Acara pernikahan kedua orang tua Nara selesai tepat pukul 5 sore. Dan sekarang, sekeluarga besar tengah berkumpul di ruang makan. Tadi sehabis melaksanakan shalat isya, semuanya langsung menuju ruang makan untuk membicarakan suatu hal.
“Jadi, aya naon ieu teh?” tanya Kakeknya Nara.
Rafan berpandangan dengan kedua orangtuanya, laki-laki berusia 22 tahun itu menarik napasnya. Dia sudah memantapkan diri untuk hal ini. Tidak peduli nantinya akan mendapatkan penerimaan atau penolakan.
Bismillah ....
Kedua Orangtuanya tersenyum ke arah Rafan. Begitu juga Papanya Maika yang tersenyum penuh arti ke arahnya. Di saat yang lainnya dalam mode serius. Maika dan Nara sibuk makan. Keduanya makan percis seperti orang tidak makan berminggu-minggu.
Masih sempat-sempatnya.
“Bismillaah. Tujuan saya mengumpulkan keluarga di sini. Saya mau minta izin ke Revan, Pak. Untuk melamar putrinya, Maika. Untuk jadi istri cucunya bapak, Rafan,” jelas Papanya Nara pada Kakeknya Rafan dan Papanya Maika
Maika yang tengah melahap Zuppa Soup membulatkan matanya. Gadis itu langsung meremas tangan Nara. Hah, apa tadi?
“Gue salah denger atau lagi mimpi?” bisik Maika.
Nara tertawa melihat ekspresi pias gadis itu. Maika sendiri mendadak kehilangan nafsu makannya. Jantungnya berdetak cepak. Rasanya seperti ada yang melayang-layang di perutnya.
“Kumaha, Van?” tanya Kakeknya Nara pada ayahnya Maika.
“Sebelumnya saya mau berterima kasih atas niat baik yang sudah Rafan sampaikan. Sebagai seorang ayah, tentu saya ingin kebahagiaan untuk putri saya. Baik di dunia maupun akhiratnya. Dan sudah jadi tanggung jawab bagi saya selaku orang tuanya untuk merawat Maika, membesarnya juga mencarikan pasangan yang baik untuknya. Saya terima niat baik anda, selebihnya saya membiarkan putri saya mengambil keputusannya sendiri,” ucap Papanya Maika panjang lebar.
Mendengar perkataan Papanya, air mata Maika mengalir tanpa bisa ditahan. Hidup selama 18 tahun, dia memang tidak sedekat itu dengan Papanya. Cenderung canggung jika bersama. Kadang dia menginginkan dekat dengan Papanya, seperti anak gadis lainnya yang begitu dekat dengan ayah mereka. Maika merasa kalau dia dan Papanya seperti berjarak. Meskipun begitu, dia tahu kalau papanya sangat menyayanginya.
Dia harus menjawab apa sekarang? Bukankah ini yang selama ini dia nantikan?
Rafan adalah kandidat terkuat untuk jadi pasangan hidupnya. Tapi dia masih belum yakin dengan keputusannya. Maika butuh waktu untuk meyakinkan dirinya. Kalau dia menikah, itu artinya kehidupannya benar-benar berubah.
Apa dia bisa menjadi istri yang baik? Lalu bagaimana dengan mimpinya? Apa dia masih bisa mengejar mimpinya?
Dia punya ketakutan untuk menikah. Tanpa siapapun tahu, sebelum ada dalam titik ini. Dia pernah mengalami titik kelam. Di mana kedua orangtuanya hampir saja bercerai. Saat itu usianya masih 9 tahun. Sama seperti Nara, keduanya jadi korban dari keegoisan orang tua mereka saat itu. Ini juga alasan kenapa Maika begitu tertutup pada orangtuanya.
Bahkan Nara tidak tahu soal ini. Maika berhasil menyimpan lukanya selama bertahun-tahun.
“Jadi bagaimana, Maika?” tanya Papanya Rafan pada Maika yang kini tengah menundukkan kepalanya.
“Boleh saya beristikharah dulu?” tanya Maika pelan.
Nara yang tadinya merasa sangat senang. Merasakan keganjilan dari Maika yang terlihat begitu tertekan. Papanya Rafan menatap sang putra. Dilihatnya Rafan menganggukkan kepalanya pertanda setuju.
“Tentu boleh, tapi jangan terlalu lama memberikan kepastiannya ya, Mai. Kasian anak om-“
“Pa!” panggil Rafan sudah merasa malu.
Para orang tua tertawa. Mereka tidak menyadari kalau Maika tengah menangis dalam diamnya.
Dan Rafan menyadarinya. Mendadak laki-laki itu merasa bersalah. Apa keputusannya untuk melamar Maika saat ini salah?
Perasaan keduanya berkecamuk.
***
Jika biasanya Maika akan berceloteh, melawak meski sangat garing. Kali ini gadis itu tidak banyak bicara. Sejak masuk ke dalam kamar bersama Nara. Dia lebih banyak melamun. Bahkan Nara seringkali memergoki Maika menangis tanpa suara.
Sebenarnya ada apa?
“Mai,” panggil Nara.
Maika tidak menjawab. Gadis itu tetap bergeming. Melihat Maika seperti ini, tentu saja Nara merasa sangat khawatir.
“Istighfar, jangan kayak gini,” tegur Nara membuat Maika tersadar. Gadis itu langsung beristighfar.
“Gue takut, Nar,” kata Maika.
Dia membayangkan kalau pernikahan adalah hal yang berat untuk dijalani. Bayangan pertengkaran yang pernah dia lihat ketika saat kecil membuat rasa takut itu semakin besar.
“Lo percaya sama gue ‘kan?” Maika menganggukkan kepalanya.
“Kalau lo percaya sama gue, lo bisa bagi ketakutan lo sama gue. Jangan lo pendam sendiri, gue selalu mihak lo, Mai,” kata Nara dengan tulus.
Maika menatap Nara. Gadis itu memberanikan diri menceritakan semuanya. Alasan kenapa dia takut, alasan kenapa dia begitu tertutup pada kedua orang tuanya. Juga perasaannya pada Rafan.
Mendengar semua itu, membuat Nara terisak. Dia pikir luka yang Maika punya hanya tentang luka bullying yang dialaminya saat kecil. Namun nyatanya, gadis ini mengalami luka yang sama sepertinya.
“Kenapa lo enggak pernah cerita?” tanya Nara dengan nada parau.
“Gue–“ lidah Maika terasa kelu.
Tapi kalau boleh jujur, dia sangat ingin menerima pinangan Rafan.
Hatinya kali ini benar-benar dibuat lemah. Dia tidak meragukan Rafan sedikitpun. Maika ragu pada dirinya sendiri.
“Bang Rafan abang gue, lo sahabat yang udah gue anggap kayak saudara. Ngeliat kalian berdua bersatu adalah hal yang paling gue pengen. Bukannya mau promosiin abang gue, dia agamanya insyaallah baik. Dia juga udah punya kerjaan tetap, kalian berdua kenal sejak kecil. Lo tahu keluarga gue, dan sebaliknya abang gue tau keluarga lo. Apa lagi yang lo khawatirkan? Cinta? Kalian bisa numbuhin perasaan itu ketika udah menikah nanti,” kata Nara.
Duh ileh, gayanya sudah seperti konsultasi pernikahan bukan?
“Kalau gue udah nikah nanti, apa gue masih boleh ngejar impian gue?” tanya Maika.
“Ehm setau gue, abang gue bukan tipikal orang yang suka mengekang sih. Emangnya impian lo apaan sih?”
Maika membaringkan tubuhnya, lalu terlentang.
“Niat gue abis lulus, pengen jualan kayak buat kue atau makanan buat anak-anak gitu,” jawab Maika.
Dalam hati Nara beristighfar. Tahan, tidak boleh marah-marah. Yang ada nanti misinya gagal. Bagaimana pun caranya dia harus bisa meyakinkan Maika. Kalau dia berhasil, nanti abangnya akan memberikan kompensasi berupa iphone dengan kamera tiga.
“Cuman itu aja? Yaa Allah, gue kira lo mau kuliah keluar negeri. Percaya sama gue, abang gue pasti bakal dukung lo,” bujuk Nara secara halus.
Maika terdiam. Gadis itu bangkit dari posisinya. Ia menyalakan ponselnya. Lalu menghubungi mamanya.
“Assalamu’alaikum, Ma,” sapanya ketika teleponnya sudah terhubung.
“Wa’alaikumussalaam. Kakak udah dapat jawabannya?”
Maika memejamkan matanya. Semoga keputusannya tepat.
“ Udah, Ma. Tapi, emang enggak apa-apa? Kakak belum bisa banggain Mama,” kata Maika merasa sesak. Dia merasa kalau dia menjadi anak yang tidak berguna.
“Kenapa kakak ngomong gitu? Kakak selalu buat Mama bangga. Karena kakak Mama bisa kuat,”balas Nala.
Di sana, wanita itu menahan tangisnya.
“Tapi karena kakak, Mama sama Papa dulu hampir-“ Maika tidak melanjutkan ucapannya. Gadis itu kembali menangis. Hal itu membuat Nala sadar akan satu hal, kalau putrinya menyimpan trauma kejadian dimana dia dan Revan bertengkar hingga mengatakan kalau Maika adalah biang masalahnya.
“Mama minta maaf ya, Kak. Maaf karena udah buat kakak kayak gini. Tapi wallaahi, kakak itu harta berharganya Mama dan Papa. Jadi jangan pernah berpikiran kayak gitu lagi ya.”
Keadaan hening. Hanya terdengar isak tangis satu sama lain. Bahkan Nara sudah ikut menangis. Lama terdiam dalam keheningan, Maika memutuskan untuk bersuara.
“Bismillah, Maika terima lamarannya, Ma.”
Nara ya berada di samping gadis itu langsung memeluk erat Maika.
AKHIRNYA WOY!!!!!!
Tahun ini ada banyak surat undangan yang datang ke rumah, rupanya orang-orang telah menemukan apa yang mereka cari. Mereka sudah menemukan kebahagiaan serta menemukan orang yang harus diberikan kebahagiaan. Aku turut tersenyum, ikut berbahagia. Ini tentang waktu saja. Sekalipun aku masih berjuang seorang diri, aku tetap bahagia. Allaah sebaik itu padaku dia memberikan kebahagiaan sesuai dengan porsi serta keadaan seorang hamba, sekalipun diberikan sedih. Selalu saja ada celah untuk tetap tersenyum senang. — Nara