05 - Perseteruan - √

2057 Kata
Arsa, Reno, dan Nesya sedang berkumpul di ruang keluarga. Arsa sedang bermain ponsel, sementara Reno sedang memijat kaki sang istri yang membengkak. Nesya sendiri menikmati pijatan sang suami dengan fokus yang tertuju pada layar televisi. "Abang." "Hm." "Nanti malam Abang mau datang atau enggak?" Arsa yang sejak tadi bermain ponsel lantas mendongak, menatap sang adik dengan alis bertaut dan kening berkerut. "Datang? Datang ke mana?" tanyanya penasaran. "Abang suami, tolong jelasin dong." Nesya meminta sang suami agar menjelaskannya. "Nanti malam acara ulang tahun perusahaan Ayahnya Inez, Pak Narendra. Lo mau datang atau enggak?" "Kok kalian berdua bisa tahu?" Bukannya menjawab pertanyaan Reno, Arsa malah balik bertanya. "Tentu saja tahu, kan Abang Reno di undang. Memangnya Abang tidak di undang?" Kali ini Nesya yang menjawab, dan tak lupa untuk bertanya di akhir kalimatnya. Arsa tidak langsung menjawab pertanyaan Nesya. Arsa malah meraih ponselnya, lalu menghubungi asistennya untuk menanyakan, apa ada undangan yang masuk ke rumah sakit, atau tidak? Kemarin ia tidak masuk bekerja, dan mungkin saja undangan tersebut di kirim kemarin. Setelah menghubungi asistennya, Arsa akhirnya tahu kalau ada undangan yang masuk, dan undangan tersebut dari Ayah Inez. "Abang diundang, kan?" "Iya, Abang diundang." "Iyalah, Abang pasti diundang. Enggak mungkin Abang enggak diundang." "Kalian sudah bawa baju untuk acara nanti malam?" "Sudah." Reno dan Nesya menjawab dengan sangat kompak. "Kamu enggak ke salon dulu, Dek?" "Enggak usah. Nesya sudah membuat janji temu sama perias Nesya, dia akan datang nanti sore." Arsa mengangguk, paham dengan ucapan adiknya. Arsa lalu pamit undur diri. Arsa harus menyiapkan pakaian untuk nanti malam, dan jika tidak ada yang cocok, maka ia akan membelinya terlebih dahulu. *** Acara ulang tahun perusahaan Ayahnya Inez di laksanakan tepat di perusahaan tersebut. Acara di mulai setelah Isya. Selesai Isya, Arsa, Reno, dan juga Nesya berangkat menuju tempat acara. Tadi siang, Nesya sudah menghubungi Inez, menanyakan apa Inez akan datang atau tidak? Begitu tahu kalau Inez akan datang, Nesya mengajak Inez untuk berangkat bersama, tapi Inez menolak ajakan tersebut dengan halus. Nesya tidak memaksa Inez agar mau berangkat bersamanya, meskipun sebenarnya ia ingin memaksa Inez untuk datang bersamanya. Saat ini, Arsa, Reno, Nesya, juga Mahesa sudah berada di tempat acara ulang tahun tersebut di gelar. Mahesa datang mewakili kedua orang tuanya yang tidak bisa datang. Mereka berempat lantas menyapa pemilik acara, kedua orang tua Inez, Narendra dan Ashila, juga Erlina yang saat itu memang bersama kedua orang tuanya. Setelah menyapa kedua orang tua Inez, mereka berempat lalu duduk di meja yang sudah di siapkan. Saat itulah mereka bertemu dengan Reifan, Arion, Keysa, serta Asyifa yang memang juga di undang oleh Ayah Inez. "Inez belum datang ya?" Arion bertanya entah pada siapa. "Sepertinya belum." Nesyalah yang menjawab pertanyaan Arion. "Itu Kak Inez." Semua orang sontak mengikuti arah pandang Mahesa. Ucapan Mahesa memang benar, Inez baru saja datang, dan saat ini sedang melangkah mendekati kedua orang tuanya. Setelah menyapa kedua orang tuanya, Inez lalu menghampiri sahabat-sahabatnya. Bukan hanya Inez yang menghampiri sahabat-sahabatnya, karena ternyata Erlina mengikuti langkah Inez. Inez menyapa semua sahabatnya, mengabaikan kehadiran sang adik yang mengikuti langkahnya. Inez lalu duduk di samping Nesya, mulai berbincang dengan teman-teman perempuannya. "Inez, gue dengar dari Nyokap gue kalau restoran sama butik lo sukses besar, selamat ya. Gue ikut senang." "Iya, Bunda gue juga bilang kalau bisnis lu sukses besar."! Inez tertawa, lalu mengucap terima kasih atas ucapan selamat yang Keysa dan Arion berikan. "Kakak berhasil karena Kakak anak Ayah. Coba kalau Kakak bukan anak Ayah, pasti butik dan restoran Kakak tidak akan terkenal seperti saat ini." Erlina tiba-tiba bersuara, dan apa yang baru saja Erlina berhasil merusak suasana yang ada. Rasanya Nesya ingin sekali meremas mulut Erlina, atau menjambak rambut Erlina, tapi ia tidak mau membuat keributan di acara orang tua Inez. Bukan hanya Nesya yang memiliki pemikiran seperti itu karena yang lainnya juga berpikir seperti itu. "Itu juga berlaku untuk kamu. Kalau kamu bukan anak Ayah, mana mungkin kamu dapat jabatan yang tinggi di perusahaan tempat kamu bekerja sekarang ini." Inez membalas dengan santai, dan raut wajah Erlina seketika berubah masam. Padahal saat tadi Erlina mengatakan kalimat yang merusak suasana, raut wajah Inez biasa saja. "Kita sama-sama memiliki privilege karena itulah kita harus memanfaatkannya dengan baik. Restoran dan butik Kakak berhasil bukan hanya semata-mata karena para pembeli setia Kakak melihat Kakak sebagai anak dari Pak Narendra. Mana mungkin orang mau antri makan di restoran Kakak di saat rasa makanan tersebut tidak enak. Mana mungkin ibu-ibu sosialita mempercayai Kakak untuk mendesai pakaian mereka kalau hasil desain Kakak jelek, dan bahan yang Kakak gunakan tidak berkualitas. Mereka makan dan membeli pakaian Kakak karena mereka puas dengan kualitasnya, bukan karena semata-mata Kakak adalah anak Ayah." Penjelasan panjang lebar Inez berhasil membungkan Erlina, dan beberapa oarng yang mendengar penjelasn Inez sangat kagum dengan jawaban menohok yang Inez berikan untuk Erlina. Bahkan sahabat perempuan Inez memberi Inez 2 jempol mereka. "Intinya adalah, Kakak memanfaatkan privilege dari Ayah dengan sebaik mungkin, karena itulah Kakak bisa seperti sekarang ini. Kakak tidak akan membantah kalau karena Ayah, butik dan restoran Kakak jadi terkenal, tapi di saat yang bersamaan, kamu juga harus ingat kalau ada kualitas yang juga Kakak jual, lanjutnya dengan senyum penuh kemenangan. Nesya, Keysa, dan Asyifa merasa puas saat melihat mimik wajah Erlina yang terlihat sekali menahan amarah. "Aku juga bekerja dengan baik dan benar." "Baguslah kalau kamu bekerja dengan baik dan benar. Tidak menyalahkan orang lain saat kamu melakukan kesalahan, dan tidak mengklaim keberhasilan orang lain di saat kamu tidak ikut andil dalam keberhasilan yang orang tersebut dapatkan." Inez mengatakan kalimat tersebut dengan pelan, jadi tidak banyak orang yang bisa mendengarnya. Inez tahu bagaimana sifat adiknya, karena itulah ia berkata seperti itu. "Kak, ka–" "Sudah cukup. Kamu tidak perlu marah kalau memang apa yang Kak Inez katakan itu tidaklah benar. Kalau kamu marah, itu artinya kamu memang seperti itu." Nesya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk membuat Erlina semakin kesal. Erlina memilih beranjak dari duduknya, lalu pergi menghampiri kedua orang tuanya. Setelah Erlina pergi, mereka semua bersorak, dan tak henti-hentinya memuji Inez yang sudah berhasil memberi jawaban menohok pada Erlina. Inez di panggil oleh kedua orang tuanya, karena ada beberapa tamu yang harus di sapa. Saat Inez pergi menyapa kedua orang tuanya, Erlina kembali datang, menghampiri Arsa, Reno, Mahesa, juga Nesya. Arion, Reifan, Keysa, dan Asyifa sedang berdansa, bergabung dengan para tamu lainnya. Nesya benar-benar tidak mengharapkan kehadiran Erlina, begitu pun dengan yang lainnya. "Kak Arsa." "Iya Er, kenapa?" "Mau dansa sama aku?" Arsa ingin sekali menolak ajakan Erlina, tapi saat Erlina mengajaknya, Erlina berbicara dengan nada cukup keras, sampai beberapa orang di sekitar mereka kini menatapnya dengan Erlina secara bergantian. Nesya mendelik begitu mendengar ajakan Erlina. Erlina pasti sengaja mengatakan kalimat tersebut dengan nada cukup keras, agar Arsa tidak menolak, karena Arsa pasti merasa tidak enak untuk menolaknya. "Baiklah, ayo kita berdansa." Erlina sangat bahagia karena Arsa akhirnya mau berdansa dengannya. Dugaan Nesya memang benar, Arsa pasti tidak akan menolak, karena Abangnya itu merasa kasihan pada Erlina. Inez yang sedang bersama dengan orang tuanya tanpa sengaja melihat Arsa dan Erlina yang saat ini melangkah menuju lantai danda. Inez tahu kalau keduanya pasti akan berdansa. "Mau dansa?" Inez menoleh, lalu menolak halus ajakan tersebut. Orang yang baru saja mengajak Inez berdansa adalah satu anak dari rekan bisnis Ayahnya. Jika saja kepalanya tidak sedang pusing, pasti Inez akan menerima tawaran tersebut, tapi karena ia sedang merasa pusing, maka ia menolaknya. Inez melihat Ibunya pergi menemui rekan-rekannya. Inez segera mendekati sang Ayah. "Ayah." "Iya Sayang, kenapa?" "Boleh Inez pulang duluan." Inez berkata pelan. "Loh kenapa? Acaranya kan belum selesai." Narendra juga mengatakan kalimat tersebut dengab pelan. "Kepala Inez pusing." Inez sama sekali tidak berbohong, kepalanya memang terasa sangat pusing. Sejak tadi siang, ia sudah merasa pusing, bahkan tadi siang ia sudah minum obat pereda pusing, tapi ternyata rasa pusing yang ia rasakan sama sekali tidak berkurang. Narendra memeriksa kening sang putri, saat itulah ia merasakan suhu tubuh Inez yang cukup tinggi. Narendra seketika panik, dan Inez menyadarinya. "Kita ke Dokter ya, biar kamu di periksa dulu." Inez menggeleng, kemudian menolak halus ajakan sang Ayah. "Enggak usah ke Dokter, Ayah. Inez hanya harus beristirahat, besok juga pasti sembuh kok." "Kamu tidak mau ke Dokter?" "Enggak mau Ayah. Inez mau pulang aja, terus istirahat." "Ya sudah, kamu boleh pulang. Tapi kamu tidak boleh pulang sendiri, bahaya." "Om, Kak." Mahesa menyapa Narendra dan Inez, membuat Inez mengurungkan niatnya untuk membalas ucapan sang Ayah. "Iya, Sa. Ada apa?" "Maaf kalau Mahesa terkesan tidak sopan, tapi tadi Mahesa mendengar obrolan antara Om dan Kak Inez, bagaimana kalau Mahesa saja yang antar Kak Inez pulang." Mahesa tidak suka keramaian, karena itulah ia mengajukan diri untuk mengantar Inez pulang, karena dengan begitu ia juga bisa pulang ke rumah. Narendra terkekeh, lantas menepuk ringan bahu Mahesa. "Santai saja," ucapnya kemudian. "Apa kamu tidak akan kerepotan kalau mengantar Kak Inez pulang?" "Tentu saja tidak Om. Bagaimana Kak? Mau gak kalau Mahesa yang antar Kakak pulang?" Mahesa menatap Inez dengan raut wajah memelas. berharap besar kalau Inez mau ia antar pulang. "Iya, Kakak mau di antar pulang sama kamu." Inez cukup mengenal Mahesa dengan dekat, karena itulah ia tahu kalau Mahesa ingin pulang, dan Mahesa bisa cepat pulang jika Mahesa mengantarnya pulang. "Ya sudah kalau begitu, hati-hati ya di jalannya." Mahesa luar biasa senang karena akhirnya ia bisa pulang. Inez dan Mahesa lantas pamit undur diri. Saat akan keluar, Inez dan Mahesa bertemu dengan Reno juga Nesya. "Kak Inez mau ke mana?" "Kakak mau pulang duluan ya." "Loh kenapa?" Nesya seketika merasa cemas. "Kak Inez enggak enak badan, makanya Mahesa mau antar Kak Inez pulang." Mahesalah yang menjawab pertanyaan sang Kakak ipar. "Oh, Kakak sakit. Ya sudah, Kakak pulang aja, istirahat di rumah." Inez dan Mahesa lantas pamit undur diri. Sebelum pergi, Inez meminta pada Nesya agar memberi tahu yang lainnya jika ia pulang terlebih dahulu, sekaligus meminta maaf karena tidak bisa pamit dulu. Setelah melihat Inez dan Mahesa pergi, Nesya lalu berbalik menghadap sang suami. "Abang, kita juga pulang ya," rengeknya manja. "Ok, kita pulang. Tapi kita akan pulang sama Abang kamu, jadi kita tunggu sampai dia selesai berdansa." Tadi mereka datang bertiga, jadi pulang juga harus bertiga. Nesya merenggut, lalu mengalihkan atensinya pada Arsa yang masih saja berdansa dengan Erlina, begitu pun dengan sahabatnya yang lain. Saat melihat kalau tidak ada tanda-tanda Arsa dan Erlina akan selesai berdansa, Nesya menghampiri keduanya. Reno terkekeh, sudah menduga kalau istrinya tersebut akan menghampiri Arsa dan Erlina. Sebelum menghampiri Arsa, Nesya terlebih dahulu menghampiri teman-temannya yang lain, lalu menyampaikan pesan dari Inez sekaligus pamit, karena dirinya, sang suami, juga Arsa akan pulang terlebih dahulu. Setelah pamit pada para sahabatnya, barulah Nesya menghampiri sang Abang. "Abang, Nesya mau pulang sekarang. Abang mau ikut pulang sama Nesya atau mau pulang nanti sama yang lainnya?" Nesya bertanya dengan tidak sabaran. "Abang mau ikut pulang sama kamu." Arsa merasa senang karena sang adik datang menyelematkannya. Sejak tadi, ia sudah ingin menyelesaikan dansanya dengan Erlina, tapi Erlina selalu menolaknya. "Ya sudah, ayo. Kita pulang sekarang juga." Setelah itu, Nesya berbalik, lalu menghampiri sang suami, di ikuti oleh Arsa yang berjalan tepat di belakang keduanya. Ketiganya lalu menghampiri kedua orang tua Inez, pamit pulang pada keduanya. Erlina tentu saja kesal, tapi tidak sepenuhnya, karena toh yang terpenting adalah, tadi ia sudah bisa berdansa dengan Arsa, dan semua tamu undangan melihatnya. Arsa, Reno, dan Nesya sudah berada di luar gedung. Ketiganya sedang menunggu mobil mereka keluar dari tempat parkir. "Dek, apa kamu melihat Inez?" Saat tadi ia pamit pulang pada kedua orang tua Nesya, ia sama sekali tidak melihat Inez. Siapa tahu Nesya ataupun Reno tahu di mana Inez berada. "Kak Inez sudah pulang sama Mahesa." Tentu saja Nesyalah yang menjawab pertanyaan Arsa. "Pulang?" Ulang Arsa memperjelas. "Iya. Kak Inez sudah pulang karena enggak enak badan, makanya di antar pulang sama Mahesa. Mungkin saat ini mereka masih di jalan, karena mereka baru saja pamit beberapa menit yang lalu." Arsa mengumpat, lalu meraih ponselnya. Arsa kembali mengumpat saat ponsel Inez tidak bisa ia hubungi. Arsa tidak mau menghubungi Mahesa, karena saat ini, Mahesa pasti sedang menyetir. Arsa memilih untuk mengirim pesan pada Mahesa, meminta agar Mahesa menghubunginya begitu selesai mengantar Inez. Arsa ingin tahu, ke mana Inez pulang. Apa Inez pulang ke rumah orang tuanya? Atau justru pulang ke apartemen? Jika Inez pulang ke apartemennya, maka Arsa akan datang berkunjung. Tapi jika Inez pulang ke rumah orang tuanya, maka Arsa akan datang menjenguk Inez besok pagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN