Part 4. Harus Bagaimana

1202 Kata
Udara pagi yang sejuk menyapa wajah Yona saat dia membuka jendela kamarnya. Membuatnya sejenak terpejam, entah karena masih mengantuk atau justru menikmati hembusan angin yang berhembus membelai wajahnya. Dia menarik nafas dalam-dalam, mengisi penuh paru-parunya dengan udara yang segar. Kegiatannya terhenti saat terdengar ketukan di pintu, diikuti dengan suara lembut mamanya. “Yona… Bangun, Nak… Subuh…”  Arfa tidak pernah bosan membangunkan putrinya. Jika Yona tidak menjawab, maka Arfa akan langsung masuk karena kamar Yona memang tidak pernah dikunci jika dia tidur karena Yona memiliki penyakit asma yang bisa kambuh sewaktu-waktu. Maka dari itu kamarnya tidak pernah terkunci, agar Arfa dengan mudah bisa keluar masuk ke kamar putrinya itu. Saat cara lembut tidak berhasil untuk membangunkan Yona, Arfa akan membasahi telapak tangannya dengan air dingin. Lalu dia akan menggenggam jempol kaki Yona. Dalam hitungan detik Yona akan bangun, tentu saja dengan wajah cemberutnya. Selalu seperti itu, setiap hari. Setiap pagi. Kecuali ketika Yona mendapatkan tamu bulanannya, maka Arfa akan memberi sedikit kelonggaran waktu bagi Yona untuk bangun agak terlambat. “Iya, Ma. Aku sudah bangun.” jawab Yona, sambil bergerak untuk membuka pintu kamarnya. “Sudah sholat subuh? Mau sarapan apa?” Yona mengangguk sebagai jawaban. “Tempe mendoan, Ma. Yang krispi ya…” Arfa menggeleng pelan, “Tempe mendoan mana ada yang krispi, Sayang. Itu namanya tempe goreng tepung. Kalo mendoan udah pasti nggak krispi karena menggorengnya kan setengah matang.” Yona terkekeh geli, selalu seperti itu jika dia meminta menu favoritnya. Selalu disertai dengan penjelasan yang cukup panjang. Yona bukan tidak tahu seperti apa tempe mendoan yang sebenarnya. Bahkan makan di tempat asalnya pun Yona pernah, saat dia berlibur bersama Arfa beberapa waktu yang lalu. Hanya saja memang Yona lebih suka jika dibuat lebih krispi. “Ya sudah, Mama masak dulu. Kamu mandi terus siap-siap ya.” Arfa beranjak dari kamar Yona menuju ke dapur. Mengeluarkan satu papan tempe yang kemudian diirisnya tipis-tipis. Saat tangan lincahnya mengisi potongan terakhir, matanya melirik ke arah penanak nasi. Mengingat-ingat apakan masih ada nasi di dalamnya. Karena tadi malam dia pergi makan di luar bersama Yona. Berarti… tadi malam tidak ada rutinitas memasak nasi. Bergegas Arfa membuka penutupnya, dan benar saja. Kosong. Bersih.  Sedikit melirik ke arah jam dinding yang terpajang di dinding ruang makan yang menjadi satu dengan dapurnya, Arfa bergerak cepat. Mencuci beras, lalu menuangkan air yang sudah dia panaskan terlebih dahulu. Agar nasinya lebih cepat matang. Lalu dia melanjutkan kegiatan membuat tempe mendoan kesukaan Yona. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit, namun belum ada tanda-tanda Yona akan keluar dari kamarnya. Padahal sudah lebih dari setengah jam yang lalu gadis itu beranjak ke kamar mandi. Maka Arfa menyusulnya ke kamar, dan dilihatnya Yona sedang berdiri di depan cermin yang menyatu dengan lemari pakaiannya. Masih berbalut handuk, dan sepertinya tidak menyadari kehadiran Arfa. “Yona. Kenapa belum pakai baju? Telat kamu nanti.” Mendengar suara mamanya, Yona tersadar dari keterdiamannya. Lalu tergagap bingung. Arfa dengan sigap mendekat, membuka lemari dan menyodorkan seragam putih abu-abu milik Yona. “Sepuluh menit, Mama tunggu di meja makan. Kalau telat kamu tanggung sendiri kalau nggak boleh masuk kelas.” Bergegas Yona menarik kembali jiwanya yang melayang saat dia bercermin tadi. Bukan bermaksud untuk melamun. Hanya saja saat melihat wajahnya di cermin, seketika itu pula Yona membandingkan dirinya dengan Hasna. Mulai dari bentuk dan warna mata, bentuk wajah, hidung mancung yang dimiliki Yona, membuatnya merasa tak kalah cantik dengan Hasna. Satu hal yang kemudian disadari oleh Yona, dia tidak memiliki tubuh yang tinggi serta kaki jenjang yang terlihat sempurna dibalut celana bahan dan high heels seperti Hasna.  Segala lamunannya itu dengan segera dia enyahkan. Bisa malu jika harus keliling lapangan karena terlambat masuk kelas.   Jam pelajaran pertama di sekolah Yona dimulai pukul tujuh pagi. Namun para siswa harus sudah berada di sekolah lima belas menit sebelum pelajaran dimulai, untuk mengikuti apel pagi. Sekedar pengarahan singkat dari guru, baru kemudian mereka akan memasuki kelas masing-masing. Kini, Yona bergegas melangkahkan kaki menuju kelasnya. Ranselnya lebih berat dari biasanya, karena tadi dia tidak sempat sarapan. Jadi sarapan Yona disiapkan di kotak bekal oleh Arfa. Berikut dengan air putih di botol satu liter. Supaya Yona tidak lupa untuk minum, begitu alasan Arfa. Dia hafal sekali kalau Yona lebih suka minum minuman yang berasa, daripada air putih. Tentu saja itu kurang baik untuk kesehatan. Apel pagi berlangsung singkat, masih ada waktu sekitar sepuluh menit dan itu dimanfaatkan oleh Yona untuk menyantap bekalnya. Tangan kirinya sibuk bergerak di layar ponselnya, sementara tangan kanannya juga sibuk menyuap nasi dengan lauk tempe mendoan favoritnya. Saking fokusnya pada ponsel, Yona sampai tidak menyadari kehadiran sahabatnya. “Tumben sarapan di kelas, Yo?” suara Iva sepertinya tidak didengar oleh Yona. “Yo…” kali ini Iva menepuk pundak Yona. “IVAAA… Kamu ngagetin. Untung aja aku nggak keselek.” Yona melotot, membuat mata abu-abunya semakin terlihat bulat. Iva menaikkan bahunya, “Lah, kamu aja yang terlalu fokus main hape. Aku tegur dari tadi nggak dengar. Liatin apa sih?” tanya Iva sambil melirik ponsel Yona. “Nih…” Yona memperlihatkan layar ponselnya yang sedang membuka akun i********: Hasna. Rupanya Yona penasaran dengan sosok Hasna, yang dianggapnya sudah merebut Rangga darinya. “Eh, siapa?” tanya Iva penasaran, lalu mengambil alih ponsel Yona. “Wah, ada Gaga.” ujarnya heboh. Yona memang tidak menyembunyikan perasaannya pada Rangga terhadap Iva. Hanya pada Iva dia bisa bebas menceritakan semua yang dirasakannya. Dan kejadian kemarin memang belum diceritakannya, jadi wajar jika Iva tidak tahu tentang Hasna. “Pacarnya Gaga.” jawab Yona pelan. Tanpa semangat. “Oh ya? Kamu tahu dari mana?” tanya Iva antusias. Sejak awal memang Iva kurang setuju dengan perasaan Yona pada Rangga. Menurutnya, Rangga terlalu dewasa, terlalu jauh perbedaan umur di antara mereka. Delapan belas tahun bukanlah selisih usia yang ideal untuk membina hubungan. Meskipun memang beberapa orang bisa berhasil, namun jika bisa mendapatkan yang seumuran kenapa harus mencari yang selisihnya jauh? Akan banyak perbedaan yang dihadapi nanti, pikir Iva. Jika mungkin di usianya dan Yona saat ini memandang sebuah hubungan hanya sebatas mengekspresikan apa yang kita rasakan terhadap lawan jenis, sebatas saling dekat untuk mengenal satu sama lain. Lelaki di usia seperti Rangga tentu berpikir beberapa langkah di depan, dimana sebuah hubungan akan menuju ke arah yang lebih serius. “Kemarin ketemu pas lagi makan, habis pulang sekolah. Mereka mesra banget. Udah pada ngomongin cincin buat tunangan.” wajah Yona berubah sendu saat mengatakannya. Iva menghela nafas sejenak sebelum berkata, “Nggak apa. Mungkin dia bukan jodoh kamu, Yo. Kalau kamu jadian sama Gaga, nanti orang-orang pada ngira kamu itu sugar baby nya dia.” “Tapi perasaan aku sudah jatuh ke dia. Gimana dong, Va?” sorot mata Yona terlihat memelas. Seolah meminta bantuan Iva untuk mengubah kenyataan bahwa Gaga sudah dimiliki oleh orang lain. “Ya nggak gimana-gimana. Habisin sarapan kamu. Sebentar lagi pelajaran dimulai, Yo. Itu kan yang memang harus kita lakukan? Belajar dengan sungguh-sungguh.” Sambil mengerucutkan bibirnya, Yona kembali melanjutkan acara makannya.   05 April 2021 21.48 WIB   Hai, jika berkenan, follow fesbuk dan insta gram aku yuk Fesbuk : Sweet July Insta gram: @sweetjuly.me Yang minta follback, yang mau kenalan, yang mau berteman dm aja jangan sungkan. Happy Reading all...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN