huh.” Ava menghela napas sebelum akhirnya kembali ke hotel, tentu untuk mengobati benjol yang kini membuat dahinya menyedihkan.
Ares mengobati benjol di dahi Ava dengan mengoleskan sedikit salep yang ia minta dari pelayan hotel. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan gadis satu ini. “Makin bodoh aja, dah, lo, Va. Mana otak pas-pasan, kegebog bola, otak lo kegeser 180 derajat.”
“Ck! lo ngomong berasa ngaca, gak? Lo, kan, lebih bodoh dari gue.”
“Ya udah, karena sama-sama bodoh, gak usah ngomong lagi. Pusing, Va. Heran gue kanapa dulu kita pacaran, ya? Mungkin gara-gara itu bodoh lo nular ke gue.”
“Sialan, lo!”
Ares tertawa terbahak-bahak. Senang sekali menjahili Ava. Ares menatap gadis itu sambil tersenyum. Ava sangat cantik, periang, baik hati, dan menyenangkan. Ava selalu bisa membuatnya tertawa karena hal-hal kecil yang mungkin tidak lucu bagi orang-orang. Ava adalah orang pertama yang membuat Ares jatuh cinta. Namun sayangnya, perasaan itu harus ia singkirkan demi sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang tidak mampu Ares tolak meskipun perasaannya sebagai taruhan. Ares pikir mungkin ini yang terbaik untuk Ava. Apapun untuk gadisnya yang satu ini, akan ia lakukan selama itu membuat Ava bahagia, meskipun dengan cara melepaskan.
“Va,” panggil Ares. Sang pemilik nama langsung mendongak, menatap manik mata yang ada di depannya. “Hmm?”
“Lain kali hati-hati, ya. Gue gak selamanya ada untuk ngobatin luka lo.”
Ava mengerutkan dahinya. “Lo ngomongnya kaya orang mau mati, Res.”
Pria itu langsung menyentil dahi Ava. “Bisa, gak, sih, lo kalo ngomong enggak usah frontal begitu? Itu tadi termasuk nyumpahin.”
Ava hanya menunjukkan cengirannya. “Makan, yuk! Gue lapar.”
Ares menutup kembali salep yang ia pakai untuk mengobati Ava. “Mau makan makanan hotel, atau mau makan di luar sambil jalan-jalan?” tawar Ares.
“Ke luar! Let’s go!”
-----
Arka melirik tuksedo yang ada di atas tempat tidurnya. Ia menghela napas pelan. “Ayah, Arka akan menepati janji. Jadi setelah ini, doakan Arka bisa menjalaninya dengan ikhlas. Karena jujur saja … Arka masih mencintai dia. Arka takut melukai Ava kalau gadis itu tahu.”
Ia mengeluarkan sebuah foto seseorang mengenakan dress merah dengan senyum manis yang membuat siapa saja jatuh cinta ketika melihatnya. Arka tesrenyum samar. “Tapi Arka akan melupakan dia … jika itu keinginan Ayah.”
Arka meremas foto itu. Ia memejamkan matanya. “Aku tahu ini salah, tapi … Aku benar-benar rindu kamu, Wanda.”
Wanda—wanita yang sangat ia cintai, namun hubungan mereka harus berakhir karena Wanda harus menikah dengan pilihan orang tuanya. Jika saja saat itu Arka masih lebih berani mempertahankan hubungan mereka, ia tidak akan kehilangan Wanda. Tapi biarlah yang telah berlalu tetap ada pada masanya. Sekarang saatnya Arka memutuskan untuk melangkah lebih jauh bersama orang yang akan menjadi istrinya besok. Dia Avalyn Exienna—mahasiswinya. Perjanjian setahun lalu langsung terputar bagai film lama. Ketika Ayahnya meningga, sebuah nama menghiasi kalimat terakhirnya. “Tolong, menikahlah dengan Ava.”
Satu kalimat yang ingin sekali Arka bantah, namun setelahnya sang Ayah mengembuskan napas terakhirnya. Arka awalnya bimbang, tapi ia belum pernah melihat Ayahnya memohon padanya seperti saat itu. Mungkin dengan menikahi Ava ia bisa menunjukkan kebaktiannya. Meskipun di dalam hatinya ia merasa kasihan. Tidak hanya dengan dirinya tapi dengan Ava. Ava bahkan tidak tahu tentang pernikahan mereka. Ia masih saja membayangkan akan seperti apa reaksi Ava ketika tahu dirinyalah yang akan menikahinya.
Arka mengusap wajahnya lalu mengambil ponselnya dan menelpon seseorang. “Besok, jam delapan pagi. Jangan sampai telat,” katanya lalu memutus panggilan itu dan pergi meninggalkan kamar.
--To be continued--