The Twins

1196 Kata
“Gafin ... Bisa kita nggak langsung pulang hari ini?” bocah lelaki itu menarik tangan saudaranya, mereka menghentikan langkah bersama. Gafin mengerutkan kening dan menatap bingung saudara lelakinya. “Kenapa? Kamu mau kemana, Kak?” Kakak bocah lelaki itu mengajaknya duduk pada bangku kosong yang ada di taman. Ia menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. “Aku dapat nilai nol dalam ulangan hari ini. Kalau kita pulang, mama pasti bakalan marah besar sama aku. Aku nggak mau dimarahin lagi.” bocah lelaki itu mengacak rambutnya frustrasi. Gafin tersenyum lebar. “Nih ... Kamu pakai kacamataku.” Gafin menyerahkan kacamatanya kepada kakak lelakinya, “Hari ini kamu jadi Gafin dan aku jadi Andrew.” Gafin tersenyum manis, sedangkan Andrew hanya bisa menatap wajah adiknya itu dengan tatapan tidak percaya. Andrew menolak kacamata yang diulurkan saudaranya. “Nggak usah ... Nanti kamu yang dimarahin sama mama. Emang kamu kira mama nggak bisa bedain kita berdua?” Gafin menyengir kuda dan mendekatkan wajahnya dengan wajah kakaknya. “Bukankah kita pernah mencoba permainan seperti ini dan hasilnya banyak yang nggak bisa membedakan kita berdua. Kamu udah sering dimarahin mama. Biar kali ini, aku yang menggantikan peranmu, Kak. Hanya sampai mendengarkan ceramah mama, setelah itu kita bertukar peran lagi.” Andrew tersenyum lebar dan mengangguk setuju. “Terimakasih. Adikku. Kamu adik kembar yang paling baik sedunia.” Andrew memeluk erat tubuh adiknya. Mereka berdua bertukar senyum dan pulang ke rumah dengan kebahagiaan yang masih terlukis jelas pada wajah keduanya. *** Hamparan sawah dan jalan setapak yang mereka lalui tampak sepi. Keduanya berjalan sembari bersiul riang. Suasana desa dan udaranya yang sejuk membuat mereka merasa damai. Jarang sekali mereka menemui pemandangan seindah ini di kota kelahiran mereka—Jakarta. Andrew menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, lalu menarik paksa Gafin—adiknya yang jenius—ke dalam lumpur. “Kita mau ngapain, sih? Aku nggak suka tempat berlumpur. Lebih baik kita pulang, agar aku bisa membaca buku.” Gafin mendengkus kesal. “Ssstt …” Andrew meletakkan jari telunjuk di depan bibir. Gafin berdecak sebal untuk kesekian kalinya dan mulai menutup rapat mulutnya.  Ia tidak menikmati permainan lumpur di sawah yang dipenuhi padi itu. “Mendekatlah, Fin.” Andrew menggerak-gerakkan tangannya di udara, meminta Gafin mendekat ke arahnya. Gafin yang kesal pun segera menuruti permintaan kakaknya agar mereka bisa segera pulang ke penginapan. “Apaan sih!” bisiknya saat sudah berdiri tepat di samping Andrew.  “Lihat itu.” Andrew mengarahkan jari telunjuk ke depan, Gafin mengikuti arah jari telunjuk kakak kembarnya dan membeku di tempatnya. Rasa takut mulai menguasai hati. “A … yo … ki-ta pu-lang,” ujar Gafin terbata. “Sebentar lagi, Anak jenius. Kamu nggak bisa melihat pemandangan seperti ini di kota.” Andrew menyengir kuda. “Jika ular itu sudah selesai memakan tikusnya, maka kita yang akan disantap olehnya.” Bocah itu meloto ke arah Andrew, namun Andrew tak peduli, “Dasar, Andrew bodoh!” lanjut Gafin sembari menatap tajam kakaknya. Ia berharap kembarannya itu dapat menggunakan sedikit otaknya untuk berpikir. Bagaimana jika ular itu selesai memakan tikus itu dan masih kelaparan? “Ini namanya tantangan.” Andrew kecil tersenyum bangga. Ia senang menyaksikan seekor ular sawah besar menikmati makan siangnya yang tidak lain adalah seekor tikus secara langsung. Biasanya ia hanya bisa menonton peristiwa seperti ini melalui televisi. Kapan lagi bisa melihat adegan menantang seperti ini. Jangan harap di kota kita dapat menyaksikan aski liar binatang seperti sekarang. Secara live! Amazing! “Sebaiknya kita segera pulang,” bisik Gafin. “Kamu pengecut! jangan selalu berteman dengan buku. Semua ini karena kamu kebanyakan membaca, hingga menjadi pengecut,” ujar Andrew sarkastis. “Aku tidak peduli. Aku akan meninggalkanmu.” Gafin membalikkan tubuh dan hendak meninggalkan kakaknya yang sudah gila itu, namun gerakkannya dihentikan oleh tangan Andrew. “Lima menit lagi, Adikku.” Andrew menatap Gafin memelas. Gafin menghela napas gusar. Ia tidak tahu sebenarnya siapa yang kakak dan siapa yang adik di antara mereka. “Fine,” ujarnya lemah. Tubuh kecilnya bergetar ketakutan saat menyaksikan keliaran binatang melatah itu, tetapi ia tidak ingin terlihat begitu mengenaskan di hadapan kakak lelakinya. Menit demi menit telah berlalu. Andrew dan Gafin berhasil pulang dengan selamat—tanpa gigitan ular yang mereka saksikan tadi. Dalam perjalanan pulang, Andrew tidak bisa diam dan semua yang dilakukannya berhasil membuat Gafin kesal. Sepanjang perjalanan, Andrew tidak henti-hentinya menggoda gadis-gadis desa yang manis, bukan hanya sekedar gadis desa,  Andrew bahkan menggoda ibu-ibu yang jauh dari kata cantik. Sedangkan Gafin hanya bisa menggeleng-geleng saat melihat kelakuan kembarannya itu. Apa kami memang kembar? Wajah kami memang sama, tetapi kenapa kelakuan kembaranku sungguh ajaib, gumam Gafin dalam hati. *** Andrew  melumat rakus bibir gadis yang duduk pada meja di hadapannya. Tidak ingin menyia-nyiakan mangsanya, Andrew pun melanjutkan serangan. Dibukanya kancing baju gadis itu, lalu meremas, menjilat, dan mengigit pelan puncak buah d**a gadis itu. Tubuh gadis itu menggeliat resah, desahan nikmat memenuhi ruangan yang sudah kosong, membuat gelora Andrew semakin menjadi-jadi. Jemari Andrew tak bisa diam, ia mengusap-usap permukaan celana dalam gadis itu, membuat tubuh gadis itu semakin panas. Ingin lebih menyiksa korbannya, Andrew pun memasukkan jemarinya ke dalam, mengusap-usap  inti gadis itu, lalu memasukkan dua jarinya. Menarik dan memasukkan berulang kali. Gadis itu semakin menggila, tidak mampu menahan hasrat yang menggelora. “Mmmm ... I want more, Drew,” ujar wanita itu dengan suara parau. Sebuah seringaian terlukis jelas pada wajah Andrew. Semua wanita sama saja baginya. Saat mereka menemukan lelaki yang bisa membuat seluruh tubuh mereka terasa terbakar, maka mereka akan melupakan semua tentang cinta. Bualan tentang cinta manis hanya omong kosong belaka bila kaum hawa menemukan pejantan sepertinya. “Putus dengan Gafin dan aku akan memberikanmu kenikmatan yang akan membawamu terbang hingga langit ke tujuh,” bisik Andrew pada telinga gadis itu. Andrew menciumi leher jenjang gadis cantik itu. Gadis itu memejamkan matanya dan menikmati api gairah yang membakar seluruh tubuhnya. Andrew adalah lelaki yang dapat membuat semua wanita bertekuk lutut dihadapannya. Diumurnya yang masih terbilang sangat muda, ia sudah mengerti bagaimana caranya memuaskan birahi seorang wanita. Jam terbang yang banyak dan bergonta-ganti wanita, membuatnya sangat berpengalaman untuk memuaskan mereka. “Jika aku putus dari adikmu yang mencintai buku itu, apa kamu nggak akan mencampakkanku?” gadis itu menatap ke dalam manik mata Andrew, mencoba mencari setitik kejujuran pada mata coklat hazelnut di depannya. “Tentu saja tidak. Aku mencintaimu dan akan menjadikanmu ratu di dalam surga cintaku.” Andrew tersenyum manis dan kembali melumat rakus bibir gadis di hadapannya. Peduli setan dengan cinta. Kamu harus menjadi milikku karena aku harus menghancurkannya. Menghancurkan sedikit kebanggaan dan kesempurnaan yang dimilikinya. Semua wanita sama saja. Bukankah aku sangat baik karena telah membantumu mencari pasangan yang baik, Adikku? Seringaian menghiasi wajah Andrew. Ia tak pernah gagal menjalankan rencananya, begitu juga rencananya hari ini. Ia akan merampas semua yang disukai pemuda itu. Ia ingin adiknya mengerti bagaimana berada di posisinya, dicampakkan, diasingkan, dan tidak diinginkan. Tak ada yang memberinya kasih sayang walau ia mengemis, sedangkan Sang adik mendapatkan cinta yang berlimpah. Lagipula, Andrew tak memiliki hati dan ia tak memerlukan cinta. Pada dasarnya, wanita adalah boneka cantik yang bisa dimainkannya sepuas hati dan mudah dicampakkan saat sudah bosan. Cinta adalah permainan hati dan ia menyukai permainan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN