Kedatangan Pria Itu

1633 Kata
Denting bel berbunyi lirih saat pintu utama butik terkuak. Perempuan berusia—sekitar dua puluh empat tahun, perkiraanku, tersenyum dan mengangguk sopan. Pukul tujuh lewat sepuluh menit. Aku yakin pasti perempuan ini yang memiliki janji dengan Bu Rahma. “Mbak Sita?” sapaku dengan nada bertanya. “Iya, Mbak, saya Sita.” Perempuan itu mengulurkan tangannya untuk jabat tangan dan kusambut dengan senyum hangat. Sepertinya, perempuan ini cukup menyenangkan diajak kerja sama. Bukan tipikal perempuan kelas atas yang berlagak menginginkan kesempurnaan, padahal sebenarnya tak mengerti soal busana. “Silakan duduk, Mbak.” Aku membuat gestur sopan dengan tangan yang terulur menunjuk satu sofa. “Mau minum apa? Saya buatkan.” “Air putih saja, Mbak. Jangan repot. Saya kan, ke sini untuk pesan baju, bukan minum.” Dia terkekeh lirih dengan gestur anggun dan malu-malu. Aku mengangguk sambil tersenyum santai, lalu mengambil satu botol air mineral kemasan yang selalu tersedia di showcase butik ini. “Silakan, Mbak,” ucapku saat kembali menuju sofa tamu dan meletakkan botol air mineral itu di atas meja. “Sebelumnya, saya mewakili Bu Rahma memohon maaf karena beliau tidak bisa menyambut Mbak malam ini. Ada urusan mendadak yang harus beliau datangi. Jadi, saya diminta Bu Rahma untuk mewakili beliau malam ini, menampung konsep busana yang Mbak Sita inginkan.” Sita menunduk sekilas seraya tersenyum samar. “Dua minggu lagi akan ada pertemuan di rumah orang tua saya. Hanya acara sederhana yang dihadiri orang terdekat saja. Saya ingin memesan busana yang sederhana tetapi mampu membuat saya terlihat cantik. Acaranya malam dan hanya makan malam dan bincang saja.” Perempuan ini mengambil botol air mineral yang kusuguhkan, lalu meneguk pelan seakan ia butuh hal yang bisa membuatnya memiliki tenaga untuk membicarakan konsep busana sederhana yang ia pinta. “Sebenarnya ... acara nanti itu, sedikit formal sih. Memang hanya makan malam dan bincang ringan, tetapi orangtua saya meminta agar saya tampil sedikit lebih menarik dari biasanya.” Aku memperhatikan gesturnya yang menutup botol air mineral dan meletakkan kembali ke atas meja. Tampak jelas padaku, jika perempuan ini sedikit tidak nyaman dengan apa yang ia bicarakan. Entah mengapa. Perempuan ini memandang ke arah pintu utama butik dan sesaat melamun memindai jalan raya yang padat. Jam tujuh di Jakarta memang masih menjadi waktu-waktu padat lalu lintas.   Napas perempuan ini terhela lirih dan panjang. Aku tak berani mengganggu apapun yang sedang perempuan ini lakukan dengan pikirannya. Tugasku hanya mencatat dan menggambar sketsa kasar konsep busana yang ingin ia pesan. Mencari tahu apa isi hati dan pikiran perempuan ini bukanlah tugasku dan aku pun tak berminat melakukan itu. Jadi, aku hanya tetap duduk diam, menunggunya memindai mobil-mobil yang merambat pelan di jalan, dan ... “Nanti itu acara perjodohan, Mbak. Orangtua saya ingin menjodohkan saya dengan seorang duda. Menurut Mbak, saya harus mengenakan busana seperti apa agar keengganan saya menjalani perjodohan ini bisa tertutupi dengan rapi. Mereka bilang saya harus tampil lebih cantik. Padahal, saya menyukai style saya yang seperti ini. Jadi, apa Mbak ada saran model busana yang bisa dibuatkan untuk acara perjodohan saya dua minggu lagi?” Perempuan itu tersenyum sendu kepadaku. Aku hanya merespons dengan senyum samar. Entahlah, aku memang tak bisa merasakan apa yang perempuan ini pendam. Aku belum pernah mengalami fase perjodohan dan tak tahu apa harus prihatin atau bersyukur atas nasib perempuan ini. “Boleh saya buatkan sketsa gambar busananya sebentar?” tawarku seraya membuka buku sketsaku. “Mbak Sita suka busana tanpa lengan atau berlengan hingga siku?” “Berlengan saja,” jawabnya seraya ikut memperhatikan buku yang mulai kugores dengan pena gambarku. Aku memindai postur tubuhnya sesaat. Wajahnya ayu dengan kulit langsat yang kuyakin bagus mengenakan warna apapun sekalipun warna-warna pucat. Rambutnya lurus dan panjang. Aku yakin orangtuanya memberikan banyak modal untuk perawatan rambut, wajah, dan tubuh. Tanganku mulai menggambar rancangan busana sederhana yang pastinya akan nyaman ia kenakan. Dari apa yang perempuan ini kenakan sekarang, aku bisa menyimpulkan jika ia tipikal perempuan bebas dan ceria. Saat ini saja, ia hanya mengenakan jins dan kaus model feminim. Pembawaannya anggun dan penuh tata krama, tetapi aku yakin jika di luar sana, ia pasti enerjik dan penuh tawa. “Kalau begini, gimana? Mbak suka? Atau ada ide lain?” tanyaku seraya menyodorkan sketsa rancangan busana untuk acara perjodohan. “Ini maksudnya apa, Mbak?” tanya perempuan itu sambil menunjuk satu coretan di bagian atas d**a. “Oh, itu nanti rencana saya adalah bordiran bunga yang akan terlihat timbul. Saya merekomendasikan warna putih gading dan bordir di beberapa tempat seperti ini.” Sesaat, perempuan ini tampak berpikir hingga akhirnya mengangguk. “Bagus. Bisa terlihat formal tapi juga santai,” nilainya dengan mata yang belum juga beranjak dari hasil gambarku. Setelahnya, aku memberikan katalog contoh bahan yang perempuan itu pilih, lalu mengukur postur tubuhnya. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam dan perempuan ini pamit. “Semoga bisa selesai sebelum acara perjodohanku ya, Mbak.” Aku tersenyum menanggapi ucapannya. Membuka pintu utama butik, aku mempersilakan perempuan ini pamit pergi. “Kami pasti lakukan yang terbaik untuk kebutuhan busana Mbak Sita.” Perempuan itu tersenyum sekali lagi, lalu berjalan menuju mobilnya yang berwarna kuning lemon. Seperti biasa. Aku sampai di kontrakanku saat waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Aku menyukai rutinitasku yang seperti ini. Pergi ke butik pada jam delapan pagi dan kembali ke kontrakan pada saat waktu hampir mendekati tengah malam. Dengan begitu, aku tak memiliki waktu untuk meratapi hidupku yang terasa menyedihkan. Lelah membuat tubuhku segara masuk kamar mandi lalu terlelap hingga esok hari. Hanya saja, sepertinya hari ini berbeda dari biasanya. Sebelah rumahku memang sudah lama kosong. Bahkan ada yang berkata bahwa bangunan itu berhantu saking lamanya tak berpenghuni. Malam ini, rumah sebelah sudah terang benderang dengan keramaian beberapa suara. Bagiku tak masalah jika rumah sebelah terisi manusia. Bagus, bukan? Hanya saja, bisakah mereka memahami bahwa meski barisan rumah kami berada di lokasi paling pojok komplek ini, hanya berdempetan dua rumah dan sisanya masih tanah lapang, tentunya ada norma bertetangga yang mewajibkan manusia untuk tahu waktu berpesta. Baiklah. Tetangga terdekatnya hanya aku, dan aku memang jarang berada di rumah. Aku bahkan tak tahu kapan keluarga baru yang suka tertawa kencang itu mulai memasukkan perabotan mereka ke rumah hantu itu. Mencoba tak peduli dengan ingar bingar yang tercipta dari rumah sebelah, aku memasukkan motor matikku ke dalam rumah dan memutuskan untuk segera mandi dan istirahat. Sebenarnya, mataku belum terasa berat dan ingin melanjutkan warna sketsan rancangan gaun anak yang ingin kubuat saat libur nanti. Aku tak pernah libur di akhir minggu. Hari liburku adalah dua hari di hari kerja dan bergantian dengan jadwal Mona. Satu hal yang membuatku bersyukur bekerja di butik yang selalu ramai pada akhir minggu adalah, aku tak perlu repot berkunjung ke rumah orangtuaku dan membuat mereka menangisi kerumitan hidupku. Bagiku, mereka cukup tahu aku baik-baik saja dan berjalan melanjutkan hidupku setelah enam tahun lalu. Sialan! Ini sudah tengah malam dan mereka masih bersuara lantang dengan tawa yang menggelegar. Aku pusing. Aku terbiasa dengan sepi dan hening saat bekerja atau istirahat. Hanya suara mesin jahit dan radio dari ponsel saja yang biasa menemani. Tetangga satu ini sudah di luar batas. Esok aku ingin lapor ke RT dan mengadukan kelakuan mereka yang tak tahu adat. Saat ini, baiknya aku memperkenalkan diriku sebagai manusia yang tinggal di sebelah rumah mereka dan membutuhkan ketenangan untuk istirahat. Mereka boleh saja berteman dengan makhluk astral yang memang kebanyakan hidup pada waktu-waktu saat ini, tetapi mereka juga wajib menghargai jika manusia normal sepertiku memiliki waktu istirahat di malam hari. Langkahku mengayun tegas dan mengetuk pagar rumah itu. Entah ada berapa orang di dalamnya. Yang jelas, mereka saling bincang dengan tawa yang menggelegar. Tak berselang lama, seorang wanita berambut panjang datang menghampiriku dengan langkah ragu. Mungkin, ia mengira aku makhluk jadi-jadian. Tubuh wanita itu bahkan enggan mendekati pagar dan hanya berdiri di teras rumahnya. “Maaf, saya penghuni rumah sebelah. Saya hanya ingin minta tolong agar jangan berisik pada tengah malam seperti ini. Saya terganggu.” Aku terpaksa berteriak karena sebal diperlakukan seperti ini. Kesalku semakin menjadi saat wanita itu justru kembali masuk ke dalam rumah tanpa membalas teguranku. Jangankan sapa, minta maaf pun tidak. Dasar setan kurang ajar! Sebelum emosiku makin menjadi, aku mengembuskan napas dan berbalik pulang. Aku akan mencari penyumpal kuping agar bisa terlelap atau setidaknya tidak merasa bising oleh ulah mereka. Ketika langkahku sudah terhitung dua atau tiga untuk kembali menuju rumah, aku mendengar suara grendel pagar terbuka dan seseorang menyapa. “Maaf. Apa Anda tetangga sebelah rumah? Saya baru datang pagi tadi dan belum sempat bertemu Anda.” Aku mendengkus cepat dan berbalik hendak memberikan semprotan kuliah akhlak dan adab pada pria yang menegurku saat ini. Namun, semua materi tentang tata krama bertetangga seketika membeku di kepalaku karena mataku seperti melihat hantu masa lalu. Momok yang membuatku merasa terbelenggu dan takut untuk keluar menjadi diri yang baru. “Ratih?” Suara itu jelas terdengar kaget. Apalagi aku yang berharap tak pernah lagi bertemu dengannya. “Tolong suruh istrimu kecilkan suara musik dan minta pada anggota keluargamu untuk tidak tertawa berlebihan. Aku butuh ketenangan untuk beristirahat.” Hanya itu kalimat yang mampu kuutarakan, sebelum berlari menuju rumah dan mengunci pagar agar siapapun dari rumah sebelah tak bisa menggangguku malam ini juga seterusnya. Ini gila. Aku berlari jauh ke ibu kota demi menghindari semua dan dia tiba-tiba ada tepat di sebelah tembok tempatku berlindung. “Ratih!” Pria itu berdiri di depan pagar rumahku yang hanya setinggi d**a orang dewasa. “Aku ingin minta maaf. Bisa kita bicara sebentar?” Aku menggeleng tegas dari ambang pintu rumahku. “Aku maafkan jika musik itu berhenti dan suruh istrimu untuk mengakhiri apapun keributan dari rumah kalian.” Tanpa menunggu, aku membanting pintu dan menguncinya hingga dua kali putaran. Sebaiknya aku membuka ponsel dan mengakses laman pencarian rumah kontrakan di Jakarta. Aku harus segera pindah sebelum hidupku kembali runyam dan membuatku semakin gila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN