Bab 2

2033 Kata
Ethan tetap bersikeras menolak kasus pembunuhan Simon Loraine yang dilimpahkan padanya. Dan Pak Kepala Cooper juga tetap bersikeras memberikan kasus yang menurutnya sangat penting ini kepada Ethan. Hanya Ethan yang dapat berbicara pada Amanda tanpa dicurigai gadis itu kalau ia sedang diinterogasi. Selain itu, Ethan juga bisa menjaga Amanda sekaligus. Karena mungkin saja kan perempuan itu menjadi target pembunuhan selanjutnya. Soal tidak adanya petunjuk memang sangat disayangkan. Tapi Pak Kepala Cooper yakin, seyakin-yakinnya kalau mereka pasti dapat memecahkan kasus pembunuhan kali ini. Meskipun seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Yang tidak yakin adalah Ethan. Dengan tidak adanya satu pun bukti sama saja mereka mengejar pembunuh yang tak tampak atau tak kasat mata. Dan itu adalah salah satu alasan Ethan menolak untuk menangani kasus ini. Lebih mudah mengejar seorang gembong narkoba daripada mengejar seorang pembunuh bayangan yang sama saja dengan mengejar hantu bagi Ethan. "Oh ayolah, Nak. Alasan tak masuk akal macam apa lagi ini?" Pak Kepala Cooper sudah kehilangan akal untuk membujuk Ethan. "Tidak ada hantu yang bisa menembak manusia. Yang ada kau akan mati dicekik atau apa saja, yang pasti bukan ditembak." Ethan mengusap wajah kasar. Pembicaraan ini membuatnya lelah dan mengantuk. Pria itu menguap. Pak Kepala Cooper berdehem. Kembali menggeser map berisi berkas pembunuhan Simon Loraine ke depan Ethan. "Milikmu!" ucap pria berkulit hitam itu. Tatapannya tegas tak ingin dibantah. Ethan mengerang sekali lagi. Sepertinya ia tak dapat menghindari permintaan Pak Kepala Cooper lagi. Dengan sangat terpaksa Ethan mengambil amplop berwarna cokelat itu, membukanya dengan malas. Hanya ada selembar kertas di dalam amplop itu. Tentu saja, memang seharusnya begitu. Pembunuhan Simon Loraine termasuk kasus pembunuhan yang penuh misteri. Pembunuh yang tidak terekam di kamera pengintai serta tidak meninggalkan bukti sedikit pun bukanlah pembunuh sembarangan. Kali ini kepolisian kota New York menghadapi kasus yang lebih rumit dari biasanya. "Aku harus memulai dari mana?" Pertanyaan lirih Ethan itu lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. Pertanyaan yang masih bisa didengar oleh Pak Kepala Cooper. "Kurasa kau bisa memulainya dari Amanda?" usul Pak Kepala Cooper. Ethan menggeleng pelan. Pria itu kembali menyenderkan punggung ke belakang. "Aku rasa sekarang masih belum bisa, Pak. Amanda masih tertekan. Bahkan aku ragu Amanda bisa menghadiri pemakaman mendiang Ayahnya," jawab Ethan lirih. Kepalanya terdongak menatap langit-langit kantor yang dihiasi kipas angin gantung. Sungguh hiasan yang tidak moderen sekali. Padahal seluruh ruangan di kantor ini sudah dipasangi penyejuk ruangan. Tetapi Pak Kepala Cooper masih mempertahankan kipas angin tua itu di samping penyejuk ruangan di ruangannya ini. "Omong-omong soal menghadiri pemakaman, kau dan Leticia akan mendampingiku untuk menghadirinya," ucap Pak Kepala Cooper dengan wajah tanpa dosa. Pria paruh baya itu tersenyum manis seolah apa yang dikatakannya tidak berpengaruh apa-apa pada Ethan. Pak Kepala Cooper tidak memedulikan wajah tampan Ethan yang tampak putus asa. "Kau tidak akan menolaknya kan?" tanyanya. Seolah tak cukup pria itu menyuruhnya menyelesaikan kasus pembunuhan tak berujung ini, ia diminta untuk menemani menghadiri upacara pemakaman Simon Loraine. Untung saja acara itu dilaksanakan kira-kira seminggu lagi. Kalau tidak, dapat dipastikan Ethan akan menjadi salah satu penghuni rumah sakit untuk beberapa hari. Ethan sangat lemah pada sesuatu yang berhubungan dengan nyawa. Tidak ada yang tahu soal ini kecuali dirinya, ia memendamnya seorang diri. Sesungguhnya ia tidak tega melukai seseorang ataupun melihat ada orang yang terluka. Ethan tidak suka dengan darah. Dan itu yang membuatnya tidak pernah menangani kasus pembunuhan. Pembunuhan Simon Loraine adalah kasus pembunuhan pertama yang ditanganinya. Itu pun kalau bukan Pak Kepala Cooper yang memaksa. Ethan mengangguk. "Aku memang harus di sana untuk menemani Amanda. Kurasa dia lebih membutuhkanku daripada Anda," jawab Ethan penuh sindiran. "Apa itu artinya kau menolak untuk menemaniku?" tanya Pak Kepala Cooper lagi. Mata cokelat pria itu melebar. "Seandainya saja dengan menerima undangan Anda ini aku akan terbebas dari kasus mendiang Simon Loraine, maka dengan senang hati aku akan menerimanya," sahut Ethan. Kepalanya kembali terdongak. Sungguh ia sangat mengantuk. Tadi malam ia baru bisa memejamkan mata menjelang pagi. Dan terbangun lagi pagi-pagi sekali karena telepon dari Amanda. Seharusnya sekarang ia berada di apartemennya, di atas tempat tidur dan bermimpi indah tentang cuti panjang yang diberikan atasannya. Bukannya berada di ruangan atasannya yang selalu saja memaksanya ini. Pak Kepala Cooper menghela napas sebelum bersuara. Kedua tangannya terlipat rapi di atas meja. "Maafkan aku, Anak Muda. Tetapi memang kau yang harus menangani kasus penting ini," ucap Pada Pak Kepala Cooper dengan tanpa penyesalan. "Jenderal polisi Samuel Grant yang memerintahkan. Beliau mengetahui kalau kau berteman dengan putri korban." Pak Kepala Cooper menyenderkan punggung pada senderan kursinya. "Aku sudah mengatakan pada beliau kalau kau bukan detektif di bidang ini, tetapi beliau terus memaksa." "Damn!" Ethan memaki kesal. Kedua tangannya terkepal. Ia tak menyangka kalau hubungan pertemanannya dengan Amanda bisa diketahui pihak lain yang bukan dari kantornya. Atau ada seseorang dari kantornya yang mengatakan tentang itu? Ethan mendengus. "Menurut Pak Sam, kau bisa memanfaatkan hubungan pertemanan itu untuk lebih mengorek keterangan dari Amanda," lanjut Pak Kepala Cooper. "Anda sudah mengatakannya tadi, Pak." Ethan mengerang untuk yang kesekian kalinya. Kali ini karena ia benar-benar kesal. "Berarti Anda mengutip kata-kata dari Pak Samuel." "Begitulah." Pak Kepala Cooper tersenyum lebar. Ethan memutar bola mata. Pria tua di depannya ini sangat menyebalkan. Kalau saja ia tidak menyayanginya, mungkin Ethan sudah menendang bokongnya sejak tadi. Ia dan Pak Kepala Cooper terbilang sangat dekat. Ia selalu merayakan malam Thanksgiving bersama keluarga Cooper. Ia sudah menganggap keluarga Cooper seperti keluarganya sendiri. Sementara keluarga kandungnya entah berada di mana. Yang Ethan ingat hanyalah, ia ditinggalkan oleh Ibunya di depan pintu sebuah panti asuhan. Ibu Ethan berjanji akan kembali untuk menjemput. Janji yang tak pernah ditepati sang Ibu sampai sekarang. Ethan juga sudah melupakan wanita itu. Wanita yang tega meninggalkan anak laki-lakinya yang masih berusia empat tahun di depan pintu sebuah panti asuhan yang bersalju. Ethan menggeleng mengusir kenangan masa kecilnya yang buruk. "Pak Samuel tidak bisa memintaku untuk menginterogasi Amanda seolah ia tersangka saja," bantah Ethan. Pak Kepala Cooper mengembuskan napas sebelum menjawab. Pria itu menggeleng. "Bukan sebagai tersangka, tetapi kau akan menginterogasinya sebagai saksi." Pak Kepala Cooper menegakkan duduknya. "Terserah kau setuju atau tidak, tetapi Amanda adalah satu-satunya saksi yang kita miliki. Dan tidak menutup kemungkinan statusnya meningkat dari saksi menjadi tersangka..." "Maksud Anda, Amanda membunuh Ayahnya sendiri, begitu?" tanya Ethan dengan raut wajah mengeras. Ia tidak terima sahabatnya dipojokkan. Pak Kepala Cooper tidak menjawab. Pria itu hanya mengangkat bahu. Ethan menggeleng kuat. Ia menghormati Pak Cooper, juga menyayanginya. Tetapi Ethan tetap tidak bisa menerima tuduhan atas sahabatnya. "Semua orang tahu kalau Amanda sangat dekat dan sangat menyayangi Ayahnya!" sentak Ethan. "Oleh karena itu aku menerima permintaan Jenderal Samuel untuk menugaskanmu dalam mengungkap kasus pembunuhan ini. Untuk membuktikan sahabatmu itu tidak terlibat." Ethan mengusap wajah kasar. Lagi-lagi pria itu menyender dan mendongakkan kepalanya. Pikirannya sangat kacau sekarang. Ia juga sangat mengantuk. Perpaduan kurang tidur dan ketegangan karena kasus ini membuatnya tak bisa mengontrol emosi. "Maafkan aku, Pak," ucap Ethan lamat-lamat. Ia menyesal telah membentak pria tua di depannya. "Aku tidak bermaksud untuk membentak Anda." Pak Kepala Cooper mengangguk. Ia juga sama tegangnya dengan Ethan. Lebih-lebih setelah pemerintah pusat mengetahui kasus ini. Ia memang merasa terhormat dengan dilimpahkannya kasus ini ke kesatuannya. Tetapi secara tidak langsung kasus ini juga akan menguji kinerja tim-nya. Kalau mereka sukses, maka itu merupakan sebuah pencapaian tertinggi bagi kesatuan yang dipimpinnya. Tetapi kalau gagal, tamatlah riwayat mereka. Kemungkinan nama kesatuannya akan tercemar. Karenanya ia menunjuk Ethan untuk menangani dan mengungkap kasus pembunuhan bayangan ini. Begitu Jenderal Samuel menyebutnya tadi. Ethan adalah detektif kriminal terbaik. Pria muda itu selalu dapat menuntaskan serupa kasus yang diberikan padanya dalam waktu relatif singkat. Ethan juga berhasil menyingkap kasus penyelundupan narkoba terbesar di kota mereka. Selain reputasi Ethan yang tak ada cacat, fakta kalau Ethan berteman dengan putri korban merupakan sebuah nilai tambah. Itu yang membuat Jenderal Samuel melimpahkan kasus ini kepada mereka. "Tidak apa-apa, Nak. Aku mengerti bagaimana perasaanmu." Pak Kepala Cooper mengembuskan napas. Menaikkan kedua tangannya yang masih menyatu dan menaruh dagunya di sana. "Aku juga sama sepertimu. Kita semua mengalami sebuah ketegangan yang sama karena kasus ini. Bukan hanya karena tidak ada bukti yang membuat kita seolah berurusan dengan seorang pembunuh yang bukan manusia. Melainkan juga karena ini kasus besar dan sangat penting yang masuk ke kesatuan kita." Ethan menghela napas, mengembuskannya keras melalui mulut. Pria itu mengangguk. Ini memang bukan pertama kalinya ia menangani sebuah kasus besar, tetapi mungkin tidak sebesar kasus yang sekarang. Pembunuhan Simon Loraine saja sudah merupakan berita besar, ditambah dengan pembunuhnya yang tak berjejak. Semakin membuat kasus ini seolah tak berujung saja. Baru saja dimulai ia rasanya sudah ingin menyerah. "Aku yakin kau pasti bisa menangani kasus ini seperti kasus-kasus yang kau tangani sebelumnya," ucap Pak Kepala Cooper yakin. "Kuharap juga begitu," sahut Ethan tersenyum. Tapi siapa pun yang mendengar suaranya pasti dapat menangkap kalau Ethan tidak bersemangat. "Mereka memberikan kita waktu yang tak terbatas. Yang penting kasus ini bisa tuntas." Ethan kembali mengangguk. Kemudian mengambil map dari atas meja Pak Kepala Cooper. "Apa kita sudah selesai?" tanya Ethan lelah. "Karena aku harus pulang dan tidur. Aku tahu ini bukan saatnya untuk tidur, tetapi aku sangat memerlukannya." Pak Kepala Cooper mengangguk. Ia memahami situasi dan kondisi salah satu detektif andalannya ini. Ethan sangat terlihat tidak bersemangat. Pria muda itu sepertinya memang memerlukan istirahat. "Aku akan memulai penyelidikan ku malam ini." Ethan melangkah menuju pintu. Membukanya dan kembali menoleh. "Atau mungkin besok," lanjut pria itu sebelum keluar dari ruangan atasannya. Pak Kepala Cooper mengembuskan napas. Pria itu kembali duduk setelah tadi ikut berdiri karena melihat Ethan berdiri. Harapannya pada Ethan sangat besar. Sebesar rasa sayangnya pada pria itu. Ia ingin Ethan yang menggantikan posisinya sebagai pemimpin di kesatuan ini setelah ia pensiun nanti. . . . . . . . . . . Ethan melangkah gontai memasuki apartemennya. Langkah kakinya langsung menuju ke lantai dua di mana kamar tidurnya berada. Ia tak perlu repot-repot mengunci pintu apartemen, karena pintu itu akan terkunci sendiri secara otomatis kalau pemiliknya sudah berada di dalam. Ethan meletakkan map cokelat yang diterimanya dari Pak Kepala Cooper di atas nakas. Dan melemparkan tubuhnya ke tempat tidur kasar, masih dengan pakaian lengkap. Ia terlalu lelah untuk sekedar membersihkan diri. Melepas sepatu pun tak sempat dilakukannya lagi. Perkataan Ethan kalau ia sangat mengantuk dan lelah ternyata tidak bohong. Tak berapa lama, dengkuran halus terdengar dari pria itu. Ethan sudah terlelap hanya beberapa saat merebahkan dirinya di tempat tidur. Sangat lelap sampai-sampai Ethan tidak mendengar kalau ponsel dan telepon rumahnya berdering. Padahal ponsel masih berada di dalam saku kemejanya, tetapi Ethan tidak dapat mendengar suara dering dan merasakan getaran dari ponsel. Ia sudah sangat-sangat terlelap. Ethan baru bangun beberapa jam kemudian. Saat matanya terbuka, yang pertama kali didapatinya adalah dirinya yang tengkurap di tempat tidur dan keadaan kamarnya yang agak gelap. Hari ternyata sudah malam dan ia belum menyalakan lampu. Kamarnya hanya diterangi cahaya-cahaya dari luar yang masuk melalui kaca jendela yang gorden penutupnya masih terbuka. Ethan membalik tubuh. Pria itu mengucek mata dan mengerang. Tangannya menggapai nakas, menyalakan lampu tidur yang berada di sana. Memang tidak seterang lampu utama, namun cukup untuk membuat kamarnya bercahaya. Perlahan Ethan duduk. Kedua tangannya terentang untuk meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku setelah tertidur beberapa jam. Entah berapa lama ia tidur, yang pasti Ethan merasa tubuhnya sudah sedikit segar. Ethan turun dari tempat tidur, menanggalkan kemeja dan melemparnya ke atas tempat tidur. Ia lebih nyaman hanya memakai kaus atau tak memakai apa-apa di tubuh bagian atasnya saat berada di apartemen. Rasanya lebih leluasa saja. Setelah menyalakan seluruh lampu di apartemennya, Ethan bergegas pergi ke kamar mandi. Seluruh tubuhnya terasa lengket oleh keringat. Memang penyejuk ruangan tidak ia nyalakan. Ia sangat jarang menggunakan alat yang satu itu, kecuali udara di luar sedang tidak bersahabat. Ethan lebih suka berkeringat, menurutnya lebih sehat. Seperti biasa, Ethan selalu keluar dari kamar mandi hanya menggunakan boxer ataupun handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Toh ia hanya tinggal sendiri, ia telanjang seluruh tubuh pun tak akan ada yang melihatnya. Ethan berniat makan malam sambil menonton tv setelah berpakaian. Itu yang ingin dilakukannya seandainya saja ponselnya tidak berbunyi. Dengan malas Ethan menghampiri tempat tidur. Memungut kemeja yang tadi siang dikenakannya dan mengambil ponsel dari kantung kemeja. Mata biru Ethan melebar melihat nama penelepon yang tertera di layar ponselnya. Amanda Loraine.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN