Penampakan Di Lorong

1164 Kata
Part 1 Mobil SUV berwarna hitam itu memasuki halaman parkir apartemen Mediterania di daerah Kelapa Gading. Setelah mobil itu berhenti total, keempat penumpangnya turun dan langsung membuka pintu bagian belakang untuk mengeluarkan beberapa koper dan dus dari dalam mobil. Sebuah mobil berjenis sama yang berwarna putih turut parkir di sebelah mobil hitam. Para penumpangnya yang berjumlah empat orang, turun dan bergegas membantu kedua orang pria tadi untuk mengangkat koper dan dus masuk ke lobby tower A. Apartemen yang akan ditempati Zein, merupakan unit milik Om Hermawan, pemilik perusahaan sekaligus sahabat ayahnya Zein. Zein merasa sangat beruntung, dia hanya perlu membawa pakaian dan perlengkapan lainnya. Karena perabotan rumah semuanya sudah dilengkapi oleh sang pemilik. "Selamat siang, Pak," sapa seorang satpam yang bertugas di lobby. "Siang," jawab Zein seraya tersenyum ramah. Kemudian dia dan teman-teman meneruskan langkah kaki memasuki lift di sebelah kiri lobby. "Kalian lewat lift barang, ya. Aku lewat lift yang ini," titah Zein yang langsung mendapatkan ledekan dari yang lain. "Gitu, ya. Baru juga jadi bos, main perintah!" protes Adi. "Rese emang dia!" sela Ivan. "Udah, buruan angkat. Ntar kelewatan jam pengangkutan barang ribet lagi," tukas Zein sambil merangkul pundak Triska dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya memegang tas kerja. Tia ikut masuk bersama Zein dan Triska ke dalam lift, sambil melambaikan tangan ke arah para pria yang masih menggerutu di depan lift barang. "Apa dari dulu dia emang udah nyebelin gitu?" tanya Ivan pada Adi. "Nggak sih. Tapi dia memang selalu jadi sosok pengambil keputusan," sahut Adi sembari masuk ke dalam lift dengan menyeret koper ukuran jumbo. "Sekarang kamu bilang Zein rese. Tapi nanti kamu bakalan kangen," sela Rama sambil mendorong masuk dus besar. Ivan mendengkus, sementara Adi terkekeh pelan. "Kalian nyusul aja, ya. Lantai lima, nomor dua puluh dua," titah Rama pada Satya dan Ary yang menjawab dengan membentuk kata oke dengan jari. Saat pintu lift barang menutup, Ary mendorong koper berukuran sedang ke lift person yang terbuka. Dengan cepat dia menyelinap masuk dan menarik tangan Satya untuk ikut bersama. Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai di depan pintu nomor dua puluh dua. Ary mengetuk tiga kali sebelum akhirnya pintu terbuka dan wajah Tia muncul. "Lho, kok kalian cuma berdua?" tanya Tia. "Lah. Padahal mereka duluan naik pakai lift barang. Kok jadi kita yang duluan nyampe, ya?" sahut Satya sambil menoleh pada Ary yang mengangkat bahu. Suara beberapa orang dari luar pintu mengalihkan perhatian mereka. Ketiga pria itu masuk ke dalam apartemen dengan bersungut-sungut. "What happen aya naon?" tanya Ary pada ketiga temannya itu. "Lift-nya berhenti lama di lantai tiga. Pintu kebuka dan ketutup dua kali. Kuhardik jinnya baru lift jalan lagi," jelas Adi. Semua mata memandangi Adi dengan pandangan takjub. Kecuali Zein. Pria itu membalikkan tubuh dan memijat pelipis yang tiba-tiba berdenyut. Tepat di depan pintu kamarnya tampak sosok perempuan yang mengenakan gaun berwarna cempaka (putih gading) sedang berdiri sambil tersenyum lebar ke arahnya. Rima, hantu perempuan yang manis dan ceria itu tampak sangat gembira. Dia berjalan mengelilingi unit apartemen yang ditempati Zein. Menembus dinding kamar, berputar-putar di dapur sambil bernyanyi lagu cinta. Zein memandangi gerakan hantu centil dengan alis bertaut dan dahi terlipat. Dia berusaha untuk tetap fokus pada obrolan bersama teman-teman, tapi gerakan Rima yang semakin aktif membuatnya membatin. Brrruuukkk! Rima menabrak tubuh Adi yang sedang melintas di dekat dispenser. Sesaat pria bertubuh tinggi besar itu terdiam dan melihat sekitar, sebelum akhirnya melangkah masuk ke kamar mandi. "Diam coba!" desis Zein pada Rima yang langsung merengut. "Adi itu juga punya kemampuan yang sama denganku. Kamu harus hati-hati," jelas Zein. Dia mengulum senyum saat melihat Rima mengerucutkan bibir dan melipat tangan di depan d**a. Usahanya untuk menakut-nakuti Rima akhirnya berhasil. Hantu itu langsung naik ke atas kulkas dan duduk diam di sana. *** Malam pun menjelang. Kedelapan orang tersebut keluar dari apartemen untuk mencari tempat makan yang nyaman agar bisa menghabiskan waktu bersama. "Nanti Triska kudu dijaga baik-baik, ya, Tia. Abang cuma percaya sama kamu. Yang lain nggak bisa dipercaya," seloroh Zein. "Hmmm. Lihat saja nanti. Minggu depan Triska bakal lupa sama kamu, Zein. Dan berpindah ke hatiku," sela Rama sambil mengedip-ngedipkan mata kremian. Triska menanggapi obrolan para pria itu dengan memandangi mereka satu per satu sambil memasang wajah dingin. "Rese semua!" omelnya. Tangan kiri Zein terulur ke bawah meja dan menggenggam jemari Triska. Diusapnya dengan lembut jemari lentik itu sambil memandangi wajah kekasihnya dari samping. Ada rasa sedih harus tinggal terpisah seperti ini. Setelah sebelumnya mereka tinggal di rumah yang sama selama satu tahun. Zein tersenyum tipis saat mengingat kemunculan Rima yang awalnya menakutkan di sana, ternyata menjadi awal kedekatannya dengan perempuan berambut panjang ini. Rasa cinta dalam hatinya yang tumbuh subur setiap hari, membuatnya nekat melamar Triska minggu lalu. Walaupun awalnya orang tua Triska sedikit keberatan, tapi setelah teman-teman kosan ikut membela Zein dan menjelaskan situasi, akhirnya Ayah Triska menerima lamaran mendadak itu. Selanjutnya, awal bulan depan orang tua Zein akan datang untuk melamar Triska secara resmi. Sekaligus untuk bertemu dengan calon menantu yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Setelah mereka kembali ke apartemen, para pria mulai bergelimpangan mencari posisi yang enak. Sedangkan Tia dan Triska beristirahat di dalam kamar. Satu per satu para pria itu mulai tertidur. Rasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh dari Bandung, membuat mereka cepat sekali terlelap. Kletak. Kletak. Kletak. Suara hak sepatu yang terdengar beberapa kali membuat Zein terjaga kembali. Dia membuka mata dan melirik ke ponselnya yang diletakkan di sebelah bantal. Ternyata sekarang sudah pukul 00.30 wib. Zein menutup mata kembali sebelum suara itu kembali terdengar bolak balik di lorong depan unit yang ditempatinya. Niat hati ingin mengabaikan suara menjadi gagal karena Rima tiba-tiba muncul di dekat kaki Zein. Menatap pria itu dengan mata bulatnya dan menggerak-gerakkan dagu menunjuk ke arah pintu. "Aku ngantuk, Rima," lirih Zein. "Pokoknya bangun!" Perempuan itu tetap memaksa. "Kamu lihat aja sendiri gih. Kali aja bisa temenan." Zein berbalik ke kanan dan menutup mata kembali. Hawa dingin di telapak kaki membuat pria itu akhirnya menyerah dan bangkit. Duduk dengan punggung melengkung dan menguap beberapa kali. Zein menyipitkan mata, memandangi hantu perempuan yang cengengesan di depannya. "Ayo!" ajak Rima. Tangannya terulur dan menyentuh lengan kiri Zein. Mencoba menariknya tapi tidak bisa karena tangannya malah menembus lengan. Rima mengerucutkan bibir dengan kesal. Hal ini yang membuatnya gemas menjadi hantu. Dia tidak bisa menyentuh semua orang atau benda yang ingin dia pegang. Kadang bisa berhasil di waktu-waktu tertentu, tapi lebih banyak tidak berhasilnya. Zein terkekeh pelan melihat ekspresi teman hantunya itu. Dia paham dengan perasaan Rima saat ini. "Ayoklah," ucapnya sembari bangkit berdiri dan melangkahkan kaki menuju pintu. Pria berwajah tampan itu mengintip ke lubang kecil yang ada di pintu. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang tampak di luar sana. Perlahan dia membuka pintu, melongokkan kepala dan memandangi lorong panjang dengan saksama. Sesosok mahluk samar tampak berdiri di depan lift. Memunggungi Zein yang beranjak ke luar unit. Saat sosok itu mengubah posisi tubuh menghadap ke kiri, Zein bisa melihat penampakan mahluk itu dengan lebih jelas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN