Marahnya Gendhis

1080 Kata
Sementara itu, Abisatya masih enggan beranjak dari tempatnya berpijak. Ia masih marah akan dirinya sendiri. Marah terhadap Rania. Marah pada semua kesempatan yang pernah dihabiskan bersama dan janji-janji yang dikatakan Rania sebelumnya. Akan tetapi, bayangan ucapan Gendhis membuatnya kembali memikirkan banyak kemungkinan. Ia menggeleng kuat saat ingatan tentang Rania sebelum pergi ke Batu berkelindan. Abi baru saja selesai sarapan saat Rania terburu-buru kembali ke kamar. Melihat itu, tentu saja Abi tak berkomentar apa-apa. Sampai pada akhirnya, ibu mertuanya mendekat. "Kamu tidak lupa, kan, kalo Rania minta sesuatu di hari ketujuh setelah pernikahan?" bisik ibu mertua Abisatya. Mendengar bisikan itu, tentu saja Abi ingat akan janjinya untuk camping bersama ke Negeri di Atas Awan. Alih-alih honeymoon ke luar negeri, Rania ingin menyatu dengan alam sebagai hadiah pernikahan. Sontak, Abi berlarian di anak tangga demi mengejar Rania yang tampaknya tengah marah. Di kamar, Rania yang sedang membereskan pakaian tengah tersenyum memandangi layar ponselnya. Namun, ia tergagap dan langsung menyembunyikan smartphone saat tahu Abi masuk dengan tangan menangkup di d**a. "Maaf, Rania, sorry. Aku lupa. Kita akan pergi nanti setelah aku kembali dari penerbangan, oke? Aku akan kembali sebelum jam tujuh dan kita akan langsung pergi ke Lumajang. Bagaimana?" Rania tersenyum, lalu beranjak dan menggenggam jemari Abi serta mengecupnya pelan. "Tak perlu. Kamu akan sangat lelah. Membawa banyak penumpang dengan selamat sudah sangat melelahkan, bagaimana bisa kita akan naik ke puncak tanpa persiapan? Aku masih bisa memahami keadaanmu. Jadi, jangan pikirkan itu." Kedua tangan Abi yang menangkup lantas meluruh. Ia mendekat dan mengungkung Rania ke dinding. "Kamu tak pernah marah padaku, bahkan setelah kita menikah. Ada apa? Kenapa?" Rania menggeleng, kemudian mulai melepaskan diri dari kungkungan suaminya. "Abi, hanya aku yang memahamimu. Lalu bagaimana aku akan marah jika pria di depanku ini selalu merajuk?" Rania sudah akan kembali ke pekerjaannya saat tangan Abi menggenggam jemari sang istri, menahannya untuk tetap di sampingnya. "Tak ada yang mencintaimu melebihi rasa cintaku padamu, Rania. Kamu ... beruntung memilikiku." Sekonyong-konyong wajah Rania menegang. Bersamaan dengan itu ponselnya bergetar, tetapi ia memilih abai. Susah payah ia menahan kaca-kaca tipis yang mulia bergelayut di pelupuk mata, setidaknya agar tak menjejak basah di depan Abisatya. "Kamu ... tak ingin mengangkat teleponnya?" tanya Abi. Ia menangkap ada sesuatu yang salah dengan Rania. Cepat Rania menggeleng dan berpaling ke arah sang suami. "Kamu harus bersiap, kan? Seragammu sudah kusetrika. Dan lagi, nanti aku harus pergi ke Mojokerto, Bi. Boleh?" Guntur kembali menggelegar, menyadarkan Abi dari lamunannya mengenai pagi tadi bersama Rania. Ia baru sadar, bahwa untuk pertama kalinya, Rania menyembunyikan sesuatu di ponselnya. "Sial!" umpat Abi sembari meninju udara kosong. "Sejak kapan kamu pandai membohongiku, Rania?!" Cepat ia berlari, masuk mobil dan melaju, membelah jalanan Pujon yang meliuk-liuk dan licin sebab genangan air. Beruntung, ia sempat membaca pemilik yayasan mobil ambulans yang berisikan alamat rumah sakit tempat berpulang. Kedua matanya yang tajam tampak berkaca-kaca saat ingatan tentang Rania kembali muncul di pelupuk mata. Sekuat tenaga Abi mengempas bayangan itu. Bayangan tentang Rania yang menggenggam erat tangan Putra di saat-saat terakhirnya. Ia bahkan dibohongi, ditipu oleh sahabat masa kecilnya. Ditipu mentah-mentah oleh wnaita yang baru ia nikahi. Abisatya telah sampai di rumah sakit swasta dengan setelan yang telah basah sepenuhnya. Ponselnya berdering tepat saat ia memasuki bangunan rumah sakit, tetapi ia tak menghiraukannya. Di lobby, Abi kembali melihat Gendhis yang tengah menciumi cincin berlian. Air matanya masih meluah bersama banyak harapan agar segera bangun dari mimpi buruknya. Tak lama, seorang perawat mendekati Gendhis, sedangkan satu yang lainnya mendekati Abi. Keduanya sama-sama saling mengabarkan bahwa outopsi jasad akan segera dilaksanakan atas persetujuan mereka. Sayangnya, Abi menolak keras. Dengan kasar ia membuang surat kuasa. "Untuk apa?! Tak ada gunanya! Kematian mereka adalah balasan karma atas perselingkuhan keduanya!" Mendengar itu Gendhis menelan ludah susah payah. Ia memejam, berharap segala rasa kecewa surut seketika. Tanpa banyak bicara Gendhis mengangguk, memberi leluasa. Bagaimanapun juga, ia ingin tahu kecelakaan itu bermula. Entah pengaruh alkohol atau apa pun, ia hanya ingin tahu kebenarannya. Kebenaran bahwa suaminya tidak terjebak dalam hubungan gelap. Kebenaran bahwa suaminya tetap setia meski ajal di depan mata. "Apa lagi yang kamu harapkan dari hasil otopsi? Kamu masih ingin mengoyak tubuhnya sebab hatimu diduakan? Hah ... ternyata kamu lebih kejam dariku!" Terang saja, Gendhis terkejut dengan kemarahan Abi. Namun, ia mencoba abai saat surat kuasa diberikan. Usai tanda tangan, ia duduk menjauh dari tempat Abi. Abi yang sadar Gendhis menjaga jarak, lantas mendekat sembari berkacak pinggang. "Kamu tau? Berbohong adalah kesalahan kecil yang dampaknya bisa terus dirasakan. Sama seperti Rania. Dia berbohong akan pergi ke Mojokerto, tetapi ternyata malah ditemukan di Batu. Bersama suamimu. Bergandengan. Erat sekali sampai tak mampu lagi dipisahkan." Gendhis yang baru saja tenang, kembali menangis kala mendengar fakta dari Abi. Ia menggeleng, mencoba menolak kebenaran di depan mata. "Cukup! Kita tak tau bagaimana mereka meninggal! Kita tak tau apa alasan keduanya bertemu! Tak bisakah kamu percaya pada istrimu sendiri? Tak bisakah kamu ... berkabung sebentar atas kepergian istrimu?!" Kali ini Gendhis enggan menahan diri. Ia sudah berada di puncak amarahnya. Namun meski begitu, ia tak benar-benar merasa marah. Ia hanya lelah dimarahi oleh Abi yang bukan siapa-siapa. Abi yang sok tahu tentang hal-hal yang belum jelas kebenarannya. "Sebelumnya semua juga akan kulakukan demi Rania! Tapi setelah tau bahwa mereka menjalin hubungan gelap, maka semua yang ada di depanku sudah sama gelapnya! Tak ada lagi kepercayaan dan duka! Tak ada cinta dan nestapa! Semua abu-abu! Semua ... hancur!" amuk Abi. Kedua matanya memelotot dengan telunjuk mengacung pada pangkal hidungnya yang bangir. Tiba-tiba ponsel Gendhis bergetar nyaring. Gendhis terdiam, terpaku, menangis sesenggukan mendengar kemarahan Abisatya. Bahkan, hingga dering ponsel Tia lagi terdengar, Gendhis meluruh ke lantai rumah sakit. Dadanya sesak, ia benar-benar kehilangan harapan untuk sekadar percaya pada pendiriannya. Melihat itu Abi menyeringai. Lantas, ia merampas paksa tas jinjing Gendhis dan merogoh ponselnya. Nama Puri terpampang jelas di layarnya. Tanpa basa-basi, saya Gendhis mencoba bangkit dan mengambil kembali ponselnya, Abi menerima panggilan. "Ya, halo? Puri? Kamu mengenal Rania? Putra dan Rania jatuh dari jalanan Pujon. Keduanya ditemukan tewas dalam keadaan bergandengan tangan." Gendhis geram. Dalam tangisnya, ia mengumpat. Lantas, ditariknya ponselnya kuat hingga kembali dalam genggamannya. Dengan cepat, ia melayangkan tamparan keras pada Abisatya. "Kurang ajar! Siapa kamu?! Tak perlu ikut campur dalam urusanku dengan Putra! Urus saja istri yang mungkin saja kegatelan pada suami orang!" Gendhis mematikan ponselnya. Lalu bergegas pergi tepat saat Abi menggeletukkan gigi, menggenggam erat jemari, kemudian meninju dinding beton rumah sakit. Luka pun menghiasi buku-buku jemari, darah segar mengalir. "Kamu! Akan kubalas kamu lebih banyak dari rasa sakit yang kuterima!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN