Malam ini,
Gw bakal menangin perlombaan ini.
Gw diem-diem bawa lamborghini ke tempat janjian balap.
Ini jam jalan sepi, sekitar jam 12.
Gw berkendara sendirian di mobil ini sambil mendengar lagu-lagu rock. Ga jarang gw keikut nyayi hehe.
Setelah beberapa menit, gw sampe di lajur panjang yang tidak dilewati siapapun. Beberapa kilo kemudian baru sampe, terlihat segerombolan muda-mudi seolah menunggu, mereka bersorak sorai apalagi yang dari Rising Smartness.
Gw memarkirkan mobil gw disebelah mobil Ferrari, kemudian turun.
Jalan ini lebar dengan lampu yang remang-remang. Yah...muat buat 5 mobil. Jalan yang sepi tapi halus ini bener-bener pas buat balap liar. Apa ini aman?
"Yo! Ray!", kata Alex menepuk bahu gw dari belakang.
Kemudian kita high-five.
"Ayo kita temuin losers malam ini", katanya menggiring gw ke sekerumunan anak yang ga gw kenal, pasti anak sekolah lain.
"Hey Rico, Lauren, this is Ray. Our champion", kata Alex memperkenalkan gw ke anak bernama Lauren dan Rico.
Lauren anak yang terlihat berandal, kulitnya sawo matang. Di kedua sisi rambutnya ada ukiran berupa petir. Dia memakai jaket putih.
Rico anak bertubuh tinggi yang berkacamata kotak bingkai hitam. Matanya terlihat tajam dan gw bisa liat tindikan di hidung dan di bibirnya. Dia berjaket abu.
Gila 2 anak ini beda banget sama gw. Keliatan...liar
"Hello pretty boy, gw Lauren", kata Lauren menyalami gw dengan tengilnya.
"Rico", kata Rico singkat sambil tersenyum.
"Wow jelas lu anak kaya di level yang beda ya", siul Lauren berjalan ke lamborghini gw.
"Hebat lu bisa dapet 1 dari 20. Jelas ini bukan bekas", tambah Rico menyentuh carbon-fiber mobil itu, "Boleh tolong nyalain? Gw pengen denger suaranya", pinta Rico kemudian.
"Oh, boleh", gw segera masuk ke mobil itu dan menekan tombol starter yang ada di tengah.
Lamborghini itu langsung menderukan mesinnya, membuat orang-orang di sekitar terpukau dan riuh.
"That is smooth!", seru Rico terkagum.
"That is a crazy car...but! Are you a skilled driver?", tambah Lauren meremehkan gw, mengangkat dagunya sambil mendekat.
Gw mendengus, kemudian tersenyum miring,
"If Walking Deads is real...you'll be save as you are a brainless person"
Semua yang denger menahan tawa ngeliat gw ngehina racer dari sekolah lain.
"Apa yang bikin lu mikir itu hah? Tau apa lu soal gw?", tantang Lauren.
"Barusan lu nanya pemilik Centenario yang dateng buat balap. Itu kan b**o. Lu kira gw dateng buat pamer mobil? Gw bukan lu"
Tunjuk gw ke mobil McLaren yang udah di rombak habis-habisan. Jelas performa balapnya berkurang. Siulan riuh terdengar dari penonton. Gue memang amatir tapi gue jago debat.
"You're messing with the wrong person", ancamnya ke gw.
"Why? You're far below me", kata gue menaikan dagu dan menunjuknya merendahkan, setelah itu gue mundur dan berbalik ke temen-temen
Para penonton bersorak dan berteriak dengan kata-kata yang menurut gw biasa aja. Lauren langsung pergi ke mobilnya dengan langkah kasar.
"Lu gila sih! Oh Damn ur crazy", seru Wilson ketawa-tawa ngerangkul gue. Alex memberikan jempol.
"Guys! Ayo mulai balapnya!", kata Ethan dari speaker.
Semua penonton pada minggir ke tepi jalan
"Good luck", kata Rico masuk ke Ferrarinya setelah menepuk pundak gw. Beda sama Lauren, Rico kayanya orang ya supportif.
"You too", bales gw kemudian masuk ke lambo yang hanya ada 20 di dunia.
"Racers, tolong mobilnya ke garis ini!", kata Ethan menunjuk garis putih di depannya.
Menurut, mobil kita berbaris.
"Ok, tim yang ngecek pemenangnya tolong ke ujung sana", kata Ethan menyuruh beberapa orang seperti Leehan, dan Wilson ke garis finish.
Mereka bergoncengan naik motor dan pergi dengan flare gun, petasan, dan kamera. Kamera itu dihubungkan dengan layar besar di garis start, menjadikannya tontonan ke murid-murid dari 3 sekolah yang berbeda.
"Ok, selama menunggu mereka nyampe ke finish. Ayo kita omongin soal para racers!"
"Di paling kanan, kita punya champion dari Sky International! Rico dengan Ferrari 812 Superfast!"
Mobil Ferrari itu langsung menderu sebagai respon panggilan. Mendapat sorakan dari murid sekolah Sky International
"Di tengah, kita punya champion dari Global Marine! Lauren dengan McLaren 720S!"
McLaren itu langsung digas, membunyikan suara mesinnya. Dia diteriaki para murid sekolahnya riuh.
"Dan di ujung kiri, newcomer kita dari Rising Smartness! Ray dengan Lamborghini Centenario!"
Gw menderukan mobil gw, membuat riuh para penonton Rising Smartness. I will win this.
Jauh diujung sana, gw melihat segaris melayang ke udara. Itu flare gun
Menandakan mereka sudah sampai di garis finish dan wow...
Itu jauh banget
"Lex, ini berapa meter?", tanya gw ke Alex yang berdiri di sebelah kaca mobil gw.
Alex mendengus, "Meter? Ini pake kilo!", serunya kemudian pergi ke kerumunan.
Ok....itu make sense...
"Racer majuin mobilnya dikit lagi. Ray lu jauh amat sih!", seru Ethan. Pelan-pelan gue gas mobil, "Ok Stop!", serunya menaikan tangan.
"Guys ingat! Hadiah hari ini 100 juta! Misalnya sekolah A menang, B dan C harus patungan masing-masing 50 juta! Dan begitu juga ke yang lain. Hari ini ga ada namanya 'yang ke 2'. Ga ada 'posisi aman'. Kamu kalah kamu rugi! Siap semuanya?!", jeritnya sekali lagi.
Kita semua menderukan mobil sebagai jawaban siap.
Dia minggir ke pinggir jalan, kemudian mengeluarkan flare gun
Dia mengangkat flare gunnya tinggi-tinggi, satu tangannya menutup telinga.
Ayolah...
DOOR
Tembakan dengan suara yang nyaring terdengar.
Gw langsung lepas rem dan menginjak gas.
Ingat ajaran Ethan,
Transmisikan dengan baik.
Cara mereka salah.
Awalnya pasti kalah dulu.
Tapi nanti gw comeback.
Bener aja,
Awalnya yang balap seakan-akan cuma Lauren dan Rico di depan, perlahan tapi pasti, gw mengejar. Gue fokus buat ningkatin kecepatannya.
Jarak antara kami makin tipis dan terus menipis.
1 KM di depan terlihat garis finish dan penonton. Alex dan Wilson juga disana
Saat gw sadar mobil kita ber-3 udah segaris.
Gw gregetan parah.
Bisa lewat.
Harus bisa lewat.
Harus menang.
Bukan buat anak itu ini buat gue.
Tiba-tiba kita melewati sebuah garis putih dan ada bunyi terompet kaleng.
Hah? Udah?
Gw memperlambat laju mobil bersamaan dengan yang lain.
Gw mendengar klakson, saat gw menoleh, rupanya gw sedikit di depan mobil lain dan Rico mengacungkan jempol dari dalam mobilnya ke.
Lauren berputar balik, diikuti gw dan Rico.
Man...I win?
Gue menang???
Kita berhenti di krumunan penonton yang bersorak memegangi lightstick kuning. Lalu memarkirkan mobil.
"Ray! Ray! Ray! Ray!", seru mereka begitu keluar mobil. Rame banget?
Gw masih kebingungan menoleh kesana-sini, tiba-tiba Alex dan Wilson meluk.
"YEAAAH RAYYY!", seru mereka melompat-lompat.
"Hah?", gw senyum, tapi gw bingung kenapa.
"Lu menang cuy! Lu menangin kita! 100 juta buat Joseph!", jerit Alex melompat semangat.
"You are our hero!", seru Wilson merangkul.
"Ohh?! Gw menang?!"
"Telat, stupid!", tawa Alex.
Kita bertiga sama anak-anak Rising Smartness melompat-lompat girang. Bangga dengan kemenangan ini.
Setelah selesai,
"Ray", panggil seseorang.
Saat gw menoleh, Lauren dan Rico jalan kearah kami.
"You win, Congrats", senyum Rico mengulurkan tangannya.
"That was fun", jawab gw menyalam tangannya.
"Karena lu menang...", dia menunjukan M-Banking yang sukses. Bernilai 50 juta rupiah.
"Woah...Thank you", kata gw terpukau melihat digit itu. Memang sih itu bukan apa-apa ke gw, tapi menang balap membuat gw merasa bangga.
"Ngga, bro. Gw yang thank you. Balap itu seru banget. And with new opponent like you, everything is way more fun", katanya menepuk bahu.
Gw tersenyum.
Rasanya gw mendapat teman baru.
"You're crazy", kata Lauren menggeleng melihat gw, senyumnya yang lebar terpapar.
"Aren't we all?", bales tanya gw.
Dia mendengus dan memeluk gw sebagai selamat kemudian menepuk bahu.
"Guys! Tranfer 50 jutanya sekarang! He's a champion!", serunya ke anak-anak Global Marine.
Sehabis itu kita mengadakan party kecil-kecilan.
Ada yang bawa speaker besar dan DJ, jadi di pinggir jalan ada yang joget ditambah lightstick ditangan mereka. Termasuk Alex dan Wilson. Ada juga layar yang memutar video penuh cahaya.
Gw duduk sendiri di pinggir jalan sedikit jauh dari mereka, merentangkan kaki sambil melihat pemandangan.
Bintangnya bagus dan banyak.
Tiba-tiba gw keingetan sama dulu.
Pas gw berumur 5 tahun, gw sama Papa Mama jalan-jalan di Raja Ampat.
Kita lagi duduk bareng di kabin menghadap laut, melihat bintang-bintang. Gw inget digendong Papa waktu itu.
"Itu! Kuda!", kata gw nunjuk ke susunan bintang. Sebenernya itu cuma imajinasi anak-anak aja.
"Wah, Iya! Ray pinter!", puji Mama suportif.
"Hm...wah! Itu ada bentuk hati!", tunjuk Mama ke angkasa.
"Bukan! Itu lingkaran!", bales gw ke Mama cemberut layaknya anak-anak.
Mama mencubit pelan pipi gw.
Gemesh.
"Ray suka bintang yang itu! Yang warna kuning!", tunjuk gw lagi.
"Mama suka yang pink tuh", tambah Mama.
Tinggal Papa yang belom
"Pa"
"Hm?"
"Bintang mana yang Papa suka?"
Papa mengedarkan pandangannya, mencari bintang yang menarik perhatiannya.
"Mana ya?", tanya dia sendiri.
Gw ikutin arah pandang dia.
Yang jatuh ke gw.
Dia seperti mengobservasi gw.
Kemudian mengangkat gw tinggi-tinggi.
"Eh? Ini bintangnya!", serunya seakan baru sadar, ia tersenyum lebar dan penuh semangat.
"Sekarang bintangnya punya Papa!", tambahnya memeluk gw dengan erat.
Intinya malam itu adalah malam yang indah. Diisi kita ber-3.
Tapi setelah itu, hanya ada gw dan Mama. Kita pergi ke Prancis, Italia, atau Amerika, hanya berdua. Papa ga pernah ikut setelah itu.
Kemudian dia berubah ke Papa yang gw tau sekarang. Dari Papa yang penyayang jadi Papa yang pasif.
Dengan alasan sibuk.
Dia jadi pergi setiap jam 6 pagi dan pulang jam 1 malam.
Sulit bagi gw buat nemuin dia di rumah.
Jujur...
Gw kangen dulu
Bisa pergi bareng
Bisa ngobrol
Tapi...
"Sendirian aja lo!", tepuk Lauren. Kemudian duduk disebelah gw.
Rico juga dateng, dia nyodorin gw soda kalengan.
"Gw denger dari Wilson lu ga minum. Jadi gw bawain soda", katanya.
Apa jangan-jangan mereka minum?
Gw menerima dan meminumnya, membasahi tenggorokan gw.
Gw reflek mengernyitkan dahi karena sodanya kerasa banget naik ke hidung.
Rico dan Lauren meminum alkohol kalengan dengan nikmatnya. Setelah mengeluarkan nafas, mereka ikut memandang bintang sama gw.
"Lu gimana izinnya? Jarang lho anak-anak lambo boleh keluar malem begini", tanya Lauren menelengkan kepala.
"Biasanya kalo dibolehin berarti hubungannya renggang sama orang tua", tambah Rico menarik lutut, menyangga lengannya.
"Yah...itu bener. Hubungan gw sama bapak gw renggang...dia terlalu sibuk. Gw gaperlu izin", jawab gw mengonfirmasi.
"Hm...iya ya? Kebanyakan anak kaya yang liar ortunya terlalu sibuk atau emang ga peduli", kata Lauren mengusap dagunya paham.
"Tapi gila sih lu dibeliin Centenario, perlu CEO perusahaan besar buat beliin ini", kata Rico masih terpaku ke lambo gw.
"Ng...bapak gw emang CEO sih", gumam gw ragu.
"Oh ya? Perusahaan apa?", tanya Lauren menggerak-gerakan kakinya.
"YSP corp", jawab gw kemudian menenggak soda lagi.
Rico malah keselek nyemburin alkohol, bikin gw kaget.
"Lu napa?!", tanya gw menepuk bahu Rico yang terbatuk-batuk.
Lauren mencarikan air biasa buat Rico, kemudian menyerahkannya.
Rico langsung meminumnya dan menarik nafas dalam-dalam.
"YSP Corp?! Young Success People Corp?!", tanya Rico mencondongkan dirinya ke gw.
Gw mundur sedikit dan mengangguk ragu.
Dia menganga, Lauren juga.
Gw bingung.
"Kenapa?", tanya gw ga paham.
"Wah that's crazy! You have an insane father!", seru Rico.
Hah?
Emang pada tau Papa rada gila?
"Hah?", pekik gw bingung, menaikan satu alis.
"Bukan secara literal, Ray. Tapi gila punya bapak Zachary Vane! You're lucky! Man!", seru Rico senang.
"Eh, lu kenal bapaknya Lauren ga? Dia kan kerja disana", lanjut Rico menunjuk Lauren.
"Who?", tanya gw menengok ke Lauren.
"Budi Nichols, direktur situ", jawab Lauren bangga.
Gw terperanjat mendengar nama itu
Budi?
Itu bukannya nama koruptor di kantor Papa?
Yang Papa ancam? Yang jadi sugar daddy?
Eh tapi nama Budi banyak lho.
"Budi yang mana? Yang gendut?", tanya gw takut-takut.
"Iya! Itu! Salah satu direktur kantor YSP!", jawab Lauren.
Gw mengangguk paham.
Tapi di dalam gw takut.
Apa Lauren tau bapaknya diancam sama Papa?
Apa dia tau Papanya mengencani anak SMP dan korupsi?
Apa jangan-jangan Ferarri itu dibeli dari uang hasil korupsi?
"Jadi lu anak yang sering bapak gw sebut!", kata Lauren senang.
"Hah? Bapak lu nyebut gw?"
"Iya, dia bilang ada anak CEO yang suka dateng berkunjung. Bapak gw bilang lu ramah, rendah hati, dan riang, sama kaya bapak lu!"
My God...
Apa dia bener-bener gatau apa-apa soal kejadian di kantornya?
Tapi kalo diceritain pun itu gabakal bantu apa-apa. Papa punya semua buktinya. Gimanapun Papa pasti menang melawan bapaknya.
"Gila sih bapak lu udah kaya idola para pebisnis", puji Rico tersenyum.
Ditengah mereka yang ga henti-hentinya muji Papa,
Pikiran gw jauh di tempat lain.
Seberapa hebatnya ancaman Papa sampai hal itu ga nyebar? Apa memang Papa memegang rahasia terbusuknya? Sefatal itu? Ga ada info sedikitpun kalo Papa mengerikan?
Selama itu gw cuma bisa pura-pura senyum dan ngangguk.
Gw pulang lebih cepat dari mereka, ini udah jam 3 pagi.
Gw pulang dengan hati yang senang.
Gw barusan selametin temen gw dari berhenti sekolah.
Dan menyudahi konflik sekolah lain yang suka bully murid Rising Smartness.
Tapi yang utama adalah gw menang.
Saat berkendara sendiri di jalan panjang yang sepi, gw mendengar deruan mesin, saat mengintip spion kanan, ada motor ninja yang melaju cepat.
Gw menyalakan sein kemudian berbelok sedikit ke kiri, memberikan jalan bagi motor itu. Walaupun lebar, kasih aja jalan.
Motor itu semakin dekat
Saat dia melesat di sebelah mobil, gw bertemu pandang dengan pengendaranya.
Dunia serasa melambat
Dibalik helm full face itu, gw bisa melihat mata hitam legam yang tersenyum ramah. Dia mengenakan leather jacket, cocok dengan motor ninjanya. Tapi pas gw perhatiin lagi
Itu...
Papa
Saat mata gw membulat, dia melesat mendahului gw, mengembalikan waktu.
Gw tau mobil ini seharusnya lebih cepat.
Tapi ngeliat Papa bikin gw ga berani lebih cepet daripada ini.
Papa terus melajukan motornya,
Kira-kira 1 km dari gw, dia menghentikan motornya ditengah jalan.
Papa ngapain?
Dia melepas helmnya dan beranjak
Papa ngapain?!
Dia dengan santai berjalan ke arah mobil gw yang melaju ini. Ia tersenyum lembut tanpa rasa takut sedikitpun.
Gw jadi panik
Jarak semakin dekat, ditambah Papa yang berjalan santai.
Pilihannya hanya berhenti
Buru-buru gw menginjak rem kuat-kuat, mengurangi kecepatan dengan drastis. Suara decitan ban terdengar dengan nyaring, berhenti sejengkal di depan Papa.
Gw ngos-ngosan,
Berusaha mengatur nafas setelah panik.
Kalo gue ga rem sedetik lebih telat, mungkin gue nabrak Papa.
Papa berjalan ke jendela pengemudi dengan tenang, kemudian menunduk di sebelah gw
Takut-takut gw membuka kacanya dan menatap Papa
Ia meletakan kedua tangannya di jendela, menatap gw.
Senyumannya masih ada.
Senyuman ramah.
Gw merasakan darah disedot dari tubuh gw, gw tau gw memucat.
Gw juga bisa ngerasain tubuh gw bergetar.
Badan gw serasa kaku.
Tapi gw ga bisa ngalihin pandangan gw dari Papa.
"Nice car, gimana kalo Papa yang bawa?", senyumnya