Shazia membuka gorgen, dia menghirup udara segar yang masuk dari jendela. Hari ini, dia akan memulai aktivitas paginya untuk ke sekian kali. Dia mencuci wajahnya lalu mencepol rambut dan berjalan ke dapur.
‘Hei, kenapa kau selalu bangun pagi untuk memasak? Tidak mau kah kau menikmati tempat tidur lebih lama?’
Shazia melirik sisi kanannya, di sana ada sosok gadis remaja yang sedang duduk d atas kulkas. Sosok itu transparan, Shazia bisa melihatnya tiap hari menembus dinding dan berbicara dengannya.
Awal masuk ke rumah ini, Shazia sempat repot karena sangat banyak arwah gadis remaja yang bediam di sini. Itu semua karena Azril, pria itu sangat di kagumi oleh arwah gadis yang masih perawan. Shazia bisa melihat mereka bahkan masuk ke kamar pria itu apalagi saat sedang mandi.
Shazia belum pernah membicarakannya kepada Azril, jika pesonanya sampai membuat arwah banyak gadis sangat menyukainya.
“Biar semua pekerjaanku selesai sebelum dia bangun.” Jawab Shazia.
Hantu itu mendengkus, ‘Harusnya kau tidak datang ke sini. Membuat semua temanku terusir dan hanya meninggalkanku sendiri.’
“Bukannya malah bagus? Jadi, kau bisa tidur di sampingnya tanpa berebut dengan yang lain?” tanya Shazia sembari melirih arwah itu dengan tatapan jahil.
‘Kalau itu sih sudah kulakukan tiap malam. Tapi, aku merasa sepi karena tidak ada yang bisa diajak berbicara.’ Ungkap gadis itu sedih.
Shazia mengangkat alisnya sebelah, “Bukannya sekarang kita sedang berbicara?”
‘Kau? Manusia. Susah di ajak bicara, apalagi saat siang hari.’
Shazia tertawa kecil. “Kau bisa mengajakku bicara di malam hari atau tiap pagi seperti ini.”
‘Enak saja. Lebih baik aku menemani Azril tidur atau melihatnya mandi.’ Ungkap gadis itu sembari tersenyum bahagia.
“Sebenarnya, siapa namamu?” tanya Shazia penasaran.
Gadis itu terdiam, ‘Entahlah. Aku sudah lupa, tidak ada yang memberikanku nama.’
Shazia menoleh lalu memiringkan kepalanya dan tampak berpikir, “Bagaimana kalau kuberi nama?”
Arwah gadis itu membulatkan matanya, “Bolehkah? Aku mau!”
“Bagaimana kalau Sisil?” tanya Shazia yang langsung di jawab anggukan oleh arwah itu. “Baiklah, sekarang namamu Sisil. Mulai hari ini, aku akan memanggilmu dengan nama itu.”
Karin terlihat sangat senang, tiba-tiba dia berpindah berdiri di samping Shazia. ‘Terimakasih. Mulai sekarang, aku berjanji tidak menampakkan wajah seramku kepadamu, Zia.’
Shazia mengangguk, dia sangat takut ketika melihat penampakan Karin ketika menunjukkan wajah asli ketika dia mati. Shazia merasa pening setelah meliha wajah seram Karin untuk pertama kalinya.
Dia tidak bisa membayangkan bagaimana gadis itu bisa mati. Tapi, dari pakaian Karin, dia bisa menduga jika gadis itu terlibat kecelakaan. Mungkin di jalan raya karena dia memakai pakaian sekolah dengan berlumuran darah.
‘Oh, sekarang sudah waktunya Azril bangun. Aku ingin melihatnya melakukan ritual pagi berendam di bathup dan mandi di shower.’ Ucap Karin bersemangat lalu masuk menembus dinging.
Shazia hanya mengerjab pelan lalu menggelengkan kepalanya, “Dasar hantu m***m!”
Setelah kepergian Karin, Shazia melanjutkan pekerjaannya. Dia membuat sarapan untuk Azril dan dirinya sendiri. setelah itu dia mengepel lantai dan mengganti gorden lama dengna yang baru. Saat dia sedang melepas gorden, Azril keluar dengan pakaian rapih, pertanda pria itu sudah siap untuk pergi ke kantor.
“Zia, kamu sudah sarapan?” tanya Azril tanpa menoleh kepada Shazia.
Shazia yang sedang kesusahan untuk melepas kaitan gorden langsung menoleh, “Belum, rencananya tadi mau turunin ini dulu buat di cuci. Eh. Susah.”
Azril menoleh dan melihat Shazia sedang bejinjit di atas kursi. Tubuh gadis itu terayun mengikuti gorden membuat Azril takut jika Shazia terjatuh tetapi dia membalikkan badan lalu duduk untuk memulai sarapan.
“Ah!”
Shazia menjerit kencang ketika keseimbangannya goyah. Dia terayun dan menghantam lantai. Shazia yang mendarat tanpa persiapan membuat kaki gadis itu goyah dan terkilir.
Azril langsung panik ketika mendengar suara bedebum di belakangnya. Saat berdiri, dia sudah melihat Shazia berbaring di lantai sembari mengerang kesakitan. Gadis itu meringis sembari memegang kakinya.
“Harusnya kamu tadi pakai tangga, bukan kursi. Sudah tahu kalau pendek!” ucap Azril sembari berdiri berkacak pinggang di depan Shazia.
Shazia meringis, dia ingin menangis apalagi setelah di marahi oleh Azril. “Nggak tau tangganya di mana! Di gudang nggak ada!” balasnya dengan suara lebih tinggi.
“Eh, berani kamu meneriaki saya? Mau saya pecat!” ancam Azril dengan ekspresi kejam.
Shazia mengerucutkan bibir, “Pasti ancamannya itu! Nggak ada ancaman lain! Bantuin, Pak! Ini lagi terkilir, masa sudah jatuh terus saya di pecat!”
Azril mendengkus, “Ya, memang salah kamu kan.”
Walaupun begitu, Azril tetap membantu Shazia untuk berdiri dan menggiring gadis itu untuk duduk di sofa. Azril melihat pergelangan kaki gadis itu mulai bengkak dan dia langsung menggulung lengan kemejanya.
“Dasar merepotkan!”
Shaiza menghela napas panjang setelah kepergian Azril.
‘Dasar pria dingin!’
Kemunculan tiba-tiba Karin membuat Shazia terkejut. Karin tampak sedikit lebih transparan dari yang dia lihat tadi pagi. Mungkin karena mulai siang, anak itu terlihat kesal dan membuat hawa dingin di ruang tamu.
Setelah beberapa detik kemudian kembali menghilang entah kemana. Shazia menoleh kea rah Azril yang datang dengan baskom berisi es batu dan handuk basah.
“Siniin kaki kamu.” ucap Azril
Shazia beringsut mundur, dia menjauhkan kakinya dari Azril. “Mau di apain?”
“Mau di balikin supaya nggak sakit! Sini, cepat!” ucap Azril memerintah.
Shazia takut bukan main, bagaimana jika Azril membuat kakinya tidak membaik dan malah membuatnya semakin sakit? Dia terus menghindar ketika Azril akan meraih kakinya yang terkilir.
Azril yang gemas langsung mengunci pergerakan kaki Shazia. “Kamu tuh, mau di obatin malah nggak mau? Terus nanti yang bersih-bersih rumah siapa kalau kamu nggak bisa gerak?”
Shazia menelan ludah takut ketika Azril tidak berhenti memarahinya. Sepertinya suasana hati pria itu sedang buruk hari ini. Akhirnya dia hanya diam dan membiarkan kakinya di pegang oleh Azril.
Ketika kulit tangan Azril menyentuh telapak kakinya, Shazia merasa seperti tersetrum. Tetapi, dia menahan tarikannya agar tidak membuat Azril kembali marah. Shazia memejamkan mata ketika merasa ngilu kakinya bertambah saat di pegang oleh pria itu.
“Tahan ya! Satu… dua… tiga!”
Shazia berteriak kesakitan ketika Azril memperbaiki posisi kakinya. Dia menatap pria itu dengan mata lebar karena terkejut. “Sakit, Azril!”
“Coba gerakin?” ucap Azril mengabaikan teriakan kesakitan gadis itu.
Shazia mencoba menggerakkan pergelangan kakinya dan lebih terkejut lagi ketika tidak merasakan rasa ngilu lagi. “Wah, sembuh! Nggak sakit lagi!”
Dia mencoba berdiri dan berjalan, Shazia menatap Azril kagum. “Terimakasih, Zril.”
Azril berdiri dari posisi berlututnya. “Ya, sudah. Ayo, makan sama-sama. Makananya dingin gara-gara kamu.”
Ekspresi bahagia Shazia seketika padam mendengar ucapan Azril. Tetapi, dia mengikuti langkah pria itu walaupun masih sedikit pincang karena kakinya sedikit bengkak. Shazia ikut makan dengan Azril, diam-diam dia senang karena akhirnya pria itu menyukai masakan yang dia masak.
Sebulan tinggal dengan Azril membuat Shazia tahu jika pria itu sangat pemilih makanan dan sangat cerewet. Dia berusaha memasak sesuai keinginan Azril dan akhirnya seminggu terakhir bisa membuatkannya makanan lezat.
“Nanti malam, aku sepertinya pulang terlambat. Jangan buatkan aku makan malam dan makanlah sendiri. Mengerti?”
Shazia mengangguk, “Iya, ada urusan kantor?”
Azril menaikkan satu alisnya, “Kenapa? Penasaran apa yang mau ku kerjakan?”
“Lumayan, mau have fun ya? Di kelab? Ajak aku dong? Suntuk di rumah terus.” Ucap Shazia sembari menyangga kepalanya dengan satu tangan.
Azril langsung menyentil dahi Shazia, “Otak kamu memang isinya kotor semua ya? Saya nggak mau ke kelab, ada urusan bisnis.”
“Sama siapa? Pulangnya tengah malam?” tanya Shazia lagi.
Azril bedecak lalu bangkit bediri. “Bukan urusan kamu. Jangan tanya lagi,” ancamnya ketika melihat Shazia sudah membuka mulut. “…tugas kamu di rumah, bersih-bersih dan masak buat aku.”
Shazia bedecak lalu mengomel sendiri, “Apa salahnya bertanya, dasar bos laknat!’
“Shazia! Saya bisa dengar!” ucap Azril.
Shazia mengabaikan Azril lalu menyalakan wastafel untuk mencuci piring kotor. “Biarin, biar sekalian denger. Nggak ada akhlak emang, cuma nanya doang. Kenapa nggak suruh saya kunci mulut sekalian, biar nggak banyak ngomong.”
Azril tertawa mendengar omelan Shazia, “Zia, pakaikan saya dasi.”
“Ck, tangan saya basah. Bapak nggak liat kalau saya lagi cuci piring.” Jawab Shazia ketus.
Azril berjalan lalu mengacak rambut gadis itu, “Ya sudah, saya minta maaf. Pakaiin dulu ini, nanti saya telat.”
“Ya, urusan bapak kalau telat. Katanya kan saya nggak usah penasaran. Berarti urusan Bapak—”
Shazia tidak bisa melanjutkan ucapannya karena Azril menjepit bibirnya dengan jari telunjuk dan ibu jari membuat gadis itu mengigit jari Azril gemas. “Dasar diktator, saya kayak kerja paksa ya di sini. Kalau di suruh tuh harus di turuin, pokoknya nggak boleh nggak. Nah, ini lagi… kayak anak SD nggak bisa pakai dasi.”
Omelan Shazia tidak berhenti, walaupun begitu dia mematikan wastafel lalu mengeringkan tangannya dengan lap sebelum memasangkan dasi untuk Azril. “Pak, kenapa tinggi banget sih? Dulu di kasih makan bambu ya?” ucap Shazia sembari berjinjit.
Azril tergelak, dia menjitak kepala Shazia untuk kesekian kali. “Bukan, tapi batu sama semen.”
“Pantes, orangnya jadi dingin dan tidak berperikemanusiaan.” Ucap Shazia tanpa berpikir. “…nah sudah selesai nih pak. Jangan sampai lepas ya, nanti kalau nggak ada saya jangan suruh skretaris bapak. Nanti dia naksir lagi.”
Azril mencubit pipi Shazia, “Kamu tuh cerewet banget, dulu makan bebek?”
Shazia menatap Azril heran lalu tertawa, “Dih, ikut-ikutan. Saya mah dulu makan terompet.”
Mereka berdua tertawa.
Azril langsung pamit untuk bekerja, “Hati-hati, kanjeng ndoro.” Ucap Shazia sembari membungkukkan badan di depan pintu saat Azril keluar.
Azril merasa pipinya sakit karena terlalu banyak tertawa, dia segera menutup pintu agar tidak mendengar celotehan Shazia yang sangat aneh. Azril berjalan dengan senyum menghiasi wajahnya. Ini pagi yang luar biasa baik untuknya setelah semalam tidak bisa tidur.
Azril melihat pantulan wajahnya yang terlihat berseri di pintu lift yang tertutup. Dia menatap wajah itu dengan tatapan heran, ini kali pertamanya tertawa lepas setelah beberapa tahun. Azril merasa hatinya menghangat ketika mengingat sosok gadis yang membuatnya berhasil tertawa seperti ini.
…
Shazia menatap pintu itu dengan ekspresi geli, dia bersenandung pelan lalu kembali ke ruang tamu untuk membereskan kekacauan yang dia buat sendiri. Setelah itu, dia sibuk untuk menyelesaikan semua pekerjaannya. Tidak ada tanda-tanda hantu yang menjahilinya, dia bekerja dengan cepat karena ingin melihat drama korea kesukaannya.
Saat selesai dengan semua pekerjaan, tidak terasa matahari sudah terbenam. Memang pekerjaannya sangat banyak karena hari ini Shazia juga belanja bulanan dan dia berlama-lama di pasar karena membeli bahan makanan segar.
Shazia membuat makan malam untuk dirinya sendiri karena sangat yakin Azril akan makan di luar atau pulang tengah malam karena pekerjaannya di kantor.
Shazia membersihkan diri lalu memakai skin care, dia melakukan perawatan rutin setiap hari tanpa lupa walaupun sebenarnya dia malas sekali melakukannya apalagi saat malam, dia bahkan rela menahan kantuk hanya untuk merawat wajahnya.
“Wah, pakai ini memang jadi lembut banget. Nggak bohong iklannya, kulitku jadi lembut dan kencang. Walaupun sekarang jadi pembantu gini, nggak boleh kalah glowing, masa majikan ganteng terus pembantunya nggak glow up.” Gumam Shazia sembari memakai serum.
Setelah itu, Shazia menaiki tempat tidur lalu berbaring terlentang agar wajahnya tidak terkena rambut atau bantal dan membuat perawatan wajahnya berhasil.
Saat Shazia hampir terlelap, dia mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Shazia langsung membuka mata dengan malas lalu melihat ke arah pintu dengan tatapan sebal.
“Zi? Udah tidur?”
Shazia mendengkus lalu menyalakan lampu. “Sudah, Pak. Ini saya lagi merem!”
“Yes! Buatin saya mie rebus sama telor dong.” Ucap Azril dari depan pintu.
Shazia memejamkan matanya berpura-pura tidak mendengar suara Azril.
“Zi? Jangan kejam dong, saya lagi lapar loh.”
“Nggak peduli, Pak. Delivery order aja, saya sudah ngantuk!” jawab Shazia kesal karena tidurnya terganggu tetapi dia betahan agar tidak mengerutkan kening.
Ketukan pintu Azril semakin kencang membuat Shazia membuka selimutnya dengan kencang lalu berjalan ke arah pintu dengan hati dongkol. Dia menyalakan lampu dan melihat sudah jam menunjukkan pukul dua malam.
Shazia membuka pintu kamarnya lalu menatap Azril dengan tatapan tajam. “Pak, kemarin saya sudah ajarin cara buat mie pake telor. Masa sudah lupa?”
“Masih inget, tapi kalau saya yang buat nggak enak.” Jawab Azril sembari menaik turunkan alisnya.
Shazia menahan untuk tidak mencolok kedua mata Azril, ya kali mau di colok, Zi. Nanti yang gaji kamu siapa kalau mata kanjeng ndoro buta? Auto miskin lagi deh, gumam Shazia dalam hati.
“Ya, udah. Yuk.”
Azril menahan lengan Shazia, “Ganti baju dulu gih.”
“Astaga, Pak. Buat mie telor doang di suruh ganti baju, memang mau masak mie di monas?” protes Shazia yang hampir kehilangan kesahabrannya.
Azril menelan ludah tidak ingin membuat Shazia tambah dongkol, dia tahu gadis itu sangat mengantuk. Tetapi, ini pertama kalinya dia melihat Shazia memakai pakaian seperti ini.
“Tapi, kamu… cuma pakai baju tanpa lengan dan setengah paha.” Ucap Azril lalu mengalihkan tatapannya.
Shazia membalikkan tubuhnya, “Ini namanya daster, Pak. Enak di pakai tidur, ya kali saya tidur pakai baju kaos sama celana. Mau mie rebus atau nggak? Saya balik ke kamar aja kalau gitu.”
Azril menggeleng kencang, setelah itu mereka berdua menuju dapur. Azril masih memakai kemeja dan celana panjang, hanya jasnya yang sudah tersampir di sofa dan dasinya sudah longgar.
Dia memperhatikan Shazia bergerak lincah di dapur. Padahal gadis itu sangat mengantuk tetapi tetap cekatan ketika memasak. Keberadaan Shazia sangat mengubah hidup Azril selama dua bulan terakhir dan samar-samar itu membuat Azril tersenyum.
“Kenapa liatin saya terus? Saya seksi? Atau cantik ya?” tanya Shazia penuh percaya diri.
Azril mendengkus, “Nggak tuh, saya nggak sabar nunggu mienya masak. Lagian, kamu nggak ada seksi-seksinya.”
Shazia berbalik lalu memegang dadanya, “Bapak buta ya? Saya seksi kayak gini, berisi juga… ya nggak kurus-kurus lah.”
Azril melotot, dia melihat jelas tubuh Shazia apalagi ketika gadis itu merapatkan pakaian dan otomatis menampilkan lekuk tubuhnya.
“Ck, tetap aja nggak seksi. Mienya mendidih tuh.” Ucap Azril mengubah topik pembicaraan.
Shazia mencebikkan bibir, “Otak doang pinter, tapi yang seksi di anggurin.”
Azril menepuk keningnya. Astaga, dosa apa bisa dapat pembantu narsis sama percaya diri setinggi langit kayak gini!
“Eh, jangan tepuk-tepuk kening gitu, pak. Nanti kalau saya masuk kamar juga pasti bapak bayangin saya.” Ucap Shazia sembari meletakkan mangkok mie yang menggugah selera.
“Selamat malem, Ndoro. Mimpiin saya ya.” Ucap Shazia lalu mengedipkan mata ke arah Azril yang membuat pria itu melihatnya dengan ekspresi tidak terbaca.
Azril semakin berang ketika Shazia menaruh dua jadinya di bibir lalu menempelkannya di pipi Azril dan berlari kencang masuk ke kamar.
“SHAZIA!”
Di kamar, Shazia hanya bisa tertawa puas.
“Siapa suruh gangguin tidur sama perawatan, ya… hitung-hitung bonus lah. Lumayan dapat pipi… besok-besok bibir.” Ucap Shazia lalu kembali bergelung di dalam selimut dengan senyum puas tercetak di bibirnya.