Abang, Malioboro, dan Byan

769 Kata
Pukul 08.56 WIB, terik mulai membakar Jogja, ketika itu pula aku masih menjadi Ijah di rumah bercat hijau ini. “Cepetan dong, Jah, orang mau diajak jalan-jalan juga!” Itu suara Bang Arta, Taruna Tingkat Akhir dari Akademi Angkatan Udara, Abang sepupuku yang sangat dekat dengan keluargaku. Bahkan alasan dia menjadi tentara ialah Ayah. Papanya berada di bidang Perbankan sementara Mamanya seorang guru Bahasa Indonesia. Dia sedang pesiar di akhir pekan ini, untuk itu dia mengunjungiku. “Bentarlah, Bang!” Setelah menyelesaikan semuanya, aku pergi dengan Bang Arta atas izin Ayah dan Bunda. Sampai di depan Istana Negara Yogyakarta, aku menatap datar Bang Arta. “Pantes jomblo akut. Sekelas Taruna AAU ngajak cewek jalan cuma ke Malioboro, ngemal dong, Bang!” “Cuma cewek matre dan buta yang diajak jalan maunya ke mal. Nggak mau lihat indahnya Indonesia dari sudut pandang yang luar biasa. Lagi pula, jalan kemanapun yang penting dengan siapa kita bersama,” katanya menggenggam tangaku. “Jangan terlalu banyak menuntut jadi cewek. Toh yang paling romantis dari seorang laki-laki adalah waktu bersama yang sederhana.” Aku tersenyum, Bang Arta selalu manis, sayang dia sepupuku. Kalau tidak, sudah kubilang pada Ayah untuk menjodohkanku dengannya. Dari Bang Arta aku tahu, menghibur diri bukan selalu soal mal yang menjulang tinggi, melihat orang lain tersenyum di tengah hiruk pikuk Malioboro adalah kebahagiaan tersendiri. Kami terus berjalan kemanapun yang kami mau, seraya terus memperhatikan ratusan penjual baju dan pernak-pernik khas Jogja menjajakan barang dagangannya. Lalu berhenti salah satu lapak penjual kaus-kaus khas Jogja. Jika Bali punya Joger maka Jogja pun punya kaus-kaus dengan kata-kata unik semacam itu, semua khas Jogja, asli Jogja, murah meriah pula. “Bang, ini bagus buat para taruna AAU, kasih deh buat yang paling ganteng, bilang sama dia dari perempuan paling cantik, anaknya Danyon 403.” “Dasar gatel!” menyentil kepalaku. “Bukan gatel, Bang. Namanya usaha, ha ha ha.” “Benar ya kata orang-orang, anaknya tentara pasti sama tentara juga,” celetuk seseorang yang berada di antar padatnya pengunjung Malioboro. Abang bergeser ke depanku, seolah melindungiku dengan badan tegapnya khas seorang taruna. “Kenal?” tanya Abang pada sosok laki-laki menyebalkan itu. Meski seseorang itu tidak menatapku tapi aku dan Bang Arta tahu siapa yang baru saja disindirnya itu. Karena dari ratusan orang yang berkerumun di sini hanya Abang yang kelihatan calon tentara dengan seragam taruna cokelatnya. Rasanya ingin kucolok mata itu dan kutali mulutnya dengan karet gelang, masalahnya aku tidak bisa juga sebrutal itu. “Aku nggak merasa ngomong sama Mas sih, tadi aku ngomong sendiri.” “Gila?” “Ngomong sendiri bukan berarti gila, bahkan seleb-seleb sekarang, tukang bikin video Youtube sekarang banyak yang ngomong sendiri di depan kamera dan mereka masih cukup waras untuk menghibur dan menginspirasi orang.” “Ya itu ngomong sendiri yang berfaedah. Kalau kamu ini ada faedahnya?” tanya Abang sedikit menahan kesal. Abang selalu seganteng ini loh mau marah atau tidak marah, mau tersenyum atau cemberut. Ada yang mau sama Abang? Boleh kok, mumpung masih jomblo. “Ada. Faedahnya adalah semua orang akhirnya tahu kalau anak tentara sudah pasti sama anak tentara juga. Biar orang-orang macam mereka-mereka ini tidak terlalu berharap sama anak tentara.” Aku yakin Bang Arta ingin sekali mentertawakan kalimat laki-laki menyebalkan ini. Sebuah penjelasan yang sangat tidak ada isinya, manfaatnya apalagi pesan moralnya. “Siapa namamu?” “Sudahlah, Bang. Tidak penting meladeni orang seperti dia,” seruku mencengkram kuat tangan Bang Arta. “Perkenalkan,” Byan, iya memang Byan, dia mengajukan tangan kanannya pada Bang Arta. “Nama saya Byantara Abimanyu, calon pilot Jupiter.” Bang Arta hanya melihat tangan Byan, dia tidak berniat untuk berjabat tangan dengan Byan. Lagi pula Jogja ini luas, kenapa di mana-mana ada Byan? “Saya akan jadi seniormu! Ingat-ingat wajah saya, ingat-ingat tanda di pundak saya! AAU!” sombong Bang Arta. Jupiter itu nama salah satu pesawat tempur milik TNI AU yang biasa digunakan untuk pertunjukan udara pada masa kini. Mungkin maksudnya Byan ingin masuk TNI AU lalu menjadi pilot pesawat Jupiter. Aku langsung menarik tangan Bang Arta, membawanya pergi. Entahlah ke mana yang pasti tidak ada Byan. Jika saja boleh berpindah lagi, aku akan meminta pindah pada Panglima TNI. Yogyakarta yang sedianya istimewa menjadi sangat temaram berkat kelakuan Byantara padaku. “Siapa sih itu tadi, Kak?” tanya Bang Arta. “Musuhku,” jawabku singkat. “Musuh? Musuh bisa jadi cinta loh, hati-hati,” godanya. “Kalau musuh bisa jadi cinta, nggak perlu ada tentara. Musuhan aja semuanya biar menciptakan cinta, maka setelahnya dunia berdamai!” “Kamu!” mengacak-acak rambutku. “Tapi dia ganteng loh, Kak. Walaupun lebih gantengan Abang sih.” Aku tersenyum bergelayut manja pada lengan Bang Arta. “Iyalah, Abang itu hanya kalah ganteng dari ayah.” “I know,” sombongnya menggerakan salah satu alisnya. Mau secongkak apapun Bang Arta, dia tetap Abang sepupu terbaikku yang paling ganteng. Mau sejahil apapun Bang Arta terhadapku, dia tetap yang paling aku sayangi. Berbeda dengan Byan, aku tetap akan membencinya. Satu orang itu saja di dunia ini. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN