Part 2

1037 Kata
Selesai mandi dan membersihkan kamarnya. Allea menghampiri anaknya yang sedang bermain di ruang keluarga bersama Bi Endang, pembantunya yang sudah bekerja bertahun-tahun di rumah ini. "Mama kemana, Bi?" tanya Allea. "Nyonya lagi keluar bentar, Teh. Beli sayur ke Supermarket," jawab Bi Endang. "Ooh." Allea mendekati anaknya yang sedang fokus bermain mobil-mobilan. Sepertinya anak itu belum menyadari kalau ada Allea di sampingnya. "Wangi banget anak Buna," ujar Allea seraya menciumi kepala anaknya. Melihat Allea, anak itu langsung tersenyum lebar dan memeluk Allea erat. "Buna. Nio punya ikan tupang," ucapnya, sambil menunjuk ikan cupang yang ia simpan di akuarium kecil. Arsenio Aileen Widjaya , bocah berumur 2,5th itu sudah pandai berbicara meskipun belum terlalu jelas. Anak lelaki yang ia lahirkan tanpa sosok suami di sampingnya. Namun Allea tidak mempermasalahkan soal itu, dia sangat menikmati perannya sebagai single parent. Meskipun ini sedikit berat untuknya. Arsenio memiliki wajah yang tampan dan juga menggemaskan. Bulu matanya yang lentik, kulit yang putih, dan mata yang sangat indah. membuat semua orang pasti akan terpesona jika melihatnya. Allea bersyukur, kedua orang tuanya juga ikut berperan dalam merawat dan membesarkan Nio. "Dibelikan siapa?" tanya Allea. "Onty Lala." jawab Nio, sambil menunjuk Rara yang sedang berjalan ke arahnya. "Awas Nio, nanti ikan kamu digoreng sama Buna. Bunamu kan suka makan ikan cupang," celetuk Rara menakut- nakuti Nio, membuat Allea langsung menatapnya tajam. "Sembarangan!" sengit Allea. "Ayo, kita kasih makan ikan cupangnya," ujar Rara, seraya mengambil alih Nio dari pangkuan Allea dan membawanya berlari. "Jangan lari, Maemunah! Nanti anak gue jatoh!" teriak Allea dengan keras. Bi Endang sampai menutup telinganya, suara Allea ini benar-benar seperti toa Masjid ketika berteriak. "Ada apa ini? Kok rame banget," sahut sang Mama yang baru saja memasuki rumah. Rieta veronica, atau yang lebih sering di panggil dengan sebutan Mama Rita ini adalah Super Mom kebanggaan Allea dan Rara. Mama Rita bekerja sebagai pebisnis, beliau memiliki banyak cabang butik di berbagai kota. "Ini, si Teteh teriak-teriak. Kuping Bibi sampai sakit dengernya. Mana Bibi punya penyakit THT lagi," ujar Bi Endang mengadu pada Rita, dengan menunjukkan wajah kesalnya. "Bibi tukang ngadu ih," cibir Allea. "Kamu tuh, Al. Udah Mama tegur berkali-kali, masih... aja suka teriak-teriak. Jangan dibiasain kayak gitu. Kuping kita sakit dengernya," omel sang Mama. "Iya iya maaf," ujar Allea, seraya memutarkan bola matanya malas. Dia paling tidak suka, jika mamanya sudah mengomel seperti ini. "Udah punya anak satu, tapi belum berubah. Kalem dikit kek, biar ada yang mau sama kamu. Cewe kok gak ada anggun-anggunnya," cibir Rita. "Udah kek marahnya. Orang udah minta maaf juga," kesal Allea. "Ngeyel terus, kalau dibilangin Orang tua." "Lah gimana sih? Siapa yang ngeyel coba? Allea kan cuma nyuruh Mama diem," balas Allea tak mau kalah. "Udahlah. Mama cape ngomong sama kamu." Kemuidan Rita beranjak ke dapur dengan membawa semua belanjaannya, meninggalkan Allea sendiri di ruang keluarga. "Orang tua selalu benar," gerutu Allea. *** Di sisi lain, seorang pria yang masih lengkap dengan jas kerjanya baru saja memasuki rumah dengan langkah gontai. Wajahnya yang lelah, ditambah dengan rambutnya yang berantakan, benar-benar membuatnya terlihat seperti orang yang tidak terawat. Semenjak perceraiannya tiga tahun yang lalu, dirinya berubah menjadi orang yang gila kerja dan jarang pulang ke rumah. Kemudian lelaki itu berjalan menghampiri kedua orang tuanya yang sudah menunggunya di ruang keluarga. "Papa mau ngomong sama kamu," ucap seorang pria paruh baya, saat anaknya sudah duduk di depannya. "Kalau soal nikah, Aku nggak mau dengerin." Dirinya sudah hafal dengan pembahasan orang tuanya yang selalu menyuruhnya untuk menikah lagi. Bukan apa-apa, dia hanya belum siap untuk berumah tangga lagi. Bayangan tentang kegagalan rumah tangganya dulu, membuat dirinya tidak berminat menikah dalam waktu dekat. Padahal di luar sana, banyak wanita yang mengantri untuk menjadi kekasihnya. "Papa cuma minta bantuan ke kamu." "Apa?" tanyanya. "Kampus milik Kakek kamu lagi butuh Dosen untuk sementara. Kamu mau kan, mengajar disitu?" "Nggak bisa Pa. Bulan depan aku mau pindah ke Aussie." "Ayolah ,Nak. Teman Papa yang ngajar di situ mau cuti sebentar,.Dia minta tolong ke kamu buat gantiin dia, selama dia cuti." "Kenapa harus aku? Aku nggak punya pengalaman ngajar Pa," protesnya. Ini tidak bisa dibiarkan. Mengurus perusahaan saja dia sudah kewalahan, apalagi jika merangkap menjadi Dosen. "Papa yakin, kamu bisa. Buat apa, Papa sekolahin kamu sampai ke luar negri, kalau disuruh berbagi ilmu aja nggak bisa." "Cuma sebentar Sayang," sahut sang Mama, membuat lelaki itu langsung berdecak kesal. "Iya deh iya, terserah kalian. Aku mau tidur dulu." Angkasa Emilio Grey, biasa di panggil Aksa. Duda ganteng blasteran Belanda – Bandung yang berumur 26 tahun. Mamanya asli Bandung, sedangkan papanya keturunan Belanda. Di umurnya yang masih terbilang muda, Aksa sudah menyandang gelar sebagai seorang Duda. Belakangan ini, kedua orang tuanya selalu memaksanya untuk menikah lagi. Dengan alasan, karena tidak tega melihat anaknya yang seperti kehilangan semangat hidup. Namun Aksa selalu menolaknya. Dia tidak mau gegabah dalam memilih pasangan. Sudah cukup sekali saja, Aksa menuruti keinginan papanya yang waktu itu menyuruhnya untuk menikah muda. Untuk kali ini, dia akan lebih serius dalam memilih pasangan hidup. Dia tidak ingin kejadian seperti dulu terulang kembali. *** Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun Aksa masih belum bisa tertidur. Matanya yang masih sangat segar, dan tidak bisa dipaksa untuk tidur, padahal badannya terasa pegal semua. Drrt. Aksa merabah handphonenya yang ia letakkan di atas nakas. Kemudian, dengan malas dia mengangkat telfon dari rekan kerjanya. "Hallo?" "Ya." "Kamu udah tidur?" "Kalau udah tidur, nggak mungkin bisa ngangkat telfon," jawab Aksa cuek. "Oh iya, hehe. Kamu udah ngantuk?" "Hmm." " Yaah, jangan tidur dulu dong. Aku mau cerita sesuatu nih." "Tidak menerima cerita apapun, selain yang berkaitan dengan perusahaan," ketus Aksa. "Yaah, yaudah deh kalau gitu. Aku matiin ya telfonnya." "Hmm." Wanita yang menelfonnya tadi adalah rekan kerja di perusahannya yang menjabat sebagai Sekertaris pribadi Aksa. Aksa sangat peka jika wanita itu menyukainya. Namun sayang sekali, dia bukan tipe Aksa. Untuk itu, Aksa selalu bersikap dingin jika wanita itu membahas sesuatu di luar pekerjaan. Aksa menghembuskan nafasnya kasar. Lagi-lagi, kenangan itu melintas dipikirannya. Entah, harus dengan cara apalagi supaya Aksa bisa melupakannya. Berbagai cara sudah Aksa lakukan. Mulai dari pindah ke Bandung, sampai berusaha membuka hati untuk orang-orang yang menyukainya. Akan tetapi, usahanya sia-sia. Nama wanita itu masih membekas di hatinya, bersama dengan kenangan-kenangan yang sangat menyiksa pikirannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN